...« Masa iya itu canggung? »...
Semua gosip sudah melewati telinga kiri menuju telinga kanan milik Arasya Bianalika, seorang gadis berumur duapuluh tahun. Tidak dipungkiri jika ia merasa risih meskipun gosip yang di bahas itu bukan tentangnya. Memang sebuah kesalahan besar bagi Arasya karena bergabung ke dalam grup besar komplek perumahannya, yang diisi ibu-ibu biang gosip tempo lalu.
“Dek, mau ke mana?”
Arasya yang fokus pada ponselnya segera mendongak, menatap ke arah samping di mana tetangganya sedang membersihkan motor.
Arasya berdeham membasahi tenggorokannya sebelum menjawab. “Mau jalan.” Ia menjawab sekenanya.
“Sama siapa? Mas anterin aja.”
Siulan terdengar menyusul setelah pria itu bergegas masuk ke rumah. Tanpa mendengar terlebih dahulu jawaban yang di berikan oleh si empunya.
“Mau ke mana, Dek? Tumben banget keluar rumah.”
Arasya mengerucutkan bibirnya saat pria lain keluar dari rumah bersama seorang wanita. Pria tersebut adalah adik dari pria sebelumnya, sedang wanita yang tersenyum ke arahnya sembari melambaikan tangan adalah istrinya.
“Kalian mau kemana? Nebeng aja deh aku. Malu ih sama Mas Gavan.” Bisik Arasya pada keduanya.
“Jangan lupa kamu masih kecil sering minta di gendong Mas Gavan ya, Dek Ara. Sekarang boro-boro, di sapa aja langsung kabur. Ngapain dah.” Ujar Devan Janala sembari menggelengkan kepalanya, lalu membuka pintu mobil depan miliknya agar sang istri masuk terlebih dahulu.
“Iya lho, Dek. Mas Gavan masuk mau siap-siap nganterin kamu. Kok malah kamunya nebeng kita. Di tunggu aja ya, Dek? Gapapa ih, Mas Gavan gak gigit kayak Mas Devan kok.” Ucap Senaza Qioriva.
Wanita tersebut tertawa geli saat pipinya di cubit pelan oleh sang suami. Membuat Arasya mendengus sebal melihat adegan romansa di depan matanya.
“Kamu ada jaket gak, Dek?” Gavan Janala-- keluar dari rumah secara terburu-buru dengan membawa sebuah jaket hitam dan dua helm.
“Tujuannya ke mana, Dek? Jauh gak? Ini pake dulu kalau jauh.” Tanya Gavan bertubi-tubi.
Halaman antara rumah Arasya dan rumah keluarga Janala memang tidak memiliki batas. Hanya ada tugu besar di depan yang memisahkan gerbang milik Arasya dan keluarga Janala.
“Eh, anu---” belum sempat Arasya menolak, Gavan sudah lebih dulu memakaikan jaket hitam tersebut padanya.
“Udah sih, Dek. Nurut aja sama orang tua.” Goda Devan yang masih di samping mobil, sepertinya masih enggan meninggalkan pertunjukan gratis didepannya.
“Ayo, lewat sini aja.” Gavan dengan cekatan menarik Arasya untuk mendekat ke arah motornya. Mencoba untuk diam di tengah-tengah perdebatan antara adiknya dan Arasya.
Gavan tanpa kesusahan memakaikan helm untuk Arasya, tentu setelah merapikan anak rambut gadis itu agar tidak mengganggu mata.
“Wah, Mas Gavan, gawat. Lihat tuh adeknya ampe kayak patung. Kaku amat.” Devan lagi-lagi meluncurkan kalimat godaan.
Arasya hampir akan membela diri sebelum Gavan mendahului.
“Kamu mending berangkat sana deh. Adek jadi takut kalau kamu gitu.” Peringat Gavan yang langsung diberi hormat oleh Devan.
“Siap laksanakan.” Tentu ada rasa ketar-ketir yang hinggap, karena itulah Devan segera berlari kecil memasuki mobilnya.
“Ayo naik.” Ajak Gavan pada Arasya. Ia sudah siap mengendarai motor maticnya untuk mengantar tetangganya itu.
Arasya masih tidak banyak bicara. Menaiki jok belakang kemudian melingkarkan tangannya ke perut Gavan, berpegangan.
“Duluan Kak Sena!” pamit Arasya kelewat riang, seperti mengejek Devan yang sengaja tidak disebutnya.
“WAH, AWAS KAMU DEK!” teriak Devan saat Arasya menjulurkan lidah ke arahnya, mengejek.
Lalu motor yang dikendarai Gavan lebih dulu keluar dari halaman rumah. Gavan hanya menggelengkan kepalanya mendengar teriakan Devan. Seperti bocah saja.
“Ke mana ini, Dek?” tanya Gavan.
Arasya mendekatkan dirinya ke bagian belakang tubuh Gavan. “Ke perpustakaan aja, Mas.”
“Mau ke mana? Mas anterin sampe tujuan.”
Arasya meneguk ludahnya. “Kejauhan kalau Mas anter nanti. Yang lain udah nunggu di perpus kota kok, aku nebeng mereka aja.”
“Mas anterin ya, Dek.” Pinta Gavan mengalun lembut.
Terdengar tidak bisa di bantah, membuat Arasya menghela nafas. “Mau ke pantai kuning itu lho. Tapi beneran ya, aku gak maksa Mas Gavan anterin aku sampai ke sana.”
Suara cempreng Arasya terdengar lucu di telinga Gavan, sehingga ia hanya menanggapi Arasya dengan anggukan dan tawa kecil.
Sampailah keduanya di parkiran perpustakaan kota yang terbilang sangat luas itu. Arasya melambai pada temannya yang juga ikut melambaikan tangan menyambut.
Arasya buru-buru turun dari motor dan mendekati teman-temannya. “Dina, aku gak jadi nebeng kamu, ya. Soalnya Masku maksa nganterin.”
“Eh, aku udah chat kamu tadi, Ra. Aku juga bilang gak bisa nebengin soalnya Kakakku juga maksa ikut.” Dina menunjuk ke belakang dimana ada satu wanita asing tersenyum ke arahnya.
“Halo, Kakak. Aku Arasya, temen Dina.” Arasya mencium tangan kakak dari temannya itu, salim.
“Halo, Arasya. Aku Lina, maaf ya tiba-tiba minta ikut. Kamu gak keberatankan?”
Arasya menggeleng brutal. “Gapapa, Kak! Justru kalo rame-rame malah seru.”
Elsa dan Voni, teman yang lain tertawa kecil melihat aksi Arasya. “Arasya sempet takut kita ajakin ke pantai, Kak Lin. Biasalah, anak rumahan.”
“Eh, tapi itu beneran Masmu, Ra?” Dina bertanya-tanya.
“Iya, tetanggaku itu lho. Yang biasanya main motor atau gak lagi siram tanaman pas kalian ke rumahku.” Jelas Ara sembari menoleh sekilas ke arah Gavan, memastikan.
“Yaudah, yuk. Keburu siang nanti.” Ajak Arasya, tidak enak membuat Gavan menunggu.
Mereka bersiap dengan motor masing-masing. Yang awalnya hanya berempat, kini menjadi berenam. Arasya yang sempat menolak ajakan tersebut kini menjadi semangat. Ini adalah pertama kalinya ia pergi bersama teman-temannya ke tempat yang jauh.
“Mas, maaf nunggu. Beneran ya Mas anter aku sampai ke sana? Nanti gak ditinggal, 'kan? Soalnya temenku ternyata ngajak Kakaknya.”
Arasya naik ke motor lagi, kembali pada posisinya. “Sampe di sana aku beliin es kelapa deh, ya?”
Gavan tertawa kecil, menarik gas motornya perlahan mengikuti rombongan teman Arasya. “Iya, Adek.”
Lalu keduanya hanya diam selama perjalanan. Rasa canggung muncul ke permukaan, bingung juga harus berbicara apalagi. Arasya memilih bungkam saja.
“Dek, peluk Mas. Kenceng lho ini anginnya.”
Arasya buru-buru menuruti perintah Gavan, saking senangnya ia melupakan peraturan tidak tertulis itu saat dibonceng.
Dua jam sudah mereka berliuk-liuk di jalanan, membelah lautan kendaraan dan kemacetan. Arasya menghela nafas lelah, punggung dan bokongnya pegal sekali. Ternyata pergi ke pantai dengan motor sangat menyiksa.
“Capek?” tanya Gavan yang diangguki Arasya.
Pria tersebut hanya tersenyum menanggapi, lalu sibuk melepas helm dan jaket yang di pakai Arasya. Kemudian memasukkannya ke jok motor.
“Halo, Mas. Aku temen Arasya, Dina. Ini Kakakku, Lina.”
Dina yang sudah selesai dengan perlengkapan berkendara segera menghampiri Arasya dan Gavan. Berkenalan.
“Oh iya, saya Gavan. Salam kenal, ya.”
“Saya Elsa, dan ini Voni, Mas.”
Keempat orang itu menjabat tangan Gavan bergantian. “Maaf ya ganggu kalian, nanti saya agak menjauh kok. Tenang aja.”
“Eh, gak perlu, Mas. Gak enak lah. Mending ikut aja, kita udah sewa tempat buat piknik soalnya.”
“Oh, iya! Aku beli dulu deh makanannya, kalian duluan aja.” Arasya yang tersadar jika mendapat bagian untuk membeli makanan langsung berbicara.
“Mas ikut, Dek.”
...« Terima kasih sudah membaca »...
...« Habis nangis, Adek jadi mak comblang »...
Dengan percaya diri Arasya memesan semua makanan yang menurutnya enak. Tidak mungkin jika hanya makanan utama, Arasya juga memesan snack dan beberapa minuman untuk enam orang.
Gavan mengambil tempat duduk, Arasya yang menyuruh pria tersebut agar beristirahat sembari menunggu. Arasya yang hanya duduk saja merasakan lelah, apalagi Gavan yang menyetir.
“Di halaman piknik nomer berapa, Kak?” tanya sang kasir.
“Nomor lima. Langsung di bayar aja ya, Kak.” Ucap Arasya sembari menggeledah tas selempangnya.
“Hah, bentar...” Gumam Arasya, mencoba untuk mengatur nafas dan menekan kepanikannya.
“Kok gak ada...” Sudah berkali-kali ia mengecek tasnya, dari bagian depan hingga belakang. Tetapi hasilnya nihil. Baiklah, panik sudah tidak bisa ditekan Arasya. Mata gadis itu berkaca-kaca sembari mengumpati kebodohannya di dalam hati.
“Ih, kok bisa lupa sih...” Nada bicara Arasya bergetar tidak karuan. “Emm, Kak sebentar, ya...” Pamit Arasya pada sang kasir yang diangguki sopan.
Ia berlari kecil mendekati Gavan yang fokus menatap hamparan pantai dan pegunungan di sekitar.
“Mas Gavan....” Lalu tangis pecah detik itu juga.
Gavan yang mendengar isakan tangis Arasya dibuat terkejut setengah mati. “Adek? Kenapa, hei?”
Gavan bergegas beranjak untuk mendekati Arasya yang menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Kenapa ini, Dek?” tanya Gavan kebingungan, walaupun begitu dirinya menarik Arasya ke dalam pelukan.
Ini adalah pertama kalinya Gavan melihat Arasya menangis. Bahkan tangis yang harusnya mampir pada kematian kedua orang tua gadis itu, air mata tidak hinggap sama sekali di kedua mata Arasya. Lalu ini kenapa? Apa alasan di balik Arasya tiba-tiba menangis begini?
“Aku lupa bawa dompet, hiks.... Ketinggalan, padahal aku udah banyak pesennya... Hiks---hikss ini gimana, Mas...”
“Ya ampun....” Gavan menghela nafas panjang, lega. Sebab apa yang menjadi alasan Arasya menangis bukanlah hal yang berat.
Gavan menepuk pelan punggung Arasya, “cup-cup-cup... Udah gapapa. Pakai uang Mas dulu.”
Arasya semakin terisak, gosip yang didengarnya tempo lalu adalah tentang Gavan yang seorang pengangguran. Digadang-gadang akan menjadi perjaka tua pengangguran yang tidak laku. Apalagi didukung oleh adiknya yang sudah menikah dulu, Gavan di langkahi.
“Lho, kok tambah nangis? Nanti dikira Mas yang jahatin lho, Dek. Ayo, udah, Mas aja yang bayar.”
Akhirnya Gavan mengangkat Arasya, berjalan tertatih menuju kedai yang menjadi tempat Arasya memilih hidangan mereka.
“Cashless bisa, Kak?” tanya Gavan dan disetujui oleh sang kasir. Menerima kartu berwarna hitam yang tidak dilihat oleh Arasya. Gadis itu bersembunyi di pelukan Gavan.
“Terima kasih, Kak. Pesanannya akan di antar ke tempat, ya. Ditunggu.” Ucap kasir sangat ramah.
Gavan mengangguk sembari mengembalikan kartunya ke dalam dompet.
“Udah lho, Dek. Ayo balik, temen-temenmu nanti kecarian. Mau Mas gendong ini?”
Arasya menggeleng, lalu mengusap kasar wajahnya. Berusaha menghilangkan jejak air mata. “Kalau udah nyampe rumah, aku ganti ya, Mas. Makasih...” Ucapnya diselingi sesenggukan.
Arasya merasa tidak enak hati, pasti uang yang dipakai Gavan adalah uang tabungan pria tersebut. Arasya justru tanpa dosa meminjam dari Gavan. Ia Ingin menangis lagi rasanya.
Gavan yang diserang kegemasan hanya bisa mengacak rambut Arasya. “Kayak sama siapa aja. Yaudah, ayo.” Ajaknya, meraih tangan Arasya dan menggenggamnya.
Berjalan berdua menuju tempat yang sudah di pesan oleh teman-temannya. Kembali dalam keheningan, Arasya dan Gavan seakan hanya berbicara jika itu adalah hal penting. Selebihnya entah antara canggung atau nyaman.
“Wih, lama banget, Ra. Kamu pesen semua menu, ya?” tanya Elsa, ingin tahu.
“Hehehehe,” Arasya sudah berganti wajah. Kemurungan yang tadinya terlihat nyata kini sirna. Membuat Gavan tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya, merasa kagum.
Arasya mengambil duduk di samping Lina, dan Gavan menyusul. Duduk di belakang Arasya, seakan memberikan space kepada para perempuan untuk berbincang. Pria tersebut sibuk memainkan ponselnya.
Beberapa menit kemudian makanan datang, es kelapa yang harusnya adalah traktiran Arasya untuk Gavan hanyalah omong kosong. Mata Arasya kembali memanas, ingin menangis lagi.
Mereka memutuskan untuk fokus makan menu utama berupa ikan bakar. Arasya menghadap Gavan, menemani pria tersebut agar tidak merasa terasingkan.
“Sambelnya pedes, Dek. Jangan di makan banyak-banyak.” Peringat pria tersebut. Ia fokus melihat Arasya yang kesusahan memisahkan daging dan durinya.
“Kamu tuh, ya.” Gavan geregetan, kemudian mengambil alih pekerjaan Arasya. Dan dengan lancar tanpa kendala, Gavan berhasil membuat Arasya makan dengan nyaman.
Kenyang. Kondisi teman-teman Arasya kini seperti ikan terdampar di pesisir pantai, saking banyaknya makanan yang masuk ke dalam perut mereka.
“Mas tinggal dulu, ngerokok.” Pamit Gavan berbisik pada Arasya yang langsung di angguki oleh si empu.
“Mau kemana itu Masmu, Ra?” tanya Elsa lagi. Gadis itu memang ahlinya menggali informasi. Semuanya akan ditanyai hanya untuk menyuapi keingintahuannya.
“Ngerokok, El.” Jawab Arasya santai.
“Jomblo, Ra?” Dina berbisik, takut ketahuan.
Arasya mengangguk. “Iyaa, mau kah? Nanti aku bilangin.”
“Buat Kak Lina, Ra.. Sama-sama jomblo, sip, cocok itu mah.” Ujar Dina sambil mengacungkan kedua jempol.
“Ngawur kamu, Din. Gak ya, gak usah aneh-aneh.” Penolakan itu berbanding terbalik dengan wajah Lina yang bersemu merah.
Arasya yang melihatnya tertawa geli. “Tenang, Kak. Jalur dalam selalu menang, hihihihi.”
“Tapi beneran, Ra? Ganteng gitu masa jomblo...”
“Iya, Dina... Mami yang cerita sendiri, aku malah disuruh cariin siapa tahu kecantol sama seumuranku. Oh iya, Kak Lina umurnya berapa?”
“Aku mau jalan 29, Ra.”
“Lah, pas dong. Mas Gavan mau jalan 30 tahun ini. Ih, jangan-jangan ini beneran jodoh?” ucap Arasya kelewat girang. Ia harus cepat-cepat cerita pada Mami--- ibu dari dua bersaudara laki-laki, Gavan dan Devan.
“Wah, kayak cerita yang pernah aku baca, Ra. Kenalin aja udah, pasti berakhir bahagia.” Voni menimpali. Si gemar membaca. Apapun yang ada di dunia nyata, akan dikaitkan dengan alur dari sebuah novel yang ia baca.
Arasya mengangguk setuju. “Nanti dikenalin ya, Kak Lin.”
“Aduh, malu aku, Ra.” Ujar Lina sembari menepuk lengan Arasya.
“Ih, ngapain malu-malu segala. Trabas aja, Ra. Kalau butuh bantuan, tinggal panggil kita.” Dina justru yang lebih bersemangat, kasihan juga dengan kakaknya satu ini. Selalu menjadi bulan-bulanan keluarga besar karena belum juga menikah di usia yang sudah matang.
“Iya, Kak Lin. Biar kita bisa sering-sering mampir ke rumah Ara kalau Kakak lagi kencan sama Mas Gavan.” Elsa setuju, tetapi alasan yang diberikan sedikit tidak nyambung.
“Lah, apa hubungan Kak Lina kencan sama kita mampir ke rumah Ara?” Voni kebingungan.
“Kok kayak kamu bakalan ikut Kak Lina kencan ke rumah Mas Gavan. Tapi kitanya main ke rumah Ara deh, El.” Dina menepuk keningnya, merasa takjub dengan pemikiran Elsa.
Arasya tidak bisa menahan tawanya, sangat terhibur dengan tingkah teman-temannya yang kadang di luar nalar.
...« Terima kasih sudah membaca »...
...« Mau dibawa kemana? »...
Keesokan harinya setelah main dari pantai, Arasya sedang bersantai di dalam rumah. Sofa yang luas membuatnya bisa merebahkan diri dengan nyaman di sana. Ia merasa bahagia pada pagi menjelang siang hari itu.
Acara memperkenalkan Gavan dan Lina berjalan sesuai rencana kemarin. Gavan bahkan tanpa protes memberikan nomor teleponnya pada Lina. Kemudian tanpa malu dilihat oleh anak-anak kecil (terbaca: Arasya, Dina, Elsa, dan Voni) Gavan mengacak rambut Lina dan berkata akan menunggu pertemuan selanjutnya. Yang langsung mendapat teriakan histeris dari penonton setia keduanya.
Lalu, tentang uang yang dipinjam Arasya. Gavan berkata untuk tidak membayarnya dengan uang, tetapi dengan traktiran lain waktu dengan syarat tidak lupa membawa dompet lagi. Dan Arasya tertawa kecil lantas berterima kasih. Ia akan mentraktir Gavan sesuai jumlah traktiran Gavan padanya dan teman-temannya.
“Dek Ara!” teriakan melengking dari depan membuat si empu segera berlari ke luar.
“Mamiiii...” Arasya melajukan larinya, memberikan pelukan rindu pada seseorang yang dipanggilnya Mami tersebut.
“Waduh, kangen banget sama anak cewek Mami satu ini.”
Mami adalah orang tua tunggal yang mengasuh Gavan dan Devan setelah suami beliau meninggal. Mami juga sangat dekat dengan mendiang orang tua Arasya. Maka setelah kehilangan besar-besaran yang didapatkan Arasya, Mami semakin dekat dengan anak tunggal satu ini.
Menjadi orang tua pengganti untuk Arasya yang waktu itu masih remaja hingga sekarang. Mengurus Arasya dan apapun yang ada di sekitar gadis itu.
“Mami lama banget kerjanya.” Gumam Arasya.
“Cuma seminggu aja. Masa iya lama?”
Arasya menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan beliau.
“Ngapain di situ? Nanti telat kalau gak ganti sekarang, Mi.” Gavan keluar dari rumah dengan pakaian yang sangat rapi.
“Mami mau pergi lagi?” tanya Arasya kebingungan.
“Iya nih, Dek. Ikut, yuk? Soalnya Mas Devan sama Kak Sena juga ikut.”
“Hah? Enggak deh, Mami. Cuma sebentar aja, 'kan? Aku berani kok di rumah sendiri.” Tolak Arasya. Tidak enak hati karena dirinya selalu diikut sertakan pada acara-acara keluarga Janala. Jika diharuskan menginap beberapa hari, maka Arasya akan dipaksa ikut dengan dalih agar rombongan semakin ramai.
“Dek, ikut aja. Ada banyak makanan, kamu suka 'kan?” Devan yang baru datang segera memprovokasi.
“Ayo, Kak Sena bantu kemas barang-barang. Mami cepetan ganti, ya.” Senaza juga ikut, bahkan sudah menggantikan peran Mami yang sebenarnya masih ingin berpelukan dengan Arasya.
“Cuma tiga hari, Dek. Ikut aja, ya? Gak tenang Mami tinggalin Adek sendiri.” Mohon sang Mami.
Akhirnya Arasya mengangguk pasrah, mereka berpisah untuk mengemas barang masing-masing. Arasya dibantu Senaza, sedangkan dirinya disuruh untuk fokus berganti pakaian.
Sembari bertanya-tanya ke mana mereka akan pergi. Dan Arasya lagi-lagi dibuat takjub oleh keluarga besar Mami yang sepertinya tersebar di mana-mana. Sehingga sering kali Mami menghadiri acara pernikahan dan mengajak seluruh keluarganya. Termasuk Arasya.
...•••...
Sebuah bus besar terparkir rapi di halaman rumah pengantin wanita. Arasya keluar dari mobil disusul Mami, Senaza, Devan dan yang terakhir Gavan.
“Mas, adeknya dijaga, ya. Mami sama Kakak masuk sebentar habis itu kita masuk bus. Adek sama Mas dulu gapapa, ya?”
Arasya mengangguk, tubuhnya digeser oleh Mami ke tengah-tengah para laki-laki yang berdiri bersandar pada mobil. Mata Arasya melihat kepergian Mami dan Senaza, kedua wanita itu dengan cepat berbaur dengan orang-orang.
“Gede banget busnya, berapaan ya harga sewanya, Mas?” Devan tiba-tiba melayangkan pertanyaan pada si sulung.
“Tergantung tujuannya di mana. Kalau jauh ya bisa sampai tiga juta lebih.” Gavan menjawab keingintahuan sang adik tanpa berpikir panjang.
“Ntar kalau liburan sewa bus aja, Mas. Lumayan juga daripada harus sewa mobil banyak, ‘kan?”
“Iya.” Gavan mengangguk. “Nanti dipikir-pikir dulu.”
Arasya mencuri lirik ke arah Gavan yang fokus memandang bus itu. Arasya masih berpikir jika Gavan pengangguran, lalu kenapa Devan justru menyuruh sang Kakak untuk menyewa bus yang mahal? Apakah Devan tidak kasihan pada Gavan?
“Dek, Mas! Ayo masuk! Bawa barang-barangnya!” Mami berteriak dari kejauhan.
Arasya hampir akan ikut membawa tas besarnya jikalau Devan tidak menginterupsi. “Kamu ngapain, Dek? Sana susulin Mami sama Kakak.” Usir Devan.
“Itu dipanggil lho, Dek. Tasnya biar Mas yang bawa.” Gavan ikut menimpali sembari mengusap rambut panjang Arasya.
“Adek ayo masuk biar kebagian tempat!” Mami berteriak lagi agar Arasya segera mendekat.
Setelah mengerti yang dimaksud, Arasya menganggukkan kepalanya dan berlari kecil menyusul Mami dan Senaza.
“Ngapain coba masih berdiri di sana, Adek?” gemas Mami pada Arasya dengan mencubit pipi kanan si kecil.
“Adek mau duduk di belakang apa di depan?” tanya Mami setelah mereka masuk ke dalam bus. Sudah banyak kerabat Mami yang duduk di sana. Menyapa sang Mami dengan semangat.
“Aku di depan aja, Mi. Tadi Devan maunya gitu.”
“Oke deh, Kakak di depan. Kalau gitu Adek di belakang sama Mas Gavan gapapa, ya?”
Mami menuntun Arasya untuk duduk tepat di belakang Senaza. Keduanya disuruh diam di tempat sampai masing-masing dari anaknya masuk ke dalam. Kata Mami, menjaga tempat agar tidak di duduki oleh orang lain.
“Mami nanti gak di sini ya, Adek. Mami ada di mobil pengantin. Jadi kalau butuh apa-apa bilang Kakak atau Mas, ya.” Tutur Mami yang hanya diangguki oleh Arasya lagi.
Sesudah sang Mami keluar bus, tidak berselang lama, Gavan dan Devan masuk membawa dua tas di tangan masing-masing.
“Wih mantep beneran dapet depan, Yang.” Celetuk Devan kegirangan.
Gavan yang tahu maksud terselubung Devan duduk di depan hanya menggelengkan kepalanya.
“Waduh Mas Gavan makin ganteng aja, sudah ada gandengan belum, Mas?”
Gavan yang lagi menjadi sasaran empuk hanya tersenyum sopan. “Belum, Pak. Di doakan yang baik-baik aja.” Lalu Gavan mendudukkan diri di samping Arasya.
“Ya harus toh, Mas. Atau mau tak kenalin sama orang kampung Bapak aja, Mas?”
Gavan tertawa ringan. “Boleh, Pak. Di atur aja.”
Arasya lagi-lagi tidak bisa untuk tidak memandang Gavan dalam diam. Sudah disuruh adiknya menyewa bus saat liburan dan sekarang Gavan disuruh mencari pasangan. Apakah Gavan tidak tertekan?
“Apa, Dek? Laper?” tanya Gavan sebab sejak tadi ia menangkap tatapan Arasya yang melihat ke arahnya secara terang-terangan.
“Enggak. Ngantuk.” Jawab Arasya sekenanya.
“Oh ini Adek tho, Mas? Yang Mami sering cerita. Oalah, Nduk, kok ayu banget. Udah ada pacar belum?”
“Masih kecil, Pak. Gak boleh pacaran dulu.” Devan tiba-tiba menjawab dari depan.
“Lho, lha kenapa tho? Wong ayu banget ya gapapa kalau pacaran, Mas.”
Gavan tertawa melihat ekspresi Arasya merengut kesal.
“Aku udah besar ya, Mas!” protes Arasya tidak terima. “Pokoknya nanti kalau aku ada pacar, aku langsung pamer ke Mas Devan!”
...« Terima kasih sudah membaca »...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!