NovelToon NovelToon

A&K

Kilas 1

 "Al, pesanin gue mie ayam dong, lapar nih!" Seru gadis berseragam putih abu yang sedang duduk berkumpul di salah satu meja panjang---kantin sekolah. Riuh suara siswa menghiasi kepadatan yang terjadi di kantin yang terletak di belakang sekolah SMK Mulia, yang berada di pusat kota Jambi.

"Sipp,bentar." Jawab seorang lagi, yang

kini sudah berjalan menghampiri penjual mie ayam.

Sambil menunggu, gadis yang tadi minta dipesankan mie ayam itu membuka ponselnya, sekedar mengecek beberapa notif yang muncul selama waktu pelajaran berlangsung. Nihil! Tidak ada satu pun notif yang masuk dari akun sosial medianya. Bahkan sekedar chat dari operator LINE pun enggan berkunjungke ponsel gadis itu, membuat si pemilik ponsel menghembuskan nafas lelah.

"Jomblo mah bisa apa? Operator timeline aja udah bosen ngirimin gue chat. Hmphh!" Dengan kesal, gadis itu memasukan kembali benda pipih dengan cover stitch itu kedalam saku roknya.

"Oke ini dia pesanannya!! Taro disitu aja bude." Wanita yang dipanggil ‘bude’itu pun mengangguk, lantas menaruh dua mangkok mie ayam di atas meja.

"Makasih bude." Ucapnya lagi ketika semua pesanan sudah tersaji diatas meja.

"By the way, Helen dimana Kai? Tumben belum kelihatan jam segini." Gadis yang di panggil 'Kai' itu pun menoleh sebelum tadi mengambil sendok beserta couple-nya--- garpu dan meletakkannya di atas mangkok mie.

"Nggak tahu. Tadi sih pamitnya mau ngantar absen ke meja Bu Gina." Jawabnya sembari mengaduk-aduk mangkok berisikan mie ayam itu.

“Halah! Palingan ngurusin remedian sejarah gua kemaren. Emang tu guru nggak pernah ngebiarin gue hidup tenang kali!”

Tiba-tiba suara langkah kaki mendekati meja kedua gadis itu, yang tidak lain adalah Helen dengan tangan yang memeluk sebuah agenda besar berwarna biru kotak-kotak. Isinya? Sudah pasti daftar soal remed sejarah minggu ini.

"Udah selesai dramanya? Minggir, gue mau duduk."

Kaira berangsut minggir, "Lama banget nganter agendanya, gue sama Alia belum mesanin makanan buat lo, lo mau makan apa?" Tanya Kaira pada gadis yang baru saja duduk di sisi kanannya. Siku tangannya ia gunakan untuk menahan bobot tubuhnya di atas meja makan sembari memasang ekspresi datar terhadap siapa saja makhuk bumi yang ia temui.

"Biasa, Bu Gina minta rekap agenda bulan lalu.

Jadi gue balik ke kelas buat ambil tu agenda." Jawabnya seraya mengambil alih mangkok mie ayam Kaira lalu menyantap habis isinya. "Gak usah pesenin lah, gue udah kenyang juga." Ucap Helen

lalu menggeser mangkok mie kosong itu di depan hadapan Kaira.

Kaira menatap sinis, mangkok berisikan mie ayam itu sudah kandas "Lo kenyang, lah gue baru nyium

baunya aja udah alhamdulillah.”

Diliriknya jam tangan yang menunjukan pukul 10.25 yang berarti lima menit lagi jam istirahat akan berakhir.

Damn! Tidak ada waktu lagi untuk Kaira memesan makanan.

"Drama terus lo berdua! Minggir gue mau ke kelas." Tanpa basa-basi Helen melangkah pergi meninggalkan area kantin, diikuti Alia disisinya. Dan tinggallah kaira yang duduk sendirian sambil menatap kedua mangkok mie ayam didepannya,

Seorang laki-laki datang dan tanpa permisi duduk disamping Kaira. Seolah hal itu sudah biasa terjadi diantara mereka.

"Enak tu. Tapi sayang udah habis." Laki-laki itu

menunjuk mangkok kosong bekas mie ayam 'sisa' Alia tadi.

"Enak banget, aku aja sampai nambah." Tunjuk Kaira

pada dua mangkok itu diiringi senyum andalannya.

"Rakus!" Hardik laki-laki itu seraya memukul pelan

puncak kepala Kaira.

"Bang! Jilbab Kaira rusak nanti!" Omel Kaira yang

kini sudah sibuk menata hijabnya yang sedikit maju akibat tepukan sang kakak.

"Maaf-maaf, sini deh abang benerin." Laki-laki yang di panggil 'abang' itu pun langsung memperbaiki hijab sang adik, memasukkan beberapa helai rambut yang keluar dari anak jilbab, serta memundurkannya supaya

sinkron dengan bentuk wajah Kaira.

"Udah selesai. Gih sana masuk kelas, bentar lagi bel

masuk." Titah sang kakak dan dibalas anggukan kepala Kaira diiringi senyum manisnya.

***

Sembari berjalan menuju kelas, langkah kaki Kaira mendadak berhenti seolah di depan sana ada suatu hal yang sangat tidak ingin ia temui. Fokus matanya tertuju hanya pada satu objek. Wajah yang mulanya berseri perlahan mulai memudar seiring bertambah dekatnya objek tersebut.

"Gila si Eca! Mau sekolah apa mau kondangan tu anak? Dempulnya tebel banget, udah kayak adonan bakwan tau kagak! Ha-ha-ha." Tiga orang laki-laki berjalan berlawanan arah dari Kaira, dengan tawa yang menggema sepanjang lorong koridor. Yang satu berpostur tubuh pendek dengan rambut cepak. Lalu yang satunya berpostur tinggi dengan kacamata hitam kotak, dan ditengah berkulit putih dengan postur tinggi lebih dari yang lain.

Ketiganya seolah tidak perduli dengan tatapan

orang lain yang menatap mereka kagum, kesal, jijik, aneh dan segala macam lainnya. Mereka tetap

melangkah dengan suara yang menggelegar. Seakan ini sekolah bapak mereka yang buat!

"Tobat! Nyesel gue lewat kelas itu lagi, berasa lagi di

lampu merah tau kagak! Di godain sama om-om banci ." Tambah teman satunya lagi, tak luput raut jijik yang mereka tampilkan.

Teman yang satunya lagi menyahut "Aslii! Horror gitu auranya."

Raut wajah bahagia dari ketiga laki-laki itu membuat Kaira muak--- seolah mereka tidak pantas menunjukkan raut bahagia itu saat berpapasan

dengannya.

Kaira memutar haluan, hendak mencari jalan lain untuk menuju kelasnya namun langkah gadis itu terhenti saat satu tangan menggenggam pergelangan tangannya, otomatis gadis itu menghentikan langkahnya dan memalingkan kepala ke arah tangan yang digenggam.

"Lepas! Gak usah pegang-pegang. Lo bukan mahram gue!." Desis Kaira dingin. Raut datar turut menemani ekspresi gadis itu saat ini. Tidak perduli ucapannya terdengar kasar atau tidak, menurutnya itu sama saja. Karena ada pengecualian terhadap makhluk satu itu.

Seolah dikomando, tangan yang menggenggam itu pun lantas turun dan beralih ke satu sisi kantong celana abu miliknya.

"Sorry." Hanya itu yang dapatlaki-laki itu katakan.

Kaira berdecih.

Menganggap laki-laki itu adalah manusia yang paling hina yang pernah ia temui semasahidupnya. Tidak tau apa sebab, namun ada satu amarah tiap

kali ia berpapasan dengan laki-laki ini.

"Salah apa sih gue ke lo? Kenapa lo ngomongnya nge-gas terus ke gue?" Tanya laki-laki itu dengan suara yang tenang. Heran, laki-laki itu memang nakal tapi dia belum pernah bertemu seseorang yang

terang-terangan menunjukkan ujaran kebencian padanya, terlebih laki-laki itu belum pernah melakukan kenakalan apa pun terhadap Kaira.

"Gue rasa lo belum pikun.” Kata Kaira.

“Belum pernah kejedot-kan kepala lu?"

Bukannya menjawab, justru kalimat pertanyaan yang sama yang keluar dari bibir gadis itu.

Laki-laki itu terdiam, tidak tahu harus mambalas apa. Disaat itu, Kaira mengambil kesempatan untuk pergi melanjutkan perjalanannya ke kelas.

Masih dengan tampang bingung. Sontak, pundak laki-laki itu ditepuk oleh salah satu sahabatnya seraya mengatakan " Sabar aja Mar. Anggap aja ini cobaan orang ganteng!”

***

"Topan! Lo tu piket hari ini, cepet bangun deh. Molor aja kerjaan lo!

 Ayo! Kalo gak gue timpuk ni pake sapu!!!." Teriak seorang gadis berkaca mata terhadap anak laki-laki yang sedang tidur dihadapannya.

Lelaki itu bernama Topan, rambutnya yang panjang sampai menutupi mata membuatnya selalu menjadi sasaran empuk guru BK saat razia sekolah.

Seragam sekolah yang tidak dimasukkan serta tindik hitam di telinga kirinyacukup membuat dia dicap sebagai anak nakal seantreo sekolah.

"Gue ngantuk." Jawab cowok itu datar, masih dengan

wajah yang ditelungkupkan.

Geram. Gadis itu pun menendang bagian kaki meja tempat kepala si laki-laki itu tidur. Alhasil, laki-laki itu pun bangun dengan kepala yang sudah dalam posisi tegak. Namun,tidak ada raut kesal atau marah yang dia tampakkan, hanya raut datar seakan mengatakan "Udah selesai nendangnya?"

"Piket Pan." Ucap gadis itu lagi dengan suara yang

lirih. Bosan karena harus setip hari mengingatkan Topan tentang kewajiban paginya.

Lelaki itu menatap sekilas gadis yang ber-name tag Chairany tersebut, lantas mengambil alih sapu yang semula dia pegang.

Ia pun mulai menyapu satu lorong meja bagiannya, hal itu menjadi daya tarik kaum hawa untuk tidak mengalihkan pandangan dari aktivitas menyapu Topan. Tatapan-tatapan kagum tidak luput dari

wajah gadis-gadis yang memang teman sekelas Topan. Biarpun dicap nakal, tetap saja masih ada siswi-siswi yang tertarik dengan kharisma lelaki itu.

"Udah beres. Gue bisa lanjut tidur lagikan?" Nada pertanyaan yang Topan berikan pada Chairany, sang ketua kelas, terdengar sangat datar dan seolah pertanyaan itu tidak butuh jawaban karena

sebelum Chairany menjawab, Topan lebih dulu terbang ke alam mimpi.

Chairany menatap sendu punggung laki-laki di depannya. "Sorry Pan." Lirih gadis itu dan segera pergi meninggalkan Topan yang terlelap.

***

Suasana mushola sekolah terlihat sepi saat jam istirahat berlangsung. Hanya ada segelintir murid bahkan guru yang turut melaksanakan shalat Dhuha. Termasuk laki-laki yang sedang mengambil wudhu, Pandu, laki-laki yang menjabat sebagai ketua rohis SMK Mulia.

Rutinitasnya setiap istirahat adalah melaksanakan shalat Dhuha, berbeda dengan siswa lain yang lebih memilih untuk kumpul di kantin, menangani perut mereka yang sudah kronis minta diisi.

"Dhuha Ndu?" Sapa teman satu kelasnya, Arif.

"Always bro." Jawabnya setelah selesai mengambil wudhu. Pandu meninggalkan Arif yang baru datang dan segera melaksanakan tujuan utamanya tadi.

Sekitar lima sampai sepuluh menit, Pandu telah selesai dengan rangkaian ibadahnya, sama halnya dengan Arif, laki-laki itu juga telahselesai.

Arif menatap lekat bekas luka yang ada di lengan kanan Pandu. Luka yang disebabkan saat dirinya masih duduk di bangku kelas IX, Arif tahu betul apa penyebabnya. Dengan senyum tipis laki-laki itu berkata. "Luka lo udah sembuh. Apa kabar dengan hati lo?" Tunjuknya tepat dibagian dada.

Pandu tersenyum kecut seraya membalas "Luka itu gak bakal bisa sembuh, sebelum gue minta maaf sama anak dari wanita itu."

Ada hening sesaat. Dan Pandu kembali diingatknan tentang kejadian yang menjadi penyebab adanya luka sayatan di lengan kanannya.

Kembali Pandu melanjutkan "Dan sayangnya, gue gak tahu sama sekali. Gue terlalu pengecut

untuk tahu fakta yang sebenarnya."

Kilas 2

Jikalau waktu bisa diubah, maka aku akan dengan senang hati untuk memilih berjalan kaki menerobos derasnya hujan sore itu. Jikalau waktu bisa diubah, maka aku akan meminta pada sang pencipta untuk membawa orang yang telah menyebabkan bundaku meninggal ikut bersama dengannya.

Aku kejam? Mungkin.

Karena aku membencinya. Percayalah jika kalian ada di posisiku mungkin kalian akan melakukan hal yang sama. Kehilangan orang yang berharga, apa itu tidak menyakitkan?

Jika kalian kira hidupku baik-baik saja saat insiden dua tahun lalu, maka kalian salah besar. Ada lubang

kebencian yang mulai tercipta dihati ini, menganga setiap kali aku mengingat peristiwa itu.

Lamunanku buyar saat satu suara masuk melewati pendengaran, kusadari saat ini kami sedang berada di

dalam kelas menunggu Bu Mila--- guru MTK yang sejak dua puluh menit lalu belum juga datang.

"Lo udah dapat kabar Kai? Dua minggu lagi eskul ngadain trip ke gunung." Ucap Helen dari arah samping.

Ya, Helen memang teman sebangkuku. Sedangkan Alia, dia duduk di depan bersama Lala, si bendahara

kelas.

Wajah yang tadinya kutekuk, perlahan berganti dengan raut bahagia, seolah tidak terjadi masalah apa-apa sebelumnya. Aku pun merespon. "Serius? Wah

kalau gitu gue harus ikut."

 Namun ternyata indra perasa Helen lebih kuat. Gadis itu menatapku datar, sangat datar. Ketahuilah, hanya ada dua ekspresi yang gadis itu miliki, datar atau sangat datar. Pribadi yang cukup aneh untuk dijadikan sahabat,

"Lo ada masalah? Cerita!" Aku seolah ditodong oleh pertanyaan Helen barusan yang kini menatapku dengan tampang memaksa.

Aku bergidik ngeri "Lo mirip banget dengan om-om ojek pengkolan yang maksa orang-orang buat naik ke

motornya."

 "Demi si mata duitan Tuan Krab, bacot lo berdua tu ngalahin Imul kalo lagi marah tahu gak!" Satu tangan gadis itu ia hentakan ke atas meja sehingga menimbulkan bunyi berisik, otomatis penghuni

kelas yang lagi asik mengobrol pun langsung melotot ke arahAlia dengan pandangan suram.

"Gak sadar, yang bacot itu, lo Al." Tutur Helen sembari memijit pelipisnya yang terasa penat.

  Merasa namanya disebut, cowok yang dipanggil 'Imul' itu pun lantas menoleh dengan pandangan meminta jawaban, sementara Alia yang ditatap memasang wajah meringis menyadari kebodohan yang dilakukannya tadi.

Imul. Cowok bernama lengkap Haris Mulyanto itu dikenal sebagai kutu buku seantreo sekolah. Asal nama Imul itu sendiri diciptakan oleh Topan, anak kelas sebelah yang tanpa dosa buat nama panggilan Haris. Mendadak viral, nama itu pun mulai dipakai semua orang.

"Selamat siang anak-anak." Seorang guru muda, Buk Mila berjalan masuk ke dalam kelas dengan tas punggung hitam yang disampirkan ke bahu kanannya. Bisa dilihat apa aja yang guru wanita itu bawa, terlihat dari bentuk luarnya yang sangat besar dan padat. Mungkin, satu buah laptop ditemani dengan berbagai buku cetak MTK yang tebalnya itu masyaallah, yang gak segan-segan bikin otak jadi sariawan.Dan bikin Alia guling-guling ditengah lapangan karena sangking lemotnya tentang pelajaran matematika.

Terdengar helaan nafas dari arah depan. Alia, gadis itu pembenci pelajaran MTK.

"Rasanya gue pengen kabur tiap kali lihat buku cetak itu."

"Gue kayaknya kena penyakit sindrom MTK deh!"  Lirih Alia sambil menatapku melas seolah minta bantuan bahwa ini adalah bencana yang akan buat dia mati saat itu juga.

Oke, aku terlalu lebay. Hanya saja tampang Alia yang melas itu membuatku sedikit prihatin dengan nasib rapornya yang tiap semester bertinta merah pada pelajaran MTK.

"Baik. Minggu lalu ada PR bukan? Sekarang kumpulkan semua buku PR kalian dan INGAT! siapa saja yang tidak mengerjakan silahkan keluar dari ruangan ini dan kerjakan PRnya di luar sampai pelajaran saya selesai. Mengerti?" Guru muda itu menatap satu persatu wajah siswa yang ada di kelas dengan tampang yang dibuat seseram mungkin seolah memberi tahu bahwa tidak ada toleransi apapun dalam kelasnya.

Bukan apa-apa, kesadisan guru itu sudah terkenal dari kelas X sampai kelas XII sekalipun, bahkan rumornya guru itu lebih sadis dari guru BK yang lagi interogasi murid-murid yang ketahuan melanggar peraturan sekolah.

Kami satu kelas sudah sepakat untuk tidak mengerjakan PR dengan materi trigonometri yang sudah dijelaskan oleh Bu Mila Minggu lalu. Tapi itu baru satu kali pertemuan dan kuakui satu pun tidak ada yang lengket di kepala, termasuk Dea yang notabenen-nya rangking satu.

“Gua nggak ***** kan Kai?”Tanya Alia minggu lalu.

Saat mata kami saling melirik dengan pandangan was-was, Imul si kutu buku berjalan dari arah belakang dengan membawa buku PR yang tentunya sudah terisi semua.Dengan senyum bangga dia menghampiri meja guru lalu kembali lagi ke tempat duduk semula tanpa perasaan bersalah sekalipun.

Terkutuklah kau Imul!

Perasaan kami semakin takut saat Bu Mila melihat hanya satu dari empat puluh murid yang mengumpulkan tugas. Aura sadis pun mulai menyelimuti raut cantik dari guru muda ini.

"Apa ini? Cuman satu orang yang mengerjakan?"Tanya ibu itu dilengkapi lengkingan suara yang sukses membuat jantung kami jatuh ke tanah.

"Dea!” Pekik guru itu.

“Kamu rangking satu kenapa tidak mengumpul?" Pertanyaan itu ia lontarkan kepada Dea yang posisi duduknya sangat memprihatinkan, yaitu berhadapan langsung dengan meja guru. Otomatis Dea akan menelan semua tatapan tajam itu walau kepala gadis itu sudah ia tundukkan dalam-dalam.

Tidak ada jawaban dari Dea, ia terlihatsangat takut sekarang. Pamornya sebagai rangking satu langsung merosot lantaran sikap tidak solid dari Imul, si manusia penjilat.

Aku yakin, setelah jam pelajaran Bu Mila berakhir, sekelas tidak akan segan-segan untuk kembali mem-bully Imul dengan segala bentuk hinaan karena tidak memperdulikan sikap setia kawannya.

 Guru muda itu menghela nafas lelah lantas bertanya kembali, yang sayangnya pertanyaan itu dilemparkan kepadaku. "Kaira! Kamu juga tidak mengerjakan?" Tanpa dijawab pun sebenarnya guru itu sudah tahu, kan hanya Imul yang ngumpulin tugas!

Aku hanya menggeleng lemah, pasrah kalau akan dibentak Bu Mila dihadapan teman sekelas. Namun

sepertinya, kepasrahanku tidak membuahkanhasil, karena Bu Mila semakin mempertajam tatapannya.

Guru itu kembali berceloteh, memarahi sikap kami yang kompak tidak membuat PR pada mata pelajarannya. Bersikukuh bahwa materi yang dia sampaikan minggu lalu sudah sangat jelas dan berasumsi ahwa kami siswa XI 1 akan dengan mudah mengerjakan tugas yang beliau berikan.

Aku sedikit tersinggung engan pola pikir guru itu. Kami memang XI 1 tapi bukan berarti otak kami sudah hebat seperti Albert Einstein yang hanya satu kali pertemuan langsung bisa mengerjakan tugas yang dia berikan. Bahkan Albert Einstein pun mengalami ribuan kali kegagalan sebelum akhirnya dia berhasil.

Kami sama dengan kelas-kelas lain yang akrab disebut, 'kelas buangan’. Kami semua sama, hanya daya tangkap kami yang berbeda. Seringkali ada pengecualian untuk kelas yang tingkatannya

'1', menganggap bahwa itu adalah kelas dengan anak-anak yang pintar. Please, move your opinion and look us same with other.

Aku mulai lelah dengan petuah Bu Mila yang terus menasehati kami bahwa:kami adalah anak-anak pilihan dan kami dituntut untuk lebih unggul dari kelas lain. Bukannya aku durhaka tapi

mendengar kami ditinggi-tinggikan dari kelas lain membuatku sangat muak.

Semua manusia itu sama, ingat kisah Charles Darwin yang sewaktu kecil dianggap bodoh lantaran tidak menguasai dalam bidang akademik?

Ya, dia adalah salah satu tokoh dunia yang waktu kecil dianggap remeh oleh orang lain termasuk ayahnya sendiri. Namun siapa sangka ketertarikannya pada geologipun membawanya untuk berlayar dan mengunjungi banyak negeri di lautan Pasifik

selatan dan setelah itu, dia pun menulis sebuah buku yang berjudul The Origin Of Species. Dimana buku itu

sangat membatu para ilmuan dan peneliti pada zaman sekarang, so, jangan remehkan orang-orang yang kalian anggap bodoh, karena nasib tidak ada yang tahu.

Selama dua jam mata pelajaran berlangsung, akhirnya Bu Mila menghentikan ceramahnya. Itu pun berhenti lantaran bel pertukaran jam yang mengharuskan guru MTK itu menyudahi ceramahnya kali ini. Bisa kulihat, wajah guru itu masih belum puas dengan segala kata-kata yang ingin dia sampaikan.

Kami pun menghela nafas lega saat

punggung Bu Mila telah hilang dibalik daun pintu.

DANNNN

Waktunya pembalasan!

Serentak semua kepala menghadap ke arah Imul dengan tatapan membunuh, tak terkecuali juga Helen, gadis itu melayangkan tatapan super datarnya. Seolah dengan begitu, tatapannya bisa merubah sedikit daya pikir Imul untuk tidak menjatuhkan sesama teman. Namun, bukannya takut, cowok berkaca mata tebal itu malah menatap kami satu persatu seolah tidak merasa bersalah. Wah! Emang minta kina sikat ni bocah!

***

Musholla kali ini terlihat berbeda, mungkin karena jam istirahat kedua atau waktu dimana shalat Dzuhur telah tiba, maka bangunan berukuran medium

itu sudah terisi penuh saat adzan telah selesai.

Sama halnya dengan Pandu, laki-laki itu sudah selesai mengambil wudhu setelah lamanya mengantri.

Ahirnya Pandu pun mendapatkanshafyang paling depan, sejajar dengan para guru.

Hening saat shalat berlangsung, ke-khusyukkan nampak terlihat dari wajah-wajah orang yang shalat kala itu. Shalat di pimpin oleh Pak Ridwan selaku guru agama SMK Mulia. Selain pak Ridwan juga ada pak Sholahudin yang turut berganti menjadi imam shalat Dzuhur.

Karena ukuran mushollanya yang kurang besar otomatis akan ada jama'ah kedua setelah jama'ah

pertama selesai.

Pandu bergeser ke belakang, memberi tempat untuk teman lain yang akan mengikuti gelombang ke dua.

Laki-laki itu berjalan ke arah meja Bu Hana selaku guru agama, sekaligus pembina rohis SMK Mulia karena ada hal lain yang ingin dia bicarakan.

"Assalamu'alaikum Bu." Sapa Pandu saat berhadapan dengan Bu Hana---yang sedang melepas mukenahnya.

Bu Hana menjawab "Wa'alaikumsallam, kenapa Ndu?"

Pandu berdehem sejenak "Begini Bu, sepertinya sajadah kita ini kurang. Soalnya banyak teman-teman yang lain harus nunggu ronde ke dua lantaran udah gak ada tempat lagi untuk shalat.

Bagaimana kalau anak rohis patungan untuk membeli sajadah baru, sekitar empat gulung. Dibagi dua, untuk putra dan putri." Usul Pandu yang langsung

mendapat anggukan setuju dariguru agama itu.

Bu Hana mengangguk "Ya Ibu setuju. Umumkan ke anggota yang lain bahwa nanti sepulang sekolah akan adarapat."

Cowok ketua rohis itu pun tersenyum karena usulnya diterima oleh sang guru dan dengan cepat ia

membuka grup WA rohis dengan bunyi tulisan "Assalamu'alaikum, diharapkan seluruh anggota rohis dapat berkumpul di musholla setelah pulang

sekolah karena akan diadakan rapat penting."

Saat Pandu sedang mengetik, Bu Hana memanggil seorang gadis yang berjalan dari arah kantin.

"Rika!"

Yang dipanggil pun menoleh. Gadis berwajah manis, Rika Afnila Dengan muka sebal ia berjalan ke arah guru tersebut. "Saya Bu." Ucapnya malas.

 Bu Hana menggeleng pelan. Muridnya ini memang berbagai macam jenis. Dengan lembut guru wanita itu

bertanya "Sudah shalat kamu?"

Rika memutar bola matanya jengah, menurutnya...guru itu terlalu kepo dengan urusan pribadi Rika. Tiap kali lewat pasti ditanya "Udah shalat Rika?" Begitu terus sampe Rika bosan sendiri menjawab.

"Lagi halangan Bu." Jawaban yang sama saat ditanya dua minggu lalu.

Bu Hana menggeleng pelan "Halangan kamu lama ya, sudah dua minggu masih halangan. Lebih baik kamu

periksa ke dokter takutnya ada yang salah dari tubuh kamu." Bukannya guru itu tidak tahu, gadis itu setiap ditanya pasti akan menjawab 'lagi halangan' padahal sebenarnya gadis itu sudah bersih.

"Nanti deh Bu saya periksa." Jawab Rika sambil meminum minuman yang baru dibelinya dari kantin.

Sementara Bu Hana berbicara dengan Rika, Pandu hanya berdiri diam. Laki-laki itu hanya mendengarkan percakapan antara gurunya dengan kakak kelasnya , Rika Afnila, yang terkenal dengan bad attitude terhadap para guru. Tapi jangan salah, Rika termasuk orang-orang pintar seantreo Mulia. Hal itu karena dia sudah empat kali berturut-turut menduduki posisi juara dua umum.

"Udah bel Bu. Rika masuk dulu, assalamu'alaikum."

Rika buru-buru pergi dari musholla itu tak lupa menyalami sang guru dengan dalih'hanya basa-basi'.

Pandu yang mendengar salam itu pun menjawab 'wa'alaikumussallam'bersamaan dengan Bu Hana di sisi kirinya.

Setibanya diluar, Rika langsung disambut dengan sahabatnya, Bella, yang masih menunggunya

di teras mushola. "Kenapa sih Ka? Kok muka lo bete gitu habis keluar dari musholla?" Tanya Bela sembari

berjalan menuju kelas.

Diperjalanan, Rika pun menjawab "Biasa, tuh guru rese nanyain gue lagi. 'Udah shalat Rika, udah shalat Rika?' ish bosan gue ditanya melulu!" Jawab Rika kesal, wajah gadis itu bersemu merah menahan rasa kesah terhadap sang guru.

Bella terkekeh pelan, rutinitas hidup Rika adalah ditanya 'sudah shalat' oleh guru agama mereka. Bela sedikit berbeda dengan Rika, gadis itu terkenal lebih

kalem walau dia dan Rika sama-sama tidak memakai hijab. Tapi reputasi Bela di sekolah dikenal baik oleh para guru. Sementara Rika, dia bukan jenis

cabe-cabean yang kalau ke sekolah memakai baju crop dengan rok yang sengaja dibuat span dan tentunya ketat.

Dia sama seperti murid lain, memakai seragam yang sopan dan rapi. Gadis itu juga tidak pernah berurusan dengan BK, karena dia tidak pernah melanggar aturan sekolah. Namun karena mulutnya yang ceplos, guru-guru sering naik darahtiap kali berurusan dengan Rika.

Dia hanya gadis keras kepala yang tersesat oleh masa lalunya.

"Ya…ketawa aja terus Bel, hidup gue emang

pantas untuk di ketawain." Sinis Rika kemudian.

Bella kemudian menghentikan tawanya, lalu berdehem "Sorry, gue cuman gak tega sama lo. Tiap hari uring-uringan terus cuman karena di tanya

udah shalat atau belum. Lo tu udah gede Ka, lo udah wajib untuk shalat bahkan lo udah gak boleh lagi ninggal-ninggalin shalat. Dosa tanggung sendiri."

Dia tahu, Rika tidak akan mudah untuk merubah

pola pikirnya apalagi kalau hanya lewat ucapan, itu sama saja dengan omong kosong. Tapi apalah daya, sebagai umat muslim kita hanya bisa menasehati dan

mencegah pada kemungkaran, tidak bisa memaksakan.

"Lo lama-lama udah kayak anak Bu Hana tahu gak. Gue tahu itu semua.”Jawabnya.

“Tapi hati gue masih gak nerima untuk gue ajak shalat."

Bela lagi-lagi prihatin, mungkin sebagian orang menganggap Rika adalah bad girl yang harus dijauhi. Tapi jika mereka tahu lika- liku perjalanan

hidupnya, maka semua celaan itu tidak pantas untuk dilambungkan pada sahabatnya. Maka dari itu, Bela dengan setia menjalin persahabatan itu meskipun dia kerap kali harus merasakan semburan amarah dari Rika lantaran ditanyain 'sudah shalat atau belum' oleh sang guru.

Kilas 3

Hari ini hari Jum'at. Sekolah gue rutin ngadain yasinan mingguan. Gue gak masalah sih dengan kegiatan itu, yang jadi masalahnya adalah kelas gue, XII 3 yang dapat giliran untuk jadi panitia pengurus kegiatan. Lebih parahnya lagi, gue, Amar, si cowok yang **** agama disuruh mimpin baca yasin selama acara. Kebayang apa yang bakal gue baca nanti? Bedain lam sama alif aja gue masih ragu, lah ini malah mimpin yasinan. Fix mulai saat ini gue harus berguru sama Naruto, belajar jutsu kagebunsin biar kalo disuruh kayak beginian lagi gue bisa langsung menghilang ke pulau katak.

Baru aja gue mikirin gimana caranya buat bunsin, tuh guru udah manggil aja." Amar! Capek lah ka siko. Onde Mande Ba'a anak ko."

Aarrghh!!! bisa gila gue dengerin bahasa tu guru. Dengan langkah malas gue pun berjalan ke ruang guru, tempat dimana tuh guru agama duduk.

"Apalagi sih Pak manggil-manggil saya?" Gue udah mulai kesal sama tu guru, kayaknya gue tahu kenapa dia nunjuk gue untuk mimpin yasinan minggu ini--- pasti dia pengen buat malu guedidepan seluruh siswa Mulia, wah emang dasar guru

pendendam!

"Lah! Lah! Lah! Paniang kapalo bapak mikirin wa'ang." DEMI BAJU BAUNYA RIAN! PENGEN BANGET GUE SUMPEL TU MULUT GURU PAKEK KAOS KAKINYA FLYING DUTCHMAN, biar pingsan sekalian!

"Nah, kini ang baco surek ko di depan bapak,

capek lah!" Apa coba lagi artinya? Pengen banget gue manggil Ipank si penyanyi Rantau Den Panjauh itu buat translate omongan ni guru. Kondisikan kek, kalau lagi di sekolah itu gunain bahasa nasional--- bahasa Indonesia bukan bahasa daerah.

Tepat saat gue mau buka mulut buat baca surah Yasin, eh si adek kelas datang sambil bawa Al-Quran di kedua tangannya. Terimakasih ya Allah engkau datangkan penyelamat bagi hambamu yang sedang kesusahan ini.

Oke gue lebay, maksud gue, berada lama-lama dengan Pak Rudi bisa bikin gue mati muda. Tu guru tua kayaknya punya dendam kesumat sama gue -mungkin

sejak gue nempelin lem di bangku waktu dia duduk.

Gue ingat banget kejadian itu satu tahun yang lalu. Salah sendiri duduk disitu, niatnya kan gue mau ngerjain Bu Mila, guru MTK TER-cinta. Berhubung Bu Mila ada urusan mendadak

alhasil tu guru botak yang gantiin tapi gak papa deh, gue juga rada kesal sama tu guru, karena apa?

Rambut gue pernah di potongcuman gara-gara kelewat panjang di bagian telinga. Alhasil rambut yang selama ini gue jaga, gue sampoin dan nyaris jadi duta sampo lain, terpaksa gue gundulin karena potongan tu guru yang asal-asalan.

"Bapak manggil saya?" Tanya tu adek kelas yang gue tahu dia ini ketua rohis, Pandu namanya.

"Nah Iyo, Pandu Bapak mintak tolong. Umumkan kepado seluruh guru dan anak-anak supayo duduk di

halaman, yasinan akan segera dimulai." Ucap tu guru. Gila! Suaranya lembut banget kayak Raisa lagi manggung. Mana tangannya sok akrab gitu lagi,

nepuk-nepuk pundak Pandu.Gue gak nyangka tu adik kelas bisa ngambil hati Pak Rudi si guru botak ini. Ekspresinya berubah banget kalo lagi ngomong sama Pandu, beda banget kalo sama gue. Pakek toa, pakek toa deh sekalian!

Mendadak lampu kuning muncul di kepala gue, sebuah ide licik pun mulai terlihat alhasil gue langsung

angkat tangan dan Pak Rudi langsung natap gue dengan pandangan super keji yang pernah gue lihat.

"Apo lai Amar? Nak buat masalah lai ko ha?" Net-hing banget ni guru.

"Gini pak, Pandu kan ketua rohis. Gimana kalau yasinan kali ini dia aja yang mimpin? kan biar lebih afdol Pak, bacaannya jelas.Kalau kata guru bahasa itu

artikulasinya jelas pak. Gimana Ndu lo mau kan?" Bisa gue lihat, Pak Rudi lagi mati-matian nahan marah liat tingkah gue yang kurang ajar ini. Masa bodoh dengan hormat-menghormati pokoknya gue gak mau malu di depan semua penghuni

Mulia!

"Gue sih fine-fine aja bang." Gotcha! Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?

Gue pun langsung menepuk pundak Pandu sebanyak tiga kali. Dear pak Rudi, usaha lo buat gue malu

kali ini gagal! Haha gue pun langsung pergi dari ruang guru dengan langkah yang super duper ringan.

Baru dua langkah gue keluar dari ruangan terkutuk itu, Kaira adek kelas gue yang super duper manis dan paling judes itu lewat. Persis seperti sebelumnya, wajah yang semula tersenyum berubah muram tiap kali lihat gue. Rada ngebingungin sih, kira-kira masalah apa yang pernah gue ciptain sehingga tu

adek kelas gedek banget lihat muka gue.

Padahal kan gue ganteng!

"Eh Kaira, mau kemana?" Sopan sedikit gak papa lah ya. Kaira malah natap gue dengan wajahnya yang datar, flat banget kayak dompet gue pas tanggal tua.

"Bisa minggir kan? Gue mau lewat!" Balas Kaira sinis. Ya ampun,kalo gue punya guci milik om jin,

satu-satunya keinginan gue adalah minta tu cewek untuk senyum terus tiap kali ketemu gue.

"Bisa kok." Bodoh! Kenapa gue jawab gitu. Hancur sudah harga diri abang kelasmu ini dek!

Baru aja gue mau ngelangkah ke samping, eh mimi peri datang dan dengan santainya memeluk lengan

sebelah kanan gue.

Tadi pak Rudi sekarang si mimi peri, gue gak tau Jum'at ini masih barokah atau nggak.

"Morning Amar! Lo ganteng deh pagi ini." Tu mimi peri cubit-cubit pipi gue, dikira kue cubit apa ini muka.

Sekilas gue lihat Kaira memutar bola matanya malas, gue rasa dia bad mood banget liat gue- ditambah si mimi peri yang dari tadi sibuk nge-gelantungan dilengan gue. Persis kayak anak monyet baru belajar manjat.

 "Morning, dan seperti biasa gue emang ganteng tiap

hari." Ucap gue yang berusaha ngelepasin gandengan tangan ni cewek. Bukan apa-apa walau gue nakal di mata guru, gue juga gak terbiasa dekat-dekat dengan

sembarangan cewek apalagi yang gak ada statusnya kayakgini.

Si mimi peri lagi-lagi senyum dan saat matanya melihat Kaira, raut tu cewek langsung berubah sinis seolah Kaira sudah mengganggu waktunya bermesra-mesraan dengan gue. What? Apa gue bilang mesra-mesraan, oh tidak! Mesra dari sudut pandang dia aja. gue mah ogah!

"Eh lo! Ngapain bengong disitu? Mau caper ha?" Iss tu mulut gak bisa di rem apa? Kaira langsung melihat dia dengan alis terangkat satu seolah berkata "Yang tebar pesona itu gue atau lo sih?"

Namun jelas, dia tidak mungkin mengucapkan itu karena setahu gue dia ini sama seperti Pandu- sama-sama anggota rohis dan yang pasti dia gak akan ngomong hal yang gak penting seperti

yang tadi.

Berkat usaha keras, akhirnya tangan tu mimi peri udah gak nempel lagi di lengan gue. Kayaknya gue

harus shalat taubat nanti malam supaya ngebersihin noda-noda yang menempel dari si mimi peri.

Ngebuat dosa lagi dah lu Mar!

Si mimi peri alias Rika maju satu langkah mendekati Kaira, namun tubuh si adik kelas itu tetap pada

posisinya. Tidak melangkah mundur barang satu langkah pun. Bahkan tidak terlihat raut takut pada wajahnya, benar-benar adik kelas yang menantang.

"Gue rada anti lihat cewek yang SOK pakai jilbab panjang kayak lo gini." Boom! Kalau ada

kontes mulut terpedas gue bakal dengan senang hati nyalonin Rika--- bahkan dia cocok menangin itu kontes. Sama sekali tidak memikirkan perasaan orang lain. Gue rasa itu mulut banyak di pupuk boncabe deh.

"Apa mungkin ini cuma sebuah topeng? Untuk nutupin kedok lo yang sebenarnya? Emang sih anak-anak rohis itu dikenal paling baik, tapi gue gak percaya dengan omong kosong itu." Rika mengibas kasar hijab Kaira,yang sontak membuat si adik kelas membulatkan matanya terkejut.

"Dengar ya kakak kelas, gak ada hubungannya orang baik dengan hijab dia yang panjang. Itu cuma

persepsi sebagian orang aja, terserah kalian mau nganggapnya gimana. Memang tidak ada yang menjamin bahwa yang berjilbab panjang itu adalah orang-orang yang baik. Tapi yang pasti, orang baik akan memakai jilbab kak.

Satu lagi, di rohis bukan tempat orang-orang baik, tapi orang-orang yang punya keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Masalah hijab yang gue pakai itu karena gue nyaman. Nggak ada unsur riya sama sekali atau mau di anggap suci. Karena gue juga sadar kok dosa gue nggak terhitung. Sekiranya kurang jelas, kakak bisa search di google atau praktisnya bisa tanya langsung sama Bu Hana. Guepermisi dulu, assalamu'alaikum." Kaira berucap dengan nada tenang, sama sekali tidak menunjukkan raut kesal atas perilaku Rika yang menurut gue udah keterlaluan banget. Bahkan dia tersenyum saat mengakhiri penjelasannya mengenai cemooh yang dihanturkan Rika tadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!