Season Ke- 1 : Dear, Anak Tetangga
Season ke - 2 : Dear, Anak Majikan
Season ke - 3 : Dear, Anak Presdir
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah stay di romansa Batari. Jangan lupa tinggalkan jejak, like, subscribe, vote, mawar, kopi maupun tonton iklan, yah. Agar author lebih semangat lagi updatenya.
Happy reading.
❤️❤️❤️
...🎀🎀🎀...
...Asta...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Hujan.
Dalam hitungan detik, gue basah kuyup.
Sakit.
Badan gue sakit, apalagi muka. Berdenyut parah, darah mengucur dari hidung, mengalir ke mulut, terus bercampur sama air hujan yang menetes di wajah sebelum jatuh ke dagu. Salah satu mata gue setengah ketutup, dan tiap kali mencoba melek, rasa nyerinya bikin gue mengeluh pelan.
Gue bukan tipe orang yang doyan berantem. Gak pernah juga buat memulai ribut sama orang. Ironisnya, sekarang gue malah terkapar di gang sempit dengan punggung menempel ke tembok, bersusah payah biar bisa tetep duduk.
Luka-luka kecil di muka rasanya perih banget waktu kena air hujan, sama kayak kuku-kuku jari gue yang pada pecah gara-gara mencoba ngelawan. Gue menyeringai nahan sakit.
Hari ini pertama kalinya gue sebagai anak kampus.
Tapi ya, hasilnya?
Berantakan.
Baru saja keluar dari Coffe, tiba-tiba gue dirampok, dihajar sampai gak sadar. Gue gak ngerti kenapa mereka harus mukulin gue segitunya, padahal gue udah kasih semua barang gue tanpa perlawanan.
"Jangan tidur, Asta," gue ngomong ke diri sendiri, maksa biar tetep melek.
Gue kebanyakan kena tendang di kepala, dan gue tahu gue butuh pertolongan.
Gue butuh dokter sebelum ketiduran, atau ya, sesuatu kayak gitu lah yang pernah dijelasin Anan, kakak gue, yang udah bertahun-tahun kuliah kedokteran. Tapi ya, susah banget buat tetep melek.
Pandangan gue makin buram, dan bahkan nelan ludah saja sakitnya minta ampun. Gue tahu harus bangun, tapi tiap kali coba berdiri, badan gue langsung nyerah, dan gue balik jatuh ke tembok lagi.
Mau teriak minta tolong juga percuma, suara hujan yang deras banget menabrak aspal dan tong sampah di sekitar gue bikin semua suara tenggelam. Dingin mulai bikin gue gemeteran, tangan sama kaki gue mati rasa.
Gue tidur sebentar saja… cuma sebentar sampai hujan reda.
Satu detik kemudian.
Mata gue mulai menutup sendiri, kepala jatuh ke samping.
Citrus.
Aroma parfum yang nyerempet hidung bikin gue sedikit bangun. Gue baru sadar, kalau air hujan sudah gak langsung kena kulit gue lagi. Gue maksa buat buka mata, samar-samar ada sosok di depan gue, bayangannya kabur, tapi dia lagi memegangi payung, menutupi kita berdua dari hujan.
"Ey, ey," bisik suara cewek, sosok itu menunduk. "Lo bisa dengar gue?"
Gue mengangguk pelan, buat ngomong saja udah gak ada tenaga.
"Gue udah nelpon ambulance, mereka bilang bakal nyampe lima menit lagi. Gue harus jagain lo biar tetep sadar."
Suaranya lembut, menenangkan banget, bikin gue makin pengen tidur.
"Ey!" Tiba-tiba tangannya megang muka gue yang udah babak belur, rasa sakitnya nusuk sampai ke tulang, bikin gue gemetar.
"Maaf, tapi lo gak boleh tidur."
Nafas gue berat, keluar dalam hembusan putih tipis karena dingin.
"D-dingin," gumam gue, dengan suara gemetar.
"Ya jelas lo kedinginan, ash," dengusnya pelan, ada kecemasan di suaranya. "Gimana nih… Lo tahan bentar lagi, ya?"
Dengan lemah, gue ulurkan tangan ke arah dia. Gue pegang ujung bajunya dan tarik pelan ke arah gue. Dia kaget, nyaris teriak pas tubuhnya jatuh ke atas gue, berlutut di antara kaki gue yang terbuka di atas aspal basah.
Dingin.
Gue angkat tangan satunya, lingkarkan tangan di pinggangnya, dan menempel ke dia. Muka gue langsung menyusup ke dadanya.
"Eh! Ey! Hiiishhhh!"
"Anget..." bisik gue, badan gue masih gemetar, membasahi bajunya yang sudah setengah basah juga.
Dia awalnya berusaha melepaskan gue, tapi terus dia mengeluh pelan dan nyerah. "Oke, gue biarin lo kali ini, karena lo kelihatannya parah banget dan lo benaran kayak es batu," gumamnya.
Gue diam, menikmati hangat tubuhnya, aromanya, campuran parfum Citrus sama bau alami kulitnya.
"Dan asal lo tahu," lanjutnya santai, "gue gak biasa ngasih pelukan ke cowok. Lo beruntung, oke."
Gue gak tahu dia bercanda atau serius, tapi gue gak peduli. Gue cuma mau diam di sini. Jantungnya berdetak kencang.
Kenapa?
Dia takut?
"Oi, tapi jangan tidur ya? Gue udah bisa dengar suara sirine. Lo bakal baik-baik aja."
Gue juga bisa dengar sirine itu. Terus tiba-tiba ada banyak langkah kaki. Dia buru-buru menjauh dari gue, merapikan dirinya sambil berdehem.
Gue mau protes, tapi dinginnya hujan langsung menusuk lagi.
Tiba-tiba ada beberapa orang di depan, senter mereka menyorot langsung ke muka gue. Semuanya jadi kabur.
Gue udah ditaruh di atas tandu, tapi tangan gue masih mencari dia. Dia lihat itu, dan tangannya langsung meraih tangan gue.
"Lo bakal baik-baik aja," bisiknya, menggenggam tangan gue erat sebelum akhirnya lepas.
Terakhir yang gue lihat sebelum semuanya nge-blank, dia masih berdiri di sana, di tengah gang, di bawah payungnya.
Dia yang menyelamatkan gue.
Dan gue yakin, gak bakal pernah lupa sama cewek yang sudah gue temukan di tengah hujan
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Gue kangen banget lari pagi.
Butuh waktu empat minggu buat benar-benar pulih, sampai akhirnya dokter mengizinkan gue olahraga lagi. Secara fisik, gue udah balik normal.
Tapi secara mental?
Itu cerita lain.
Gue masih sering kebangun gara-gara mimpi buruk, mimpi di mana gue dihajar habis-habisan sama cowok-cowok itu, gak ada habisnya. Dan sekarang, tiap kali hujan turun, mood gue langsung hancur.
Jam setengah tujuh pagi, pas gue masuk ke apartemen. Gue tutup pintu lalu jalan masuk ke lorong yang masih remang-remang karena matahari belum nongol. Begitu sampai dapur yang lumayan luas, gue nyalain lampu.
Dari ujung lorong kamar, kepala Dino yang masih acak-acakan muncul, matanya masih setengah melek. "Ngapain lo udah bangun sepagi ini?"
"Baru habis lari."
"Jam..." Dia menyipitkan mata, mencoba baca jam di microwave. "Jam enam pagi?"
"Setengah tujuh."
"Anjir, bahkan kakek gue aja gak bangun sepagi itu buat lari."
"Kakek lo gak pernah lari," gue nyeletuk santai sambil taruh kunci di atas meja dapur.
"Nah, benar."
"Lo sendiri ngapain udah bangun?" tanya gue sambil buka kulkas dan ambil sebotol air. "Eh..."
"Selamat pagi!"
Tiba-tiba suara cewek heboh menggema di apartemen. Seorang cewek yang udah cukup sering gue lihat lewat di samping Dino dengan energi yang gak ada habisnya.
Namanya?
Vey.
Dia itu apa-nya Dino?
Gue juga gak punya jawaban. Kadang mereka kayak pasangan normal, kadang kayak orang asing yang gak saling kenal. Gue gak ngerti, karena gue bukan tipe orang yang kepo. Yang penting buat gue, Dino asik diajak nongkrong, meski awalnya gue kenal dia gara-gara Kakak gue, Anan, sekarang dia jadi salah satu teman dekat dan juga roommate gue di sini.
Jujur aja, punya dia sebagai roommate di minggu-minggu pertama kuliah itu berkah banget. Setidaknya gue gak merasa sendirian. Dino selalu punya cara buat bikin gue sibuk, jadi gue gak kebanyakan waktu sendiri buat kangen sama rumah. Gue kangen banget sama Kakek, Antari dan istrinya, Ellaine, sama anjing-anjing gue. Tapi yang paling bikin kangen adalah Ailsa, keponakan gue. Gue gak pernah nyangka bisa sekangen ini sama dia.
"Asta?"
Gue kedip-kedip, sadar Vey sekarang ada di sebelah gue, mengibaskan tangannya di depan muka gue.
"Masih tidur, nih?"
Gue senyum tipis. "Pagi, Vey."
Dino menguap lebar, terus jalan ke arah dapur buat gabung sama kita.
"Ya udah, mumpung kita udah bangun semua, sarapan yuk?"
Gue langsung angkat kepalan tangan buat tos sama dia. Dino jago masak, dan itu skill yang baru lo hargai setelah lo harus tinggal sendirian.
Gue?
Masak?
Jangan harap.
Satu-satunya yang gue bisa cuma bikin dessert, dan gak mungkin juga gue hidup cuma dari kue sama roti manis tiap hari.
"Lo mau sarapan apa?" tanya Dino sambil mainin matanya. "Mau yang ala-ala Eropa? atau yang full American breakfast?"
Dino membungkuk buat ngeluarin wajan dari laci. Tapi Vey malah ambil kesempatan buat berdiri di belakangnya, merangkul pinggangnya, terus goyang-goyangin badannya dengan gerakan yang… ya, lo tahu lah.
"Udah, stop!" bisik Dino sambil balik badan dan langsung cium Vey dengan penuh semangat, membantingnya pelan ke meja dapur.
Gue melipat tangan, merasa geli sendiri.
Mata gue langsung pindah ke arah lain, fokus memperhatikan lukisan buah pir yang tergantung di tembok dapur. Gue udah biasa sih sama kelakuan mereka, tapi tetap saja, bisa gak, sih, cari waktu dan tempat yang lebih pas?
Setelah sarapan, gue langsung masuk ke kamar mandi. Tapi entah kenapa, di bawah shower, gue diam lebih lama dari yang seharusnya. Mata gue merem, kepala menunduk, tangan gue bertumpu di dinding.
Air hangat mengucur dari kepala sampai ke punggung, tapi rasanya kayak gue gak ada di sini. Fisik gue ada, tapi pikiran gue entah ke mana, kayak masuk ke ruang kosong di mana gue gak merasakan apa-apa.
Ironis.
Gue ke sini buat kuliah psikologi, tapi baru minggu pertama, gue malah mengalami trauma. Gue nyengir tipis, pahit.
Gue matiin shower, diam beberapa detik sebelum membuang napas dan mengibaskan kepala, bukan cuma buat menghilangkan air dari rambut, tapi juga buat bawa diri gue balik ke realita.
Gue keringkan badan, melilit handuk di pinggang, terus keluar kamar mandi. Untung apartemen ini besar dan tiap kamar ada kamar mandinya sendiri. Tapi pas gue mau ganti baju, baru sadar kalau celana dalam gue masih di mesin pengering.
Jadi, ya… Gue terpaksa keluar kamar cuma pakai handuk, satu membungkus pinggang, satu lagi menggelantung di leher.
Pas gue sampai ruang tengah, Vey lagi selonjoran di sofa, sibuk main HP. Tapi begitu dia lihat gue, dia langsung turunin HP-nya dan angkat satu alis.
"Gila," katanya, matanya naik turun memperhatikan gue. "Lo nyembunyiin semua itu di balik muka polos lo?"
Gue mendengus, sebel juga dibilang "anak polos."
"Apa yang bikin lo mikir kalau gue anak polos?"
"Ya elah, Asta. Lo tuh ketebak banget." Dia bangkit sedikit, menyandar di sikunya sambil menyengir. "Gue bahkan bisa nebak kalau lo masih perjaka."
Gue langsung ketawa, terus memutar badan buat lanjut mencari celana dalam gue di mesin pengering.
Sebenarnya, gue pengen menutup obrolan ini karena gue nggak tahu ini cuma perasaan gue doang atau dia memang lagi menggoda. Mungkin karena dia memperhatikan otot di lengan dan perut gue. Dan gue gak mau bikin masalah sama Dino.
Pas gue mau balik ke kamar, dia udah duduk di sandaran sofa sambil memperhatikan gue dengan tatapan mengejek.
"Gue bikin lo takut, ya?
Gue langsung keinget kata-kata Anan pas dia pernah menjelaskan tipe-tipe flirting yang biasa dipakai sama seseorang.
"Gue nyebut tipe yang ini 'flirting menantang'. Mereka bakal ngehadapin lo langsung dan ngasih pertanyaan yang maksa lo harus buktiin hal yang sebaliknya, biasanya, itu emang tujuan mereka."
Gue nggak nyangka, omongan bocah itu ada benarnya juga. Mungkin karena dia mantan playboy, jadi udah pengalaman. Tapi ya, gue bukan tipe orang yang gampang nge-judge, jadi gue kasih Vey keuntungan dari keraguan ini.
Gue senyum tipis.
"Sama sekali nggak." Gue angkat bahu santai.
Dia balas senyum, terus berdiri pas banget di depan gue. Tiba-tiba dia menepuk tangan ke perut gue yang nggak pakai baju, terus memiringkan kepala.
"Lo masih banyak yang harus dipelajarin, anak polos."
Gue merasa rahang gue sedikit tegang. Gue ambil pergelangan tangannya pelan buat menjauh dari perut gue.
"Gue bukan anak kecil," jawab gue santai, "tapi kalau lo mau mikir gitu, terserah. Gue nggak ada niat buat ngebuktiin sebaliknya."
Habis itu, gue lepas tangannya dan langsung jalan balik ke kamar.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Keesokan harinya, gue ada kelas Orientasi. Kelasnya nggak berat, cuma diisi sama tips dan arahan buat membantu kita di awal-awal masa kuliah. Ruangan penuh banget sama mahasiswa, dan dosennya mulai ngomong sesuatu tentang kantin sama jadwal istirahat di antara kelas.
Gue buka buku catatan, tapi tangan gue yang nggak bisa diam malah mulai coret-coret pakai pensil. Waktu udah selesai, gue sadar apa yang gue tulis.
Selma.
Itu namanya.
Selma Melisandi.
Cewek yang nolongin gue malam itu, waktu hujan turun. Itu satu-satunya hal yang gue punya tentang dia, namanya dan dia juga kuliah di sini.
Itu semua info yang dikasih dokter pas gue sadar keesokan harinya. Dari yang gue dengar, dia juga bantu polisi buat kasih kesaksian soal kejadian itu. Mereka masih menyelidiki kasusnya karena kelihatannya bukan cuma perampokan biasa. Polisi bilang serangannya terlalu brutal, padahal gue udah menyerahkan semua barang gue tanpa perlawanan.
Tapi, gue belum pernah ketemu Selma lagi. Satu-satunya yang gue punya cuma ingatan tentang malam itu, suara dia, siluetnya, aroma parfumnya yang menyegarkan.
Itu saja.
Jujur, gue pengen banget ketemu dia, ngucapin terima kasih, tahu wajah dia kayak gimana, terus kenal lebih jauh.
Gue udah coba mencari dia di media sosial, tapi pas gue ketik "Selma," yang keluar malah foto-foto minyak goreng. Mungkin gue saja yang mikirin dia terlalu berlebihan, sementara dia sendiri mungkin udah lupa sama gue.
Gue senyum kecil.
Ayo lah, Asta, lo baru mulai kuliah dan lo udah mulai kepikiran cewek?
"Lo gambar Payung?" Suara cewek, bikin gue keluar dari lamunan.
Gue langsung mencari sumber suara itu dan melihat cewek berkacamata dengan rambut bergelombang duduk di sebelah gue. Dia cantik, matanya cokelat dan berkilau dikit pas dia ngomong, "Berarti lo suka Hujan?"
Gue butuh beberapa detik buat jawab karena, jujur aja, ini pertama kalinya ada yang menyapa gue di kelas.
Gue agak kaget.
"Sebenarnya, gue udah nggak suka hujan lagi."
Dia mengangguk. "Gue kira lo bakal kasih gue ceramah soal suara hujan, kata orang sih bikin rileks dan membawa kita ke nostalgia."
Gue nggak tahu harus jawab apa, tapi dia malah senyum terus nyodorin tangannya ke gue.
"Gue Bessie, dan gue ngulang mata kuliah ini."
Gue jabat tangannya dan mau buka mulut buat mengenalkan diri, tapi dia keburu lanjut ngomong, "Senang kenal lo, Asta."
"Lo tahu nama gue dari mana?"
Dia angkat sebelah alis. "Di kampus ini, semua orang tahu nama lo, Asta Batari."
"Lo ngomong apa sih?"
"Lo udah jadi berita utama di universitas selama berminggu-minggu. Gue turut sedih atas apa yang terjadi sama lo. Lo baik-baik aja, kan sekarang?"
Tatapan penuh belas kasihan di wajahnya bikin gue risih. "Gue baik-baik aja, kok," jawab gue sambil berdiri.
Gue minta izin ke dosen buat ke toilet, terus langsung cabut dari kelas.
Gue jalan ke papan pengumuman fakultas, dan di sana, gue lihat banyak artikel tentang gue, lengkap sama foto dan nama gue. Baru sadar kalau selama ini gue benaran jadi bahan berita di kampus.
Selma pasti pernah melihat gue di suatu tempat. Dia tahu di mana harus mencari gue, tahu nama gue, jurusan gue.
Tapi dia nggak pernah mencari gue?
Gue mendengus pelan dan baru kepikiran, mungkin emang Selma nggak ada niat buat ketemu sama gue.
Kenapa juga dia harus mencari gue?
Dia udah menyelamatkan gue, dia nggak punya hutang apa-apa sama gue.
Gue usap muka dan berbalik.
HP di kantong gue tiba-tiba bergetar. Pas gue lihat, ada chat dari Dino.
...📩...
Dino : Pesta pembukaan apartemen! Kita ketemu nanti malem. Dan tolong simpen nomor gue pakai nama lain, atau gue tendang lo.
Gue mendengus, terus ngetik balasan. Dia tahu gue nggak bisa nolak kalau ada anjing di situ.
^^^Gue: Dino. Lo ngundang siapa aja?^^^
Dino: Beberapa teman dari fakultas gue. Gue harus ngenalin lo ke anak-anak. Pakai setelan terbaik lo.
Gue baru saja masuk ke kampus ini, sementara Dino udah setahun di sini. Dia udah punya lingkaran pertemanan yang solid, sementara gue cuma punya dia doang.
Gue ketinggalan dua minggu pertama kuliah buat pemulihan, jadi anak-anak di jurusan gue udah bikin geng mereka sendiri. Lagi-lagi, gue jadi orang luar.
Gue emang nggak pernah jago cari temen. Waktu SMA, gue kenal orang-orang gara-gara saudara gue. Teman mereka jadi teman gue, cuma karena gue ada di situ. Gue nggak ngeluh sih, karena sahabat terbaik gue juga muncul dari situ. Tapi gue sadar, gue belum pernah punya teman yang gue dapetin sendiri.
Mungkin ini waktunya buat berubah.
^^^Gue: Lo ngundang berapa orang sih?^^^
Dino: Angka itu cuma ilusi yang ada di ruang dan waktu.
Kadang gue benaran penasaran, otaknya Dino ini kerja normal atau nggak. Gue nggak pernah bisa ngerti cara dia mikir.
Gue ngeluh pelan, terus nelpon dia. Dari suara berisik di belakangnya, gue ragu dia benaran masuk kelas. Kayaknya lebih mungkin dia lagi nongkrong sama gengnya.
...📞...
^^^"Berapa orang, Dino?"^^^
"Dua belas setengah?" Dia ketawa, dan gue otomatis menyipitkan mata.
^^^"Setengah?"^^^
"Salah satu cewek bawa anjingnya."
Gue langsung lebih santai. Gue suka banget sama anjing.
^^^"Anjingnya siapa namanya?"^^^
"Pipop."
^^^"Oke, gue dateng."^^^
Dino bilang sesuatu lagi sebelum menutup telepon. Dan baru setelahnya gue sadar, dia pakai taktik licik buat bikin gue setuju. Dia tahu gue nggak bakal nolak kalau ada anjing di pesta.
Dino pasti sengaja manfaatin kelemahan gue. Gue yakin apartemennya bakal penuh sama orang. Yah, mungkin ini emang kesempatan gue buat mulai bersosialisasi.
Pas gue balik ke kelas, lorongnya rame banget. Beberapa orang melirik gue, ada yang kelihatan penasaran, ada juga yang tatapannya penuh rasa kasihan.
Lebam-lebam di muka gue sih udah hilang, tapi jahitan di sisi kiri rahang sama dekat mata kanan masih kelihatan jelas. Jadi gue cuma menunduk dan pura-pura sibuk ngecek HP.
Citrus.
Gue langsung mendongak begitu mencium bau parfum yang familiar.
Aromanya membawa gue kembali ke malam itu, ke dinginnya hujan, ke sakit yang menyiksa di badan, ke suara pelan yang waktu itu bilang, "Lo bakal baik-baik aja."
Gue refleks nengok ke belakang.
Ada sekelompok cowok dan cewek yang baru saja melewati gue, terus mereka langsung larut dalam kerumunan.
Gue berdiri di tengah lorong, bengong, mata gue mengikuti mereka sampai mereka makin jauh.
Cukup, Asta.
Gue paksa diri buat lanjut jalan. Tapi di kepala gue, cuma ada satu pertanyaan yang berputar-putar.
Gue bakal ketemu lo lagi gak, sih, Selma?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!