Hari yang sangat membosankan. Tidak ada bedanya dari hari sebelumnya. Matahari tampak lesu, hanya bersinar samar di balik langit kelabu. Angin berembus perlahan, seolah enggan mengusik keheningan kota.
Seorang wanita bertubuh ramping dengan mata sipit, menyerupai idola Korea, keluar dari gedung kampus setelah menyelesaikan kelas pagi.
Dia berjalan sendirian, langkah-langkahnya ringan tetapi penuh tujuan. Biasanya dia akan berjalan pulang dengan seorang teman prianya yang ia kenal dengan nama Arjuna.
"Jasmine!" panggilan itu mengejutkannya. Sunflowers Jasmine Permata, nama panjangnya, menoleh mencari sumber suara.
Seorang pria dengan senyum lebar mendekat. Dengan gaya akrab, dia menepuk pundak Jasmine lalu menggenggam tangannya, mengajaknya berjalan bersama.
Jasmine menoleh, matanya bertemu dengan tatapan pria itu. Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Katanya Lo mau ada penting sama dosen, kok udah ada di sini aja?" tanya Jasmine kepada pria itu. Arjuna.
Beberapa saat sebelumnya Arjuna mengatakan kepada Jasmine jika dia akan pulang terlambat karena harus menemui dosen pembimbing. Mereka berdua mengambil jurusan yang sama di kampus.
Arjuna tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putih yang semakin menyempurnakan wajahnya yang bak dewa Yunani. "Udah ketemu dosen tadi, cepat kok. Sekarang gue mau langsung ke tempat kerja. Habis ini lo mau ke mana? Mau gue anterin pulang?" tawarnya ramah.
Jasmine menatap Arjuna sejenak, lalu menggeleng pelan. "Ngapain pulang jam segini?" jawabnya malas. "Nggak mau ngandang gue. Mending join minum aja," kata Jasmine.
Langkah Arjuna terhenti sejenak, tubuhnya berputar menghadap Jasmine. Matanya menatap tajam, ekspresi wajahnya berubah serius. "Sekali lagi Lo ngomong kayak gitu, gue bener-bener nggak mau temenan lagi sama lo!" ancamnya setengah bercanda, setengah serius.
Jasmine terkekeh kecil, merasa geli dengan reaksinya. "Hehe, iya-iya, becanda kok gue," jawabnya sambil mengacungkan dua jari tanda damai. Senyumnya yang lebar masih menghiasi wajah, membuatnya terlihat seperti sedang mengiklankan pasta gigi.
Arjuna menghela napas panjang, tetapi akhirnya kembali tersenyum. "Ya udah, gue anterin pulang, ya. Habis itu gue lanjut kerja."
Jasmine mengerucutkan bibirnya kesal. Dia ingin bermain-main dengan Arjuna, tapi Arjuna yang merupakan tulang punggung di keluarganya harus pergi bekerja setelah menyelesaikan kuliahnya.
Jasmine menyahut. "Gue nggak mau pulang, Jun. Anterin gue ke tempat lain aja lah, males gue!" Jasmine menolak untuk diantarkan pulang. Arjuna menghela napas panjang, mengangguk pasrah.
Setelah tiba di parkiran kampus, Arjuna melangkah santai menuju motornya yang terparkir di pojok. Dia melepas helm yang terikat di jok belakang, lalu, tanpa banyak bicara, memasangkannya ke kepala Jasmine. Jasmine merapikan helm itu, meski wajahnya tampak sedikit cemberut.
"Besok-besok jangan helm ini ya, bau banget, sumpek di kepala gue!" protes Jasmine, ekspresinya setengah main-main. Arjuna hanya mendengus kecil, menaiki motornya dengan tenang. Tanpa menoleh, dia berkata singkat, "Naik."
Dia tahu jika dia meladeni keluhan Jasmine pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Jasmine memang dikenal blak-blakan dan sering mengeluh, tapi di balik semua itu, Arjuna tahu betul bahwa temannya ini memiliki hati yang baik.
Dengan bibir mengerucut, Jasmine akhirnya menurut. Dia naik ke jok belakang dan melingkarkan tangan di pinggang Arjuna, tak ingin terjatuh. Motor pun dinyalakan, deru mesinnya menggema di antara suara riuh kendaraan di sekitarnya.
Perjalanan berlangsung dalam keheningan. Jasmine, yang biasanya cerewet, kali ini memilih diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, setelah beberapa menit, ia akhirnya tak tahan.
"Lo betah ya kerja di perusahaan mama?" tanyanya tiba-tiba, suaranya terdengar lembut tetapi penuh rasa ingin tahu. Tangannya sedikit mengeratkan pegangan pada pinggang Arjuna, menumpukan kepalanya di bahu pria itu.
"Ya betahlah. Emangnya kenapa?" Arjuna menjawab, masih fokus pada jalan di depannya.
Jasmine menghela napas pendek sebelum melanjutkan. "Mama kan galak, tegas banget, terus suka judes ke karyawannya. Lo nggak pernah kena omelan Mama gitu?"
Arjuna tersenyum kecil di balik helmnya. "Galak, sih, galak. Pernah gue disemprot gara-gara nggak sengaja numpahin kopi di mejanya. Tapi nggak apa-apa, gue ikhlas kerja di situ. Semua ini buat keluarga gue."
Jasmine mengangguk pelan, meski Arjuna tak bisa melihatnya. Sebenarnya Arjuna bekerja di perusahaan mamanya sebagai OB, pekerjaan yang tidak mudah dan penuh tekanan, terutama dengan sikap mamanya yang perfeksionis.
Arjuna baru bekerja di perusahaan itu sejak dari beberapa bulan lalu, setelah mendapat informasi dari Jasmine bahwa perusahaan mamanya sedang membutuhkan OB.
"Ya, mending hati-hati aja kalau menurut gue. Mama tuh serem banget kalau marah. Gue aja yang jarang ketemu masih merinding," gumam Jasmine, setengah bercanda.
Sejak orang tuanya bercerai, Jasmine memilih tinggal bersama ayahnya di kampung, rumahnya bersebelahan dengan rumah Arjuna. Mereka tumbuh bersama sebagai tetangga, teman, dan kini, teman dekat yang selalu saling mendukung.
Arjuna melirik sekilas ke spion, melihat bayangan Jasmine yang tampak termenung. "Ngomong-ngomong, kenapa lo nggak tinggal sama nyokap lo? Dia nyuruh gue buat bujuk lo, katanya kesepian di rumah."
Jasmine mendengus pelan. "Halah basi. Katanya kesepian, tapi pulangnya selalu tengah malam. Kalau gue tinggal sama mama gue akan sendirian di rumah. Mama nggak pernah ada di rumah, selalu sibuk sama kerjaannya.
Lebih baik gue tinggal sama papa, walaupun rumahnya sederhana tapi Papa selalu ada buat gue. Nggak kayak Mama!" tukas Jasmine. Wajah Jasmine terlihat kesal saat menyebut nama ibunya. Meski mencintai ibunya, ada perasaan kecewa yang tak pernah ia bisa hilangkan.
Arjuna tak membalas, hanya mengangguk paham. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam sampai akhirnya tiba di depan rumah sederhana milik Jasmine. Arjuna berhenti, mematikan mesin, sementara Jasmine turun dan melepas helm dengan cepat.
"Nanti malem Lo nggak sibuk kan? Temenin gue jalan ya, gue bosen di rumah mulu. Pengen cari udara segar di luar," ajak Jasmine sambil menyerahkan helm kembali ke Arjuna. Di rumah, ia memang hanya tinggal berdua dengan papanya, yang juga sibuk bekerja.
Sehari-hari, papanya bekerja sebagai karyawan biasa di kantor kecil yang tak jauh dari rumahnya.
Arjuna menoleh ke arah Jasmine, senyum tipis terukir di bibirnya sebelum ia mengangguk santai. Seperti biasa. Kemana-mana Jasmine pergi pasti akan bersama dengan Arjuna. Seperti pacar saja mereka. Sangat dekat. Tapi tidak ada hubungan apapun selain hanya sebatas teman.
Arjuna memiliki banyak teman, begitupun dengan Jasmine. Tapi tidak ada yang sedekat mereka berdua. Banyak yang salah mengira, menganggap mereka berpacaran. Tak sedikit pula wanita yang salah paham dengan Jasmine, mengira dirinya adalah kekasih Arjuna. Padahal ya...BUKANLAH!
Jelas dong, semenjak menjadi tetangga, bersekolah di tempat yang sama, dan sering bertemu, Jasmine memberanikan diri untuk mendekati Arjuna. Lama-kelamaan, mereka pun menjadi sangat dekat seperti sekarang ini.
"Iya nanti gue temenin. Ya udah gue jalan dulu ya, udah telat nih. Nanti gue diomelin lagi sama nyokap lu karena datangnya telat," kata Arjuna sambil menyalakan mesin motornya.
Jasmine mengangguk dan sedikit mundur ke belakang. "Hati-hati," kata Jasmine.
"Hmm," Arjuna menstarter motornya, meninggalkan tempat itu dan melaju menuju kantor Mama Jasmine untuk memulai shift siangnya. Selama kuliah, dia memilih shift siang agar paginya dia bisa kuliah, atau melakukan kegiatan lainnya.
Setelah kepergian Arjuna, Jasmine berbalik dan mendekati pintu. Ia berjongkok, mengambil kunci yang tersembunyi di bawah keset, lalu berdiri kembali dan memasukkan kunci itu ke lubang kuncinya.
Dengan sekali putaran, kunci itu membuka pintu. Jasmine masuk dan mengunci pintunya dari dalam.
********
Arjuna memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdebar kencang, hampir terlambat untuk masuk kerja. Jalanan yang biasanya penuh sesak hari itu terasa lengang, seolah memberikan jalan khusus hanya untuknya. Ia berharap bisa tiba tepat waktu.
Ketika gedung kantornya akhirnya terlihat di depan mata, Arjuna segera memarkir motornya dengan tergesa-gesa dan berlari menuju pintu masuk.
Di lobi, beberapa karyawan tampak sedang mengobrol santai, tapi Arjuna tak punya waktu untuk berhenti. Ia hanya melemparkan senyum tipis dan melambaikan tangan sebelum melanjutkan langkah.
Tiba-tiba, suara sepatu hak tinggi berdetak keras terdengar dari ujung lobi. Arjuna refleks berhenti dan menoleh. Suara itu semakin mendekat, membuatnya merinding.
"Arjuna!" suara tajam itu memanggil namanya.
Dia langsung terdiam. Itu suara bosnya, Bu Cahaya—ibunya Jasmine.
"Berani-beraninya kamu datang telat seperti ini?! Masih niat kerja nggak sih kamu?!" bentak Bu Cahaya, wajahnya terlihat setajam elang yang mengincar mangsa.
Arjuna tercekat. Dia memang telat beberapa menit, tapi tak menyangka akan dimarahi seperti ini. Arjuna menunduk dengan wajah menahan ketakutan, dia membenarkan posisi tas selempangnya.
Kata Jasmine, ibunya memang galak kalau marah. Sekarang, Arjuna bisa merasakannya sendiri. Aura dingin dari wanita itu seolah menembus ke tulang-tulangnya.
"Maaf, Bu ... tadi saya harus antar Jasmine pulang dulu," ucap Arjuna dengan suara lirih, masih tidak berani mengangkat wajahnya.
Perlahan, Arjuna memberanikan diri mendongak. Dan yang membuatnya terkejut, wajah Bu Cahaya yang tadinya sekaku batu, kini berubah. Garis tegas di bibirnya melunak. Matanya yang semula tajam kini sedikit menyipit, bibirnya membentuk senyum tipis.
"Oh ... Jasmine, ya?" sahut Bu Cahaya, nada suaranya seketika turut berubah. “Yaudah, kalau gitu langsung ke belakang aja. Bikin kopi buat saya, lalu anterin ke ruang kerja saya.”
Arjuna mengangguk kaku, masih tak percaya perubahan drastis itu. Baru saja dia merasa seperti disiram air dingin, tapi kini, setelah nama Jasmine disebut, amarah itu meleleh seperti es yang dilempar ke air mendidih.
Bu Cahaya pun berbalik, langkahnya kini lebih gemulai. Arjuna hanya bisa menatap punggung bosnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Begitu wanita itu sudah benar-benar pergi, Arjuna menghela napas panjang, lalu segera bergegas menuju belakang, siap menjalankan tugas yang diminta.
Bersambung ...
Setelah selesai berganti pakaian dengan seragam kerjanya yang tersimpan rapi di laci karyawan, Arjuna kemudian membuatkan minuman seperti yang diminta bosnya. Dengan nampan berisi kopi di tangan, ia melangkah menuju ruangan sang bos.
Tiba di depan pintu, Arjuna mengetuknya pelan. "Masuk," sahut suara bosnya dari dalam. Arjuna membuka pintu dan melangkah masuk, mengintip sosok sang bos yang tengah duduk di balik meja besar, wajahnya serius menatap layar laptop. Sorot matanya tajam, tertuju pada deretan angka dan grafik yang berkejaran di layar.
Arjuna meletakkan kopi di meja samping laptop bosnya.
"Silakan Bu kopinya," ujar Arjuna ramah, meletakkan cangkir kopi di hadapan Bu Cahaya. Bu Cahaya mengangguk sekilas, "Terima kasih," ucapnya singkat, matanya masih terpaku pada layar laptopnya.
"Saya permisi Bu," Arjuna membalikkan badannya, hendak keluar dari ruangan bosnya. Nampan berisi minuman sudah ada di tangannya.
Namun, Cahaya yang teringat sesuatu langsung menoleh ke arah Arjuna. "Tunggu sebentar, Jun," pintanya, membuat Arjuna menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan sopan, sorot penasaran terpancar di wajahnya. Ada sedikit rasa takut juga, mengingat sikap tegas bosnya yang membuatnya selalu waspada.
Cahaya menatap kearah Arjuna, sorot matanya tak berubah, seperti biasanya. "Saya ada sesuatu buat Jasmine. Besok kamu kasih ke dia ya," katanya. Ia mengambil kotak kecil berwarna biru tua dari lokernya dan menyodorkannya kepada Arjuna. Dengan ragu, Arjuna mendekat dan menerima kotak itu, yang dihiasi tali berwarna senada.
Sejenak, Arjuna menatap kotak itu, seperti sedang berpikir apa maksud bosnya memberikan ini kepada Jasmine. Ia kemudian menoleh ke arah Bu Cahaya, yang masih menatapnya dengan tatapan yang seolah meneliti.
"Ini buat apa ya Bu?" tanya Arjuna. Jujur ia penasaran sekali dengan maksud dari bosnya memberikan Jasmine kotak itu.
Bosnya menatap tajam ke arah Arjuna, raut wajahnya seakan tak suka dengan pertanyaan itu. "Buat apa itu bukan urusanmu, Jun! Sudah, lebih baik kamu keluar saja dan kembali ke belakang. Besok, kasih kotak itu ke Jasmine!" Suara bosnya berdesis tajam, seperti ular berbisa yang siap menerkam, membuat Arjuna terdiam, tak berani bertanya lebih lanjut.
Arjuna pun hanya mengangguk takut, lalu membalikkan badan dan keluar dari ruangan bosnya.
*********
Malam harinya, Arjuna dan Jasmine meluncur di atas motor kesayangan Arjuna, membelah hiruk pikuk kota. Mereka tak punya tujuan, hanya ingin menikmati angin malam yang berhembus sepoi-sepoi.
Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi, menerangi jalan mereka. Jasmine memeluk erat pinggang Arjuna, tubuhnya menempel erat pada punggung Arjuna.
Angin malam yang dingin membelai wajahnya, membawa aroma aspal dan asap kendaraan yang bercampur dengan aroma bunga kamboja samar dari taman di pinggir jalan. Jasmine memejamkan mata, menikmati sensasi dingin yang menenangkan.
Keduanya tak banyak bicara. Sepanjang perjalanan, hanya deru mesin motor dan suara kendaraan lain yang menemani.
Arjuna melirik Jasmine melalui kaca spion motornya. Jasmine sedang menatap ke arah kanan, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Arjuna penasaran, apa yang membuat Jasmine tersenyum? "Lagi lihatin apa sih sampe senyum-senyum gitu?" tanyanya, suaranya sedikit menggoda, bermaksud bercanda.
Jasmine, yang seperti tertangkap basah, langsung menoleh ke arah lain, pipinya memerah. Rasa malu menggerogoti dirinya.
Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah, seolah-olah ingin menghilang dari pandangan. "Halah, kepo Lo!" sahutnya ketus, namun nada bicaranya terdengar sedikit gugup. Arjuna terkekeh melihat reaksi Jasmine.
Dia menggelengkan kepala, masih sembari tertawa, senang melihat perempuan itu salah tingkah.
Arjuna membelokkan motornya ke arah sebuah kafe, mesinnya mendengung pelan saat berhenti di depan pintu masuk. "Turun," katanya singkat, sambil melepas helm. Jasmine menatap sekeliling dengan bingung, lalu menoleh ke arah Arjuna.
"Kenapa malah ke kafe? Gue kan nggak minta kesini," tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit kesal. Jujur saja, ia tidak terlalu suka kafe. Baginya, daripada ke kafe, lebih baik ke bar atau tempat hiburan malam lainnya. Cafe terlalu feminim bagi dirinya yang bar-bar.
Helaan napas keluar dari bibir Arjuna. Dia tahu Jasmine pasti akan bertanya demikian. Dia melirik Jasmine sekilas. Lalu turun dari motor dengan Jasmine yang masih duduk di atas motornya.
"Udah turun aja nanti gue jelasin," kata Arjuna. Jasmine cemberut karena Arjuna sudah turun duluan, tapi akhirnya ia turun juga, berpegangan pada tangan Arjuna yang terulur kearahnya.
Mereka berdua pun berjalan masuk ke cafe itu. Setelah di dalam mereka melihat seisi cafe itu ramai. Banyak pasang muda mudi sedang bercengkerama di sana. Termasuk salah seorang perempuan dewasa yang sedang duduk sendirian di pojok dekat jendela.
Dari tempat mereka berdiri keduanya hanya melihat punggung wanita itu saja. Tapi Jasmine yang sepertinya mengenal wanita itu, menghentikan langkahnya. Arah pandangannya tertuju pada wanita itu. Arjuna mengikuti arah pandangan Jasmine.
"Dia kan..." Arjuna tidak melanjutkan ucapannya, menoleh kearah Jasmine.
Jasmine tidak membalas, dia membalikkan badannya dan berjalan keluar dari cafe itu. Arjuna menyusul Jasmine, matanya tak lepas dari punggung Jasmine yang menjauh.
Dia melihat Jasmine berhenti di dekat motornya, wajahnya tegang, matanya tajam seperti elang yang siap menerkam, membuat Arjuna sedikit takut. Ada kemiripan yang kuat dengan mamanya di sana.
Arjuna mendekat, berdiri tepat di depan Jasmine. Sentuhan lembutnya mendarat di bahu Jasmine, membuat wanita itu tersentak. Tatapan Arjuna menangkap wajah Jasmine yang tampak kalut. "Lo baik-baik aja?" tanya Arjuna, sedikit kekhawatiran terpancar dari sorot matanya.
Jasmine mendongak, menatap Arjuna. Pandangannya masih tajam, namun kini tersirat sedikit kerentanan di baliknya. "Anterin gue pulang Jun. Mood gue tiba-tiba buruk setelah lihat mama di sini," jawabnya, suaranya sedikit teredam. Perempuan yang mereka lihat di dalam tadi memang Cahaya, Mama Jasmine.
Entah kenapa tiba-tiba Mamanya ada di kafe biasa seperti ini. Biasanya, Mamanya akan pergi ke tempat mewah jika ingin makan atau sekedar ngopi. Tapi ini, tiba-tiba Mamanya di sini. Sendirian lagi.
Arjuna mengangguk, tak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya. Ia menaiki motornya, helm hitam mengilap terpasang di kepalanya. Jasmine pun melakukan hal yang sama, mengenakan helm dan naik ke boncengan motor Arjuna. Begitu Jasmine naik, Arjuna menghidupkan mesin motornya, membelah jalanan menuju rumah Jasmine.
Tak lama kemudian, motor mereka berhenti di depan rumah Jasmine. Jasmine turun, melepas helmnya dan menyerahkannya kepada Arjuna.
"Gue masuk duluan Jun," katanya singkat, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu rumah. Ia menarik handle pintu dan melangkah masuk.
Setelah pintu tertutup, Arjuna kembali menyalakan mesin motornya dan melaju pergi. Masih ada urusan lain yang harus ia selesaikan, pulang ke rumah untuk saat ini bukanlah tujuannya.
*********
Motor butut Arjuna berhenti di depan gedung kumuh yang dihiasi cat mengelupas. Di atas pintu kayu lapuk, sebuah papan usang bertuliskan "Gadai & Pinjaman" dengan cat merah yang sudah memudar.
Bau apek dan aroma rempah-rempah menyengat hidung Arjuna. Ini dia, sarang lintah darat, tempat para penindas bersembunyi di balik senyum licik dan janji-janji manis.
Beberapa hari lalu, seorang pria berwajah bengis dengan tatapan tajam seperti elang datang ke rumahnya. "Mana duitnya, bocah?!" suaranya berdesis, menyeramkan. "Ini hutang bapakmu, sepuluh juta! Kalo nggak dibayar, rumahmu bakal gue sita!"
Arjuna dan keluarganya terpuruk, tak punya uang sepeser pun. Rasa putus asa menggerogoti mereka. Arjuna terpaksa menelan ludah, menelan harga dirinya, dan bertekad untuk menyelamatkan rumahnya dari cengkeraman para rentenir.
Hari ini, dia datang ke sarang mereka, bertekad untuk meminjam uang. Rahasia ini dia sembunyikan dari ibunya dan keluarganya. Dia berjanji akan membayar semua hutang ayahnya, menyelamatkan rumah mereka, walau harus menanggung beban berat sendirian.
Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya. Dia membuka pintu kayu yang berderit, masuk ke dalam ruangan sempit yang pengap.
Seorang pria bertubuh kekar dengan kumis tebal dan tatapan tajam duduk di balik meja kayu. "Mau ada urusan apa kau datang kesini, anak muda?" tanya pria itu dengan nada mengejek.
"Saya mau pinjam uang," jawab Arjuna gugup.
"Pinjam? Uang? Buat apa?" Pria itu menyeringai, mata tajamnya mengintip Arjuna dari atas ke bawah.
"Buat bayar hutang," jawab Arjuna, suaranya bergetar.
"Hutang? Hutang siapa?" Pria itu mencondongkan tubuh, suaranya berbisik tajam.
"Hutang bapak saya," jawab Arjuna, menunduk.
"Ooh, hutang bapakmu ya? Berapa?" Pria itu tertawa mengejek.
"Sepuluh juta," jawab Arjuna, menelan ludah.
"Sepuluh juta? Hah! Itu mah cuma recehan buat gue!" Pria itu tertawa terbahak-bahak, suaranya seperti gertakan petir yang menggelegar, membuat Arjuna semakin gugup. "Tapi, gue bisa bantu. Gue pinjemin lo sepuluh juta. Tapi, bunga 20% per bulan. Gimana?"
Arjuna terdiam, mencoba mencerna tawaran itu. Bunga 20% per bulan? Itu berarti dia harus membayar dua juta per bulan! Bagaimana dia bisa membayarnya? Tapi, dia harus menyelamatkan rumahnya. Dia harus menyelamatkan keluarganya.
"Saya setuju," jawab Arjuna, suaranya lirih.
"Bagus! Sekarang, tulis nama lo di sini," kata pria itu, menyerahkan selembar kertas dan pulpen. "Dan, jangan lupa, bayar tepat waktu. Kalo telat, konsekuensinya ..." Pria itu menyeringai, tatapannya tajam seperti pisau.
"Kalo telat, gue bakal sita apapun yang Lo punya! Dan ..." Pria itu mendekat, menatap Arjuna dengan tatapan tajam, "Gue bakal ..." Pria itu membisikkan sesuatu ke telinga Arjuna, membuat Arjuna merinding ketakutan.
Bersambung ...
Setibanya di dalam rumah, Jasmine menemukan sang papa sedang menonton televisi di ruang tamu. Televisi itu terpasang di meja, menghiasi sudut ruangan.
Jasmine mendekat, tubuh mungilnya merapat ke samping papanya. Sang papa menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Tadi katanya mau jalan-jalan sama Arjuna? kok bentar aja udah pulang?" tanya sang papa, heran melihat Jasmine pulang cepat. Sebentar tadi mereka baru saja keluar. "Kenapa, sayang?"
Jasmine tak menjawab, matanya tertuju pada layar televisi, tapi pikirannya melayang entah ke mana. "Nggak papa Pa, lagi nggak mood aja aku. Ehm, aku ke kamar dulu ya, mau ganti baju sama istirahat," jawabnya singkat. Ia lalu bangkit dan berjalan menuju kamarnya.
Papanya menatap punggung Jasmine yang perlahan menjauh, hingga akhirnya tidak terlihat lagi. Setelahnya papanya pun kembali mengalihkan pandangannya ke layar televisi.
*********
Arjuna menarik gas motornya, melaju pelan meninggalkan tempat rentenir itu. Jalanan yang biasanya terasa hidup, kini terasa sunyi dan hampa.
Matanya menerawang kosong, tak mampu menangkap keindahan dunia di sekelilingnya. Bayangan wajah rentenir itu, dengan senyum sinis yang seakan mengejek, terus menghantuinya.
Di dalam tasnya, tergeletak sebuah amplop berisi sepuluh juta rupiah, uang yang berhasil dia dapatkan untuk melunasi hutang sang ayah. Uang yang seharusnya menjadi obat penawar duka, malah menjadi beban baru yang mencekik lehernya.
Hutang baru, dengan bunga yang menyeramkan seperti ular piton, menjerat lehernya hingga ia kesulitan bernapas. Angka-angka yang tertera di kertas pinjaman itu terlalu besar, membuatnya terengah-engah, tak mampu menelan ludahnya sendiri.
Arjuna masih bisa mendengarnya. Kata-kata kasar dan ancaman para rentenir itu, yang terlontar dengan nada dingin dan menusuk, masih bergema di telinganya. Seakan-akan mereka masih berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan tajam, siap menerkam jika dia sedikit saja terlambat membayar.
"Denger baik-baik, bocah! Kalo lo sampe telat bayar, jangan harap lo bisa hidup tenang. Lo pikir cuma harta benda lo yang ilang? Hahaha! Gue bakal bikin lo jadi 4njing gue, ngikutin gue kemana-mana, ngelakuin apa yang gue suruh.
Bahkan kalo gue suruh lo bvnuh orang, lo harus nurut! Kalo lo berani ngelawan, gue bakal bikin hidup lo lebih sengs4ra dari ner4ka! Lo siap kan ngerasain ner4ka di dunia?"
Anc4man itu bukan gertakan kosong. Arjuna tahu, rentenir itu tak segan-segan menghancvrkan hidupnya jika dia tak mampu melunasi hutang. Harta benda, keluarga, bahkan ny4wanya pun bisa menjadi taruhan.
Dia teringat cerita dari orang-orang tentang bagaimana rentenir itu pernah dengan mudahnya mencabut ny4wa seorang pemuda yang tak mampu membayar hutang.
Sepuluh juta rupiah, jumlah yang tak seberapa bagi rentenir yang rakus itu, namun baginya bagaikan gunung yang menjulang tinggi. Gaji sebagai ob yang tak seberapa, tak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup dan membayar hutang.
Sekolah adiknya, kebutuhan di rumah, semuanya terancam. Bagaimana dia bisa mencicil hutang dengan bunga yang mencekik itu? Bagaimana dia bisa bertahan hidup jika harus terus-menerus dikejar rentenir?
Arjuna sampai di depan rumahnya, sebuah rumah sederhana yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Dia memarkirkan motornya, turun, melepas helm, dan melangkah lesu menuju pintu. Tangannya gemetar saat menarik handle pintu, seakan beban yang dia pikul terlalu berat untuk ditanggung. Dia memasuki rumahnya.
"Assalamualaikum," ucap Arjuna mengucap salam, suaranya sedikit serak. Matanya menyapu ruangan, mencari keberadaan ibu dan adiknya. Rumah mungil mereka, hanya beberapa petak saja, tak sulit untuk dijangkau pandangannya.
Bahkan dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat dapur yang terletak di ujung ruangan.
Arjuna berjalan ke dapur, siapa tahu ibunya sedang memasak di sana. Namun, begitu tiba di dapur, dia mendapati tempat itu kosong. Ibunya dan adiknya tak ada di sana. Kemanakah mereka pergi? Rasa khawatir mulai menggerogoti hatinya.
Ia berbalik, melangkah menuju kamarnya. Namun, sebelum tangannya meraih kenop pintu, suara gaduh mengagetkannya. Pintu depan rumahnya di dobrak dengan kasar, dan beberapa orang berwajah garang, bertubuh kekar, dan berkumis tebal berhamburan masuk.
Mereka melangkah cepat, matanya melotot tajam, dan wajah mereka dipenuhi amarah.
Arjuna terpaku, tubuhnya menegang. Rasa takut merayap di sekujur tubuhnya, membuat bulu kuduknya berdiri tegak.
Setibanya para pria itu di depan Arjuna, salah satu dari mereka dengan kas4r menarik kerah baju Arjuna "Ini udah kelewat tanggal bocah! Kapan Lo mau bayar hutang bokap Lo?!" bentak pria itu sambil melepas kerah baju Arjuna yang ia tarik.
Pria lainnya, dengan tatapan tajam, menambahkan, "Lo masih inget kan apa yang kita bilang dulu? Kalo lo sampe nggak bayar, rumah kecil lo ini bakal kita sita. Sekarang mana duitnya? Kita nggak mau denger alasan lagi!" Tangannya terulur ke arah Arjuna, menagih hutang yang sudah jatuh tempo.
Arjuna dengan wajah takut merogoh tas selempangnya, mengambil bungkusan coklat lalu menyodorkannya kepada para lelaki dewasa yang berdiri di hadapannya. Yang dirasa sebagai ketua mereka menerima amplop itu dengan tangan kas4r, lalu membukanya.
Seketika, mata lelaki itu berbinar-binar. Senyum lebar terkembang di wajahnya saat melihat tumpukan uang di dalam amplop. Dia menoleh ke arah Arjuna, menyimpan amplop beserta uangnya di dalam sakunya
"Oke, hutang bokap lo udah lunas. Kita cabut, tugas kita udah selesai." Pria itu menoleh ke arah anak buahnya, mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar, seakan-akan baru saja menyelesaikan transaksi jual beli sayur di pasar.
Para rentenir itu berbalik dan meninggalkan rumah Arjuna, meninggalkan Arjuna sendiri di tengah keheningan.
Arjuna terduduk lemas di lantai, rasa lega bercampur dengan sesak di dadanya. Hutang ayahnya memang sudah lunas, tapi beban baru sudah menanti. Bayangan hutang yang baru saja dia pinjam masih menghantuinya.
Arjuna mengusap wajahnya kas4r. Dia menghela napas kas4r dan meringkuk, menyembunyikan wajahnya di balik lutut yang tertekuk.
Tiba-tiba pintu depan terbuka, beberapa langkah kaki berjalan masuk. Arjuna mendongak, mendapati ibu dan adiknya berjalan beriringan menuju ke tempatnya. Arjuna berdiri, menatap ke arah ibu dan adiknya yang kini ada di hadapannya.
"Bu," Arjuna men-ci-um punggung tangan ibunya, lalu adiknya meraih tangan Arjuna dan men-ci-um punggung tangannya.
"Ibu sama Luna habis dari mana?" tanya Arjuna, matanya bertemu dengan tatapan ibunya.
Ibunya hendak menjawab, namun Luna, adiknya, dengan cepat menyela, "Kita habis dari rumah tetangga, Kak. Anaknya lamaran, jadi kita datang buat memeriahkan. Nih, kita dapet jajanan, buat Kakak juga ada."
Luna menyodorkan sebuah tas kardus berwarna emas kepada Arjuna. Arjuna menerimanya dan membuka sedikit, menyingkap isi tas melalui celah lubang di atasnya.
"Jadi kalian udah makan?" tanya Arjuna, menoleh ke arah ibu dan adiknya bergantian. Ibunya mengangguk, disusul oleh Luna.
"Udah Jun. Tadi di sana kita di kasih makanan. Kamu udah makan belum? tadi ibu udah masak, kamu makan gih kalo belum," kata ibunya hangat.
Arjuna tersenyum, senyum yang manis dan hangat, persis seperti mendiang ayahnya. Senyum itu selalu membuat ibunya teringat suaminya, rindu yang terkadang membuatnya meneteskan air mata.
"Kebetulan belum, Bu," jawab Arjuna, suaranya lembut. "Yaudah, Arjuna ganti baju dulu ya, habis itu langsung makan."
Dia tersenyum lagi, kali ini kearah adiknya yang sedang asyik memainkan ponselnya, kemudian berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Setibanya di sana, dia meletakkan tasnya di atas ranjang, berganti pakaian, lalu keluar kembali menuju ruang makan.
*******
Cahaya melangkah cepat, hampir berlari, memasuki kantornya. Pagi ini, dia terlambat. Meeting di luar kantor, jaraknya lumayan jauh, ditambah lagi dia bangun kesiangan. Udara pagi yang sejuk tak mampu meredakan amarahnya.
Saat memasuki kantor, Cahaya langsung meledak. Suaranya yang lantang bergema di ruangan, menggetarkan dinding dan membuat semua karyawan terdiam. "Kalian semua ngapain?! Meeting sebentar lagi, berkasnya mana?!"
Wajahnya memerah, matanya menyala seperti api, bibirnya yang merah merona itu mengerucut, membentuk garis tegas yang menandakan amarahnya.
Semua karyawan menunduk, tak berani menatap mata bos mereka. Mereka tahu, Cahaya tak main-main. Jika ada yang berani melawan, siap-siap kehilangan pekerjaan.
"Cepat! Siapkan semua berkas! Jangan sampai ada yang kurang!" Cahaya berteriak lagi, tangannya mengepal kuat, menunjuk-nunjuk meja dengan jari telunjuknya yang lentik.
Suasana kantor menegang. Semua karyawan bergerak cepat, tangan mereka gemetar, keringat dingin menetes di kening. Mereka takut, sangat takut pada amarah Cahaya.
Setelah semua berkas siap, salah seorang karyawan wanita mengantar berkas itu ke ruangan Cahaya. Langkahnya perlahan, wajahnya menegang. Dia mengetuk pintu dengan hati-hati, takut terkena semprotan Cahaya.
"Masuk!" kata Cahaya terdengar dingin, tegas seperti biasanya.
Wanita itu melangkah masuk dengan perlahan, matanya menunduk, tak berani menatap Cahaya. Dia berjalan ke meja bosnya dan meletakkan berkas di atas meja, tepat di samping tangan Cahaya yang sedang mengetik di laptop.
Cahaya tak menoleh, matanya masih terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik dengan penuh konsentrasi. Wajahnya serius, tak ada secercah senyum.
"Bu, semua berkasnya sudah siap," ucap wanita itu dengan suara bergetar.
Cahaya hanya menjawab singkat, "Iya, terima kasih," tanpa menoleh.
Hening. Hanya suara keyboard yang berdetak pelan yang memecah kesunyian. Wanita itu menatap lurus ke arah bosnya, manik-maniknya berkedip gugup. "Ehm, Bu, saya izin keluar dulu ya, permisi," ucapnya, suaranya masih bergetar.
Cahaya tak menoleh, tak menjawab. Dia masih fokus pada pekerjaannya. Wanita itu pun berbalik dan keluar dari ruangan.
Suasana kantor menjadi sunyi senyap setelah Cahaya marah-marah. Semua karyawan terpaku di tempat, tak berani bergerak. Di ambang pintu, Arjuna menyaksikan pemandangan itu dengan jantung yang berdebar-debar.
Dia baru saja beralih shift, kelas paginya libur, jadi dia bekerja hingga sore. Cahaya yang sedang mengamuk itu membuatnya merinding.
"Hadeuh, serem banget sih Bu Cahaya kalo lagi ngamuk. Kayak singa lagi ngejar zebra. Tapi, cantik juga sih. Wajahnya gemesin, bibirnya merah kayak tomat.
Jadi pengen... eh, ngapain gue ngomongin ini? Udahlah, mending gue ke belakang aja." Arjuna menggumam dalam hati, sambil menggeleng-geleng kepala. Dia melangkah masuk ke belakang, berganti pakaian kerjanya. Hari ini dia harus bekerja hingga sore, setelah itu dia harus kuliah hingga malam.
********
Di kampus, Jasmine duduk termenung di kantin. Suasana siang yang ramai tak mampu mengusir rasa bosannya. Kelasnya sudah selesai dari beberapa menit yang lalu, tapi dia tak ingin langsung pulang. Rumah sepi, Arjuna pun sedang sibuk bekerja, jadi kantin menjadi tempat pelariannya sejenak.
Beberapa temannya sempat menemaninya, tapi mereka sudah pergi. Kini, Jasmine duduk sendirian, menyeruput es teh manis dan memainkan ponselnya.
Seorang pria muda, tampan dan ramah, menghampirinya dan duduk di kursi di hadapannya. "Sendirian aja sih?" tanyanya, mencoba akrab.
Jasmine menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada minumannya. "Kalau iya, emang kenapa?!" tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit ketus.
Pria itu terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan respon Jasmine.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!