...“Bule london yang mampu menghipnotis gadis cuek dengan terus berdecak kagum tanpa sadar.”...
...🍬🍬🍬...
Seperti memiliki kesempatan dalam menyuarakan antusiasme sembari memotret diatas panggung, idola. Berdesak-desak sekali pun tidak membuat diri beranjak dari sana, melainkan memotret sejarah tanpa harus menikmati lewat benda pipih.
Senang campur haru terasa oleh fans indonesia yang telah menanti konser bule london tersebut.
Merelakan nominal-nominal dalam dompet terpakai membeli sekertas tiket konser, untuk lebih dekat mendekap sang idola walau sebatas mendongak dari bawah, cukup mendahagakan rongga asa menanti moment itu.
“Buat apa kamu ke sana, nak?” Kata Ibu, membuyarkan lamunan.
Beliau menangkap ananda sedang melihat harga tiket konser di instagram.
Tidak ada respon selain bungkam pun rumit menelan slavina di tenggorokan.
“Kalau kamu ada teman, ibu ijinkan.”
Sebentar, perempuan hijabers itu tidak salah dalam menangkap apa yang barusan tercetus dari bibir beliau kah?
Ah, betul sekali. Sempat beliau mengatakan kalau menginginkan dalam menganyunkan langkah ke suatu tempat konser, harus ada tempat dari daerah sama untuk ke sana, supaya terjaga juga tidak merasa cemas berasal dari ibunda.
“Rizka ke kamar dulu yah, bu?” Pamit perempuan itu dengan sopan.
Tidak menginginkan hal-hal ngundang tangis, mengetahui satu fakta, beberapa bulan lagi Ujian Nasional. Yang buat langkah itu tertatih-tatih, terhambat karena UN.
Hari perdana melihat idola konser, batas menonton lewat youtube pun menyimpan rasa sesak lirik tiket konser di instagram.
Rizka tahu diri kok, kalau kedua orangtua mengaharuskan diri belajar tekun supaya bisa melanjutkan studi Kedokteran di Universitas Indonesia.
Dan jika ada seulas rasa kecewa lewat ekspresi mereka, bakal meruntuhkan sayap-sayap semangat untuk memberikan kebahagiaan pada orang yang telah membesarkannya susah payah hanya kepentingan diri, egoisme.
Kedua bola mata memotret jejeran poster tertempel di dinding kamar, getir itu tercipta dan kali ini terasa nyeri tak tertolong.
Piu..piu..piu, notifikasi dari grup mengusik isi kepala perempuan itu.
Resya : Rizka..yuhu..ke mana sih nih anak? Tumben nggak nongol, biasanya fans garis depan kalau sudah dekat konser Bang Jey.
Tanpa di kasih tahu, paling pertama nongol dalam grup hanya saja sedang dalam fase sesak, bernestapa seorang diri tidak memungkinkan menghumbar-hambur bahagia dalam grup apalagi batas pengalihan luka, sebab tidak bisa hadir ke sana.
Menghembuskan napas gusar dan lebih memilih opsi silent read.
Oh benar juga, meminimalisir rasa kecurigaan dalam grup maaf Jey, sibuk di rumah lalu menghindari dari beli tiket konser karena pura-pura sibuk memplaster luka.
Gina : Gimana kalau nanti meet di kedai ice cream aja, jey? Sambil tukaran kado..uh, seru pasti nih.
“Hm, coba aku tinggal di Jakarta,” gusar Rizka.
Tetiba saja suara pintu bunyi, “sayang..” panggil ibunda dengan tenang.
Cukup buat jantung lari maraton.
“K-kenapa, bu?”
Justru di balas dengan senyum lebar dari ibunda.
Sembari mengambil tempat yang nyaman lalu mengusap-usap kepala ananda terselimuti jilbab itu, “kalau Ujian Nasionalmu masih lama, kemungkinan ibu masih bisa temani kamu ke sana, tapi sayang tahu kan, harus masuk kedokteran dengan nilai memuaskan?”
Hm. Rizka sudah tahu hal ini tanpa ibu ulangi lagi, lirih perempuan itu dalam batin.
Tidak banyak bicara, hanya mendengarkan apa yang beliau sampaikan.
“Sudah, kalau begitu kamu ke dapur, bantu ibu masak, sedikit lagi papa pulang kantor.”
Papa. Panggil Rizka dalam hati.
Di dapur, hanya suara kegiatan mereka mendominasi selebihnya bungkam satu sama lain, karena beliau tahu kalau mengulangi hal sama bakal menumpukkan rasa kecewa dalam dada.
Sengaja tidak bawa HP saat sedang bantu Ningrum, mama di dapur, takut mengusik fokus perempuan itu.
Ah, benda pipih yang selama ini membawakan kebahagiaan mengenai kisah-kisah sudah lama di nantikan Rizka, konser Harris J juga bertemu fans lainnya bukan lewat online lagi. Sayang harus terhalangi sebab satu hal, fokus belajar.
Tok..tok..tok, suara ketukan pintu rumah membuyarkan lamunan, “biar saya saja yang buka, bu.” Kata Rizka dengan cepat.
Sudah mengerti dengan maksud ananda satu-satunya itu, Ningrum menganggukkan kepala lalu melanjutkan rutinitas di dapur.
“Assalamualaikum anak cantiknya papa,” beliau mengecup kening perempuan itu.
“Waalaikumsalam, pa.”
Reno mengernyit, kok tidak biasanya ceria?
“Ibu kamu di mana, sayang?” Sambil celingak-celinguk.
“Dapur, kali ini ibu masak sayur asam loh, pa.”
Dari intonasi tertangkap daun telinga, cukup buat Reno paham kalau anandanya sedang sedih.
“Sayang, tolong bawakan tas kantor papa ke kamar yah?”
Reno pun melangkah kaki setelah melihat anak perempuannya pergi ke kamar dan melihat situasi dapur, lebih tepatnya memeluk sang istri yang masih masak.
“Eh, sayang? Belum mandi? Mau saya siapkan handuk?” Ningrum terkejut dapat pelukan tiba-tiba dari belakang.
Menggeleng, “sebentar lagi. Ma, tahu ada apa dengan Rizka?”
Bukan hal baru lagi untuk terkejut, “biasa, pa.”
Semakin buat satu alis Reno terangkat, bingung, “masalah sekolah?”
“Bukan, sayang. Tapi Harris J.”
Ah, mendengar nama itu cukup buat Reno paham dengan suasana hati ananda saat ini.
Beberapa menit kemudian, sudah kumpul di meja makan untuk menikmati santapan malam ini.
Harris J bukan lagi menjadi hal baru di telinga mereka berdua, sebab terbiasa mendengar musik bernuansa islam modern seperti salah satunya Salam Alaikum juga mengetahui bule itu penghapal quran.
Tapi yang menjadi penyebab ananda sedih adalah konser bule tersebut.
“Pa, Ma, Rizka ke kamar dulu. Makasih makan malamnya, enak banget.” Pamit Rizka dengan senyum terpaksa.
Ningrum hanya menghelakan napas lalu membersihkan sisa-sisa makanan di meja juga menaruh piring kotor di wastafel.
Sedangkan Reno berjalan pelan ke arah kamar ananda, “sayang?”
Eh, mendadak terkejut dong.
“Kenapa, pa?”
Masih sama, intonasi datar, penuh luka.
“Kamu kenapa? Ada masalah kah di sekolah?”
Terdiam cukup lama, butuh menit-menit waktu untuk jujur ke papa. Mungkin dengan berbagi dengan beliau sedikit di berikan kelonggaran, bisa ikut nonton konser begitu?
“Pa..” Panggil Rizka dengan manja, “konser Harris J,”
Mengerti maksud lawan bicara anak perempuannya itu, “kamu mau nonton?”
Eh, sudah langsung ketebak dengan sempurna dong oleh Reno, lalu diangguki dengan lemah sebagai senjata ampuh agar, “sayang, kamu harus fokus belajar biar lulus bisa masuk di UI.” Hah..hancur sudah harapan itu lewat papa.
“Hm, Rizka tahu, pa.”
...🍬🍬🍬...
“Harris!”
“Hua..aku jamin Bang Jey nyanyi Good Life! My favorit song.”
“Itu..Harris J!”
Pekik yang lantang dipastikan merusak organ vital pendengaran.
Hua..panggung konser bule london terpenuhi oleh antusiasme fans yang sedang menonton namun memiliki rasa risi berasal dari ..
“Lebay! Tidak bisa kah sedikit ayu di situ!” Adinda memuncratkan protes.
Gadis itu batas melihat lewat benda pipih sedang berada dalam genggaman.
Oh, baru mengingat satu hal, dulu ketika ingin melangkah kaki ke konser band smash, ada pelarangan dari ibunda, Hana.
Yang menjadikan diri tidak tahu mengenai tiket bahkan heboh saat masuk dalam gedung konser.
Hana tidak menginginkan perempuan nakal bakal menjadi perbincangan miring dari tetangga, usai balik dari konser apalagi saat itu acaranya malam.
“Lagunya bagus,” gumam gadis itu tanpa sadar.
Walau tadi sempat ketus mendengar teriakan fans fanatik yang cukup mengusik gendangan telinga, nada-nada dari mulut bule london lebih menenangkan jiwa, merdu dan tenang.
Kali pertama duduk santai melihat penampilan orang asing yang bahkan tak terbesit untuk menetap hingga usai lagu dinyanyikan.
Jauh sebelum mengetahui Harris J, dia batas fokus pada dunia anime saja. Bahkan, “cewek baru, kok nontonnya naruto?” Cibir salah satu teman sekolahnya dulu.
“Jih..dari pada kalian, fansnya korea-korea, ngehalu saja.” Adinda tak mau kalah dong.
“Tapi itu kan nyata, lah..kalau film-mu? Hanya 3 dimensi.”
Hah. Membuang napas dengan kasar, kenapa bisa ingatan-ingatan itu kembali terputar dalam kepala?! Menjengkelkan.
Usai menyelesaikan nonton konser itu modal youtube, sekarang beralih pada instagram, menscroll fanspage bule tersebut.
“Oh..banyak juga fansnya di indonesia.” Adinda berbicaras endiri.
Tidak tahu kenapa semenjak pulang dari sekolah, tanpa sengaja Assalamu alaikum .. Alaikum yeah.. Lirik itu mampir di daun telinga Adinda.
Setahun lalu tapi belum ada ketertarikan untuk mencaritahu siapa sosok bule london yang cukup mencuri perhatian gadis cuek tersebut.
Setelah naik daun dan beranda sosial media bertumpukan nama Harris J semakin mengunggah rasa penasaran Adinda hingga saat ini asik menstalker bule itu.
Ok. Semua album terdownload.
Oh, jangan bilang seorang gadis cuek menjelma fans samahalnya dengan mereka yang berdiri di bawah panggung sembari bersorak antusias.
Bule london cukup menarik perhatian Adinda terus menetap pada simfoni mengalun-ngalun penuh lembut lewat melodi tersumpal di headset sedang di dengarkannya saat ini dalam kamar.
Harris J...
Kisah mana yang harus ku mulai duluan?
Nada itu terselip dalam sajak
Tanpa tersadari, sebuah diksi tercipta sangat manis.
Seperti .. Megalirkan sebuah angan menjadi kenyataan tanpa harus ngundang air mata dalam kesunyian.
Aha! Benar sekali, siapa tahu lewat diksi terproduksi tak sebatas puisi melainkan suatu hal membanggakan untuk mama.
Bismillah .. Semoga Harris J menjadi destinasi terbaik dalam menjemput satu kebanggaan lewat hobi termiliki.
Agar Hana tidak menjadikan diri sebuah perbandingan dengan saudara lainnya atas pencapaian prestasi di sekolah maupun kuliah.
Tetiba saja membayangkan ulang mengenai nilai-nilai di sekolah sangat-amat payah, menjadikan nafsi sebuah bahan tak berguna mendapati prestasi melainkan kegagalan terus di rayakan sepulang menjemput raport.
Rin..sibuk kah?
Dari pada memikirkan saudara-saudara yang selalu menjadi perbincangan manis, lebih baik lempar kabar saja dengan sahabat.
Siapa tahu dengan telponan bisa mengurangi rasa insecure diri.
“Duh..tidak di balas lagi.” Gelisah gadis itu sendiri.
Kemungkinan Varinta sedang sibuk dengan tugas-tugas bak laundry di Padang sana, makanya tidak balas SMS-nya dengan cepat.
Rin, kalau sdh tidak sibuk, telponan yok? Pen cerita ..
Tidak lama kemudian, layar HP langsung tertera nama Varinta.
Hua..dengan lompat girang menerima panggilan gratisan lewat whatsapp.
“Hallo..assalamualaikum, kenapa, Din?”
“Waalaikumsalam, i’m fine but pengen dengar suaramu saja sih.” Terdengar ada selingan tawa di sana.
“Lebay! Jujur sudah, saya tahu kamu ada masalah, cerita sudah, mumpung saya lagi jam istirahat nih.”
Ada tawa-tawa menderai menghiasi obrolan mereka siang ini.
Dan menceritakan penyesalan kenapa dulu tidak ambil formulir masuk perguruan tinggi saja di jayapura? Sekarang baru ada niatan untuk kuliah.
Apa karena ingatan-ingatan mengenai saudara-saudara yang terus di banggakan oleh Hana depan keluarga pun tetangga? Sedangkan dirinya menjadi figuran semata?
“Makanya, Din, dulu kita ajak bilangnya mau cari kerja. Sekarang mau kuliah. Hah..gimana sih?” Varinta menghelakan napas lelah.
Bukan. Bukan hanya itu saja yang menjadi ketertakutan Adinda saat ini, melainkan selipan angan yang apakah dapat bersitatap pada prestasi?
Hanya asik mendengarkan motivasi dari sahabat.
Sudah lama sekali tidak mendengarkan hal itu dari Varinta, semenjak kuliah di Padang dan susah di hubungi karena sibuk dengan tugas kuliah sebagai mahasiswa jurusan kebidanan di sana. []
...“Ruas-ruas penuh angan terselip begitu saja, bertahan sebentar dalam bait sajak tak sengaja ku cipta.”...
...🍬🍬🍬...
Begitu bahagia bisa bersua tanpa harus lewat online lagi dengan mereka, tidak sabar juga saling menukar kado yang sudah di bahas lewatgrup.
Berhubungan dengan jarak rumah tak terbilang dekat, harus meninggalkan jejak kenangan semisalnya tukaran kado dengan JJS.
Syukur bisa mendapati tiket konser tanpa harus menahan sakit hati, tidak bisa mendapati kesempatan emas untuk mendongak melihat sang idola dari bawah panggung.
Sudah sejam konser usai, mereka sebagian menunggu dikedai ice cream.
“Loh, kok Rizka tidak ada?” Ana membuang suara.
Saat melihat mereka dalam grup berkumpul, semua ups..ralat hanya Rizka saja tidak ada di tengah-tengah mereka.
“Bukannya dia fans garis depan Bang Jey, kok bisa sih dia tidak datang nonton? Padahal semalam sudah janji meet with JJS.” Resya berkomentar sangat sedih.
Semua terdiam.
Kalau mau jujur, semenjak konser menghitung jari perempuan itu tetiba berubah dan susah di hubungi biar sekali pun lewat japri.
“Padahal semalam sudah ku chat, kalau mau ke sini, barengan. Tapi, nggak ada respon sama sekali. Centang dua loh.” Kata Ana.
“Mungkin ada kesibukan yang jauh lebih penting, maklumi saja. Insyaallah di lain waktu bisa ketemu lagi kok.” Gina berusaha menghentikan percakapan itu.
Semua mengalihkan pandangan ke Gina, berusaha mencerna apa yang di katakan adalah benar.
“Ok deh, kalau gitu kita mau ke mana dulu nih?”
“Bagaimana kalau makan dulu? Laper, aku belum makan dari rumah soalnya.” Resya berkomentar.
Fix. Mereka mencari tempat untuk mengisi perut hanya sebagian saja, karena ada beberapa sudah makan dari rumah. Lainnya batas pesan minum, menemani JJS lagi kelaparan, solidaritas terlihat walau bersitatap awal.
Tadi sebelum berangkat ke warung, ada beberapa barang-barang terjual, lucu-lucu ingin terbawa pulang mereka sayang duit jajan dibawa tidak seberapa.
“Kalau uangku lebih, udah ke beli nih.” Lesu Gina.
“Iya nih, Jey. Uh..kalau tahu seminggu yang lalu uang jajanku, di tabung, supaya bisa kebeli botol minuman ini.” Ana menambahkan.
“Kalau saja ada Rizka, sudah di borong kali yak? Kan, dia fans garis terdepan Bang Jey.” Celetuh Resya.
Yup. Mereka sudah tahu kebiasaan masing-masing terutama perempuan disebut itu.
Jey adalah panggilan untuk fans Harris J.
Usai makan, kali ini mereka menjelajahi photobox yang ada di mall, amazon.
Be the way, hari ini mereka terlihat kompak mengenakan seragam bertulis Love Who You Are yang sudah jauh-jauh hari di beli lewat online.
Oh yah tadi sebelum ke mall, mereka sudah bertukar kado. Ada senyum-senyum senang di antara mereka bisa rasakan apa yang sudah lama di pendam, sebab jarak juga sih.
“Eh, gimana kita nanti sekalian buat vlog vidio?! Biar ada kenang-kenangan gitu.” Seru Resya.
Ok. Di perbolehkan, tapi, “jangan kirim ke grup JJS Ina eh? Soalnya kasihan sebagian dari mereka tidak bisa hadir, karena jarak juga sih trus pastu tidak dapat ijin sama ortu, simpan aja buat kita-kita?” Usul Ana.
Bagian edit vlog vidio nanti ada Nila sembari mentag nama mereka dalam vidio.
“Kasihan Rizka, kalau tahu trus lihat kita fotbar dan tukar kado gini, tidak dapat kesempatan.” Sedih Nila.
Well. Sebagian dari mereka pasti paham posisi satu JJS itu, karena sudah kelas tiga tidak memungkinkan juga bagi orang tua Rizka memperbolehkan datang ke konser idola.
Menghabiskan waktu meet with JJS memang detak langka, sebab rumit bersitatap offline hanya menunggu hari tertentu, salah satunya konser idola.
Sayang sebagian JJS tidak bisa menghadiri karena harus fokus belajar untuk persiapan bekal ujian nasional akan mendatang.
“Eh, tadi aku beli CD yang ada tanda tangannya Bang Jey!” Seru Dilla.
“Wih, mahal itu Jey, 150 ribu kan?” Lirih Nila.
Di balas dengan anggukan cepat dari Dilla. Sebagiannya lagi hanya terdiam, karena tahu Dilla memiliki rupiah-rupiah banyak.
Walau demikian, tidak melihat kepongahan JJS yang satu itu, melainkan rendah hati bahkan sempat menawari apakah mau dibelikan justru di luar dugaan mereka menolak secara halus.
Katanya sih tidak spesial kalau bukan dari duit sendiri, berasa bukan berjuang beli dari kantong masing-masing.
“Nggak papa, Dil, makasih loh udah nawarin kita tadi? Lebih baik duitnya kamu tabung aja buat beli keperluan apa kah daripada boroskan kita hanya CD gituan, udah bisa kita download gratis kok lagu-lagunya di internet.” Kata Ana tulus.
“Iya, Dil. Sudah ketemu gini aja, sangat-amat cukup buat kita semua. Yang kita prioritaskan tuh solidaritas bukan benda yang di belikan.” Resya menambahkan.
Lainnya mengangguk setuju.
“Makasih..udah mau jadi temanku!” Seru Dilla, terharu.
...🍬🍬🍬...
Sejak itu, tanpa sengaja mampir di daun telinga terus menggumpalkan angan yang cipta kesan dan kagum ketika nada-nada menjadi favorit dalam aplikasi musik Adinda.
Yang biasa mendengar lagu anime dan barat, beralih ke dakwah modern kepemilikan bule london.
Booming begini kenapa tidak ada yang bisa ngundang Harris J ke Jayapura juga? Siapa tahu bisa bersitatap tanpa sengaja, begitu?
Bahkan melulu duduk manis dan nonton acara konser bule london itu lewat youtube. Pun tanpa sadar produksi sebal, melihat fans terlalu fanatik menjadi penonton di bawah panggung konser.
Kali pertama tahu ada artis menghiasi nada di baluti religi berasal dari london, sangat jauh pun selalu menerka kalau mualaf.
Kalau saja ada yang sponsori untuk undang bule itu, mungkin orang pertama datang foto bukan menganyunkan kaki nonton konser.
Buat apa menghabiskan duit untuk hal sia-sia dan letih saja? Lebih baik kertas rupiah itu terpakai hal apa kah daripada di pakai beli kertas tiket konser.
Adinda jadi menginginkan satu hal, yang mungkin begitu mustahil di dapatkan.
“Pengen ah..” Tetiba saja tercetus rasa ingin begitu tinggi.
Tapi, berpikir lagi hal apa yang harus di gapai begitu tinggi itu? Kalau menanggapi diri payah tak memiliki kebanggaan bagus.
“Ma, pengen loh ketemu Harris J.” Pernah, sore itu berujar.
“Harris J siapa?” Hana bengong menanggapi.
Sangat tahu intonasi penasaran tapi berbalut cuek. Kok masih saja menggebu menyampaikan mengenai bule london yang bermodal mbak google dapat informasinya, walau samar.
“Emang Harris J mau konser di Jayapura?”
Uhuk! Kok menyentil rasa ingin tahu ananda sih? Benar juga, tidak memungkinkan langkah itu pergi konser di indonesia paling ujung, timur.
Karena Jakarta adalah pusat utama untuk mengundang artis-artis papan atas, bahkan ukuran Harris J sedang booming sekali pun begitu mustahil di datangkan ke Jayapura.
Maybe hanya band smash saja atau yang masih memungkinkan untuk di undang ke Jayapura buat konser.
Ma, boleh ndak saya bermimpi tinggi ketemu dia? Tapi bukan di konser. Pengen nangis kalau saja diksi ini tercetus dan dapat penolakan menohok.
Cukup tersimpan rapi dalam batin.
Selalu melakukan hal disukai menjadi cibiran kalau tidak membuahkan hasil melainkan buntung terus.
Kan, sukses bukan sebuah tolak ukur bruntung tiap melakukan sesuatu digemari kan? Butuh proses panjang pun melewati air mata untuk mendapati kebahagiaan sebenarnya.
Tapi, mereka selalu menuntut diri harus membuahkan hasil tidak memberikan dukungan lebih kala tahu terbujur gagal justru menyurutkan rasa ingin itu.
Apa tidak salah dalam dare to dream big bakal tersusun keping-keping tanpa modal apa-apa dari gadis sederhana itu? Dengan begitu bakal menghapus tak berguna terganti apresiasi nyata lewat keping tanpa modal tersebut.
Mengetahui fakta selalu menciutkan mental, melulu tercibir tak berguna melakukan sesuatu cukup buat Adinda tersenyum getir.
Di mana kah harus menemukan sudut pandang yang mendukung tanpa menghakimi kepercayaan diri telah dibangun dengan sungguh-sungguh?
Berdiri di tengah gulita tanpa titik terang asa dalam menarik jemari yang membutuhkan motivasi, itulah saat ini sedang terasa dalam membangun sesuatu mungkin tidak akan berfaedah.
Justru terus percaya dengan mimpi besar tanpa sadar tercipta dalam kepala.
Big dream. Benar, itu terlahir ketika tidak sengaja nonton acara MOTD di acara TV, melihat rasa geli di ekspresi artis london pegang adonan kue itu cukup mengundang tawa dari Adinda sendiri.
Bukan terfokus ke Harris J aplikasikan adonan tersebut, melainkan ada beberapa fans mengejutkan di hari birthdays-nya, membangkitkan rasa big dream.
“Iya, pas lagi mau ngambil pesanan kue ini, sempat ada kecelakaan kecil. Makanya aku pakai masker.” Penuturan satu fans itu ke hots, buat dia menghelakan napas lega.
Ada satu hal tidak perlu di cemburukan, yaitu lihat mereka mengidolakan penyanyi.
Kamu harus terlihat beda, okay?! Kok menyemangati dalam batin sih?
Sesuatu beda yang mana dan berasal dari segi apa? Kalau tahu tidak memiliki kebanggaan yang menonjol dalam keluarga, hanya bisa menyusahkan saja dengan deret-deret angka kurang enak di potret oleh kedua bola mata.
Tersenyum getir.
Tetap keras kepala buat ..
Ruas-ruas penuh angan
Terselip tak ku duga
Sempat cemburu antusias
Tak masalah lagi kok
Selagi kau bertahan
Dalam diksi yang ku buat.
Diksi-diksi berbaris sangat manis tanpa sadar telah nangkring di aplikasi notes HPnya, seperti mengalun-ngalun begitu berarti. []
...“Memang, hanya menemukan bule itu sebatas delusi. Realita sangat banyak luka merentangkan dengan pongah. Lalu, lukisan pun mendekap hangat.”...
...🍬🍬🍬...
Seperti biasa, selalu memiliki rute bersama teman sewaktu SMP hingga sekarang. Juga tidak memiliki ruang untuk melakukan hal tidak wajar, batas singgah ke destinasi hits di kota mereka setelah itu isi perut lalu balik ke rumah.
Hana sudah beri kepercayaan juga. Yang bukan berarti di salahgunakan seperti kebanyakan anak-anak di luar sana.
“Ih..sa kalau jadi ko, Din, mungkin dari dulu ukur jalan sampai puas!” Celetuh salah satu teman Tias, saat gadis itu sedang main di kost Tias.
Ukur jalan sampai puas kah? Untuk hal apa, kesenangan sendiri? Yang bakal berujung tragis.
Kalau tidak ada tujuan untuk apa coba?
Adinda sendiri tidak menyangkal kalau di rumah tanpa berjelajah di kota cenderawasih, sangat penat juga sih.
Tempat tinggal gadis itu terlalu banyak destinasi hits yang sangat indah dan mewah berasal dari alam yang begitu alami, memang cocok buat anak-anak muda bahkan orang dewasa pun berbondong untuk menikmati ciptaan-Nya.
Melihat teman-teman pada asyik selfie.
Dia juga tidak ingin tertinggal untuk potret pemandangan sangat menakjubkan itu.
Nikmat tuhan mana kah yang kau dustakan? Siapa ingin berlibur ke luar negeri kalau lokal aja sudah bisa bikin beta berlama-lama berdiri di sana.
Tergantung kita bagaimana mengekspresikan alam ciptaan tuhan tanpa membuang-buang duit ke negeri orang.
Bahagia bisa tercipta sendiri tanpa terbayarkan oleh rupiah.
“Buset, jalan ke danau love ambyar, sempit lagi. Ngeri oey di samping banyak jurang juga eh?” Protes Kanao.
“Ingat, tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Kita perlu mensyukuri apa yang sudah allah kasih ke kita.” Kata Risti.
Walau berteman ada yang berdeda keyakinan, saling menghargai satu sama lain.
Risti, Kanao dan Adinda adalah teman halaqoh sisanya nasrani dan masih terjalin silaturahmi begitu baik.
Bahkan mereka yang nasrani selalu mengingatkan ketiga temannya buat singgah ke masjid, sholat.
Pun tidak lupa ketiga perempuan hijabers itu juga menjadi alaram pagi untuk lihat teman-temannya pergi ke gereja.
“Beta sekali nganggurin kameramu. Kalau punyaku nih, sudah terpakai tanpa mubasir di simpan saja jadi pajangan dalam kamar.” Kanao terkekeh.
Tidak tahu kenapa Adinda kurang tertarik saja mengenakan kamera, kalau teman-temannya meminta bawa saat jalan seperti ini. Simpan dalam ransel dan menyodorkan ke mereka yang pakai.
Cukup kamera HP saja tanpa harus ribet pakai yang DSLR.
Padahal pertama kali beli, sangat girang sambil ngelus-ngelus sekarang di kacangin dan jadi pajangan saja dalam kamar.
“Macam tidak tahu saja, kalau Dinda mood, baru mau ikut jalan. Kalau malas, paling mageran sampai jamuran dalam kamar.” Celetuh Risti.
“Haha, itu sudah. Kalau tidak capek, pastilah saya ikut kalian juga kok.” Adinda juga tertular tawa temannya itu.
Ah, Kanao teringat sesuatu, “kenapa tidak kasih sewa saja, Din? Daripada mubasir di kamarmu?” Usulnya.
Betul juga sih, tapi belum mau mengumpulkan niat untuk itu. Karena takut kamera dibeli pakai uang ulang tahun dari grandma rusak, akibat tersewakan.
Jangan kan kamera, novel di kasih pinjam sudah rusak pas di kembalikan.
“Malas saja.” Simple sekali jawaban Adinda.
Cukup buat Kanao menganga lebar.
“Ih..Din! Sayang sekali loh, duit itu loh?! Kalau kamera punyaku nih, sudah dari kemarin saya sewakan. Biar uangnya bisa di pakai beli apa kek, tanpa harus minta jajan di orang tua.” Cerocos Kanao.
Tersentil sangat dalam.
Adinda jadi mengingat status ibunda batas penjual kue seribuan yang modal nitip di orang pun etalase sendiri, tidak menjamin kue-kue itu habis terjual melainkan banyak yang terkembali dengan keadaan rusak.
Buat dia bergetir, benar kata Kanao. Sewa kamera adalah jalan alternatif hasilkan duit sendiri tanpa harus minta uang jajan di orang tua.
Tapi, ketertakutan dalam batin masih bersiul-siul protes tidak menginginkan benda mahal itu terjadi penyewaan.
“Din, kamu tidak malu kah pekerjaan mamamu hanya penjual kue?” Pernah, mendengar penuturan dari keluarga jauh sendiri.
Cih. Buat apa malu coba? Tidak pakai logika kah, di luar sana susah mencari kerja kenapa tidak di syukuri tanpa mengeluh?
Apa kah dengan bisikan seperti itu buat dia gengsi memiliki orang tua batas penjual kue seribuan? TIDAK!
Mereka saja yang terlalu menginginkan gelar pekerjaan layak tapi tidak pikir ke depan bagaimana cara untuk bisa mendapati posisi itu, kalau selalu prioritas gengsi doang.
“Din, sudah masuk magrib nih? Mamamu tidak marah kah?” Kata Risti, cemas.
“Kok kamu bilang begitu? Takut kah sama mamaku?” Ada sesuatu menggelitik perut gadis itu sendiri, menahan tawa.
Risti mengangguk pelan. Mereka sudah berada di sekitaran parkiran masjid, bersiap-siap mengambil wudhu.
“Soalnya mamamu orangnya cuek. Sebelas dua belas sih dengan anaknya.”
Seketika semburan tawa berasal dari Kanao, “kalian saja sih yang tidak tahu tante Hana bagaimana, baik tahu! Sangat..sangat baik! Terus kalau kita main ke rumahnya, tante Hana buatkan kita makanan atau tawari kita minum.” Terus terangnya.
“Masa sih? Kurang percaya ah.” Risti mencibir.
Karena memang perempuan ini saja belum pernah main ke rumah Adinda. Maka dari itu berikan persepsi kurang yakin begitu.
“Yasudah sekarepmu lah, Ris. Yok..sholat, keburu isya nih. Dari tadi ngobrol mulu.” Kanao pun mengakhiri obrolan mereka lalu masuk dalam tempat wudhu.
Teman nasrani pada menunggu di parkiran, usai sholat mereka singgah isi perut sudah dari tadi minta di beri asupan.
...🍬🍬🍬...
Pernah bikin kelebat hebat dalam sebuah balutan prahara dengan sahabat sendiri, bertahun-tahun bersama.
Dan, Adinda tidak ingin membahas sebuah sengit ketika terlalu baik dengan ruang bernama family multimedia itu kala ujian nasional.
Cukup menjadi catatan pembelajaran saja. Jangan terlalu beri kebaikan yang bakal mendampakkan masalah besar ke depannya.
Sekarang mereka terbentang oleh jarak begitu aksa.
AVN sangat sibuk mengurus cita pasti, sedangkan gadis itu? Duduk manis tanpa melakukan hal apa pun selain menyusahkan keluarga.
Belum ada panggilan dari pekerjaan yang sudah di kirim cv. Membuang napas sangat gusar, sampai kapan menunggu? Sudah bosan dan telinga panas juga sih mendengar cibiran mereka, karena diri belum juga mandiri mendapati pekerjaan.
Gessa bruntung bisa melanjutkan studi di UNCEN, kampus terbilang terkenal di jayapura tapi susah untuk bisa masuk di sana.
Sedangkan Varinta menetap di Padang, mengambil jurusan kebidanan.
Uh, kedua sahabat yang memiliki masa depan begitu menjanjikan.
AVN selalu terjaga dalam kasih tanpa undang bengis lagi. Begitulah caption tertulis di dinding status whatsapp.
Hal cuma tidak lihat dua sahabatnya baca. Karena sibuk menyergapi mereka.
“We..kalian mau dengar kah tidak, kalau saya punya mimpi mustahil?” Getir Adinda, berbicara sendiri, sambil lihat foto mereka bertiga masa sekolah dulu.
Sangat beruntung sekali.
Mendapati sosok sahabat susah di hubungi kini berada depan mata.
“Tumben ke rumah?” Adinda mencibir.
“Hehe..bosan jadi di rumah. Makanya sa datang saja ke ko rumah.” Gessa nyengir tanpa dosa.
Saat sedang butuh sembari di temani cerita, selalu saja panggilannya tidak diangkat.
Gessa adalah sahabat berambut kriting sendiri, papua, di antara mereka berdua. Juga sahabat paling mengerti pun menjadi telinga setia kala kedua perempuan itu berhamburan melarikan getir realita.
Padahal Gessa juga memiliki beban tidak sedikit, melainkan menggunung. Tapi, hebat dan kuat bisa di simpan sendiri tanpa harus berkisah dengan mereka berdua.
“Siapa nih ko gambar, Din?” Kata Gessa, tercengang.
Lamat-lamat memerhatikan, “ada deh, kepo!” Adinda membalas dengan canda dong.
“Bagus loh ko punya gambar, tumben bisa menggambar.” Gessa juga ikut meledek.
“Dih..berhenti cari gara sudah, simpan..simpan! Nanti sa gambar lecet lagi.” Lah, Adinda jadi ketus dong.
Ges, sori kalau sa belum bisa jujur soal gambar itu. Gumam Adinda dalam batin.
Lagi. Sahabatnya masih memerhatikan dengan rasa kagum. Apa kah sesuatu telah menarik rasa penasaran Adinda terkesan cuek itu?
Kalau benar, sudah dari tadi berkicau seperti kereta tak berjeda. Tapi, yang Gessa lihat adalah sikap tenang di tampilkan oleh sahabatnya itu.
“Din, tumben tra habiskan waktu buat pulban.” Pancing Gessa.
“Buat apa coba? Tra ngantuk kok.”
Gessa berusaha sabar dan terus mengorek untuk lihat dia jujur persoalan gambar yang sangat penasaran di lihatnya itu.
“Siapa tahu ko capek begitu, habis menggambar. Karna.. Tra biasanya sih.”
Lagi. Berusaha memancing.
“Kenapa? Dari tadi tinggal bahas sa gambar terus, mau kah sa gambar ko muka? Sini..sudah, mana pensil?”
Arg. Gessa tidak menemukan sercecah untuk menghabiskan rasa penasaran dalam batin.
“Potem simpan sudah ah. Nanti sa gambar rusak lagi karna ko lama-lama pegang begitu.” Adinda berujar sangat ketus.
Hah. Perempuan itu pun nyerah. Dia sangat keras kepala dan terus menyembunyikan sesuatu mengenai gambar tersebut.
Biarkan Adinda menyembunyikan mimpi serta-merta mimpi tinggi bertemu bule london dalam imaji.
Menjemput kesunyian dapat menciptakan angan lebih aksa.
Tahu diri juga kalau realita merentang pongah untuk jemput mimpi impossibel pun tanpa sadar lukisan itulah memeluk sangat lembut.
Adinda menyadari dari ekspresi sahabat ingin mengetahui siapa seseorang di balik lukisan sedang di lamat-lamat tanpa memindahkan pandangan ke tempat lain.
Maaf. Begitulah tercipta dari batin gadis itu sendiri. []
Notes :
Sa adalah Saya *Bahasa Papua*
Ko adalah Kamu *Bahasa Papua*
Tra adalah Tidak *Bahasa Papua*
Pulban adalah Peluk Bantal
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!