NovelToon NovelToon

Jadi Budak Karena Hutang

Tuntutan Hutang

Bagaimana, Pak Hasan?" Suara berat pria berbadan besar yang mengenakan pakaian serba hitam itu bergema, menyeruak rasa genting dan ancaman yang tak terbendung. "Dapatkah Anda melunasi hutang sekarang, atau pergilah dari rumah ini sekarang juga!" Wajahnya, yang keras dan tanpa ampun, menambah berat suasana.

"Pak, mohon, beri kami waktu seminggu lagi," pinta Pak Hasan, suaranya bergetar antara harap dan putus asa. Tubuh paruh baya itu berlutut, tangan terkulai di sisi tubuh pria berwajah sangar, mencari secercah belas kasihan. Hutang seratus juta kepada tuan tanah Wira Tama telah menjadi belenggu yang mencekik mereka.

Tak hanya Pak Hasan, sang istri pun ikut berlutut di sampingnya, keduanya menyatu dalam doa dan harapan untuk sedikit waktu lagi yang mungkin bisa mengubah nasib mereka. Sekejap, rumah yang selama ini menjadi saksi bisu kehidupan mereka terasa begitu asing dan menakutkan, seolah siap menelan mereka hidup-hidup jika tak segera terlepas dari jeratan hutang yang mengikat.

"Tidak ada waktu lagi buat anda. Sekarang tinggalkan rumah ini!" Ungkapan belas kasih yang di inginkan pak Hasan dan istri tak mendapatkan gubris dari pria sangar itu, justru kakinya yang besar menendang tubuh pak Hasan  yang ringkih, hingga membuat pak Hasan terjerengkang ke belakang.

"Tidak, pak! Kumohon berikan kami waktu seminggu lagi, kami masih belum memiliki uang itu, jika kami harus meninggalkan rumah ini, lalu kami harus kemana?" Tangis bu wati pecah, dia menangis tersedu-sedu di antara gemuruh suara pria sangar yang menggema.

"Itu bukan urusan kami. Kalian mau tinggal di hutan, ataupun tinggal di kolong jembatan, apa pedulinya bagi kami. Hutang tetaplah hutang. Dan satu hal lagi, karena kalian sudah berbulan bulan nunggak, maka hutang yang awalnya 100 juta kini menjadi 125 juta. Dan hari ini kalian sudah jatuh tempo. Tak ada penawaran lagi, maka ambil barang barang kalian dan segera tinggalkan rumah ini. Rumah dan seluruh pekarangan ini sekarang adalah milik juragan tanah, Tuan Wira Tama." Satu teman dari pria sangar itu ikut berucap, menegaskan keputusan yang sudah tak bisa di ganggu gugat.

Dua pria sangar itu membuka kacamata hitam nya, kemudian menatap tajam ke arah rumah sederhana milik pak Hasan, beserta seluruh halaman yang cukup luas itu.

"Tidak, kumohon tuan. Kumohon jangan usir kami dari rumah kami. Ini satu satunya harta kami. Jangan ambil rumah ini." Bu Wati menangis, dia memohon dengan berlutut di kaki salah satu pria sangar itu. Berharap mendapatkan iba, agar ia dan keluarganya tak lagi di usir dari rumah mereka.

Sementara keributan dan kegaduhan yang ditimbulkan di depan rumah pak Hasan, justru menimbulkan para tetangga berkumpul dan ikut menyaksikan tragedi itu. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak, hanya menjadi penonton saja tanpa memberikan pembelaan terhadap pak Hasan dan keluarganya.

"Hu... Hu... Hu..."

Bu Wati menangis, jeritan tangisnya membuat para tetangga menjadi iba.

Salah satu tetangga dekat datang dan menghampiri bermaksud mencarikan solusi agar pak Hasan dan keluarganya tak di usir dari rumah nya. "Maaf, pak. Apa tidak ada solusi lain selain meninggalkan rumah mereka. Kasihani mereka, pak. Itu adalah tempat tinggal mereka. Kalau mereka di usir mereka akan tinggal dimana?" Kata pak Umar, tetangga terdekat dari pak Hasan.

"Solusi, kamu bilang. Maka solusinya adalah kau bayarkan hutang mereka sebesar 125 juta, atau kau berikan tumpangan bagi pak Hasan agar tinggal di rumahmu." Kata pria sangar itu sembari menatap tajam, menyolot ke arah pak Umar.

Pak Umar jadi salah tingkah, dia jadi plonga plongo sendiri, karena solusi yang di tawarkan justru malah membuatnya terjepit. "Maafkan saya, kang Hasan, saya tidak bisa memberikan tumpangan, karena rumah saya kecil. Jadi tentu tidak akan bisa menampung semua keluarga kamu, kang." Akhirnya pak Umar mundur dan tak lagi ikut ikutan permasalahan hutang yang mencekik itu.

Semua tetangga hanya diam, tak ada lagi yang berani ikut campur.

Di tengah hiruk-pikuk desas-desus yang bergema di penjuru halaman rumah pak Hasan, tiba-tiba sebuah mobil Alphard hitam meluncur masuk dengan elegannya. Kerumunan tetangga yang sebelumnya berbisik-bisik segera terdiam, matanya terpaku pada sosok yang bakal turun dari kendaraan mewah tersebut. Kemudian, dengan langkah yang penuh kepastian, sang sopir melangkah keluar dan membuka pintu mobil dengan penuh hormat. Dari dalam mobil itu, muncullah seorang pria berpostur gagah, memakai jas putih serba lengkap dengan topi putih yang menambah kesan mewah. Tongkat elegan tergenggam erat di tangannya, penopang tubuhnya yang telah menua namun masih memancarkan aura kekuatan dan kewibawaan. Dialah Wira Tama, sang tuan tanah yang namanya telah melegenda, walaupun usianya telah mencapai 60 tahun, ketegapannya masih seperti pahlawan dari zaman keemasan.

"Tuan Tama, tolong! Kasihanilah kami," desah Pak Hasan, suaranya penuh harap sambil berlutut di hadapan sang tuan tanah. "Ini satu-satunya tempat yang kami miliki. Beri kami waktu seminggu lagi untuk mengumpulkan uang. Kumohon, tuan." Namun, raut wajah Tuan Tama dingin, tidak menunjukkan sedikit pun belas kasih. Dengan isyarat tangan yang tegas, dia memerintahkan dua pria yang tampak garang untuk segera mengusir mereka.

"Jangan, oh tuhan, jangan permainkan nasib kami seperti ini!" Pak Hasan berteriak, tapi sia-sia. Serangan datang tanpa ampun.

"Kalian monster-monster keji!" jerit Bu Wati dengan lantang, tangannya mencoba melindungi beberapa barang berharga milik mereka sementara airmatanya membasahi pipi. "Kalian menginjak-injak kami yang lemah hanya untuk kekayaan semu kalian! Para iblis berwujud manusia!" Suara histeris Bu Wati memecah kesunyian, sebuah teriakan rawan yang menggema melalui kesepian dan keputusasaan yang sekarang menaungi keluarga kecil itu, sebuah tragedi yang dipentaskan oleh para penindas tanpa rasa empati.

Dua pria anak buah juragan Tama telah mengobrak abrik isi rumah pak Hasan. Barang barang milik pak Hasan dan bu Wati di  lempar ke luar. Pak Hasan dan bu Wati tak bisa berbuat apa apa, mereka kini hanya bisa pasrah dengan keadaan. Tak ada satupun dari para tetangga yang berani mencegah aksi anak buah tuan tanah Wira Tama.

"Berhenti! Siapa kalian berani memporak porandakan rumah ku!" Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis berhijab. Tangannya gemetar, melepaskan sepeda motor bututnya. Gadis itu berlari dan memeluk sang ibu yang meringkuk di tanah sembari memeluk beberapa barang barangnya yang terlempar.

"Hey Gadis kecil! Jangan halangi kami. Ini adalah tugas kami." Kata pria sangar itu.

"Sekali lagi kalian buat keributan, aku akan lapor polisi!" Teriak gadis berhijab itu.

"Bagaimana ini, tuan?" Tanya pria sangar itu pada tuan Tama.

"Lanjutkan! Ini sudah kesepakatan. Tidak ada yang bisa menghalangi pekerjaanku, kecuali mereka membayar seluruh hutangnya." Kata tuan Tama.

Gadis berhijab itu mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh tuan Tama. Ia pun menatap sang ibu dan bertanya. "Hutang? Hutang untuk apa, bu?" Tanya gadis itu.

"Maafkan ibu, Fit. Ibu dan bapak terlibat hutang 100 juta kepada juragan Tama. Dan kami tak bisa membayarnya." Kata bu Wati dengan terisak.

"Hutang? Hutang untuk apa, bu?" Tanya gadis yang bernama Fitri itu.

"Abangmu, Ilham. Dia terlibat hutang dengan rentenir. Jadi terpaksa kami pinjam sama tuan Tama untuk menutupi hutang abang mu,  kalau tidak, abangmu akan di penjara." Kata bu Wati menceritakan bagaimana hutang itu berawal.

"Tidak, saya tidak Terima ini semua. Jika hutang itu untuk bang ilham, maka kalian harus memintanya kepada bang ilham. Jangan meminta kepada bapak dan ibu saya." Gadis berhijab itu bersuara dengan lantang. Tangannya menuding tepat ke wajah tuan Tama.

"Jaga bicaramu gadis kecil. Bersikaplah yang sopan kepada bos kami." Pria sangar itu tak Terima dengan sikap Fitri yang menurutnya tidak menghargai tuan Tama.

"Cih...! Kalian mau tuan kalian di hargai dan di hormati? Menjijikkan. Perilaku kalian saja tidak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa kalian menginginkan saya menghormati bos kalian yang sifatnya seperti iblish. Pergi dari sini...! Pergiii....!!" Fitri berteriak histeris mengusir tuan Tama dan anak buahnya.

"Nak, jangan seperti ini. Kita bukan lawan mereka. Biarkan saja, nak." Pak Hasan melarang Fitri ketika melawan tuan Tama.

"Tidak, pak, kita memang miskin. Tapi kita tidak lemah." Tolak Fitri dengan tegas.

Tuan Tama tersenyum sinis sambil mengamati keberanian yang tak terduga dari gadis kecil itu. "Hasan, aku tak pernah menduga kau memiliki anak seberani ini," ucap Tuan Tama, matanya tertancap dalam pada sosok Fitri, penuh ketertarikan yang mengganggu. Senyum licik yang terlukis di wajahnya memancarkan kegembiraan yang kelam terhadap gadis kecil itu.

Hasan, yang merasakan tatapan mengancam tersebut, segera melindungi Fitri dengan menariknya ke belakang tubuhnya, seraya berusaha memutus kontak visual antara tuan tanah dan anaknya. "Tidak, tuan," suara Hasan tegas, bersiap untuk melindungi anaknya dari bahaya yang tak terucapkan. "Kami akan pergi dari sini jika perlu, tapi tolong jangan pernah sentuh atau ganggu anak saya," katanya, menantang, siap berjuang demi keselamatan Fitri. Dalam hati Hasan, kecemasan bercampur amarah mendidih, mengetahui bahwa tuan tanah ini, yang kini dikenal mencari pengganti istri yang baru saja meninggal, mungkin melihat Fitri sebagai target. Sebuah ketakutan yang tidak akan dia izinkan menjadi kenyataan.

"Aku punya penawaran yang baik untukmu. Aku akan membebaskan semua hutang hutangmu dan aku akan memberikan uang 100 juta lagi, jika kau bersedia memberikan anak gadismu padaku." Tuan tanah yang terkenal kejam ini menatap tak berkedip pada sosok Fitri yang masih berdiri di belakang Hasan.

"Tidak, itu tidak akan terjadi. Lebih baik kami pergi dari rumah ini jika itu keinginan tuan." Hasan menolak tegas atas negoisasi yang di tawarkan sang tuan tanah. Hasan lebih memilih keselamatan putrinya di banding memilih bertahan di rumahnya. Harta bisa di cari, tapi tidak dengan mengorbankan kebahagiaan dan masa depan anaknya dengan memberikan Fitri kepada sang tuan tanah yang kejam itu.

"Owh... Baiklah! Aku hargai keputusanmu. Aku tidak akan memaksa. Silakan tinggalkan rumah ini sekarang!" Kata tuan Tama dengan tegas. Suaranya yang besar membuat semua orang yang ikut menyaksikan menjadi saksi bagaimana tuan tanah itu mengusir Hasan dan keluarganya.

"Ayoo, buk, Fitri. Kita segera tinggalkan rumah ini. Mungkin ini memang sudah takdir kita. Ikhlaskan!" Kata pak Hasan, sembari menarik Fitri untuk terus meninggalkan tempat itu. Hasan tak ingin tatapan tuan Tama semakin dalam saat menatap sang putri.

"Pergilah!" Usir tuan Tama.

Namun, di saat Hasan menarik tangan Fitri, langkahnya terhenti di saat langkah Fitri yang tak mengikuti langkahnya. "Ayoo, nak. Kita segera pergi dari sini. Tempat kita bukan di sini lagi." Kata Hasan.

"Tidak, pak. Aku akan mengikuti apa kemauan tuan tanah itu." Sahut Fitri dengan tegas.

Hasan menoleh, ia tak percaya dengan apa yang dikatakan putrinya. Di tatap nya mata sang putri, berusaha memahami apa yang baru saja ia katakan. "Bapak tidak salah dengar, kan?  Kau tidak tau siapa tuan Tama. Dia pria tua yang arogan. Apa yang bisa kamu lakukan dengan menyerahkan diri kepadanya? Kamu akan di jadikan pengantinnya. Itu tidak benar, nak. Jangan kau korbankan masa depan kamu hanya karena hutang bapak." Tolak Hasan, serta menasehati sang putri, bahwa keputusan ini tidak akan menyelesaikan masalah.

"Gadis yang pintar. Kau seharusnya menunjukkan baktimu pada kedua orang tuamu. Buktikan kalau kau adalah anak sholihah." Senyum licik terukir di bibir coklat tuan Tama, dengan kumis tipisnya yang ia usap dengan perlahan.

"Nduk, bapakmu benar. Ayoo kita sebaiknya pergi dari sini." Bu Wati ikut menimpali.

"Tidak, pak. Ini adalah rumah peninggalan keluarga kita. Aku tidak akan membiarkan rumah ini menjadi milik orang lain. Bapak tenang saja. Aku akan baik baik saja." Fitri masih bersikeras.

Fitri dengan berani mendekat ke arah tuan Tama, dia berdiri tegap menatap tuan tanah itu dengan tatapan penuh kebencian. Dengan tangkas ia pun berkata. "Apa yang akan tuan lakukan jika saya menyerahkan diri saya kepada Anda, tuan? Apakah tuan akan menepati janji sesuai yang tuan katakan barusan?" Tanya Fitri, tak sedikitpun gadis itu merasa ketakutan di saat ia menatap sorot mata tuan Tama yang memerah dan menakutkan.

Senyum tipis terlukis dengan licik di wajah tuan tanah. Tatapan matanya seperti elang yang menelisik tubuh Fitri, membakar setiap inci dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Jadilah tawananku. Aku akan lunasi seluruh hutang orang tuamu, dan kuberikan orang tuamu 100 juta tunai jika ikut bersamaku," ucap Tuan Tama dengan nada yang menjanjikan namun penuh pengendalian.

Di sekitar, atmosfer tiba-tiba menjadi tegang, semua mata tertuju, melebar serasa tidak percaya mendengar angka seratus juta rupiah, angka yang mustahil terkumpul meski bertahun-tahun bekerja keras. Bisikan dan cibiran serempak menguar di antara kerumunan—sebagian terpikat pada tawaran gemerlap itu, sementara sebagian lagi tahu ada sesuatu yang lebih mengerikan di balik bujukan licik Tuan Tama.

Fitri menelan ludah, hatinya berkecamuk. "Baiklah, tuan. Saya bersedia," ujarnya dengan nada tegas yang dipaksakan, menutupi kegetiran di balik setiap kata yang diucapkan. Ia seperti memasang topeng keberanian, namun di dalam hatinya terkoyak oleh pilihan pahit ini. Demi kelangsungan hidup kedua orang tuanya, Fitri merasa harus rela menjadi korban dari kejahatan tersembunyi yang membayangi penawaran Tuan Tama itu. Dalam benaknya bergema, "Apakah nyawa dan kebahagiaan harus ditebus dengan harga yang menjerumuskan?"

"Bagus! Anak yang berbakti! Jika kamu patuh kepadaku, Kupastikan hidupmu akan bergelimang harta." Kata tuan Tama dengan sombongnya.

"Tidak, nak. Jangan lakukan ini. Ibu tidak setuju. Kau masih muda. Dia itu sudah tua bangka. Apa kau akan rela menikah dengan pria kejam seperti itu?" Bu Wati ikut menolak, pikir bu wati Fitri akan di bawa oleh tuan tanah itu untuk di nikahinya, mengingat di rumah besarnya, sang tuan tanah sudah ada tiga istri.

"Tidak apa, bu. Jangan khawatir. Semua akan baik baik saja. Ibu dan bapak jangan cemaskan aku." Kata Fitri berusaha tegar, meski kegetiran menyelimuti hatinya, namun ia harus terlihat kuat, agar kedua orang tuanya tidak cemas memikirkan dirinya.

"Kalian semua yang menjadi saksinya. Mulai saat ini putri bapak Hasan akan menjadi tawanan ku, jadi terserah aku mau apakan gadis ini." Kata tuan Tama dengan angkuhnya.

2 Ikut Ke Rumah Besar

     "jangan! Jangan lakukan itu! aku mohon!! Tolong jangan bawa anakku!" kata Bu Wati terisak sembari menarik kuat tangan Fitri agar tidak mendekati Tuan Tama.

      "Tidak apa, ibu. Percayalah Fitri akan baik-baik saja." kata Fitri mencoba menenangkan hati sang ibu.

     "tidak anakku, kau belum tahu siapa Tuan Tama. Dia adalah juragan tanah yang sangat kejam, kalau sampai terjadi sesuatu padamu, ibu tidak bisa memaafkan diri ibu." kata Bu Wati. "Bapak, jangan biarkan anak kita dibawa oleh mereka." tangis Bu Wati pecah menatap tajam ke arah Pak Hasan agar sang suami itu menahan Fitri agar tidak bawa oleh orang-orang rentenir itu.

       "sudah cukup! aku tidak mau bertoleransi lagi, jika kalian berdua tidak menginginkan Fitri sebagai jaminan, tidak apa. Aku juga tidak butuh anakmu ini, asalkan sekarang juga kau bayar hutang kalian 100 juta sekaligus bunganya." bentak Tuan Tama yang merasa jengah melihat drama yang dilakukan oleh Pak Hasan dan istrinya.

         Seketika bu wati terdiam, ia tahu tentu ia dan suaminya tidak akan pernah bisa untuk melunasi hutang-hutangnya itu. Jangankan yang 100 juta, membayar bunganya saja mereka tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya.

      Kenapa, kenapa kalian diam?" bentak Tuan Tama. Kedua tangan pria tua itu melingkar di kedua Sisi pinggangnya, berkacak sembari menendang salah satu barang-barang yang sudah berhasil dikeluarkan oleh anak buahnya.

       Brak....brak..

     sebuah ember besar telah ditendang oleh kaki Tuan Tama karena kekesalannya.

       Pak Hasan dan Bu Wati seketika terlonjak kaget melihat keberingasan Tuan Tama. Bu Wati menangis, ia tidak bisa berbuat apapun selain diam dan membiarkan tuan tanah yang kejam itu membawa putrinya.

         "Apakah kalian masih yakin tidak akan memberikan putrimu kepadaku?" lagi-lagi Tuan Tama menekankan keinginannya untuk membawa Fitri.

        Pak Hasan dan Bu Wati terdiam, mereka hanya bisa menangis menatap kepergian putrinya yang dibawa masuk ke dalam mobil oleh kedua anak buah tuan tanah Wiratama.

    "saya akan lihat perkembangan selanjutnya, jika dalam sebulan, anak mu fitri tidak membuat ulah di rumahku, maka ku nyatakan hutangmu yang 100 juta beserta bunga-bunganya telah lunas. Akan tetapi jika belum genap sebulan anakmu membuat ulah, maka kau akan tanggung sendiri akibatnya. Ancam Tuan Tama sebelum ia pergi menyusul anak buahnya.

       "pak, aku tak bisa tenang. Aku takut terjadi sesuatu pada Fitri." isak tangis bu Wati pecah.

       "kita do'akan saja, Fitri baik baik saja." kata pak Hasan pasrah. Mau gimana lagi, ia juga tak bisa berbuat apapun selain pasrah dan meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa, semoga saja, Yang Maha Kuasa melindungi Fitri.

sementara Fitri di bawa ke sebuah rumah besar, ruma yang tak lain menjadi istana kebanggaan bagi keluarga Wiratama. Rumah di mana di dalamnya terdapat beberapa orang keluarga dan kerabat yang mereka tinggal bersama dalam satu atap.

"ayoo turu!" bentak anak buah tuan Tama dengan kasar.

"bisa gak sih pelan pelan saja. saya bisa turun tanpa di dorong dorong begini." keluh Fitri dengan Walah merengut.

"tidak usah banyak komplain. kamu itu hanya tawanan tuan Tama. jadi, bersikaplah layaknya jongos, jangan berlagak seperti nyonya di rumah ini." sergah satu di antara para anak buah tuan Tama.

Fitri pun turun dari mobil, ia langsung di giring menuju rumah besar itu.

"Lastri...!!" teriak salah satu anak buah tuan Tama yang membawa Fitri masuk ke rumah itu.

seorang wanita paruh baya terlihat berlari ke ruang tengah dan segera menghadap anak buah tuan Tama. "iya, Joko. ada apa?" tanyanya saat sudah sampai di depan anak buah tuan Tama yang biasa di panggil joko.

"tuan membawa tawanan baru, silakan kamu ajarkan bagaimana dia harus bersikap dan bagaimana dia harus melayani semua anggota keluarga di rumah ini. Dan katakan pula padanya, jika dia sampai melakukan kesalahan, kasih tau dia, hukuman apa yang akan dia Terima jika sampai melanggar aturan dari tuan Besar." Joko menasehati Lastri.

"baik, Pak Joko. saya akan lakukan sesuai pesan anda." sahut Lastri dengan hormat.

"lakukan tugasmu sebagai tawanan. ingat, jangan membuat ulah. kedua orang tuamu akan menjadi taruhannya jika kau tak patuhi aturan tuan besar." kata Joko.

"Fitri terdiam, dia pasrah saja dengan nasib apa selanjutnya yang bakal terjadi padanya.

3. Menjadi pelayan

      "kemarilah nduk!" titah bu Lastri kala melihat Fitri yang terlihat ketakutan.

      Dengan perlahan dan takut-takut, Fitri akhirnya menghampiri Bu lastri yang berdiri di dekat meja makan. "Siapa namamu Nduk?" tanya Bu lastri.

        "Nama saya Fitri, bu." sahut Fitri.

       "Saya tidak tahu Apa alasan kamu bisa sampai di rumah ini, tapi satu hal yang harus kamu ketahui kamu harus sepenuhnya patuh pada perintah Tuan besar dan jangan sampai kau membuat beliau marah. Beliau sangat kejam dan arogan, bisa jadi nanti kamu akan mendapatkan siksa dari beliau apalagi jika sampai kamu Mengusik tuan muda, itu bisa sangat berbahaya. Jadi, Mbok harap kamu harus berhati-hati dalam bersikap. Apalagi di saat menghadapi ketiga istri tuan besar, mereka sangat keras dan angkuh. Apalagi pada pelayan baru seperti kamu." Bu lastri menceritakan bagaimana karakter-karakter setiap orang di rumah itu kepada Fitri.

        Sesekali Bu lastri menjulurkan kepala untuk memastikan apa yang ia ucapkan tidak ada yang mendengar karena dia pun harus berhati-hati dalam berbicara, Jangan sampai salah satu majikannya mengetahui percakapannya dengan Fitri.

      "baik, Mbok. Terima kasih atas nasehatnya, Insya Allah saya akan bekerja dengan baik." sahut Fitri sembari memperbaiki hijabnya.

      "kalau begitu, ayo ikut si Mbok. Mbok kenalkan kamu dengan para pembantu yang lain." kata Bu lastri. Tanpa banyak bicara pun akhirnya si Fitri ikut masuk ke dapur untuk diperkenalkan kepada orang-orang yang bekerja di rumah itu.

"Susan, ini kenalkan Fitri. Dia orang baru di sini. nanti aku harap kamu membantu dia bekerja di bagian depan." kata Bu lastri sembari mengenalkan Fitri pada Susan. Susan adalah salah satu pembantu di rumah Wiratama yang usianya tidak jauh berbeda dari Fitri mungkin terpaut 2 tahun lebih tua.

"baik, mbok." sahut susan sembari menatap sinis ke arah Fitri.

"ayoo ikut aku. Nanti aku tunjukkan apa saja pekerjaan yang harus kamu lakukan di atas." kata Susan dengan ketus.

Fitri mengangguk patuh, ia pun melangkah mengikuti kemana Susan membawanya. Mereka berdua naik ke lantai atas.

"ini adalah kamar nyonya Arumi, istri tuan besar yang pertama. Tugasmu adalah membersihkan kamar ini setiap jam 10 pagi, paham!"

Fitri mengangguk tanda ia mengerti.

"kalau yang itu kamar nyonya Hera, dan kau juga bisa masuk ke sana setelah selesai tugasmu di kamar pertama." lanjut Susan.

Fitri kembali memandangi tiap kamar yang di tunjukkan oleh Susan.

"yang itu kamar Nyonya Tasya, dia itu istri ketiga tuan besar." kita bisa bekerja sama saat bekerjasama, ngerti?" tanya Susan.

fitri kembali mengangguk.

"yang paling ujung itu adalah kamar tuan muda dan kamar tuan putri. Tuan muda adalah cucu kesayangan tuan besar. Dia lumpuh dan depresi. sering marah marah juga. Tapi dia sangat tampan." kata Susan sembari tersenyum gemes saat menceritakan ketampanan tuan muda. "kalau tuan putri, dia adalah putri dari nyonya Hera, dia cantik tapi judesnya minta ampun deh." kata Susan.

Fitri mengangguk paham pada intruksi yang di berikan oleh Susan.

"ayoo! kita mulai bekerja. aku di kamar Nyonya Arumi, dan kamu di kamar nyonya Hera."

tok tok tok..

"permisi..." Fitri mulai mengetuk pintu.

"masuk!" terdengar suara wanita dari dalam.

Dengan sopan Fitri mulai mendorong daun pintu kamar itu. "permisi, nyonya. saya mau ambil baju baju kotor di kamar ini." kata Fitri dengan sopan.

Sang nyonya hanya mengangguk. Namun, tatapan matanya tajam, tak berhenti mengawasi Fitri yang tengah mengambil beberapa lembar pakaian yang kotor di kamar mandi. "kamu pelayan baru ya?" tanya Hera dengan suaranya yang memecah keheningan.

"iya, Nyonya. saya masih baru di sini. baru tadi siang." sahut Fitri dengan sopan.

"sekalian itu, beresin juga!" tunjuk Hera pada beberapa wadah kotor di atas meja sofa.

Tanpa banyak bicara, Fitri lekas membersihkan kamar itu kemudian keluar. Beberapa baju dan wadah kotor sudah ia bawa turun untuk di bersihkan.

"sekarang kamu ke kamar tuan muda." biar aku yang ke kamar tuan putri." kata Susan yang memang sengaja menunggunya. Baru saja, Susan sudah berusaha masuk ke kamar Devan, cucu satu satunya tuan Wira Tama, namun ia gagal. Lagi-lagi karena memang Devan sangat arogan dan galak. sering kali Susan berusaha mendekati Devan, namun ia gagal, justru malah dia terkena semprot dan di gampar sama cucu sang majikan itu.

"baik, mbak." sahut Fitri.

"rasain, habis ini kamu bakalan nangis deh.." bisik Susan terkekeh. "biar tau rasa lo. Mampus lo kena gampar sama tuan muda." Susan tersenyum membayangkan Fitri juga akan mengalami apa yang ia alami.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!