Laura melihat wajahnya yang terpantul dari kaca. Tak pernah dia bayangkan akan menikah dengan Adam, tunangan sang adik.
Sebenarnya keluarga Laura masih berduka atas kepergian sang adik, tapi pernikahan tak bisa ditunda karena undangan sudah terlanjur disebarkan.
Saat Laura sedang bercermin, suara ketukan di pintu membuat dia terkejut. Gadis itu lalu mempersilakan orang itu masuk.
"Ibu ... aku kira siapa?"
Ibu berjalan mendekati sang putri. Air mata yang hampir jatuh berusaha dia tahan. Dia mengecup pucuk kepala Laura. Hal yang tak biasa wanita itu lakukan.
Selama ini ibunya tak pernah menyayangi dirinya. Baik ayah atau ibunya hanya sayang dan perhatian pada sang adik Nayla.
Bukannya Laura cemburu, tapi sebagai anak dia juga ingin mendapatkan perlakuan yang sama. Di sayang dan juga diperhatikan.
"Ibu kenapa ...? Masih sedih atas kepergian Nayla?" tanya Laura.
Pasti ayah dan ibunya sangat kehilangan sang adik. Anak yang sangat mereka sayangi. Kepergian Nayla membuat kedua orang tuanya sangat berduka, termasuk Laura.
Selama ini hanya Nayla yang perhatian padanya. Setiap dia sakit, hanya adiknya yang memberikan perhatian. Ayah dan ibunya tak pernah peduli.
Terkadang dalam hati Laura bertanya, apakah dia anak angkat atau anak tiri. Namun, dia selalu menepis semuanya.
"Maafkan Ibu, Laura!" seru Ibu Sumarni.
"Maaf untuk apa, Bu? Aku rasa Ibu tak pernah melakukan kesalahan," kata Laura dengan penuh keheranan. Tak pernah Ibu Sumarni mengatakan maaf selama ini.
Laura memandangi wajah ibunya. Mata wanita itu memerah karena menahan tangis. Dia jadi bertanya, apa yang sebenarnya membuat ibunya sangat bersedih begitu. Apakah masih menangisi kepergian Nayla? Tanya Laura dalam hatinya.
Ibu lalu mengambil kursi dan duduk dihadapan putrinya. Dia meraih tangan Laura dan menggenggamnya. Hal yang tak biasa dia lakukan. Jangankan menggenggam tangannya, saat akan bersalaman saja, biasanya sang ibu dengan malas menyambutnya.
"Maafkan Ibu jika selama ini telah membuat kamu bersedih dan terluka. Ibu tak bermaksud begitu, tapi perasaan tak suka ini selalu menghantui," ucap Ibunya dengan suara pelan.
"Apa salahku, kenapa Ibu tak suka dan tak menyayangiku?" tanya Laura. Sudah lama dia ingin menanyakan ini, tapi tak berani.
"Suatu saat kamu akan mengerti. Sekarang bersiaplah. Semua telah menunggu. Sebentar lagi ijab kabul mu. Jangan buat ayah menunggu. Ibu takut dia akan makin marah!" seru Ibu.
Ibu Sumarni lalu berdiri dan pergi meninggalkan Laura. Selalu saja begitu. Ibu tak pernah mau menjawab, kenapa dia sangat membencinya.
Laura keluar dari kamar tanpa ada yang menemani. Pengantin mana yang berjalan seorang diri menuju ke meja pernikahan. Apakah karena dirinya hanyalah pengantin pengganti? Tanya gadis itu dalam hatinya.
Saat memasuki ruangan, Laura melihat Adam, calon suaminya telah duduk di kursi, berhadapan dengan ayahnya Pak Darimi.
Semua mata tamu undangan memandangi dirinya dengan tatapan iba karena hanya berjalan seorang tanpa ada yang menemani. Laura tetap berusaha tersenyum walau hatinya bersedih.
Laura lalu duduk di samping Adam. Pembawa acara lalu memulainya dengan membacakan susunan acara.
Setelah melalui acara demi acara satu persatu, tibalah saatnya ijab kabul. Entah mengapa, dada Laura terasa berdetak lebih cepat.
"Pak Darimi dan Adam, apakah sudah siap untuk membacakan ijab kabul?" tanya Pak Penghulu.
"Siap ... Pak!" jawab Adam.
"Baiklah. Kita mulai ijab kabulnya. Bapak dan Adam bisa mencoba sekali sebagai latihan," ucap Penghulu.
"Maaf, saya tidak bisa menjadi wali nikah buat Laura," ucap Pak Darimi dengan suara tegas.
Ucapan Pak Darimi membuat Laura dan semua tamu undangan menjadi terkejut. Semua mata memandang tajam ke arah mereka, menanti adegan selanjutnya.
"Kenapa, Pak?" tanya Pak Penghulu.
"Saya bukan ayah kandungnya Laura. Dia hanyalah anak haram istriku. Aku menikah dengan Sumarni saat dia sedang hamil Laura, anak dari pria lain!" seru Pak Darimi.
Suara riuh terdengar dari semua tamu undangan. Mereka tak percaya dengan apa yang Pak Darimi ucapkan.
Ibu Sumarni dan Laura adalah dua wanita yang paling tersakiti saat ini. Wajah mereka merah karena menahan malu dan tangis.
"Kenyataan apa lagi ini, ternyata aku hanyalah anak haram, pantas ayah dan ibu sangat membenciku," gumam Laura dalam hatinya.
Nayla masuk ke kamar sang kakak dengan membawa undangan pernikahan. Satu minggu lagi dia akan melangkah ke jenjang pernikahan dengan kekasih hatinya, Adam.
Laura yang sedang berhadapan dengan laptop tersenyum melihat adiknya. Dia lalu menutupnya.
"Apa Kak Laura sibuk?" tanya Nayla dengan lembut.
"Untuk kamu tak akan ada kesibukan. Semuanya pekerjaan akan Kakak hentikan jika memang kamu inginkan," jawab Laura.
Nayla langsung memeluk tubuh kakaknya. Terkadang dia heran dengan kedua orangtuanya, kenapa mereka selalu saja marah dan membenci Laura. Padahal dia begitu baik dan perhatian.
Laura juga rela mengubur mimpinya bekerja di sebuah perusahaan yang sangat besar karena ayah dan ibu melarang. Padahal semua orang dengan susah payah memasukinya.
Tiga bulan lalu, Laura yang telah wisuda, diterima di perusahaan yang sangat besar dan ternama. Dia ditempati di luar kota. Saat gadis itu meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke luar kota, keduanya sangat melarang. Nayla jadi ingat kejadian malam itu.
"Ayah, Ibu, aku mau minta izin," ucap Laura dengan suara pelan dan wajah tertunduk.
"Izin apa? Jangan minta yang bukan-bukan!" seru Ibu dengan suara tinggi. Padahal dia belum tahu apa yang akan gadisnya sampaikan.
Ayah yang sedang menonton, menatap tajam pada gadis itu. Dia juga bertanya dengan suara keras. "Apa lagi yang kau lakukan?" tanya Ayah.
"Aku diterima di perusahaan X. Aku ditempati di kota Z. Aku mohon Ayah dan Ibu mengizinkan, karena aku akan pergi besok. Lusa sudah harus bekerja," jawab Laura dengan hati-hati.
Ayah dan Ibu saling pandang. Sepertinya mereka sedang memikirkan hal yang sama.
"Aku tak mengizinkan kau pergi. Entah betul kau kerja di perusahaan atau hanya menjual diri!" seru Ayah. Laki-laki itu memang tak pernah menyebut ayah pada dirinya setiap bicara. Selalu saja mengatakan dirinya dengan kata 'Aku'.
Laura terkejut mendengar ucapan ayahnya. Walau selama ini Pak Darimi tak pernah berkata lembut, tapi ucapannya kali ini sangat menyakitkan. Dia tak menyangka kata-kata itu keluar dari bibirnya.
"Ayah, kenapa bicara begitu. Tak mungkin Kak Laura begitu," ucap Nayla.
"Kau tau apa tentang Kakakmu ini!" seru Ayah dengan suara lantang.
Air mata Laura jatuh membasahi pipinya. Selalu saja apa yang dia lakukan salah di mata kedua orang tuanya. Dulu saat dia ingin melanjutkan kuliah, mereka juga tak setuju. Hingga tak mau membayar uang kuliah.
Laura hingga harus membiayai kuliahnya sendiri. Dari masuk sekolah menengah dia memang sudah jualan online. Sehingga bisa untuk bayar kuliah.
"Ayah, aku tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku akan menjaga nama baik Ayah dan Ibu," ucap Laura terbata. Dia sangat mengharapkan pekerjaan itu. Selain perusahaan tersebut sangat ternama, dia juga ingin jauh dari kedua orang tuanya.
Selama ini apa yang dia lakukan selalu saja salah di mata mereka. Padahal semua pekerjaan rumah sudah dia kerjakan. Saat Nayla ingin membantu, ayah pasti akan melarang. Jika ketahuan adiknya menolong, dia akan kena marah dan mendapatkan pukulan. Sedangkan ibunya hanya diam saja tanpa ada maksud membela dirinya.
"Kenapa kau yakin tak akan membuat malu keluarga? Tanyakan pada ibumu, apa yang telah dia lakukan sehingga mencoreng nama baik kedua orang tuanya. Untung saja aku mau membantunya!" saru Ayah.
Laura yang tak mengerti arah bicara sang ayah, lalu memandangi wajah ibunya. Dia berharap Ibu Sumarni memberikan jawaban yang dia harapkan.
"Jika ayahmu mengatakan jangan, ikuti saja. Kau tak mau dikatakan anak durhaka, bukan? Kenapa harus bekerja keluar kota. Anak perempuan itu di rumah saja. Cukup makan dan minum. Kami masih sanggup memberi kamu makan!" teriak sang Ibu.
Setelah mengucapkan itu, Ibu lalu beranjak pergi ke kamar. Ayah lalu memandangi Laura lagi.
"Kau dengar apa kata ibumu! Jangan bekerja, dan tetap di rumah!"
Ayah lalu beranjak pergi dari ruang keluarga itu menuju kamar, menyusul sang ibu. Tangis Laura pecah setelah kedua orang tuanya menghilang.
Nayla lalu mendekati sang kakak. Memeluknya erat sebagai bentuk kasih sayang. Hanya adiknya itu yang masih peduli dengan Laura.
"Nayla, Kakak tak mungkin melakukan hal itu. Kakak benar-benar diterima di perusahaan X," ucap Laura.
"Aku percaya, Kak. Aku percaya dengan kemampuan Kakak," balas Nayla.
Laura selalu mendapat nilai tinggi di bidang akademik. Walau orang tuanya tak pernah mendukung. Mengambil raportnya saja dia harus minta tolong tetangga. Kedua orang tuanya tak peduli dengan perkembangan dirinya. Selalu Nayla yang dipuji.
Saat Laura menjadi juara umum dan Nayla hanya mendapatkan juara tiga, tetap saja yang dipuji adiknya. Bukannya Laura iri, cuma dia juga ingin mendapatkan apresiasi dari kedua orang tuanya.
"Dek, ada apa?" tanya Laura sambil menyentuh lengan Nayla. Pertanyaan sang kakak membuat lamunannya buyar. Dia kembali tersenyum pada kakaknya itu.
"Kak, bisa tolong antarkan aku ke rumah teman?" tanya Nayla.
Nayla tak bisa mengendarai motor karena tak pernah diizinkan orang tuanya. Takut jika anaknya mengalami kecelakaan. Sedangkan Laura terpaksa belajar dengan temannya karena sangat membutuhkan kendaraan untuk mengantar pesanan online pelanggan. Dia membeli motor dengan uangnya sendiri. Biaya kuliah Nayla juga dia yang tanggung, tapi tetap saja kedua orang tuanya tak pernah bangga.
"Tentu saja boleh, Dek. Tapi apa ayah dan ibu mengizinkan kamu pergi dengan motor?" Laura balik bertanya.
"Ayah masih di luar kota. Besok baru kembali. Ibu sudah mengizinkan," jawab Nayla.
"Kalau begitu baiklah. Kakak ganti baju dulu."
"Aku juga mau ambil undangannya. Terima kasih, Kak," ujar Nayla.
"Tak perlu berterima kasih, Dek. Kayak sama orang lain saja."
Nayla tersenyum menanggapi ucapan sang kakak. Dia lalu keluar dari kamar Laura. Mengambil undangan di kamarnya.
Setelah kedua siap, mereka lalu pamit pada sang ibu yang sedang sibuk di dapur. Walau pernikahan Nayla dan Adam sang kekasih diurus sebuah wedding organizer, tapi tetap saja sang ibu sibuk akan persiapannya.
Saat ini Adam sedang berada di luar kota. Pria itu pulang kampung untuk menjemput sang ibu agar dapat menghadiri pernikahan mereka.
"Bu, aku pamit. Aku mau mengantar Nayla menyebarkan undangan pernikahannya," pamit Laura.
"Hati-hati. Sebagai calon pengantin sebenarnya pamali untuk bepergian. Ibu sudah melarang tadi, tapi Nayla tetap ingin mengantarkan undangan itu langsung."
"Bu, doakan saja yang baik untukku dan Kak Laura. Aku pamit," balas Nayla.
Kedua adik kakak itu lalu meninggalkan rumah dengan riang. Jarang mereka berkesempatan pergi begini jika ada ayah di rumah. Laura mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang meninggalkan halaman rumah menuju alamat yang diberikan adiknya Nayla.
**
Selamat siang. Mama datang kembali dengan karya terbaru. Novel ini menggunakan alur maju mundur.
Mama mohon dukungannya dengan memberikan like, dan komentar setiap habis membaca. Jangan lupa baca setiap update, jangan menumpuk bab. Terima kasih. Lope-lope sekebon jeruk. 😍😍😍😘😘
Hari itu terasa begitu cerah, sinar matahari menembus celah-celah dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Laura, kakaknya Nayla, memutar kunci motor matic yang telah setia menemani mereka berkeliling kota. Selalu ada sesuatu yang seru saat mereka berdua bersama. Namun hari ini, ada keistimewaan tersendiri: mereka akan mengantar surat undangan pernikahan Nayla untuk temannya.
Setelah mampir ke sebuah toko buku untuk membeli pena, Laura dan Nayla kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah-rumah sahabatnya sang adik, Nayla.
"Yuk, Nay! Kita lanjutkan perjalanan! Cuaca hari ini pas banget untuk ngirim undangan. Sangat cerah," seru Laura dengan semangat, sambil mengenakan helmnya. Rutinitas seperti ini sangat dia ingin lakukan bersama Nayla dan menambah warna dalam hidup mereka.
Jika ada ayahnya, tak akan Nayla diizinkan pergi dengannya. Jangankan dengan motor, mobil saja dilarang. Ayah begitu takut putri kesayangannya terluka. Sedangkan dirinya, dengan jalan kaki saja ayah tak akan peduli. Terkadang Laura merasa sangat iri dengan adiknya yang begitu disayangi kedua orang tuanya.
"Siap, Kakak! Aku bahkan sudah membayangkan bagaimana reaksi Vina saat terima undangan ini!" Nayla melingkarkan tangan di pinggang Laura seperti biasanya. Keduanya tertawa, merasakan keseruan di perjalanan yang akan mereka lalui.
Mereka meluncur di jalanan yang sunyi, sapuan angin menyegarkan pikiran. Nayla bercerita tentang persiapan pernikahannya yang semakin dekat. "Mau tahu nggak, Kak? Di pernikahan nanti, aku pengen pakai gaun yang simpel dan elegan. Aku juga ingin di hari pernikahanku nanti kakak tampil cantik. Baju untuk Kak Laura sudah aku persiapkan," ucap Nayla, wajahnya berseri-seri.
Laura menoleh sambil tersenyum, "Semoga pernikahan kamu nanti berjalan lancar. Kamu dan Adam menjadi keluarga yang bahagia hingga maut memisahkan kalian," ujar Laura.
"Kak Laura benar, aku dan Adam sudah berjanji, tak akan ada yang bisa memisahkan kami kecuali maut," balas Nayla.
Di jalan lurus yang sepi itu, cerita terus mengalir. Laura menceritakan kenangan masa-masa mereka di sekolah, saat mereka sama-sama masih di sekolah dasar. "Ingat waktu kita belajar bareng di taman, kamu selalu bawa camilan. Aku jadi bisa belajar lebih fokus!" kenang Laura.
"Ya, ya… ya. Camilan itu rahasia sukses kita! Hahaha. Eh, dulu Kakak juga pernah masakin mie instan diam-diam agar ayah tak tau!" Nayla balas menggoda.
Namun, di tengah obrolan penuh tawa itu, Laura terhanyut dalam kisahnya. Keceriaan menyelimuti mereka berdua. Tanpa sadar mereka mengabaikan lingkungan sekitar. Di ujung pandangan, sebuah mobil berkecepatan tinggi muncul dari arah yang berlawanan. Laura yang asyik bercerita, tidak melihat bahaya yang mendekat.
"Nayla, kamu ingat nggak …?" Laura menghentikan ucapannya dan baru menyadari ketika suara klakson mobil itu menggema di telinganya. Tapi sudah terlambat. Arah motor telah mendekati mobil yang telah berbelok dengan sangat cepat.
Suara dentuman yang keras terasa mengguncang jiwa, perasaan berat seakan menyelimuti. Dalam sekejap, semuanya terasa kacau. Laura merasakan sebuah benturan yang sangat keras, tubuhnya terpelanting ke sisi jalan. Semua terasa lambat. Di hadapannya, Nayla terpental jauh dari boncengan, jatuh tak berdaya di tanah.
"Nayla!" teriak Laura penuh panik, berusaha bangkit meskipun rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Ia berlari ke arah adiknya pelan-pelan. Namun betapa terkejutnya saat melihat Nayla terbaring dengan kepala berdarah dan matanya terpejam rapat.
"Nayla, bangun, Nay! Tolong …," teriak Laura dengan bibir bergetar, bibirnya terasa kering. Laura ingin sekali memeluk Nayla, tetapi bagian tubuhnya terasa lemas. Tubuhnya juga terasa banyak yang luka dan terasa perih.
Seorang pengendara sepeda motor dari arah lain berhenti, melompat dari motornya dan berlari menghampiri mereka. "Kalian baik-baik saja? Saya panggil ambulan dulu!" ucap orang itu dengan wajah yang khawatir.
Laura tidak menjawab, semua pikirannya tertuju pada Nayla. "Nayla, aku di sini, Nay. Bangun Nay, bangunlah, jangan tinggalkan aku!" seru Laura, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Rasa takut dan panik menyatu dalam hatinya saat melihat kondisi adiknya.
Laura membayangkan kemarahan kedua orang tuanya. Dia tak tahu apa yang akan mereka lakukan padanya.
"Ya, Allah. Selamatkan Nayla. Aku takut," gumam Laura dalam hatinya.
Tak lama setelah itu, sirene ambulans terdengar mendekat. Laura melihat beberapa orang berdatangan, cepat-cepat memperhatikan Nayla. "Mohon mundur, kami butuh ruang!" kata salah satu petugas medis yang tiba.
Laura mundur dengan berat hati. "Tolong … tolong dia. Dia adikku," suaranya terdengar parau karena terisak.
"Nayla!" Laura berteriak memanggil, sementara petugas medis mencoba memberikan pertolongan. Dada Laura berdebar tak karuan. Dia merasa seolah dunia ini berhenti berputar. Tangan Nayla dingin di sentuh, seolah tidak ada kehidupan yang tersisa di sana.
Dalam keheningan yang mencekam, Laura merasakan semangat dalam dirinya berusaha berdoa. Namun perasaannya dipenuhi dengan ketakutan. Dia ingin Nayla selamat, ingin mendengar tawa adiknya kembali, ingin menjalani semua momen indah bersama lagi.
Hanya Nayla yang mengerti dirinya. Lagi pula, Laura tak bisa membayangkan apa yang ayahnya lakukan saat mengetahui kecelakaan ini nantinya.
Waktu berlalu, dan akhirnya ambulance tiba, membawakan harapan sekaligus kesedihan. Laura merasakan harapan semakin sirna. Mereka melesat pergi, membawa Nayla ke rumah sakit, sementara Laura hanya bisa terpaku di tepi jalan, harapan terombang-ambing dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, petugas medis yang menangani Nayla berusaha memberikan penjelasan. "Kami sudah membawa dia ke dalam, keadaan kritis, tapi kami akan berusaha sekuat mungkin," ucapnya sebelum pergi.
"Terima kasih," gumam Laura, emosinya campur aduk.
Laura memutuskan untuk mengikuti ambulans dengan bantuan seseorang, meski hatinya bergetar ketakutan. Dia tahu bahwa yang terpenting sekarang adalah berada di dekat Nayla. Dia harus kuat. Saat itu, Laura tak lagi berpikir tentang kebahagiaan mengantar undangan. Semua rencana tampak musnah, digantikan oleh ketidakpastian.
Laura tak pedulikan rasa sakit di tubuhnya. Yang dia inginkan hanya keselamatan sang adik. Jika bisa berganti posisi biar dirinya yang terluka parah dan Nayla tak apa-apa.
Di rumah sakit, di ruang IGD dipenuhi lampu yang berkedip-kedip. Laura menunggu dalam hening, mengingat semua kenangan indah bersama Nayla. Tawa mereka, percakapan tanpa akhir, dan impian yang belum terwujud.
Dia lalu teringat akan ayah dan ibunya. Dia minta tolong pada salah seorang petugas rumah sakit untuk menghubungi mereka. Dia tak berani dan takut mendengar amarah dari kedua orang tuanya.
"Kakak di sini menunggu kamu, Nayla," bisik Laura penuh harap. Dia berharap adiknya bisa mendengar, berharap Nayla bisa merasakan kehadirannya, seolah tangannya menempel di punggung Nayla yang tak berdaya.
Detak jarum jam di dinding terasa berjalan lambat. Setiap detik terasa tak berujung. Dalam kesunyian yang menggigit, Laura berdoa, berharap Tuhan memberinya sedikit keajaiban, untuk bisa melihat adiknya kembali tersenyum. Dan saat itulah, semua mimpi dan harapan mereka bertumpu pada satu ketidakpastian, tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dari kejauhan Laura melihat kedatangan ayah dan ibunya. Saat keduanya semakin dekat, mata tajam sang ayah terasa menghujam jantungnya. Dia pikir hanya sang ibu yang akan datang, ternyata ayahnya juga. Berarti pria itu telah kembali.
"Apa yang kau lakukan pada anakku, Nayla?" tanya Ayah dengan suara yang penuh penekanan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!