Istana penuh dengan keriuhan. Cahaya lentera merah berpendar di setiap sudut, memenuhi udara dengan aura kebahagiaan. Para tamu undangan berbondong-bondong memasuki aula utama, menikmati hidangan mewah yang tersaji di meja panjang. Di tengah gemerlap perayaan itu, seorang wanita berdiri diam di antara para tamu yang bersuka cita. Wajahnya pucat, matanya bergetar menahan sesuatu yang mendidih di dalam dadanya.
Xiaolin.
Gaun merah yang dikenakannya melambangkan kesucian dan kebahagiaan pernikahan. Namun, pada hari ini, warna merah itu lebih menyerupai penghinaan yang membakar harga dirinya. Hari yang seharusnya menjadi momen paling bahagia dalam hidupnya kini berubah menjadi neraka yang harus ia telan bulat-bulat.
Di atas panggung utama, Xian Lie, pria yang pernah menjadi tunangannya, kini tengah berdiri dengan senyum bahagia di samping seorang wanita lain—Xiaoyu, adik kandungnya sendiri.
"Kakak, bagaimana? Bukankah aku terlihat lebih cocok dengannya?" suara lembut Xiaoyu terdengar di telinganya, sarat dengan keangkuhan yang terselubung.
Xiaolin mengepalkan tangannya di balik lengan bajunya yang panjang. Tidak ada yang peduli bagaimana perasaannya. Tidak ada yang memperhatikan bagaimana tubuhnya bergetar menahan amarah dan kepedihan. Ia menatap ayahnya, Kaisar, yang duduk di singgasana dengan ekspresi datar, seolah-olah semua ini bukan masalah besar.
"Bukan aku yang menginginkannya, Xian Lie sendiri yang datang padaku." Xiaoyu tersenyum manis, memandang pria di sampingnya dengan tatapan penuh kepemilikan. "Aku hanya menerima takdir yang lebih baik."
Takdir yang lebih baik? Xiaolin ingin tertawa. Sejak kapan hidupnya hanyalah sekadar permainan takdir bagi orang lain?
Tamu-tamu mulai berbisik, memandangnya dengan tatapan mencemooh. "Betapa menyedihkannya seorang Putri Xiaolin. Dulu putri kebanggaan istana, sekarang hanya seorang wanita yang ditinggalkan."
"Dia bahkan sudah menyiapkan pakaian pengantin, betapa malunya."
"Kasihan sekali, tapi begitulah dunia. Jika tak cukup berharga, kau akan dibuang."
Xiaolin merasakan darahnya berdesir panas. Dia ingin pergi, ingin menghilang dari tempat ini, tetapi kakinya terasa seperti diikat rantai yang tak kasat mata. Pengkhianatan ini lebih dari sekadar luka; ini adalah penghinaan yang mencoreng seluruh hidupnya.
Tepat saat itulah, Kaisar berdeham, mengangkat tangannya untuk mendiamkan para tamu.
"Hari ini adalah hari yang berbahagia. Putri Xiaoyu dan Pangeran Xian Lie akan bersatu dalam ikatan pernikahan. Namun, ada hal yang perlu disampaikan," suaranya menggema di aula, membuat semua orang terdiam.
Xiaolin menahan napas. Instingnya memberitahunya bahwa sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.
"Putri Xiaolin telah gagal menjaga martabatnya sebagai seorang putri. Dengan demikian, dia akan dikeluarkan dari istana dan dicabut status kebangsawanannya. Mulai hari ini, dia bukan lagi bagian dari keluarga kerajaan."
Dunia seakan runtuh.
"Tidak mungkin!" seorang pelayan di samping Xiaolin menjerit, tetapi satu tatapan dari Kaisar membuatnya segera menundukkan kepala.
Xiaolin sendiri tidak bisa bergerak. Kata-kata Kaisar bergema di kepalanya, menghantamnya lebih kejam dari tamparan.
Dikeluarkan? Dicabut status kebangsawanannya?
Dia menatap ayahnya dengan mata yang mulai memerah, mencari sedikit kehangatan atau rasa iba. Namun, yang ia temukan hanyalah ketegasan dingin yang tidak memberinya ruang untuk bertanya.
Xiaoyu tersenyum penuh kemenangan. "Kakak, sebaiknya kau terima keputusan ini dengan lapang dada. Kau tidak ingin mempermalukan keluarga lebih jauh, bukan?"
Xian Lie yang sejak tadi diam, hanya menatap Xiaolin sekilas, lalu mengalihkan pandangannya dengan sikap acuh. "Maafkan aku, Xiaolin. Ini keputusan terbaik untuk semua orang."
Seketika itu juga, Xiaolin merasakan hatinya hancur.
Tanpa ada kesempatan untuk membela diri, tanpa ada waktu untuk bernapas dalam kesedihan, ia diseret oleh pengawal keluar dari aula. Sorakan tamu berubah menjadi bisikan dan tawa sinis, seolah-olah dia hanya seorang pengemis yang tak diinginkan.
Saat Xiaolin melangkah keluar dari istana, hujan mulai turun, membasahi tubuhnya yang menggigil bukan hanya karena dinginnya udara, tetapi juga karena luka yang mengoyak hatinya.
Hari yang seharusnya menjadi hari pernikahannya telah berubah menjadi hari kehancuran. Tanpa keluarga, tanpa kehormatan, tanpa siapa pun di sisinya.
Langit sore mulai meredup saat Xiaolin melangkah menjauh dari istana, gaun pengantinnya yang kotor dan tercabik berkibar tertiup angin. Seluruh tubuhnya terasa lemas, namun bukan hanya karena kelelahan fisik—pengkhianatan dan penghinaan yang baru saja diterimanya jauh lebih menyakitkan daripada luka apa pun.
Namun, di balik gerbang istana yang megah, seorang gadis berlari dengan langkah terburu-buru. Xiaoyu, mengenakan pakaian pernikahannya yang mewah, bergegas mengejar Xiaolin dengan wajah penuh kepanikan. Para pelayan dan beberapa tamu yang masih berada di halaman istana menyaksikan adegan itu dengan cemas.
"Jie-jie!*" Xiaoyu memanggil dengan suara penuh kepedihan, meskipun ada sorot lain dalam matanya—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekhawatiran.
Xiaolin yang telah berjalan cukup jauh berhenti dan menoleh perlahan. Matanya kosong, seolah-olah nyawanya telah pergi bersama harga dirinya yang hancur. Angin dingin berhembus, membuat helaian rambutnya yang terlepas berterbangan.
Xiaoyu mendekat dengan napas tersengal. "Jie-jie... aku... aku tidak pernah ingin ini terjadi! Aku tidak ingin merebut tempatmu! Tapi aku... aku tidak bisa menolak perintah Ayah dan Ibunda..." Suaranya bergetar, seolah-olah dia benar-benar merasa bersalah. Mata beningnya berkaca-kaca, menambah kesan bahwa dia hanyalah korban dari keadaan.
Xiaolin menatapnya dalam diam. Ia tahu betul betapa liciknya adiknya, tetapi kali ini, ia terlalu lelah untuk membalas atau membuktikan apa pun. Ia hanya ingin pergi.
Namun, tiba-tiba Xiaoyu melangkah lebih dekat dan, sebelum Xiaolin sempat mundur, tangannya terulur, menggenggam pergelangan tangan kakaknya dengan erat.
Saat itu juga, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Tubuh Xiaoyu menegang, wajahnya berubah pucat pasi. Matanya membelalak ketakutan ketika hawa dingin mengalir deras dari telapak tangan Xiaolin ke dalam tubuhnya. Seolah-olah ada sesuatu yang merayap ke dalam nadinya, mencengkeram jantungnya dengan kejam.
"jie-jie..." Suara Xiaoyu tercekat. Dalam hitungan detik, tubuhnya melemah dan ia terhuyung ke belakang.
Para pelayan yang menyaksikan kejadian itu berteriak panik. "Nona Muda Xiaoyu!" Mereka bergegas maju, menangkap tubuh lemah Xiaoyu yang nyaris jatuh ke tanah.
Xiaolin terkejut. Tangannya yang baru saja dipegang Xiaoyu kini bergetar hebat. Sekelebat kenangan masa kecil muncul dalam benaknya—kenangan tentang semua orang yang jatuh sakit, terluka, atau mengalami kemalangan setelah bersentuhan dengannya.
Rumor yang selama ini dibisikkan di sudut-sudut istana kembali menggema di kepalanya.
Kutukan itu benar-benar ada.
Seorang tabib yang berada di antara para tamu segera diperintahkan untuk memeriksa Xiaoyu. Tangannya menempel di pergelangan tangan gadis itu, merasakan denyut nadinya. Namun, alih-alih mendapatkan respons normal, wajah tabib itu berubah ngeri.
"Tidak mungkin... Energi dalam tubuh Nona Xiaoyu kacau! Seperti... seperti dihisap sesuatu!"
"Apa?!"
"Apakah ini ulah Xiaolin lagi?!"
Bisikan-bisikan cemas berubah menjadi tuduhan. Tatapan para tamu yang semula hanya dipenuhi rasa ingin tahu kini berubah menjadi ketakutan dan kebencian. Para pelayan yang memegangi Xiaoyu gemetar, tidak berani menatap Xiaolin secara langsung. Bahkan, beberapa dari mereka secara refleks mundur, seolah-olah Xiaolin adalah iblis yang baru saja bangkit dari neraka.
Kaisar yang mendengar keributan itu segera keluar dari istana, wajahnya penuh amarah. "Apa yang terjadi?!"
"Yang Mulia!" Salah satu pelayan berlutut dengan tergesa-gesa. "Putri Xiaoyu... dia hampir kehilangan nyawanya setelah menyentuh Putri Xiaolin!"
Tatapan Kaisar langsung beralih ke Xiaolin. Dingin. Tajam. Tak ada sedikit pun rasa iba dalam matanya, hanya kemarahan dan kebencian yang selama ini tertahan.
"Xiaolin..." Suaranya menggema dalam kesunyian yang mencekam. "Kau benar-benar membawa sial bagi keluarga ini."
Jantung Xiaolin mencelos. Ia tahu, sejak kecil ayahnya tak pernah menyayanginya, tapi mendengar tuduhan itu keluar langsung dari mulut sang Kaisar membuatnya terasa seperti ditusuk belati yang tak kasat mata.
Xiaoyu yang masih dalam keadaan lemah terisak pelan, membuat Kaisar semakin murka.
"Tangkap Xiaolin!" perintahnya tegas. "Aku tak ingin makhluk pembawa sial itu menginjakkan kaki lagi di istanaku!"
Para pengawal segera bergerak, mencengkeram tangan Xiaolin dengan kasar. Dia tidak memberontak. Tidak berteriak. Ia hanya diam, menerima kenyataan bahwa dalam satu hari, seluruh hidupnya telah hancur lebur.
Saat ia diseret pergi, Xiaoyu menatap kepergiannya dari balik pelukan para pelayan. Senyum kecil yang nyaris tak terlihat muncul di bibirnya sebelum segera ia sembunyikan kembali.
Sementara itu, langit yang mulai gelap menyaksikan bagaimana Putri Xiaolin diusir dari istana, tak lagi diakui sebagai bagian dari keluarga kerajaan.
Hujan turun deras di halaman istana, seolah-olah langit pun berduka atas nasib seorang putri yang akan dibuang. Xiaolin berlutut di tengah lapangan batu yang dingin, tubuhnya masih berlumuran darah akibat hukuman cambuk yang baru saja diterimanya. Kaisar duduk di singgasana emasnya, menatapnya dengan tatapan penuh kekecewaan dan kebencian.
"Mulai hari ini, kau bukan lagi putriku," suara Kaisar bergema, dingin dan tanpa belas kasihan. "Bawa dia ke Lembah Hitam dan pastikan dia tidak kembali."
Para pengawal berbaris di sekelilingnya, siap menjalankan perintah. Xiaoyu berdiri tak jauh, wajahnya tampak penuh keprihatinan palsu, tetapi matanya bersinar penuh kemenangan. Xiaolin tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia tahu, tidak ada gunanya membela diri.
Tanpa membuang waktu, dua pengawal menarik Xiaolin berdiri dan menyeretnya keluar dari istana. Namun, perintah Kaisar tidak hanya sekadar membuangnya ke Lembah Hitam. Sebelum mencapai tempat pengasingannya, Kaisar telah memerintahkan para pengawal untuk memastikan Xiaolin tidak akan bertahan lama.
Di tengah hutan yang gelap, para pengawal melemparkan tubuh lemah Xiaolin ke tanah yang basah. Dia tersungkur, wajahnya mengenai lumpur dingin yang bercampur dengan darahnya sendiri.
"Maafkan kami, Putri," salah satu pengawal berbisik, suaranya terdengar ragu. "Kami hanya menjalankan perintah."
Xiaolin mencoba bangkit, tetapi tubuhnya tidak mau bekerja sama. Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, hawa dingin yang menusuk tulang tiba-tiba menyelimuti udara. Roh pelindung para pengawal muncul, mengambang di sekeliling mereka seperti bayangan kabur dengan cahaya redup yang berpendar dari tubuh spiritual mereka.
Serangan pertama datang dengan kilatan cahaya keemasan. Xiaolin tidak sempat menghindar. Cahaya itu menghantam dadanya dengan kekuatan yang luar biasa, membuat tubuhnya terlempar beberapa meter ke belakang sebelum menghantam batang pohon dengan keras. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Tulang rusuknya mungkin retak.
Namun, para pengawal tidak berhenti di situ. Roh-roh pelindung mereka mulai mengelilingi Xiaolin, membentuk lingkaran yang mengunci ruang geraknya. Serangan berikutnya datang dari berbagai arah—cakar roh yang tajam menebas lengannya, menciptakan luka yang dalam. Xiaolin berteriak, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi juga karena energi spiritual yang mulai menyerap kekuatannya perlahan.
Tubuhnya bergetar saat hawa panas menyeruak dari luka-luka yang terus bertambah. Salah satu pengawal menghunuskan pedang spiritualnya, menebaskannya ke arah Xiaolin. Pedang itu bukanlah pedang biasa—bukan hanya melukai tubuh, tetapi juga merusak jiwa. Xiaolin hanya bisa memiringkan tubuhnya sedikit sebelum bilah itu menyayat bahunya. Darahnya muncrat ke tanah, bercampur dengan air hujan yang semakin deras.
Xiaolin mencoba bangkit, berpegangan pada dahan yang tumbang. Namun, roh pelindung lain melayangkan serangan ke arah kakinya. Tendangan tak kasatmata menghantam perutnya, membuatnya kembali terjerembab. Napasnya tersengal, dadanya naik turun dengan sulit.
"Cukup!" salah satu pengawal akhirnya bersuara, suaranya bergetar. "Jika kita terus menyerangnya, dia akan mati sebelum mencapai Lembah Hitam."
Beberapa pengawal lain tampak ragu, tetapi mereka akhirnya mengangguk. Mereka meninggalkan Xiaolin sendirian, tubuhnya tergeletak tanpa daya di tanah yang basah. Hujan semakin deras, membasahi luka-lukanya yang terbuka, tetapi Xiaolin tidak mengeluarkan suara. Dia hanya menatap langit, tubuhnya gemetar karena kesakitan dan kedinginan.
'Tidak… aku tidak akan mati di sini.'
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Xiaolin menyeret tubuhnya yang terluka, berusaha berjalan menuju Lembah Hitam. Setiap langkah yang diambilnya penuh penderitaan, tetapi dia tidak akan menyerah.
Di kejauhan, suara auman binatang buas menggema, menandakan bahaya lain yang menunggunya di dalam hutan. Tetapi Xiaolin tidak peduli. Jika takdir menghendakinya mati, dia akan melawan sampai napas terakhir.
Dengan tatapan penuh tekad, Xiaolin melangkah masuk ke dalam kegelapan Lembah Hitam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!