"Masak cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami.
"Emang adanya segitu! Mau gimana lagi?" Nisa menghela nafas. Limapuluh ribu, dari tahun ke tahun. Saat anak anak mereka masih kecil, saat lembaran sepuluh ribu masih dapat mencukupi kebutuhan hariannya, Iman sudah memberinya nafkah harian sebesar itu.
Waktu itu ia dapat menyisihkannya untuk semua kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gas dan sampah. Bahkan ia dapat menabung.
Sudah puluhan tahun berlalu. Si bungsunya sudah menginjak remaja. Sulungnya sudah menikah tapi masih mengikuti mereka.
Lima puluh ribu. Itu jumlah terbanyak setelah Imam memberi lembaran merah tapi dengan catatan harus beli token dulu, atau harus beli rokoknya dulu..
Hati Nisa menjerit. Lima puluh ribu itu bukan sepenuhnya untuknya. Ada jatah bekal si bungsu di sana.
Kepalanya langsung pusing.
"Kenapa mukamu ditekuk gitu sih, Mah?" tegur Iman tanpa dosa.
"Mamah pusing! Mamah harus belanja apa besok!" teriak Nisa tidak tahan lagi. Iman melotot.
"Papah udah capek banget, Mah! Mamah nggak ada terimanya pisan!" Nisa tidak mau kalah. Ia membanting uang itu ke lantai.
"Nih! Kalo Papah bisa ngatur duit segitu buat makan Kita besok! Bekal untuk si bontot jangan lupa!" gegas Nisa masuk ke dalam kamar. Membenamkan wajahnya dalam bantal. Meredam tangisnya yang meledak tidak tertahan lagi.
Imam mengambil uang itu dengan gerakan kasar dan menyusul istrinya ke kamar. Alih alih membujuknya, tangannya menuding istrinya yang sedang menangis.
"Mah, Kamu nggak ngehargain Papah sama sekali, ya!" amarahnya meluap. Ia sama sekali tidak merasa iba melihat bahu istrinya yang berguncang naik turun.
Nisa berbalik. Wajahnya sudah basah dengan airmata.
"Mana janjimu, Pah? Janji saat Kamu nikahin Aku! Kamu akan mencukupiku. Mana? Untuk ngasih makan aja Kamu nggak sanggup!" teriaknya.
Iman terkesiap. Ia tidak mampu menjawab. Sebelumnya Nisa diam saja, berapapun yang Iman berikan. Entah hari ini apa yang merasuki istrinya ini, sampai ia menjerit dan menangis.
Nisa merasa lelah. Lahir dan batinnya. Ia kembali menangkupnya wajahnya di dalam bantal. Sedu sedannya masih terdengar.
Doni, si bontot, menyerobot masuk.
"Mah, minta noban, dong, buat futsal. "
Nisa menyeka airmatanya dengan cepat. Ia melihat lembaran biru yang masih berada di tangan suaminya.
Nisa menyambarnya dengan kasar dan menyerahkannya ke tangan Doni.
"Ini. Sekalian buat bekal Kamu besok, ya." ujarnya lembut.
"Makasih, Mah." Doni mencium pipi sang mama dan beranjak keluar.
"Duit mulu, Lu!" teriak Iman.
"Pernah ngerasain jadi bocah, nggak?" ketus Nisa. Iman pernah bercerita saat ia kecil dulu.
Dulu, setiap ada tukang mainan yang lewat dan ia ingin membelinya, ibunya tidak pernah mau memberinya uang. Setelah ia menangis dan tukang mainan itu sudah pergi jauh, baru ibunya memintanya untuk memanggil tukang mainan itu.
Katanya itu pengalaman masa kecil yang menyedihkan.
Iman diam, tapi bukan berarti ia ingin mengalah pada istrinya. Ia terlalu gengsi bila harus menuruti kemauan Nisa. Ia tidak mau di sebut sebagai suami takut istri. Kakak kakaknya sering mengatakan itu. Dia itu suami yang takut istri, karena selama ini ia selalu ingin memenuhi keinginan Nisa.
"Kamu nggak butuh duit tadi ya, Mah. Okelah kalau begitu!" sentak Iman seraya keluar dari kamar. Ia sama sekali tak perduli bagaimana besok mereka bisa makan.
Airmata Nisa kembali mengalir turun.
***********
"Ini buat Mamah belanja." Nino mengulurkan lembaran biru ke tangan Nisa.
"Kamu ada, Nang?" tanya Nisa. Tak tega rasanya menerima uang dari tangan si sulungnya ini. Dia juga harus menafkahi istri dan kedua anaknya. Nino mengangguk.
"Alhamdulillaah, makasih ya, Nang. " ucap Nisa terharu.
Nino pasti mendengar pertengkaran mereka semalam.
"Nino berangkat ya, Mah." Nino mencium punggung tangan Nisa.
"Hati hati, Nang." Nino mengangguk dan berjalan menuju motor bututnya. Motor yang dibelikan Nisa saat Nino baru kuliah dulu.
"Kapan Mamah bisa mbeliin motor baru buat Kamu, Nang." bisik Nisa sedih.
Iman yang sudah siap dengan alat bertempurnya mulai turun ke sungai yang ada di belakang rumah.
Alat bertempurnya itu peralatan untuk menyetrum ikan, lengkap dengan sepatu bootnya.
Nisa pun bergegas pergi ke tukang sayur untuk belanja. Mumpung suaminya lagi nyebur ke sungai. Jadi mereka tidak perlu berbasa basi lagi. Nisa malas menyapa suaminya. Iman pun begitu. Mereka saling mendiamkan.
Selalu begitu. Setiap pertengkaran yang terjadi bukan hanya menyisakan luka, tapi juga menumbuhkan benih benih kebencian yang semakin lama semakin subur di dada Nisa.
"Aku benci Kamu, Pah!" itu selalu jeritan hatinya.
"Bu, jadi nggak udangnya? Mau diambil ibu ini, nih." tegur tukang sayur langganannya itu melihat Nisa hanya memegang bungkusan udang dengan tatapan kosong.
Nisa tersentak.
"Jadi, Bang! Sop sopannya masih ada, nggak?"
"Tinggal sebungkus, Bu."
"Emang perlunya sebungkus aja." Nisa masih mempunyai terigu di rumah. Rencananya ia ingin membuat bakwan sayur dengan campuran udang. Si bontot suka itu.
Uang lima puluh ribu itu habis sekali jalan. Nisa merasa lebih tenang. Setidaknya ada lauk untuk makan hari ini.
Si bungsu sudah berangkat sekolah tanpa sarapan. Sudah terbiasa, karena tidak ada yang bisa di makan. Doni sudah bosan kalau harus sarapan telor terus.
Sampai di rumah, ia melihat suaminya sudah naik dari sungai. Tumben, pikir Nisa. Bahkan Iman sudah berganti pakaian.
"Darimana, Mah?" tanyanya melihat istrinya membawa bungkusan belanjaan.
Nisa tidak ingin menjawab. Menurutnya itu pertanyaan yang tidak perlu di jawab.
Iman menghela nafas. Ia tahu istrinya masih merasa kesal. Tapi ia juga kesal karena Nisa kali ini tidak mau menerima pemberiannya. Biasanya ia akan diam saja. Bahkan saat ia meminta uang dan Iman tidak memberikannya, ia juga tetap diam.
Iman tidak tahu kalau Nisa menangis di kamarnya, menangis di atas sajadahnya karena kesewenang wenangan suaminya dalam memberi nafkah. Yang Iman tahu, Nisa itu istri yang penurut, yang pintar menyisihkan uang karena bila ia tidak memberi pun, Nisa masih bisa belanja. Seperti sekarang ini.
"Kopi dong, Mah." pintanya tanpa perasaan bersalah.
"Kopinya habis." jawab Nisa datar. Rasanya ia ingin menjerit setinggi langit.
"Susah amat sih, mau ngopi juga!" sentak Iman kesal.
"Beli rokok mah nggak susah, ya?" sindir Nisa sebal.
2 bungkus rokok sehari, itulah Iman. Lebih dari lembaran limapuluh ribu. Tapi memberi lembaran yang sama untuk makan seharian, kadang termasuk bekal Doni juga. Apa tidak zolim namanya? Kalau tidak ada Nino dan Wiwi sang menantu, mereka seringkali tidak bisa makan.
Kalau hari ini Iman memberi uang yang lebih menurutnya, ia akan berhari hari tidak memberi uang belanja lagi.
'Mungkin menurutnya uang itu dapat berkembang biak. Atau hanya buat pajangan.' gerutu hati Nisa.
Iman juga kesal. Dari kemarin wajah manis Nisa berubah menjadi masam.
Ia berjalan melewati Nisa seraya mengeluarkan rokok dari saku celananya. Tanpa ia sadari, lembaran berwarna merah ikut keluar dan terjatuh. Nisa melihatnya, dan dengan cepat mengambil dan memasukkannya ke dalam kantong dasternya. Iman pun menghilang di balik pintu.
"Dasar egois! Istri di kasih yang biru padahal punya yang merah!"
**********
Sebelum menikah dengan Iman, sekitar 25 tahun yang lalu, Annisa Saktiara adalah seorang gadis yang sangat cantik pada masanya. Ia anak konglomerat dari tanah pasundan. Gadis polos yang manja dan murah hati.
"Nisa berangkat, Ma!" Nisa meneguk sisa susunya di meja dan berlari keluar rumah.
"Sandwichmu, Nak!" Wida, sang mama, balas berteriak.
Tak terdengar jawaban dari Nisa.
"Udah telat kali, Ma." Papanya memberikan argumen. ia juga sudah siap siap berangkat.
Tak lama kemudian terdengar suara derum mobil matic milik Nisa, melaju menuju gerbang.
Nisa gadis yang cantik luar dalam. Ia tidak pernah membeda bedakan sikapnya pada siapapun. Semua orang menyayanginya. Bahkan para ART nya.
Annisa Saktiara, putri tunggal dari Indra Bakti Wiguna, seorang pengusaha properti yang sukses. Ia memiliki kerajaan bisnis yang siap diturunkan pada putri satu satunya ini.
Kehidupannya yang begitu sempurna menjadi hancur saat ia jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Seorang pegawai rendahan.
"Nisa sayang, berpikirlah yang benar, Nak." bujuk Mamanya.
"Nisa sangat mencintainya, Ma!"
"Dia itu cuma mengincar harta Kita, Annisa!" sang Papa berteriak karena Nisa sangat keras kepala.
"Iman bukan orang seperti itu, Pa. Ia berjanji akan memenuhi semua kebutuhanku." Papanya berdecih.
"Dengan apa, Nisa? Dia itu cuma pegawai rendahan."
"Tapi Dia itu pintar, Pa! Hanya belum mendapat kesempatan untuk maju." Nisa bukan hanya tidak mau menyembunyikan hubungan mereka, tapi dia juga memaksa orangtuanya untuk menerima Iman.
"Dia sangat mencintaiku, Pah! Dia bisa membahagiakan Aku!" Annisa bersikeras.
Cinta membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Papanya sangat marah. Ia meminta owner bengkel itu untuk memecat Iman, montir yang membuat Nisa jatuh cinta.
Yang ia inginkan hanyalah perpisahan mereka. Dengan harapan Nisa tidak ingin lagi meneruskan hubungan dengan seorang pengangguran.
Tapi Nisa yang yang sudah dibutakan oleh cinta justru menjadi marah dan nekat lari dari rumah untuk menikah dengan pujaan hatinya itu.
Sang papa kena serangan stroke dan meninggal tidak lama kemudian.
Annisa shock, tapi cinta membabi butanya tengah membara. Apalagi Iman memperlakukannya bak seorang putri. Ia semakin mabuk kepayang.
Dengan berjalannya waktu, usaha sang papa tidak berjalan dengan semestinya. Orang kepercayaan mereka justru menjadi pengkhianat dan mengambil alih kerajaan bisnis mereka.
Nisa yang baru semester 3 jurusan management of bussines, tidak mampu mempertahankan usaha sang papa. Sang Mama banting setir dengan berjualan kue dan masakan, karena hanya itu yang mampu ia kerjakan.
Iman memilih bekerja di rumah. Menerima servis mobil di rumah. Nisa tak sepenuhnya salah, Iman memang orang yang pintar.
Pada awalnya semua berjalan sesuai dengan keinginan Nisa. Mempunyai suami yang mencintainya dan sangat bertanggung jawab. Tapi keluarga Iman tidak suka melihat Iman begitu patuh pada Nisa.
Mereka mulai mencekoki pikiran iIman dengan hal hal yang membuat hati Iman semakin menjauhi Nisa. Apalagi setelah keluarga Nisa jatuh miskin.
"Ayok, Man. Anterin Abang, ya?" Hasby, kakak tertua Iman mengajak Iman yang sedang servis mobil tetangganya.
Walaupun konsumen mereka hanya orang orang sekitar pendapatan Iman lebih dari cukup untuk kebutuhan rumah tangga mereka.
"Ke mana, Bang?"
"Biasa."
Maksud 'biasa' abangnya itu meminta ia mengantarnya ke tempat judi sabung ayam.
"Nggak deh, Bang." tolak Iman halus.
Nisa melarangnya ikut ikutan sabung ayam. Bahkan mendekati untuk menontonnya pun tak boleh.
"Kenapa, sih? Nggak boleh ya, sama si Nisa?" tebak si Abang.
Iman mengangguk dalam hati. Di luar ia kelihatan sibuk mengotak atik mesin.
"Kamu gimana, sih? Sama bini kok takut." abangnya mencibir. Selalu begitu.
"Harusnya Dia yang takut sama Kamu, Man! Dia cinta banget sama Kamu, sampai rela ninggalin keluarganya demi Kamu!" Iman pun terpancing.
"Siapa yang takut sih, Bang? Saya lagi males aja! Kerjaan ini juga belum kelar!" hatinya mulai panas. Ia, takut istri? Apa iya?
"Halah! Alesan aja, Kamu! Udah buruan anterin Abang! Ntar kalau menang, Abang kasih bagian, dah!"
Judi itu memang begitu menggoda. Godaan syaiton. Makanya sampai ada lagu dari Rhoma Irama.
'Kenapa semua yang asik asik, itu yang di larang.'
Akhirnya mereka pun meluncur ke tempat judi sabung ayam dengan motor yang Nisa belikan awal menikah dulu.
Iman yang semula hanya ingin mengantar akhirnya justru ikut larut dalam arena judi sabung ayam tersebut.
"2 juta!"
"5 juta!"
"Aku mah 200 ribu aja, Gan!"
"Aku pegang ayam Bang Sameh, 1 juta!"
"Aku juga ayam Bang Sameh."
Yang bernama Sameh terlihat jumawa. Padahal ia hanya mengandalkan ayamnya untuk mencari nafkah. Memalukan!
Meskipun tidak ikutan berjudi karena kantongnya yang kosong, tapi menonton sabung ayam itu sangat menghibur hatinya. Ia sama sekali melupakan larangan istrinya.
"Ya! Ya! Yaaa..! Hajar terus..!" mereka bahagia di atas penderitaan ayam ayam aduan yang saling menjotos dengan paruh mereka.
****
"Nih!" Iman mengulurkan dua lembaran warna merah. Pemberian sang abang karena menang taruhan. Abang memberinya 5 lembar.
Nisa langsung mengucap syukur.
"Alhamdulillah. Maksih ya, Pah." Ia tidak mengetahui kalau uang ini uang hasil taruhan.
"Papah abis servis apa? Di mana?" tanyanya beruntun.
Ia hanya melihat Iman pergi dengan bang Hasby. Mobil tetangga yang di servispun masih ada di depan rumah. Berarti belum selesai diservis.
Iman sedikit gelagapan. Ia yang tidak dapat langsung menjawab, membuat Nisa curiga. Saat ini Nisa sedang mengandung buah cinta mereka yang pertama. Ia langsung curiga melihat kegugupan Iman.
"Kamu, nggak ikutan sabung ayam lagi kan, Pah?" tanyanya tepat mengenai sasaran. Matanya sudah mengalami perbesaran maksimal. Ia tahu suaminya ini selalu tidak dapat menolak ajakan abangnya.
"Nggak! Papah punya duit dari mana ikut ikut gituan!" kelit Iman. Ia bersikap pura pura kesal. Nisa terdiam sejenak. Tapi rasa penasaran itu menggelitik hatinya.
"Kalau punya duit, Papah baru ikutan?"
"Iya! Eh, nggak juga! Kamu apa apaan, sih?"
Mata Iman melotot. Ia harus menghentikan kecurigaan istrinya itu dengan berpura pura marah.
"Pah, Aku mendingan nggak makan daripada makan duit haram! Kasihan anak Kita!"
Nisa mengelus perutnya yang sedang mengandung. Iman sedikit merasa bersalah. Hanya sedikit. 3 Lembaran merah di saku celananya mengubur rasa bersalah itu.
"Mamah, nggak percaya sama Papah?" tanyanya sok sedih. Nisa menghela nafas.
"Awas ya, Pah. Aku lebih baik mati saat melahirkan, kalau Kamu beneran ikut sabung ayam." sumpahnya pelan.
Bagaimana Nisa dapat menduga kalau Iman yang dulu sangat bertanggung jawab dalam memenuhi semua kebutuhannya, sekarang akan menjadi seperti ini?
********
Berungkali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan.
"Perasaan tadi masih ada. " gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada. Ia lalu menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya.
"Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya.
"Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan.
Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah.
"Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!"
"Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!"
"Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"
Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis.
"Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar oleh Nisa yang sedang memasak di dapur.
Wiwi menghentikan gerakannya mengepel. Alisnya mengernyit. Matanya menatap papah mertuanya ini dengan tajam.
"Memang Papah punya duit?" hatinya mulai kesal. Semalam ia mendengar pertengkaran mertuanya ini. Diakhiri dengan tangisan mamah mertuanya. Ternyata papah mertuanya ini masih mempunyai uang. Tapi dia begitu tega pada istrinya. Teganya teganya teganyaaa..! Huh!
"Itu,.. Duit anu.."
'Duit syaithonnirrojim!'
Iman tersipu mendengar pertanyaan dari sang menantu. Ia menggaruk kepalanya yang tiba tiba gatal.
"Nggak lihat." dengus Wiwi kesal. Ia lalu meneruskan mengepel.
'Buat sendiri yang merahan, buat istrinya yang biru. Egois banget!' dumel Wiwi dalam hati. Padahal ia tahu mama mertuanya harus menyisihkan sebagian uang belanjanya untuk bekal si bontot. Ia bersyukur suaminya, Nino, tidak seperti sang papah.
Awalnya Iman tidak berani bertanya pada Nisa karena ia tahu akan menerima teriakan lagi dari Nisa. Uang tidak ada, kekesalan yang nanti ia dapat.
'Nggak jadi deh, mancingnya.' gerutu hati Iman. Tapi rasa penasaran begitu merajai hatinya.
Iapun menghampiri Nisa yang sedang menggoreng bakwan. Nisa tak mau menoleh meski ia menyadari suaminya ini ingin menanyakan uangnya yang jatuh itu.
"Mamah bisa belanja, duit darimana?" secara tidak sadar ia mengakui uang yang diberikannya semalam tidak cukup. Apalagi Nisa lalu memberikan semuanya untuk si Bontot.
Untung Iman bertanya begitu, andai saja ia menanyakan uangnya yang jatuh, Nisa mungkin tidak dapat berbohong. Mungkin, ya. Karena kali ini keadaannya sedang tidak baik baik saja.
Nisa menautkan alisnya. Memang laki laki nggak ada akhlak!
"Boleh nyopet!" jawabnya kesal. Mau bagaimanapun, ia tidak mau mengembalikan uang itu!
"Kalo ditanya!" Iman melotot seraya mengerucutkan bibirnya. Nisa tidak ingin meneruskan perdebatan mereka. Ia mengacuhkan Iman lagi. Ia langsung mencuci wadah bekas adonan bakwan yang sudah habis.
Iman ingin mencomot bakwan yang sudah matang tapi tangannya di tepis oleh Nisa.
"Buat makan!" Wajahnya yang di tekuk membuat Iman langsung kehilangan selera. Ia tidak ingin lebih lama lagi berada di sini, ataupun bertanya lagi.
Nisa melihat Iman keluar dengan sudut matanya. Hatinya tiba tiba merasa nelangsa.
Dulu, setiap kali ia menemukan uang Iman, ia akan langsung mengembalikannya.
Iman memang selalu ceroboh. Seperti tadi, uang itu jatuh karena ia mengeluarkan rokok. Kadang tertinggal di saku celananya saat ia melemparkannya ke tempat cucian.
Nisa yang melihat uang berwarna merah mengambang di mesin cuci mengembalikannya pada Iman.
"Ini duit Papah? Buat Mamah, ya?"
"Jangan, Mah. Ini duit buat anu.." Iman dengan cepat menyambar uang itu. Anu, anu dan anu. Itu yang selalu di ucapkan Iman. Ia tidak pernah menjelaskan anu itu apa. Dan Nisa pun malas bertanya.
Tapi hari ini kesabaran Nisa sudah habis. Ia tidak mau mengembalikan uang itu.
"Buat kebutuhan si Bontot." bibir Nisa mengulas senyum.
Hatinya sedih tiap kali melihat si bontot. Saat usianya sama dulu, ia mempunyai segalanya. Sekarang Doni kalau menginginkan sesuatu harus selalu mendengar jawaban yang sama. Dari waktu ke waktu.
"Nungguin Mamah punya uang, ya?"
Selalu.... , begituuuu... !
"Mah, 3 bulan lagi Doni camping." lapor Doni sepulang sekolah.
"Bayarnya 700 ribu, Mah. Boleh di cicil dari sekarang."
"Bilang sama Papahmu ya, Nang." Nisa selalu membahasakan panggilan 'Nang' untuk anak lanang kesayangan pada ketiga buah hatinya itu.
"Enggak, ah!"
"Don, biarpun Papahmu lagi nggak ada uangnya, se enggaknya, Papah Kamu tau, Kamu perlu uang segitu."
"Enggak, Mah. Mamah aja yang bilang."
Nisa menghela nafas. Selalu begitu. Setiap anak anak membutuhkan dana untuk biaya sekolahnya, Nisa akan menyuruh mereka untuk meminta pada Papahnya. Tapi mereka selalu menolak.
"Doni nggak mau bilang sama Papah, Mah! Ada juga nanti Doni di omelin!"
"Di omelin gimana?"
"Kamu tuh, ya! Sekolah apa sih? Duit mulu!"
"Nggak papa, Don. Yang penting Papah tau."
"Nggak mau, Mah. Doni jadi sakit hati nantinya. Mamah aja yang bilang, ya?"
akhirnya Nisa mengangguk. Apapun akan ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan Doni. Meskipun ia harus merendahkan harga dirinya dengan meminta pada Wida, mamanya. Tapi sebelum itu, ia akan berusaha mengumpulkannya dulu.
Nisa memiliki 3 anak. Semuanya laki laki. Yang pertama, Nano, sudah menikah dan memiliki 1 anak. Yang kedua Deni, belum bekerja lagi setelah kontrak kerjanya habis. Ia hanya lulusan SMA seperti papanya. Ia tidak mau kuliah, dan Nisa tidak dapat memaksanya.
Doni, si bontot, sudah kelas 1 SMA.
*******
"Lo nggak mancing?" tanya Mumu, abang Iman yang no 2.
"Lagi banyak kerjaan, Bang! Ini aja belum di bongkar." ada 2 mobil yang harus Iman servis.
"Udah suruh si Bandi aja! Lo ikut Gua, ya!" Bandi itu anak Yanah, kakak Iman yang no 3. Satu satunya anak perempuan di keluarga haji Samsu, preman yang insyaf setelah pergi berhaji.
"Tapi, Bang.."
"Halah, Lo takut sama si Nisa? Laki bukan sih, Lo!"
"Bukan gitu, Bang. Ini yang punya mobil pengen di jadiin sekarang." mobil itu mau di pakai keluar kota.
"Sebentaran doang!" Mumu melotot. Dia memang selalu begitu. Kerjaannya memaksakan kehendak.
Iman mengalah. Ia mencuci tangan dan mengikuti langkah Mumu.
"Lo punya duit berapa?" bisik Mumu di tengah teriakan para penyabung ayam.
Iman menggeleng. Mumu tidak percaya. Ia langsung menggerayangi kantong celana Iman.
"Apaan sih, Bang!" protes Iman yang berusaha mengambil kembali dompet yang diambil paksa oleh abangnya itu.
"Pinjem dulu sebentar." Ia senang melihat banyak lembaran berwarna merah di sana.
"Bang, itu buat beli onderdil!" teriak Iman.
"Bentaran juga langsung di balikin!" Mumu lebih nyolot lagi. Ia menarik Lima lembaran merah dari dompet Iman.
Kakak Iman ada 4, 3 lelaki dan 1 perempuan. Kecuali Yanah, semua senang judi sabung ayam. Tapi suami Yanah juga suka. Jadi lengkaplah sudah. Keluarga mereka disebut keluarga panji laras.
Mumu salah menjagokan ayam. Dia kalah taruhan. Bagaimana nasib uang Iman?
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!