Gulungan ombak menyapu pantai dengan lembut, membawa serta pecahan kayu dan sisa-sisa kanopi kecil yang hancur berantakan. Di antara butiran pasir putih yang hangat, seorang pria muda tergeletak. Napasnya tersengal, tubuhnya lelah dan penuh luka.
Dengan gemetar, matanya perlahan terbuka—sepasang mata hijau yang menyimpan harapan, meski diwarnai kelelahan dan kepedihan.
Ia mengangkat kepalanya, menatap langit biru yang membentang luas di atasnya. Cahaya matahari menusuk tajam, menyilaukan pandangannya, namun di balik itu ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar cahaya matahari.
Ada kehidupan... kemungkinan baru, dan harapan...
Jari-jarinya yang kotor menggali pasir, merasakan kelembutannya, seolah tak percaya pada kenyataan yang sedang dihadapi. Kemudian, tanpa mampu menahan emosinya, ia terisak, air mata menelusuri wajahnya yang kotor.
"Akhirnya..." suaranya parau, bergetar di antara suara deburan ombak. "Aku sampai di sini... Benteng terakhir umat manusia."
...
Langit sore di Benua Feng diselimuti cahaya sore keemasan, angin berembus lembut, menggoyangkan pepohonan sakura yang bermekaran di taman kekaisaran.
Di bawah pohon itu, terlihat seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun berdiri dengan gagah. Rambut putihnya tertiup angin, mata emas cerahnya berkilau penuh semangat. Dengan ranting kayu di tangannya, anak itu berdiri seperti seorang prajurit yang siap bertarung.
Sedangkan di hadapannya, ada seorang gadis kecil berusia sekitar lima tahun yang duduk di atas batu datar, kakinya yang mungil bergoyang riang. Pipi bulatnya sedikit bersemu merah, matanya berbinar penuh antusias.
Gadis kecil itu menggenggam boneka kelinci miliknya dengan erat, tidak ingin melewatkan satu kata pun dari cerita yang akan segera dimulai.
"Xi’er, ceritakan lagi!" seru gadis itu, suaranya penuh kegembiraan. "Bagaimana Sang Pewaris Dewa Naga melawan para iblis?"
Xi’er mengayunkan ranting kayunya ke udara dengan penuh semangat, menciptakan suara "swish" kecil.
"Dengarkan baik-baik, Yue’er!" katanya lantang. "Dunia ini… hampir dihancurkan oleh kegelapan!"
Ia melangkah maju, sorot matanya tajam, seolah benar-benar menjadi pahlawan dalam cerita yang ia kisahkan.
"Semuanya dimulai ketika gerbang iblis terbuka! Ribuan, tidak! Jutaan iblis turun dari langit, menutupi seluruh benua dengan bayangan hitam mereka!"
Yue’er menahan napas, matanya membesar. "Lalu? Apa yang terjadi?"
Xi’er melanjutkan, suaranya semakin dramatis.
"Para iblis menyerang tanpa ampun! Kota-kota dihancurkan, gunung-gunung meleleh menjadi lautan api! Langit berubah merah darah! Manusia hampir tidak memiliki harapan… sampai mereka datang!"
Xi’er melompat ke atas batu, berdiri dengan penuh keyakinan. "Pasukan Pembasmi Iblis! Para pendekar terkuat dari seluruh negeri berkumpul, membawa pedang dan tombak mereka! Mereka bertarung siang dan malam, menebas iblis tanpa henti!"
Ia mengayunkan ranting kayunya dengan cepat, berpura-pura menebas musuh yang tak terlihat. Yue’er bertepuk tangan kecil dengan penuh semangat.
"Hebat sekali! Lalu, lalu… apakah mereka menang?" tanyanya dengan mata berbinar.
Xi’er menghentikan gerakannya sejenak, ekspresi wajahnya berubah serius. Ia melangkah turun dari batu, lalu berkata dengan suara lebih rendah.
"Tidak semudah itu, Yue’er. Karena saat mereka hampir menang, dia muncul…"
Yue’er menggigit bibirnya, penasaran. "Siapa?"
Xi’er menegakkan tubuhnya, menatap jauh ke langit, seolah membayangkan sosok mengerikan itu.
"Pangeran Iblis…" katanya pelan, tapi penuh tekanan. "Dengan tanduk hitam yang berkilau di bawah cahaya bulan, mata merah yang bersinar seperti neraka, dan sayap gelap yang menutupi langit! Dia turun dari langit dengan api hitam yang membakar segalanya!"
Xi’er kemudian melangkah mundur, seperti sedang menghadapi musuh yang jauh lebih kuat.
"Pasukan Pembasmi Iblis mencoba untuk melawan, tapi satu per satu dari mereka berjatuhan! Tidak ada yang bisa menandingi kekuatan Pangeran Iblis!"
Yue’er menutup mulutnya dengan kedua tangannya, wajahnya yang imut penuh kekhawatiran. "Lalu bagaimana? Apakah mereka semua mati?"
Xi’er mengangkat rantingnya tinggi-tinggi.
"Tidak! Karena saat itulah… Pewaris Dewa Naga muncul!"
Ia mengayunkan rantingnya ke depan, matanya bersinar penuh keyakinan.
"Dia turun dari langit dengan cahaya emas yang menyilaukan! Rambut peraknya berkibar seperti api suci! Matanya bersinar emas seperti matahari tanpa batas!"
Yue’er terpesona, nyaris lupa berkedip.
"Pewaris Dewa Naga dan Pangeran Iblis bertarung! Pedang suci melawan api kegelapan! Mereka bertarung selama tiga hari tiga malam, mengguncang seluruh benua!"
Xi’er melompat ke atas batu lagi, menebas udara dengan rantingnya. "ZRAAK! Pedangnya beradu! BOOM! Gunung-gunung hancur! BUM! Lautan terbelah!"
Yue’er berpegangan erat pada boneka kelincinya, matanya berbinar penuh imajinasi. "Dan akhirnya?!"
Xi’er menurunkan rantingnya perlahan, wajahnya menjadi lebih serius. "Akhirnya… Pangeran Iblis terluka parah. Tapi sebelum bisa dibunuh, dia melarikan diri ke kegelapan."
Yue’er membuka mulutnya sedikit. "Jadi… dia masih hidup sampai sekarang?"
"Ya. Dan suatu hari nanti, dia akan kembali…" jawab anak lelaki itu penuh keyakinan.
Yue’er menggenggam bonekanya lebih erat, lalu menatap Xi’er dengan kagum. "Tapi jika dia kembali, Pewaris Dewa Naga pasti akan mengalahkannya lagi, kan?"
Xi’er menepuk dadanya dengan bangga. "Tentu saja! Dan kali ini, aku yang akan menjadi Pewaris Dewa Naga!"
Yue’er tertawa kecil, lalu bertepuk tangan. "Kalau begitu, aku percaya padamu, Xi’er!"
Sementara itu, di seberang taman yang diterangi cahaya keemasan senja, seorang wanita berdiri dengan anggun. Gaun putihnya berkibar tertiup angin sore, menciptakan bayangan lembut di atas rerumputan.
Dia adalah Seo Yun yang sekarang berganti nama menjadi Seo Fei setelah menikah bersama Liang Fei. Matanya yang jernih menatap putranya dengan lembut, sementara bibirnya membentuk senyuman tipis yang mengandung kehangatan serta sedikit rasa geli.
Putranya, Xi Fei, berdiri tegap di hadapan Zhang Yue, putri dari Zhang Tao dan Lin Hua, yang kini mengubah marganya menjadi Zhang Hua setelah menikah.
Xi Fei mengayunkan ranting kayunya dengan penuh semangat, membesar-besarkan kisah yang ia ceritakan demi terlihat lebih hebat di mata teman gadisnya. Seo Fei menggeleng pelan.
"Bocah ini... Sama seperti ayahnya," pikir Seo Fei bahagia.
Ia khirnya melangkah mendekati kedua anak itu dengan pelan sehingga langkahnya nyaris tanpa suara di atas rerumputan.
Xi Fei, yang sedang berkisah tentang "serangan dahsyat yang mengguncang langit dan bumi," tiba-tiba menghentikan aksinya saat melihat ibunya berdiri tidak jauh dari mereka.
“Ibu!” serunya, sedikit terkejut tetapi tetap berusaha mempertahankan sikap gagahnya.
Zhang Yue menoleh dan segera menundukkan kepala dengan sopan. “Selamat sore, Bibi Fei.”
Seo Fei tersenyum lembut, lalu berlutut dan mengusap kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang. Rambut lembut Zhang Yue terasa sehalus sutra di jemarinya.
“Ibumu mencarimu, Yue’er. Pulanglah sebelum dia khawatir,” ucapnya dengan suara hangat.
Zhang Yue mengangkat wajahnya dengan mata sedikit melebar. “Oh iya! Aku sampai lupa waktu!”
Xi Fei, yang tadinya masih ingin melanjutkan kisah heroiknya, hanya bisa menurunkan rantingnya dengan sedikit kecewa. “Kita belum selesai, Yue’er!”
Zhang Yue terkikik. “Besok kita lanjutkan, ya?”
Xi Fei terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk dengan ekspresi serius. “Baiklah! Tapi besok aku akan menceritakan bagian di mana aku—eh, maksudku Pewaris Dewa Naga—mengalahkan Pangeran Iblis dengan teknik pamungkasnya!”
Seo Fei menahan tawa mendengar putranya yang tidak bisa berhenti membesar-besarkan kisahnya. Sementara itu, Zhang Yue hanya tertawa kecil, lalu melambaikan tangan sebelum berlari kecil meninggalkan taman.
Xi Fei menatap punggung Zhang Yue sampai gadis itu benar-benar menghilang di balik gerbang taman, lalu menghela napas pelan.
“Xi'er,” panggil Seo Fei lembut, membuat bocah itu menoleh.
“Ya, Ibu?”
“Hari sudah mulai gelap. Ayo masuk ke dalam,” ajaknya sambil meraih tangan kecil putranya.
Xi Fei menggenggam tangan ibunya dan mulai berjalan bersama, langkah kecilnya mengikuti irama langkah anggun Seo Fei. Mereka melewati taman yang mulai diselimuti cahaya temaram.
Saat mereka memasuki istana, Xi Fei menoleh ke arah ibunya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
“Ibu, di mana Ayah?” tanyanya polos.
Seo Fei menoleh dan menatap putranya dengan lembut. “Ayahmu sedang rapat dengan yang lainnya.”
Xi Fei mengerutkan kening. “Kenapa Ayah selalu rapat?”
Seo Fei menoleh kearah putranya yang kini sedikit cemberut. Ia mengusap kepala anak itu dan berkata, “Karena Ayahmu adalah seseorang yang harus melindungi banyak orang. Itu tugasnya sebagai Kaisar.”
Xi Fei berpikir sejenak sebelum mengangguk paham. “Kalau begitu, aku juga harus menjadi kuat supaya bisa membantu Ayah nanti!”
Seo Fei tertawa kecil dan meremas tangan putranya dengan lembut. “Tentu saja, sayang. Suatu hari nanti, kamu akan menjadi seseorang yang sangat hebat,” katanya dengan keyakinan tulus.
"Hm! Aku jadi tidak sabar!" sahut Xi Fei antusias.
Mereka terus berjalan memasuki istana, sementara di kejauhan, langit mulai berubah menjadi ungu kebiruan, menandakan malam yang akan segera tiba.
Di dalam kamar yang luas dan nyaman, cahaya lentera berpendar lembut, menciptakan suasana tenang. Samar-samar, aroma melati menguar di udara, membawa ketenangan yang menyelimuti malam.
Seo Fei duduk di depan cermin besar berbingkai emas. Gaun sutra putih membalut tubuhnya, sementara rambut peraknya tergerai panjang, berkilauan di bawah cahaya bulan yang menyelinap dari jendela. Jemarinya bergerak pelan, menyisir helaian rambutnya dengan penuh ketelitian. Suara lembut antara sisir dan rambut mengisi keheningan kamar.
Pantulan cermin memperlihatkan sesosok pria yang baru saja memasuki ruangan. Liang Fei, Kaisar Benua Feng, melangkah mendekat dengan gerakan tenang.
Rambut putihnya yang dulu panjang kini lebih pendek, memberi kesan tegas namun tetap elegan. Mata emasnya berkilauan seperti permata, menyimpan kebijaksanaan, kekuatan, dan ketenangan yang hanya ia tunjukkan kepada istrinya.
Tanpa suara, ia berdiri di belakang Seo Fei, kemudian melingkarkan lengannya di pinggang istrinya. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan yang selalu menenangkannya.
"Kau terlihat lelah," ujar Seo Fei, suaranya selembut angin malam.
Liang Fei menghela panjang. "Rapat itu membosankan," gumamnya. "Aku lebih suka berada di sini bersamamu."
Seo Fei meletakkan sisir di atas meja, kemudian menggenggam tangan suaminya. "Kalau begitu, berhentilah bekerja terlalu keras. Setidaknya, luangkan lebih banyak waktu untuk Xi’er."
Liang Fei membuka matanya. "Xi’er…"
"Dia mengagumimu," lanjut Seo Fei. "Setiap hari, dia selalu bercerita tentang bagaimana dia ingin menjadi sepertimu."
Liang Fei terdiam. Sejenak, ia tampak seperti seseorang yang sedang berusaha memahami sesuatu yang asing baginya.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi seorang ayah," ucapnya pelan.
Seo Fei meremas tangannya, mencoba memberi kehangatan. "Kau hanya perlu bersamanya. Itu sudah cukup."
Tatapan Liang Fei menerawang ke arah cermin. "Aku ragu itu cukup... Aku tidak memiliki ayah atau ibu. Kakek memungutku saat aku masih kecil. Katanya, orang tuaku tewas diserang bandit. Tapi… dia tak pernah menunjukkan dimana makam mereka. Seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan."
Seo Fei membalikkan tubuhnya, menatap suaminya dengan lembut. Jemarinya menyentuh pipi pria itu, menarik perhatiannya. "Kau mungkin tidak tahu siapa mereka," katanya, "tapi kau bisa menjadi ayah yang lebih baik untuk Xi’er daripada siapa pun."
Liang Fei menatapnya dalam-dalam, lalu menariknya ke dalam pelukannya.
"Aku akan mencoba," bisiknya.
Seo Fei membalas pelukan itu dengan penuh kasih. "Itu sudah lebih dari cukup," ucapnya lembut.
Di luar jendela, bintang-bintang bertaburan di langit, menyaksikan dua hati yang saling menyembuhkan satu sama lain.
...
Pagi di Istana Kekaisaran Fengyin dimulai dengan ketenangan. Sinar matahari keemasan menerobos tirai sutra, menerangi ruang makan yang luas dengan pancaran hangat. Aroma teh melati dan hidangan segar memenuhi udara, menciptakan suasana yang nyaman.
Di meja panjang berhias ukiran naga emas, Liang Fei duduk dengan tenang. Berbeda dari biasanya yang selalu sibuk dengan dokumen dan urusan negara, Liang Fei kali ini benar-benar meluangkan waktu bersama keluarganya.
Di sebelahnya, Seo Fei duduk sambil menuangkan teh ke cangkirnya. Sementara itu, di seberang mereka, Xi Fei yang masih kecil duduk tegap, wajahnya penuh semangat saat menyantap makanannya dengan lahap. Sesekali, anak itu mengayunkan kakinya di bawah meja.
Setelah beberapa saat dalam keheningan yang nyaman, Liang Fei akhirnya membuka suara.
"Xi’er."
Bocah itu langsung mengangkat wajahnya. "Ya, Ayah?"
Liang Fei menaruh sumpitnya. "Bagaimana pelajaranmu di akademi?"
Xi Fei langsung menegakkan punggungnya, seperti seorang prajurit kecil. "Aku belajar banyak! Guru mengajari kami membaca, menulis, dan berhitung! Aku juga belajar tentang para kaisar terdahulu dan bagaimana mereka memimpin rakyatnya!"
Liang Fei mengangguk. "Bagus. Menjadi kuat bukan hanya soal pedang, tapi juga soal pengetahuan."
Xi Fei mendengarkan dengan antusias, meskipun dalam hatinya, ia lebih tertarik pada kisah-kisah pendekar yang mengalahkan iblis.
Seo Fei menoleh ke arah suaminya. "Sekolah yang kau dirikan membawa perubahan besar."
Liang Fei menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Pendidikan harus menjadi hak semua orang, bukan hanya mereka yang lahir dari keluarga kaya atau bangsawan. Itulah sebabnya aku mendirikan akademi untuk semua anak—pejuang, pedagang, bahkan petani."
Xi Fei menatap ayahnya dengan kagum. "Banyak temanku berasal dari desa-desa kecil. Mereka senang bisa belajar di sana."
Liang Fei tersenyum kecil. "Aku ingin setiap anak di Benua Feng memiliki kesempatan yang sama. Kita tidak hanya butuh petarung, tapi juga ilmuwan, tabib, insinyur, dan cendekiawan."
Xi Fei menelan makanannya dengan cepat saat mendengar suara ayahnya lagi.
"Xi’er," panggil Liang Fei, kali ini dengan nada lebih santai.
"Ya, Ayah?"
"Apa kau ingin pergi berburu denganku besok?"
Mata Xi Fei langsung berbinar. "Benarkah?! Aku boleh ikut berburu dengan Ayah?"
Seo Fei melirik suaminya. "Kau ingin membawa pengawal?"
"Tidak. Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengannya."
Xi Fei nyaris melompat kegirangan. "Aku pasti akan siap, Ayah!"
Seo Fei hanya tersenyum melihat kedekatan yang mulai terjalin di antara keduanya.
Pagi yang cerah di ibu kota Feng.
Langit membentang luas tanpa awan, sementara sinar matahari keemasan menyinari jalanan yang mulai ramai. Pedagang menggelar dagangannya, para pelajar bergegas menuju akademi, dan suara kehidupan kota menggema di udara pagi.
Di tengah keramaian itu, seorang bocah lelaki melangkah dengan percaya diri. Seragam putih dengan aksen biru membalut tubuhnya, simbol kesetaraan akademi yang meniadakan perbedaan antara bangsawan, pedagang, dan rakyat biasa.
Xi Fei menegakkan punggung. Meski darah kekaisaran mengalir dalam dirinya, di tempat ini ia bukan seorang pangeran—melainkan anak yang memiliki impian.
"Ayo cepat, Xi Fei!" seru seorang bocah di sampingnya. "Kalau terlambat, kita bisa dihukum menyapu halaman akademi!"
Xi Fei terkekeh, mempercepat langkah. "Baiklah, baiklah!"
...
Di dalam Istana Fengyin, Liang Fei menatap tumpukan dokumen di hadapannya.
Tangannya bergerak lincah, menyelesaikan laporan demi laporan tanpa jeda. Hari ini, ia berniat menyelesaikan tugas lebih awal. Ia memiliki janji, dan tidak ingin mengecewakan putranya.
Namun, sebelum ia merampungkan pekerjaannya, pintu ruang kerja terbuka.
Seorang pria muda melangkah masuk dengan tegap. Matanya tajam, membawa ketenangan yang mencerminkan kecerdasannya.
"Yang Mulia." Ia memberi hormat. "Saya membawa informasi dari tahanan."
Liang Fei mengangkat kepala. "Tahanan siapa?"
"Zhou Lin."
Ruangan seketika terasa lebih dingin. Liang Fei meletakkan kuas, menatap utusan itu dalam diam.
Zhou Lin. Mantan Patriark Sekte Naga Putih. Ayah dari Mei Lin. Seorang pria yang telah membisu selama tujuh tahun di dalam penjara. Jika ia akhirnya mau berbicara, pasti ada alasan besar di baliknya.
"Dia akhirnya berbicara?" Liang Fei bertanya, suaranya merendah.
Sebuah senyum tipis muncul di wajah pria itu. "Bukan karena kehendaknya sendiri. Setelah bertahun-tahun dalam kegelapan, bahkan seseorang seperti dia pun bisa retak."
Liang Fei tidak membuang waktu. "Bawa aku padanya."
...
Penjara bawah tanah Istana Kekaisaran.
Udara lembap dan dingin merayap di dinding batu yang gelap. Nyala obor yang redup menciptakan bayangan panjang, sementara suara tetesan air terdengar samar di kejauhan.
Di ujung lorong, seorang pria tua duduk bersandar pada dinding selnya. Rambut panjangnya berantakan, pakaian compang-camping menempel pada tubuh kurusnya. Matanya cekung, tetapi masih menyimpan kilatan kebencian.
Ketika langkah kaki mereka mendekat, Zhou Lin mengangkat kepala.
"Hah… Kaisar Agung akhirnya sudi mengunjungiku." Suaranya parau, seperti belum digunakan dalam waktu lama. "Apa kau datang untuk membunuhku? Atau hanya ingin mendengar ocehanku?"
Liang Fei tetap berdiri tegak. "Aku datang untuk mendengar kebenaran."
Zhou Lin tertawa lirih. "Kebenaran?" Ia menggeleng. "Tidak ada yang namanya kebenaran, Kaisar. Yang ada hanyalah cerita yang kau pilih untuk percaya."
Sorot mata Liang Fei tak berubah, tajam dan menusuk.
"Katakan padaku." Suaranya tenang, tetapi penuh otoritas. "Siapa pemimpin sebenarnya dari Sekte Demonic?"
Zhou Lin menyeringai. "Kau ingin tahu siapa dia?" Ia mendekat ke jeruji, suaranya merendah seolah mengungkap rahasia besar. "Dia adalah pria yang akan membunuhmu."
Liang Fei tidak tergoyahkan.
"Kau pikir perang tujuh tahun lalu adalah kemenangan?" Zhou Lin berbisik. "Kau hanya menumpas pasukan luar kami. Tapi inti kekuatan kami… kau bahkan belum menyentuhnya."
Tatapan Liang Fei mengeras.
"Maksudmu?"
Zhou Lin terkekeh. "Sekte Demonic bukan hanya organisasi. Kami adalah bayangan yang tumbuh dari kedalaman neraka. Dan pemimpin kami… dia lebih dari sekadar manusia biasa."
Keheningan menyelimuti ruangan.
Setelah beberapa saat, Zhou Lin berbicara lagi. "Baiklah. Kau ingin tahu apa yang ada di luar Benua Feng?"
Ia menatap langit-langit gelap di atasnya, suaranya penuh ketidakpastian.
"Benua ini hanyalah bagian terkecil dari dunia. Di luar sana, ada empat benua besar yang telah jatuh ke dalam kegelapan."
Liang Fei tidak menyela, membiarkan pria itu berbicara.
Zhou Lin menarik napas, lalu mulai menyebutkan nama-nama benua yang telah dikuasai Sekte Demonic.
---
Benua Xuemo
Jauh di utara, tanah ini tertutup salju dan es abadi. Dulunya, suku-suku pejuang yang kuat menguasai wilayah ini, membangun peradaban berbasis klan di dalam gua-gua es.
Namun, kedatangan Sekte Demonic mengubah segalanya. Mereka membantai para pejuang dan mengubah mereka menjadi pasukan iblis es. Kini, hanya monster buas yang berkeliaran di sana, sementara benua ini menjadi benteng dingin Sekte Demonic.
Benua Lingxu
Di timur, tanah ini dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan seni penyembuhan. Akademi-akademi besar pernah berdiri megah di sini, menyimpan pengetahuan berusia ribuan tahun.
Namun, semua itu kini telah menjadi reruntuhan. Sekte Demonic menguasai dengan sihir hitam, menodai tempat-tempat suci dan mengubah kuil-kuil besar menjadi menara kutukan.
Benua Heilong
Di barat, hutan hitam beracun meliputi hampir seluruh daratan. Dulunya, berbagai suku dan kerajaan kecil hidup berdampingan dengan alam.
Ketika Sekte Demonic datang, mereka mengubah tempat ini menjadi lahan berburu para iblis. Pepohonan yang dulu hijau kini berwarna ungu kehitaman, dengan akar-akar liar yang menjalar ganas.
Benua Tianluo
Di selatan, tempat ini adalah pusat segala kehancuran. Patriark Sekte Demonic bersemayam di sini, memerintah dari Kastil Kegelapan—benteng raksasa yang melayang di langit, dikelilingi awan hitam yang tak pernah sirna.
Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah iblis di dunia ini sekarang. Yang jelas, di setiap benua yang telah jatuh, terdapat dua hingga tiga Iblis Kuno yang masing-masing memimpin wilayahnya.
Mereka bukan sekadar makhluk buas, tetapi entitas yang kekuatannya melampaui batas manusia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!