Sinar matahari di ufuk timur telah lebih dari satu tombak. Namun awan keabu-abuan menutupi sinar itu, hingga hari pun masih terasa seperti berkabut. Meski begitu penduduk Oak Park, Illinois. Yang memeluk Islam tahu dimana saat subuh dan dimana saat duha.
Perlahan kaki orang menuruni anak tangga itu, kedua mata tajamnya memicing, menatap curiga ke angkasa yang tak menyilaukan mata itu. Dan dalam hati dia bergeming,
"Mengapa dua hari terakhir ini langit terlihat berduka? itu membuatku seolah kau mengerti akan keadaan ku dua bulan terakhir ini...."
Lalu langkah kakinya pun menuju ke arah kiri masjid megah yang di datanginya, berjalan santai dan perlahan dia ucapkan doa, "Assalamualaikum...." sambil mengetuk pintu.
Krek! "Waalaikumsalam...." pintu terbuka bersamaan dengan terdengarnya jawaban salam dari seorang tengah baya yang kini sambil memegang sebuah kitab suci, bukan lagi sebuah buku-buku bacaan yang tebal.
"Kau baru pulang?" tanya nya kemudian.
Sambil duduk di kursi ruang tamu rumahnya, dia pun menjawab dengan senyuman. "Ya, ayah. Adakah hal yang ingin ayah bicarakan, yang membuat ayah bertanya seolah baru tahu akan kebiasaan ku?"
Dengan sedikit mengerutkan kening, Thorn pun mulai menyunggingkan senyumnya. "Hem.... Sungguh, anakku! sepertinya kau terlalu merindukan kehadiran dia, yang membuatmu kini berkata seolah kau benar-benar telah amnesia...." ucap Thorn, sambil mulai membuka kitab suci kesayangannya itu.
Doris pun langsung terdiam mendengar ucapan ayahnya, dia memang benar-benar seolah tersihir, menjadikan dia serba salah di setiap apa yang dia lakukan.
Thorn sesekali melirik Doris yang duduk berhadapan dengannya itu, dengan tetap melantunkan ayat-ayat Nya. Doris tetap berpikir, dan tanpa dia sadari suara yang melantun merdu itu pun membuatnya semakin tercengang, karena seketika itu pula hatinya membenarkan.
"Kau benar, ayah. Tapi, apakah benar hanya karena dia aku seolah menjadi amnesia?"
Dan sekali lagi Thorn pun menyunggingkan senyum. "Shodaqollohul adzim..." Thorn menyudahi bacaan Al-Qur'an nya.
"Aku tahu apa yang kau rasakan, Doris.... ceritakan lah apa yang kau pikirkan yang sampai membuatmu sendiri tak tahu jawabannya, ceritakan lah!" ucap Thorn, sambil membenarkan duduknya.
"Entahlah, ayah. Saat fajar mulai datang dan lagu syurga ku lantunkan. Seketika itu tiba-tiba ada serpihan-serpihan kabut seolah itulah bayangan dia. Dan serpihan itu berbisik padaku, "Aku datang dan bersemayam di hatimu...." aku pun percaya bahwa dia akan datang, aku percaya...." ucap Doris, sambil memijat kening menundukkan kepala.
Kembali Thorn menyingsingkan senyuman, "Lebih baik kau terus meminta petunjukNya." ucap Thorn, sambil berdiri dari duduknya. Lalu bersiap untuk pergi kerja.
...****************...
Tangannya sibuk membuka tiap lembaran buku yang kini ada di tangannya. Buku yang telah selesai dibaca Thorn. Buku tentang sejarah, termasuk salah satu buku kesukaan ayahnya itu. Berkali-kali dia menyunggingkan senyum membaca isi dari buku itu. Dan berkali-kali pula dia menggeleng.
"Hem! Mana mungkin ada kisah cinta yang begitu sejatinya seperti itu! tidak mungkin!" pekik Doris, sambil meletakkan kembali buku milik ayahnya itu.
Lalu berjalan ke dekat jendela, hatinya mulai gelisah bila kedua matanya terus melihat ke apartemen Uzda. Ingin rasanya dia menjerit sekeras mungkin, bukti akan penderitaan nya di siksa oleh kerinduan akan sosok seorang muslimah.
Kedua matanya menatap sayu nanar, bila dia membandingkan akan cintanya dulu pada Aivrle dengan Uzda. Perlahan dia pun menggeleng, dia baru menyadari akan perbedaan Aivrle dengan Uzda. Padahal sebelumnya dia selalu menganggap sama antara cinta keduanya.
Terlebih dulu dia lebih mencintai Aivrle daripada Uzda, karena dia menganggap Aivrle adalah seorang perempuan pertama yang membuatnya mendapatkan jati diri di mata masyarakat. Tapi ternyata semua itu salah, kini dia benar-benar tak menyangka dengan semua kenyataan akan cintanya.
"Mengapa aku seperti ini? mengapa kau begitu membuatku terpuruk, Uzda? Mengapa kau begitu berpengaruh dalam hidupku? Bukankah kau hanyalah perempuan sederhana yang selalu berlalu lalang ke masjid Al-'Alam? Tapi mengapa kau begitu menyiksaku bila tidak ada kau di sudut kota ini?! Mengapa kau berbeda?" ucap Doris lirih, sambil mengusap air matanya yang tanpa terasa membasahi pipinya.
Lama dia hanya berdiri menunduk, tangannya juga terus memijat kening, dia berpikir.
"Masjid?!" pekiknya tiba-tiba.
"Ya mungkin benar kata ayah. Dan... Bukankah bila aku berada di dalam masjid aku selalu tenang, meski Uzda tak kunjung pergi dari bayanganku? Dan.... Bukankah biasanya jam seperti ini aku masih berada di dalam masjid? Ya, mungkin karena aku terus melihat ke apartemen nya yang membuatku semakin merasa tersiksa! Sebaiknya sekarang juga aku pergi!" ucapnya, lalu masuk ke dalam kamar, berganti pakaian yang sedikit tebal, karena di luar dia melihat cuaca mulai menusuk kulit, meski tak turun salju. Setelah itu pun, dia langsung pergi.
...****************...
Tangannya sibuk membuka tiap lembaran buku yang kini ada di tangannya. Buku yang telah selesai dibaca Thorn. Buku tentang sejarah, termasuk salah satu buku kesukaan ayahnya itu.
Berkali-kali dia menyunggingkan senyum membaca isi dari buku itu. Dan berkali-kali pula dia menggeleng.
"Hem! Mana mungkin ada kisah cinta yang begitu sejatinya seperti itu! Tidak mungkin!" pekik Doris, sambil meletakkan kembali buku milik ayahnya itu.
Lalu berjalan ke dekat jendela, hatinya mulai gelisah bila kedua matanya terus melihat ke apartemen Uzda. Ingin rasanya dia menjerit sekeras mungkin, bukti akan penderitaannya di siksa oleh kerinduan akan sosok seorang muslimah.
Kedua matanya menatap sayu nanar, bila dia membandingkan akan cintanya dulu pada Aivrle dengan Uzda. Perlahan dia pun menggeleng, dia baru menyadari akan perbedaan Aivrle dengan Uzda. Padahal sebelumnya dia selalu menganggap sama antara cinta keduanya, terlebih lagi dulu dia lebih mencintai Aivrle daripada Uzda, karena dia menganggap Aivrle adalah seorang perempuan pertama yang membuatnya mendapatkan jati diri di mata masyarakat. Tapi ternyata semua itu salah, kini dia benar-benar tak menyangka dengan semua kenyataan akan cintanya.
"Mengapa aku seperti ini? Mengapa kau begitu membuatku terpuruk Uzda? Mengapa kau begitu berpengaruh dalam hidupku? Bukankah kau hanyalah perempuan sederhana yang selalu berlalu lalang ke masjid Al-'Alam? Tapi, mengapa kau begitu menyiksaku bila tidak ada kau di sudut kota ini? mengapa kau berbeda?" ucap Doris lirih, sambil mengusap air matanya yang tanpa terasa membasahi pipinya.
Lama dia hanya berdiri menunduk, tangannya juga terus memijat kening, dia berpikir.
"Masjid?!" pekiknya tiba-tiba.
"Ya... Mungkin benar kata ayah. Dan.... bukankah bila aku berada di dalam masjid aku selalu tenang, meski Uzda tak kunjung pergi dari bayanganku? Dan... Bukankah biasanya jam seperti ini aku masih berada di dalam masjid? Ya, mungkin karena aku terus melihat i apartemen nya yang membuatku semakin merasa tersiksa! sebaiknya sekarang juga aku pergi!" ucapnya, lalu masuk ke dalam kamar, berganti pakaian yang sedikit tebal, karena di luar rumah dia melihat cuaca mulai menusuk kulit, meski tak turun salju. Setelah itu pun, dia langsung pergi.
...****************...
Doris berdiri terdiam di depan Masjid Al-'Alam. Dia merasa kebingungan, seolah kakinya tak ingin memasuki masjid yang tepat disamping kanan rumahnya itu.
"Sepertinya.... lebih baik aku ke masjid yang lain ...." ucapnya lirih, sambil melihat masjid Al-'Alam dan apartemen Uzda secara bergantian.
"Bila aku di masjid ini, aku akan tetap tersiksa....karena setiap aku menoleh ke luar masjid, aku akan teringat lagi tentangnya...." dan perlahan dia pun mengangguk.
"Ya, aku harus bisa secepat mungkin melupakannya, meski ku tahu tak akan pernah bisa!" lalu dia menatap ke langit yang terlihat gelap itu.
"Bismillah! tolong aku, Allah!" ucapnya.
Dia pun berbalik badan dan menoleh kanan kiri menunggu angkutan umum lewat. Dan tak lama, tangannya pun langsung melambai ke tengah jalan, lalu dia pun menaiki angkutan umum.
"Terima kasih, pak..." ucap Doris.
Lalu angkutan umum pun melaju menjauhi Doris. Setelah sampai di tempat tujuan.
Doris menyunggingkan senyum indah, saat kini dia lihat masjid megah di depannya itu. Masjid yang ada di daerah Komberg. Masjid Al-Adli, masjid yang belum pernah di datanginya, dan masjid itu lah masjid yang ingin dia tunjukkan kepada Uzda.
Dan seketika mengingat semua itu, dia langsung menggeleng. "Aku mengingat dia lagi!" pekiknya. Lalu dia pun mulai melangkah memasuki masjid, sambil tetap menggeleng.
"Oh, Uzda... mengapa kau terus melayang di ingatan ku?" ucapnya lirih.
Namun tiba-tiba dia begitu terkejut, sampai membuat suaranya terasa tercekat, kedua matanya menatap tak berkedip, langkah kakinya berhenti seketika, dan angin pun seolah berhenti bergerak, hanya obyek yang kini telah membuatnya seperti itu saja yang tetap bergerak, dan kini dia seolah tak bernyawa, namun detak jantungnya semakin kencang berdetak, seolah melihat sosok yang baru, dan asing bagi penglihatan dan perasaannya. Meski ingatannya terus berontak meneriakkan kenyataan bahwa dialah...
"Uzda....?!" ucapnya lirih, dan hampir tak terdengar.
Dan saat dia menyebut sosok yang dimaksud, angin seolah langsung berhembus kencang, bagaikan angin topan yang ramah, menerbangkan ujung kerudung sosok yang dia lihat. Dan seketika sosok itu menoleh pada suara yang memanggilnya, meski terdengar lirih oleh pendengarannya.
Dan tidak jauh berbeda apa yang kini dirasakannya, namun dia berusaha tetap tenang, dengan sedikit kesulitan menahan keterkejutan dan kebahagiaan melihat sosok yang dirinduinya, dia pun akhirnya tersenyum dan tetap berdiri ditempatnya, tak berpindah, membiarkan orang yang dirindukannya itu yang mendekatinya.
Sedangkan orang yang tadinya berbincang dengannya, sebagai obyek penelitiannya, saat tahu dia akan ada tamu lain, orang itu pun berpamitan.
"Ya sudah, kalau begitu saya permisi...." ucapnya. Dan bersamaan dengan jawabannya pada orang itu, kini orang yang tadi memanggilnya, telah berada disamping kirinya.
"Ya...." jawabannya pada orang yang berpamitan. Dan saat dia ingin mengucap, "Terimakasih." suaranya tercekat, membuatnya tidak jadi mengucapkannya, karena seketika dia terdengar begitu dekat baginya.
"Uzda...."
Dan bersamaan dengan menolehnya dia pada orang yang memanggilnya, terlihatlah olehnya orang itu sama-sama terkejut sebagaimana dirinya. Namun dia dengan cepat mengatur emosinya, dan dia pun tersenyum. Meski kini jantungnya berdegup kencang karena tatapan mereka bertemu.
"Ada yang bisa saya bantu....?" ucap Uzda. Mencoba tetap menjadi orang asing.
Sedangkan Doris masih tercengang, dia tetap diam. Hatinya bertanya-tanya. Lagi-lagi dia membandingkan Uzda dengan Aivrle.
"Mata biru?!" pekik Doris dalam hati.
"Ada yang bisa saya bantu....?" ulang Uzda, saat tahu Doris hanya membisu.
Namun saat Doris menjawab, "Ya...." jawab Doris, lalu melanjutkan, sambil perlahan mengangguk. "Aku ingin kau membantu untuk melupakan kekasihku yang bernama Uzda Masson!!!" seketika itulah Uzda yang menjadi membisu, terdiam kaku tak mampu menjawab.
Dan seketika itu pula Uzda menatap hati, berusaha biasa, meski hatinya begitu terkejut mendengar pertanyaan Doris. Lalu dengan sekuat mungkin, Uzda pun tersenyum dan perlahan menggeleng, "Hem....! Anda sangat lucu!"
"Aku tidak bercanda!!" tiba-tiba Doris memotong ucapan Uzda, membuat dia seketika terdiam, senyuman itu pun perlahan pudar.
Sambil menunjuk ke dada, "Aku tak tahu harus mencari kekasih itu ke dunia bagian mana lagi, aku mohon..." sambil menumpuk kedua tangan di depan dada. "Bantulah aku....." ucap Doris dan perlahan dia menunduk.
Kini Uzda benar-benar terdiam kaku, tak dapat tersenyum, tak dapat lagi bersandiwara di depan orang yang telah lama di rinduinya itu, dia pun menunduk dan keduanya sama-sama menunduk lama.
Tapi setelah lama keduanya hanya terdiam, Uzda benar-benar tak sanggup lagi untuk terus menjauh dari Doris, dan dia tak tahu lagi harus berbuat apa, dia pun berkata.
"Maafkan lah aku bila selama ini menyakitimu! Maafkanlah aku bila selama ini aku membuatmu resah! maafkan aku karena aku selalu menghilang dari pandanganmu! Maafkan aku.... Maafkan aku...." ucap Uzda sambil menelungkupkan kedua tangannya di depan dada, dan perlahan tanpa dia sadari butiran bening jatuh membasahi pipinya dari ujung mata birunya yang kini menatap sayu ke bawah.
Sedangkan Doris seketika itu langsung menatap sayu orang yang ada di depannya, dia begitu lemah seketika mendengar ucapan mulia dari lisan kekasihnya itu.
"Andai aku adalah orang yang halal bagimu, telah ku rengkuh dan menghapus air mata yang membasahi pipi merahmu itu, dan sungguh! Aku kini hanya bisa menegaskan bahwa tak perlu ada yang dimaafkan apa yang terjadi di antara kita... Tak perlu .. Tak perlu, Uzda..." ucap Doris, kini giliran jemarinya yang sibuk menghapus air matanya.
Mendengar ucapan Doris, perlahan Uzda mendongakkan pandangannya, menatap sayu pada Doris, dan perlahan pula senyumnya pun tercipta.
...****************...
Doris mengajak Uzda ke suatu tempat yang menjadi jantung kota Oak Park, Illinois. Dan di tempat yang dinamakan taman itulah Doris dan Uzda duduk berjauhan sambil terus berbincang-bincang. Sedangkan Doris, setelah tahu Uzda hanya memakai soft lens selama ini untuk menutupi mata birunya, dari pengakuan Uzda. Doris pun langsung menatap serius pada Uzda.
"Mengapa kau melakukan semua itu?...." tanya Doris. Sambil menatap serius Uzda yang duduk agak jauh di samping kirinya itu.
Uzda yang terus menatap lurus tanpa menoleh pada Doris pun tersenyum, mengingat usahanya dan tujuannya melakukan hal itu, lalu tanpa ragu dia pun menjawab.
"Hem!! Entahlah, dulu tujuanku itu mulia atau tidak bagimu.... Aku melakukannya ingin menyembunyikan keaslian diriku... Aku tak ingin seorang pun mengetahuinya, kecuali dari pihak keluargaku, dan sungguh aku begitu takut mereka tahu, termasuk kau.... Karena bila ada seorang pun yang tahu, aku takut mereka hanya mencintaiku dari fisikku saja... dan mereka kau mendekatiku dari fisikku saja... Dan saya berfikir inilah cara terbaik, dengan aku menjadi orang yang sederhana aku yakin bahwa bila mereka mencintaiku tulus dari hati mereka bukan hanya di bibir saja...." ucap Uzda panjang lebar. Lalu dia menoleh pada Doris, dan bertanya.
"Dan kau tahu? Di zaman kini kita hidup.... Semuanya harus diketahui dari hati...."
Doris pun kini benar-benar membisu menatap Uzda, sedang Uzda tetap melanjutkan pengakuannya.
"Dan bila kau bertanya-tanya mengapa kini aku melepas soft lens ku, sesungguhnya.. kini aku telah lelah berlari tanpa arah dari kenyataan...."
"Dan karena kini kau tahu telah ada seseorang yang mencintaimu tulus dari hati.... Bukan hanya dibibir saja...." tiba-tiba Doris memotong ucapan Uzda, membuat seketika Uzda menoleh pada Doris, membuat tatapan keduanya pun bertemu.
"Sungguh! Dengan menatap kedua matamu yang indah bagaikan lautan yang penuh kejernihan itu dan senyummu lagi .... Tanpa kau menjawab ucapanku, aku telah bisa membaca apa jawaban yang diteriakkan oleh hatimu...."
Doris berhenti sejenak, membiarkan desiran jantung dan aliran deras darahnya teratur kembali, lalu dia melanjutkan.
"Dan kau tahu? Hal itulah yang selama ini terus menghantuiku, segala dari kesederhanaan mu... Tak satu pun dapat terlupakan, membuat rindu di hati ini semakin menyiksaku, tapi itu sebelum kau duduk disini... Kini... Tak dapat ku gambarkan bagaimana suasana hatiku setelah ku tahu kedua mata ini kembali bisa melihatmu ..." ucap Doris, tetap saling menatap dengan Uzda.
"Berapa lama kurun waktu yang kau habiskan untuk merangkai kata-kata itu, Doris....?" tanya Uzda, tiba-tiba. Ditengah-tengah keterkejutannya.
Namun seketika Doris tersenyum, senyuman yang begitu dirindukan Uzda. Dan perlahan Doris menggeleng.
"Hem!.... Andai kau tahu bahwa dengan melihatmu aku tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berkata-kata untukmu...." lalu sambil menunjuk ke dada,
"Hati inilah yang menciptakan kata-kata itu .... Dan sungguh! Aku selalu memakai alasan hati yang melakukannya bukan karena setelah aku mendengar bahwa kau lebih senang hal yang berasal dari hati, tapi... Karena bagiku bila semuanya telah berbohong, hanya hatilah yang jujur... Dan kemana lagi kita bisa percaya kalau bukan pada hati?...." ucap Doris, dan seolah bertanya pada diri sendiri.
Seketika itu pula, Doris benar-benar telah membuat Uzda tak lagi dapat berkata sepatah katapun.
Dan saat itu pula, tatapan keduanya seolah ter rekat erat tak dapat terpisahkan. Suasana setelahnya pun menjadi begitu hening, keduanya sama-sama terdiam. Dan ternyata benar, hanya saat adzan terdengar mereka akhirnya berkedip dan keduanya pun saling berpamitan.
"Uzda...." panggil Doris, saat Uzda telah menjauh. Membuatnya langsung menoleh ke belakang.
"Jangan lagi kau menghilang dari tatapan kedua pelupuk mataku ..." ucapnya, dengan tatapan sayu.
Seketika Uzda tersenyum. Dan perlahan dia berkedip.
"Insyaallah... Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam...."
...****************...
Salam Doris ucapkan hanya sekali, tanpa menunggu lama dia telah mendapatkan jawaban salam dari Thorn. Dan dia tahu ayahnya itu pasti akan datang lebih dulu, dan hal itu memang benar, karena kini saat awan di langit telah gelap dia baru datang.
Namun setelah dia memasuki rumah, Thorn langsung mengajaknya duduk sebentar diruang tamu.
"Doris... Duduklah sebentar." pinta Thorn, saat Doris hendak memasuki kamar.
Lalu Doris berjalan mendekati kursi diruang tamu dan mendudukinya.
"Ada apa, ayah? mengapa ayah terlihat begitu tegang?" tanya Doris, setelah berhadapan dengan Thorn, dan dua melihat Thorn sedang menyimpan hal penting yang akan diucapkan.
"Kau telah bertemu kembali dengan dia?" tanya Thorn.
"Memangnya kenapa, ayah? Dan .... Aku baru saja berbincang-bincang dengan dia...."
Tiba-tiba Thorn menyodorkan sepucuk surat yang dikeluarkannya dari saku bajunya.
"Bacalah, Doris.... Saat kau dalam perjalanan ke Komberg, dan saat itu pula ayah ternyata weekend, ayah kedatangan tamu yang tak lagi asing bagi ayah,.. Dan dia datang dengan membuat seribu pertanyaan memenuhi benakku, karena dia datang hanya memberikan sepucuk surat ini."
Mendengar penjelasan Thorn, Doris pun mulai membaca dalam hati surat dari Uzda itu. Dan setelah itu perlahan dia melipatnya lagi.
"Apa yang terakhir dia katakan sebelum melangkah pergi, ayah?" tanya Doris setelahnya.
"Sungguh, Doris. Itulah hal yang membuatku bertanya-tanya... Dia tak berkata sepatah katapun... Dia hanya tersenyum...." Thorn berhenti sejenak, lalu melanjutkan.
"Memangnya apa yang dia ucapkan dalam suratnya?" tanya Thorn dengan suara lirih.
Lalu Doris menunjukkan tulisan Uzda itu pada Thorn. Dan perlahan Thorn pun mengeja kata-kata itu.
"Apakah kau masih mencintaiku...?!"
Doris perlahan mengangguk, "Ayah berkata bahwa dia datang dan pergi lagi tanpa mengatakan sepatah katapun, dan ayah tahu kalau surat itu untukku karena ada tulisan disampil surat bahwa surat itu adalah untukku.... Apa itu benar, ayah?" Tanya Doris.
Thorn perlahan mengangguk sedikit kebingungan, hatinya bertanya-tanya, dia pun berkata. "Apa saat kau bertemu dia, dia menyinggung tentang isi suratnya?"
Doris berdiri dari duduknya, berjalan ke dekat jendela, menatap luar jendela, tepatnya apartemen Uzda, lalu dia menjawab sambil sedikit menggelengkan kepala.
"Dia sedikitpun tak menyinggungnya....dan dia lebih banyak diamnya...."
"Mungkin tanpa dia menyinggungnya, saat itu juga dia telah mendapatkan jawaban isi suratnya tanpa kau ketahui." ucap Thorn.
Perlahan Doris mengangguk. "Kau mungkin benar, ayah ... Dan andai ayah tahu, ... Sedikitpun aku tak bisa melewati waktu tanpa bayang-bayangnya selama dia menghilang, meski benar aku sebelum bertemu dia kembali, telah berusaha untuk melupakannya, tapi sungguh aku tak pernah bisa .. Apakah itu bisa disebut aku masih mencintai dia, ayah?!"
Thorn pun menatap sayu anaknya itu sambil menyunggingkan senyuman. "Kau bukan hanya sekedar masih mencintainya, Doris... tapi kau telah melebihi dari cinta dia... Cintamu juga telah lebih dari kisah-kisah cinta yang pernah aku baca, dan bagiku... tak ada kisah cinta setulus cinta kalian berdua... Cinta yang saling menjaga satu sama lain, tanpa melewati batas-batas hukum agamamu... Islam...." ucap Thorn, kedua matanya menatap nanar seolah begitu menghayati ucapannya, dan saat Doris melihatnya, saat itu pula Doris meyakini bahwa Thorn juga seorang pecinta sejati.
Doris pun menyunggingkan senyum, dalam hati dia memekik, "Cinta sejati?!"
...****************...
Pintu kayu rumah yang menjadi tujuannya itu pun diketuk, dan perlahan dia mengiringinya dengan ucapan,
"Assalamualaikum..." meski sedikit ragu dia mengucapkannya, karena dia sendiri bukanlah seorang muslim.
Dan tanpa menunggu lama, perlahan pintu pun terbuka.
"Waalaikumsalam...." dan kadatangannya pun seketika membuat sang Raja yang telah lama dicarinya itu pun terkejut.
"Alfred?!!" pekik Doris.
Sedangkan Alfred langsung memeluk Doris, membuat Doris semakin tak tahu apa yang telah terjadi. Dengan lirih Doris bertanya,
"Apa yang membuatmu datang ke kota? Dan mengapa kau seperti ini?!"
Mendengar pertanyaan sang Raja, Alfred pun langsung melepaskan pelukannya. Lalu perlahan dia pun menggeleng.
"Cloe..."
"Siapa dia, Cloe?"
"Dan bukan hanya itu Raja...."
"Lalu?"
"Aku mencium bau peperangan besar akan datang."
Doris langsung memeluk lembut pundak Alfred, dia berusaha tenang untuk menyembunyikan keterkejutannya.
"Sudahlah! Allah bersama kita! Mari masuk..." ucapnya, mempersilahkan Alfred untuk masuk.
Dan saat Alfred telah berhadapan dengan Doris dan Thorn, dia terus menyunggingkan senyum.
"Kamu kenapa? Apakah ada yang menggelikan?" tanya Doris, setelah merasa dialah yang membuat Alfred tersenyum geli.
"Raja terlihat sangat tampan dengan menjadi orang kota! Rapi!" ucap Alfred, menekan kata rapi. Lalu Alfred berucap lagi,
"Kecuali satu...." sambil menunjukkan telunjuknya.
"Apa itu, Alfred?"
"Rambut Raja...."
Thorn pun tertawa terbahak, "Kau benar, nak! Itulah ciri khas Raja mu!" ucap Thorn.
Dan dengan santai Doris semakin membelai rambutnya, seolah menunjukkan bahwa dia sangat bangga.
"Oh ya, apa aku terlihat tampan memakai pakaian apapun, Alfred? Terutama jubah Raja saat disana?"
Alfred pun mengangguk, "Bukankah aku pernah berkata Raja begitu mengagumkan?"
"Ya ya.... terserah, dan terimakasih...."
"Sudahlah! Lebih baik kalian cepat bersiap-siap berangkat! Aku tak ingin firasat Alfred itu benar, karena aku juga berfirasat yang sama." Thorn menengahi.
Doris dan Alfred pun dibuatnya terdiam. Dan langsung mengangguk secara bersamaan.
...****************...
Sedangkan di ujung apartemen tempat tinggalnya, dia tiada henti melirik ke luar jendela. Kertas-kertas yang menemaninya pun hampir tak ada satu pun lagi yang kosong, semuanya telah terisi oleh tulisannya. Dan bila telah terkumpul, karyanya itulah yang akan menjadi penolongnya lulus dari Ujian terakhirnya sebagai persyaratan mendapatkan gelar Sarjana dari tempat sekolah singkatnya.
Dan saat angin berhembus dari celah-celah jendela apartemennya, yang menerbangkan kertas-kertas itu, membuatnya langsung tersadar dari lamunannya. Namun saat satu dari kertas-kertas lainnya berada tepat menutupi wajahnya. Kini dia kembali melamun. Karena seketika itu hatinya yang membaca tulisannya sendiri.
Dalam termangu, aku kembali melayangkan pikiranku, memikirkan hanya seorang sosok sepertimu... Sosok yang begitu langka di dunia ini... sosok yang penuh cinta...
Pada awalnya ku lihat kau bagaikan kakek buyutku yang telah tiada, keriput dan penuh kerutan, selalu berkata-kata bijak, membuatku ingin menangis, dan saat itu pula ku tegaskan dalam hati.
'Itu memang wajar dimiliki oleh sosok seperti dia.'
Tapi perlahan, kau membuatku semakin jantungan, kata-katamu bagaikan panah yang begitu tajam menusuk hati kecil ini...
Dan kau semakin membuatku bingung, hingga terkadang membuatku bertanya-tanya saat aku mulai merasakan hal yang berbeda selama kau ada di dekatku, saat itu pun lagi-lagi aku menegaskan dalam hati.
'Tidak! Tidak mungkin! Bukankah dia hanya seorang yang telah begitu tua?! Keriput?! Dan penuh kerutan?!'
Tapi, saat datang badai kecelakaan tak diinginkan, sejak saat itu pula aku menyadari betapa tertipu nya kedua mataku selama ini.
Kini, sejak kau ucapkan rangkaian kata manismu.... Aku semakin percaya pada rasa ini, bukan hanya sekedar cinta pada seorang pemuda setampan dirimu, yang tak ada seorang pun menandingi mu, tapi rasa ini lebih dari itu....
Uzda langsung membisu setelah membaca tulisannya sendiri itu, yang berisikan tentang pengakuannya bahwa dia sangat mencintai Doris.
Dan dia kemudian melihat keluar jendela, saat itu dia akan mengakui bagaimana perasaannya kini pada Doris, masih tetap sama kah seperti dulu, terlebih setelah pertemuan tak terduga nya tadi pagi dengan Doris.
Dan saat bibirnya mulai bergerak hendak berkata lirih, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa tercekat, kedua matanya langsung memicing, dan dia langsung berdiri dari duduknya, saat melihat Doris bersama Alfred keluar dari rumah Thorn dan memasuki angkutan umum.
Seketika itu Uzda langsung lemas, hatinya terasa terbakar api kebencian terhadap cintanya sendiri. Dan kini bibirnya terasa tak mampu lagi berkata-kata, hanya hatinya yang menjerit.
"Bukankah dia prajurit yang di utus Raja Attila saat di hutan Montrose? Lalu mengapa dia datang? dan untuk apa Doris ikut bersamanya? Akankah dia meninggalkan ku lagi? Setelah tiga bulan meninggalkan ku? Dan baru haru ini dai bertemu denganku, tapi mengapa dia menghilang lagi? Mengapa?! Mengapa, Doris?!"
...****************...
.
.
.
Lanjutannya besok 😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!