NovelToon NovelToon

Istri Taruhan

Bab 1. Awal Mula

"Gimana, Bro ...? Jangan lupa janjimu. Waktumu tinggal besok untuk melamar cewek itu." Celoteh Arman membuat Andre sebal.

Mau tidak mau, lelaki jangkung itu harus teringat akan permainannya dengan teman satu ganknya. Perasaan menyesal menyeruak dalam dada.

Bisa-bisanya dia kalah hari itu. 'Sial ... sial ... sial ...' Andre mengerang frustrasi.

Tentu saja itu hanya dalam hati saja. Dia tidak mau jika harus ditertawakan oleh sekawanan mereka karena tahu dia menyesal.

Menyesal luar biasa. Pertama, karena Andre kalah dalam permainan. Baginya, itu adalah kesiapan hakiki yang dia alami. Kedua, karena sesuai kesepakatan. Jika dia kalah, melamar cewek paling 'enggak banget' di kampus adalah hukumannya. Ketiga, Andre sedang menjalin hubungan asmara dengan Anggita. Sang primadona kampus.

"Ingat, kalau cewek itu lamaran lu. Lu harus siap nikahin dia." Penegasan dari Bobi, si rambut gondrong semakin membuat Andre gila.

Andre mangacak rambutnya asal. Rambut yang acak-acakan dengan wajah yang cemberut, malah semakin membuatnya menawan.

Ah, andai Andre tahu. Penampilannya saat ini semakin mengundang para pengunjung kantin melirik ke arahnya. Yang tentu saja membuat Anggita cemburu, karena harus menyaksikan pacarnya dilihatin para cewek tanpa kedip.

Sadar akan kehadiran Anggita, Andre menoleh. Lantas melambaikan tangan ke arah gadis cantik tersebut.

"Hai ... Sayang ...." Andre berdiri menyambut sang pacar yang berjalan ke arahnya.

"Eh, awas lu pada. Cewek cantik gua mau duduk.

Arman dan Bobi saling menatap, memberi kode. Lalu bersamaan menyapa Anggita.

"Hai ... Gita!" Mereka berdua kompak menyengir kuda, menampakkan geligi putih di balik cengiran.

Andre menggelengkan kepala melihat tingak kedua temannya tersebut. Tangannya masih terukur menyambut kedatangan sang kekasih.

"Hai ...." Anggita menyambut sapaan kedua teman Andre. Tangannya menyambut uluran tangan sang pacar.

Kemudian mereka duduk berempat dengan posisi berhadapan di meja tersebut.

Andre tak melepas genggaman tangannya dengan Anggita.

"Mau pesan apa, Sayang?" tanyanya lembut.

"Samain aja." Anggita membalas dengan suara yang tak kalah lembut.

Bobi berdehem kencang yang di sambut rengutan oleh Andre.

"Anggita, jangan lupa ingetin pacar lu tentang hukumannya. Tinggal besok harinya. Kita tunggu, ye kan, Man?" Bobi menyenggol bahu Arman, yang sontak dibalas anggukan.

"Sayang, kamu beneran mau ngelamar cewek itu. Udah ditentukan ya ceweknya?" Anggita bertanya dengan wajah memelas.

"Gimana kalau cewek itu nerima lamaran kamu? Aku enggak bisa terima." Anggita menundukkan wajah. Matanya mulai terasa panas. "Aku ... enggak bisa bayangin hidup tanpa kamu, Ndre ...." Pertahannya jebol, dia pun menangis.

Tak tahan melihat reaksi Anggita, Andre menarik kepala wanita yang dicintainya itu ke dalam pelukan. "Semua akan baik-baik aja. Enggak akan berubah dari hubungan kita."

Sejenak, suasana di sekitar mereka menjadi hening. Ke empat mahasiswa itu sibuk bermain dengan pikiran masing-masing. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang.

Tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka, hanya dentingan sendok yang saling beradu dengan piring. Sampai makan selesai, lantas mereka pun kembali ke kelas karena masih ada jadwal kelas terakhir.

Di dalam kelas. Pikiran Andre tak bisa fokus. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang sibuk menari dalam kepala.

Tubuhnya duduk di bangku, tatapannya juga fokus ke depan papan tulis. Namun, tidak dengan pikirannya.

'Gimana kalau cewek itu nerima lamaran gue. ******, dah!'

'Kenapa siap bener sih, nasib gue kali ini? Biasanya memang juga balapan motor ama mereka, eh, pake acara kalah.'

"Sepertinya, ada yang menggunakan kelas saya sebagai ajang melamun." Suara pak Reno tak juga mengusik lamunan Andre.

"Ndre ... Ndre ..." Arman menepuk bahu Andre, sekali ... dua kali ... sampai tepukan ke tiga, barulah Andre terbangun dari lamunan.

Karena kaget, Andre sontak berdiri dari kursi. Lantas mengambil tas yang diletakkan di lantai, mencangklongnya. Lalu berjalan ke depan kelas begitu saja. Tanpa mengindahkan suara Arman yang memanggil.

Sontak semua mahasiswa yang berada di kelas memperhatikan tingkah polah Andre. Dengan menahan tawa, kelas seketika menjadi riuh.

"Eh, kamu mau ke mana? Kelas saya belum selesai." Hardik Pak Reno menyadarkan kecerobohan Andre.

Seketika lelaki jangkung itu pun mengangguk, melirik ke arah Arman yang tengah menahan tawa di bangku belakang.

'Ah, sial!' rutuknya dalam hati.

"Eh, itu ... Pak, saya mau ke toilet sebentar. Udah kebelet banget, Pak." Andre menjawab asal demi menghilangkan malu.

"Mau ngilangin pikiran mesum itu, Pak ...." celetuk salah seorang temannya sekelas. Yang dibalas gelakan tawa teman yang lainnya.

"Sudah ... sudah ... Diam!" Pak Reno memukul meja. Sontak membuat seluruh mulut terdiam, terkatup rapat. Seperti terkunci seketika.

"Kamu ...." Pak Reno menunjuk wajah Andre yang memerah. "Kembali duduk. Di depan." Kemudian jarinya menunjuk salah satu bangku kosong yang ada di depan.

Andre menurut, tanpa bisa membantah. Dia pun duduk dengan menahan malu. Sekilas menoleh ke belakang, mengepalkan tinju ke arah Arman yang tertawa di sana.

"Awas lu."

****

Hari yang ditunggu oleh Bobi dan Arman pun tiba. Tidak sabar rasanya mereka berdua menyaksikan pertunjukan Andre hari ini.

Sekuat tenaga dua sejoli itu menarik keras tangan Andre agar menemui sang cewek yang jadi sasaran taruhan.

Dengan terpaksa Andre mengikuti kemanapun kedua temannya itu membawanya. Dalam hati dia terus melantunkan doa, agar si cewek menolak lamarannya hari ini.

Mereka bertiga menuju kantin tempat di mana sang cewek tersebut sedang menikmati santap siang bersama teman-temannya.

"Dewi ...!" Bobi memanggil nama sang cewek penuh semangat.

Dewi menghentikan tawanya. Seketika, sorotan penuh tanya dari temannya pun mengusik kesadarannya.

"Nama kamu Dewi, kan?" Kembali, Bobi bertanya memastikan.

Dewi hanya menjawab dengan anggukan. Tatapannya fokus dengan menyimpan tanya ada apa?

"Iya, nama cewek ini, Dewi. Ada apa ya?" Salah seorang teman Dewi bertanya mewakili yang lain.

"Lu siapa?" Bobi mengerutkan dahi, balik bertanya.

"Gue, Amika. Temen Dewi. Di sini gue mewakili dia untuk bertanya, ada perlu apa kalian mencari Dewi."

"Ooh, Amika. Temen Dewi." Bobi manggut-manggut, diikuti Arman. Sedangkan Andre hanya diam membuang pandangan.

"Gini ... ini Andre, temen gua. Dia yang ada perlu sama temen lu, si Dewi." lanjut Bobi sok bijak.

"Ndre ...." Arman berbisik kepada Andre.

Tentu saja, Andre masih bergeming. Masih membuang pandangannya asal. Rasanya ingin segera berlari dari sini.

"Bisa diganti aja gak?" Akhirnya mulut rapat itu pun bersuara dengan wajah memelas.

Andre membuang semua egonya sekarang. Meletakkan harga dirinya entah kemana. Cap dari temannya sebagai pecundang tak lagi dihiraukan.

"Enak aja. Udah di sini juga. Ayo ...." Bobi membalas tegas.

Dengan ogah-ogahan, Andre menatap cewek yang bernama Dewi yang tengah menatapnya tak berkedip.

Rasa risih menyelimuti dirinya. Namun, janji tetaplah janji. Walaupun Andre telah membuang harga dirinya, tetap saja ... kedua temannya tersebut tak mau jika dirinya mengingkari janji.

Akhirnya dengan nada yang sangat pelan dan dengan perasaan yang campur aduk, Andre pun berucap pelan.

"Dewi, maukah kamu menikah denganku?"

Duar!

Bagai petir di siang bolong, tanpa hujan atau pun angin yang menyambar hati Dewi saat itu juga. Dia bingung harus menjawab apa, tidak menyangka karena lelaki itu mengajaknya menikah.

Bab 2. Jawaban

Andre masih terpaku. Hatinya bergetar, gugup. Keringat dingin mengucur deras di balik bajunya.

Ah, ini memang hari kesialannya.

Mulutnya komat-kamit merapal doa. Matanya fokus menatap Dewi yang menunduk.

Seakan menghipnotis lewat tatapan. 'Tolak ... tolak .... Ayo, tolak gue.'

"Gimana, Dew ...?" Arman bertanya tak sabar.

Sedangkan Bobi menanti jawaban gadis itu dengan harap cemas.

Sementara itu terdengar kasak kusuk di bangku panjang kantin tersebut. Tiga orang wanita berstatus mahasiswi itu tengah berbisik-bisik kepada Dewi, yang menjadi pusat perhatian mereka saat ini.

"Udah ... terima aja Dew."

"Kapan lagi ada lelaki ganteng yang melamar ... belum tentu juga bakalan ada lagi, kan?"

"Bener ... hari ini adalah hari keberuntungan Dewi."

"Terima aja."

"Dewi, kalau lu gak mau, gue gak bisa maksa." Suara Andre memutus lamunan Dewi. Serta merta, pandangan Dewi tertuju padanya.

"Kak Andre beneran ... melamar saya?" tanya Dewi lebih pada meyakinkan diri sendiri.

"Tentu ... tentu ... Andre beneran melamar lu, Dew." Bobi langsung menimpali pertanyaan Dewi.

Kening Dewi terlihat banyak kerutan di sana. Dia tengah berpikir, kalau saja ini hanya candaan belaka.

"Boleh saya jawab, besok?" tanya Dewi lagi, ragu.

"Oohh, tidak bisa ... lu harus jawab sekarang." putus Andre cepat. Senyum miring tersungging di bibirnya.

Wajah ragu Dewi seolah mengisyaratkan, jika gadis itu keberatan untuk menerima lamarannya yang dadakan.

"Jadi harus jawab sekarang, ya ...." Dewi bergumam.

"Kamu bakalan nyesel kalau engggak nerima lamaran dia, Dewi." Amika berbisik dengan nada mengancam.

"Jadi, lu gak mau, kan?" Andre bertanya penuh semangat. Senyum penuh kemenangan terpancar dari wajahnya.

"Nah, kalian tahu sendiri, kan. Cewek ini kagak mau sama gue. Yuk ... cabut!" Andre segera berbalik arah. Hendak meninggalkan mereka, sebelum Dewi merubah keputusan, pikirnya.

Langkahnya terhenti tiba-tiba, saat mendengar seruan. "Tunggu! Saya kan belum menjawab, Kak."

Andre berhenti di tempat, tubuhnya serasa terpaku di bumi. Tak sanggup membalikkan badan.

"Saya menerima lamaran Kak Andre." Dewi menjawab pelan. Pipinya bersemu merah, semerah tomat. Jantungnya berdentam hebat, seiring deru napas yang semakin berat.

"Lu denger, Ndre. Dewi menerima lamaran lu untuk jadi istrinya." Bobi bersorak riang disambut Arman yang ikut bersorak.

Hari ini, untuk pertama kalinya. Andre mengalami hal yang tak pernah terpikirkan dalam hidupnya.

Melamar seorang gadis yang sangat tidak diharapkan. Terlebih lagi, ternyata gadis tersebut menerima lamarannya.

Andre mendongak, saat akan berbalik badan. Tatapannya bertemu dengan tatapan seorang wanita yang selama ini telah mengisi hatinya. Anggita sedang berdiri di pintu kantin dengan tatapan nanar.

"****** gua," gumam Andre.

"Bro, gua duluan yaa ... ada urusan penting." pamit Andre sembari meninggalkan teman-temannya.

"Eh, tunggu dulu, Bro. Pamitan dulu dong ama calon istri lu." Bobi mencekal lengan Andre dengan seringai menggoda.

Andre berdecak kesal. Namun, tak urung tetap menuruti keinginan sahabatnya. Dia membalikkan badan, lalu berpamitan pada Dewi yang tengah digoda teman-temannya.

Andre meninggalkan kantin dengan tergesa. Masih terdengar jelas godaan para cewek-cewek itu di belakang punggungnya.

"Cieee, Dewi. Akhirnya ... ada yang nembak. Gak nyangka banget. So sweet ...."

Setelahnya, Andre berlari mencari keberadaan kekasihnya, Anggita.

Tidak lagi lelaki itu hiraukan, jika tengah menjadi pusat perhatian orang yang lalu lalang. Tak pula dia hiraukan, jika masih ada mata kuliah di jam selanjutnya. Baginya, menemukan Anggita adalah hal yang utama.

Rasanya, seluruh wilayah kampus telah Andre datangi. Sayangnya, seseorang yang dia cari tidak ada di manapun. Rasa lelah dan putus asa mulai bergelayut dalam dirinya. Namun, wajah kesedihan Anggita terus terbayang di pelupuk mata.

"Ah, sial!" Andre mengerang frustrasi. Menendang apapun yang dia temui ke segela arah.

Mencoba menghubungi, tapi tetap tidak ada jawaban. Sekali, dua kali ... sampai sambungan itu mati sendiri.

"Kamu di mana, Gita?" gumamnya.

Tiba-tiba sebuah ide tempat terlintas dalam benaknya. Bagaikan lampu pijar yang menerangi gelap malamnya tanpa cahaya.

Andre bergegas menuju tempat yang ada di pikiran. Sebuah tempat yang sering mereka habiskan berdua di kala sore menjelang.

Membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh menit untuk sampai ke tempat tersebut.

Bergegas Andre turun dari mobil, lalu ... dengan setengah berlari dia memasuki area taman.

Tampak di sebuah kursi yang menghadap ke danau. Duduk seorang wanita yang amat dikenalnya.

Senyum Andre terbit menghiasi wajah. Senyum kelegaan. Betapa hatinya kebat-kebit dilanda khawatir sedari tadi, mencari sosok yang telah mengisi hari-harinya selama ini. Ternyata tengah duduk di pinggiran danau.

Andre duduk dengan hati-hati. Tidak ingin mengganggu ketenangan wanita yang tengah menangis itu.

Ada yang terusik dalam hatinya saat melihat Anggita menangis seperti ini. Tak tahan dengan keadaan diri, dia pun merengkuh bahu wanita yang tengah duduk di sampingnya.

"Gita ... maaf, aku di sini." Tatapan Andre lurus ke depan. Merasakan sesak dalam dada, aliran darahnya pun mulai terasa panas.

"Eh, siapa ... lu? Peluk-peluk sembarangan." Suara dari wanita dalam rengkuhan, mengagetkan Andre.

"Busyet ... dah. Gua salah orang." Sontak Andre berdiri. Berkacak pinggang, melihat pada wanita yang masih duduk di bangku taman dengan wajah merah.

"Sorry ... sorry, gua salah orang." Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Andre bergegas berlari meninggalkan area taman tanpa menghiraukan panggilan wanita itu.

"Yaelah, ketiban apes apa gua? Udah ngelamar anak orang yang enggak gua harapkan. Terus, ditinggal pacar entah ke mana. Di cari-cari, belum ketemu. Eealah, malah meluk wanita yang entah siapa." Andre bergumam di balik setir kemudi.

"Apes ... apes .... Sayang, kamu di mana?"

Mengingat Anggita, pikiran Andre kembali kacau. "Kali ini adalah tujuan terakhir. Kalau enggak ada juga, aku enggak tahu lagi harus nyari kamu kemana Gita."

Sesampainya di kost-an Anggita, Andre segera turun dari mobil. Lalu berlari menuju kamar wanitanya. Mengetuk pintu berulang kali. Tidak sabar. Beberapa kali ketukan, akhirnya pintu terbuka.

Tampaklah wajah kusut dengan mata sembab berdiri malas di depan pintu kamar. Herannya, wajah itu tetap terlihat cantik di mata Andre.

"Akhirnya ... ku menemukanmu ...." Andre langsung memeluk Anggita, yang di tepis kasar oleh wanita tersebut.

Betapa terkejutnya Andre menerima perlakuan Anggita yang tidak seperti biasanya.

"Gak perlu menjelaskan apapun. Lagipula kita seharusnya sudah gak memiliki hubungan apapun sekarang. Karena kamu udah punya calon istri, dan itu bukan aku." Ucapan telak dari Anggita membuat Andre bungkam seketika.

Entah bagaimana cara dia menjelaskan kepada Anggita, yang sebenarnya wanita itu juga tahu apa yang terjadi padanya. Sesuatu yang membuatnya sial sepanjang waktu.

Karena baginya, ide menikah dengan wanita yang tidak harapkan adalah sebuah kesialan yang hakiki.

"Aku cintanya cuma sama kamu, Anggita. Enggak ada yang lain."

Anggita tetap bergeming, tidak menyuruhnya masuk dan tidak pula mengusirnya.

"Kamu tahu sendiri, lamaran itu hanya ajang taruhan aku sama dua sialan itu. Tapi, aku juga harus menepati janji kan, ama mereka." Andre melanjutkan perkataannya, yang dibalas tak acuh oleh Anggita.

"Setelah ini, kita pikirkan lagi jalan keluarnya bagaimana ... ya? Percaya sama aku."

Luruh sudah air mata Anggita. "Aku enggak bisa hidup tanpa kamu, Ndre ...." ujarnya di sela Isak tangis.

'Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?'

Bab 3. Rencana

Andre masih berkutat dengan ketikan-ketikan skripsinya. Dia bertekad, jika tahun ini harus selesai. Lulus. Kemudian melanjutkan mencari pekerjaan pada bagian sesuai ijazah dan keahliannya.

Membayangkan hal demikian, sebuah senyum terbit di wajah. Menambah ketampanan di wajah ovalnya. Terlebih lagi, saat Andre tersenyum seperti ini, dua cekungan terukir di indah di kedua pipinya.

Lulus kuliah, bekerja, menikah dengan gadis impian. Tiga rencana yang telah tersusun rapi dalam ingatan demi menyempurnakan hidupnya.

Sayangnya, sekelebat bayangan seorang wanita bertubuh tambun dengan pipi yang sangat-sangat tembam kini merusak memory indahnya.

Tiba-tiba, Andre menghentikan jari-jemari yang tengah asyik menari di atas keyboard. Jemari itu berpindah keahlian menarik menjambak rambutnya keras. Sangat keras ... sampai dia rasakan sakit di kepalanya.

"Arrggghhh!" Andre mengerang frustrasi.

Malam semakin larut, kost-nya kini telah sepi. Suara-suara bising yang tadi sempat terdengar, kini telah senyap. Mungkin tinggal dia saja yang masih terjaga sampai larut malam begini.

Andre teringat akan pertemuannya dengan sang kekasih siang tadi. 'Bagaimana caraku meyekinkan Anggita, ya?' Otaknya masih sibuk memikirkan cara meyakinkan kekasihnya. Jika dalam hatinya saat ini hanya ada Anggita seorang, dan tidak akan berubah walaupun sampai harus menikahi Dewi.

Kemudian, sebuah ide muncul di kepala Andre. Dia pun tidak sabar menunggu pagi untuk membicarakan ide cemerlangnya pada Anggita. Dia yakin, Anggita akan kembali luluh padanya.

***

Sebua motor ninja berwarna hitam telah terparkir di halaman kost Melati. Betapa tidak sabarnya lelaki itu menantikan sang pujaan hatinya keluar.

"Ah, akhirnya ..." Senyum semringah menyambut Anggita keluar menuju halaman. Sayangnya, wajah cantik itu masih cemberut dan tampak tidak bersemangat.

Kedua matanya bengkak, hidungnya merah dengan wajah yang tampak kusut. Walaupun telah di poles make-up.

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Andre khawatir.

"Gak usah sok nanya, ini semua gara-gara kamu ...." sungut Anggita.

"Iya, maafkan aku. Sayangku ... aku berjanji akan selalu membahagiakan kamu." Andre berucap sungguh-sungguh dengan tangan ke atas, dua jarinya membentuk huruf V. "Suer ... tekewer ... kewer ...."

"Ish, gombal." Anggita mengulum senyum melihat aksi sang pacar.

"Aku serius. Peluk dulu dong." Kedua tangan Andre terulur ke depan, siap menerima pelukan.

"Ogah. Urus aja calon istri kamu." Mengingat itu, mata Anggita kembali dipenuhi kaca-kaca bening yang siap menumpahkan air telaga.

"Makanya itu ... aku semangat datang pagi-pagi begini, ke sini. Kita harus membicarakan masalah ini, segera. Ini darurat ...." Andre naik ke atas motornya. Menoleh ke arah Anggita. "Ayo!"

Anggita naik ke motor, duduk di belakang dan melingkarkan ke dua tangan di pinggang Andre dengan erat.

"Awas kalau kamu ngerjain aku." Anggita menyandarkan kepala di punggung lelaki itu.

"Enggak akan. Mana berani aku berurusan sama cewek idola kampus." Mereka pun tertawa bersama. Kemudian, Andre mengulurkan helm kepada Anggita untuk dipakainya.

Mereka berdua pun kini telah melesat membelah jalanan kota menuju tempat favorit keduanya selama menjalin kasih.

"Aku punya rencana atas pernikahanku nanti." Andre memulai obrolan seriusnya saat mereka telah duduk di bangku panjang area taman. "Jadi, aku hanya menikah dengan Dewi itu selama satu tahun aja. Setelah itu, kami akan bercerai. Lalu aku akan melamar kamu," lanjut Andre antusias.

"Lha, aku nikah sama duda dong. Bekasan ... lagi." Anggita membalas tidak terima.

"Ya enggak lah, duda ting-ting lebih tepatnya."

"Alah, kalau udah nikah apa kamu tahan enggak ngelakuin gituan ama istri kamu yang semok itu?"

"Enggak akan, Sayang. Aku cintanya cuma sama kamu. Aku enggak akan ngapa-ngapain dia. Suer ...."

"Suer ... suer .... Awas aja kalau ngingkari janji."

"Janji. Enggak akan ingkar janji. Percaya sama aku." Andre berkata dengan tatapan serius. Tatapan yang sangat tajam, sehingga menusuk sampai ke hati Anggita.

Ah, siapa yang akan tahan menerima tatapan itu?

Anggita yakin, hati Andre hanya miliknya seorang.

***

Setelah hari lamaran di kantin waktu itu. Tidak membutuhkan waktu lama, keluarga Andre datang melamar Dewi pada orang tuanya.

Betapa terkejutnya Andre saat menyadari, jika Dewi ternyata dari keluarga terpandang dan kaya raya.

Rasa ciut mulai merongrong hatinya. Bagaimana jika rencananya bersama Anggita gagal? Bagaimana dia akan menghadapi keluarga Dewi dikemudian hari?

Saat prosesi lamaran, Andre hanya diam terpaku di tempatnya.

"Nah, Ndre ... Dewi ... kalian boleh istirahat dulu sekalian mengobrol di bangku taman. Dewi, ajak calon suamimu ke taman dulu ya." ujar Pak Bambang. "Sekarang saatnya pembicaraan orang tua mengenai tanggal pernikahan kalian."

Kedua anak muda itu menurut. Andre mengikuti Dewi menuju taman di samping rumah, yang menghadap ke kolam ikan dengan jembatan kecil di atasnya. Pemandangan yang sangat elok menyenangkan mata.

Andre dan Dewi hanya diam, tidak ada perbincangan di antara keduanya sampai beberapa saat lamanya.

"Silakan Non." Seorang pembantu rumah tangga datang membawakan minuman dan camilan untuk mereka.

"Makasih, Bik." Dewi tersenyum ramah.

Saat pembantu itu pergi, meninggalkan mereka. Kebekuan itu kembali terjadi.

Sampai mereka dipanggil untuk masuk ke dalam rumah. Tetap tidak ada pembicaraan apapun.

****

"Hei, gimana, Bro?" tanya Arman. Saat ini tiga bujang mahasiswa yang telah akrab sejak awal bangku perkuliahan itu, sedang berbaring di kasur milik Andre.

Mereka bertiga sepakat tidur di kost-an Andre, demi menghabiskan waktu menunggu habisnya masa lajang sang sahabat.

"Apanya?" jawab Andre malas. Dia yang sedang menyelesaikan ketikan merasa terganggu atas pertanyaan Arman yang terkesan menggoda.

"Ya ... perasaan lu, lah. Masa gua ... yang mau nikah kan elu. Ye gak Bro." Arman dan Bobi ber tos ria seolah ketidaksukaan Andre menjadi kebahagiaan tersendiri bagi mereka.

Dua sejoli itu tertawa terbahak kala mendapati wajah Andre yang telah merah padam.

"Seneng lu bedua, seneng banget ...."

"Ya seneng banget, lah." jawab kompak mereka dengan tawa terbahak.

Andre hanya mendengus sebal. Kemudian melanjutkan ketikannya yang sempat tertunda.

"Eh, Ndre. Kabarnya ... kabarnya nih, ya ...." Arman merubah posisi duduk bersila menghadap Andre. Tatapannya serius menghadap Andre.

Andre menghentikan pekerjaannya, demi mendengar apa yang akan diucapkan Arman.

"Si Dewi itu dulunya kurus, langsing dan cantik banget lho, Bro. Beneran dah ... lu bakalan langsung jatuh cinta sama dia kalau pas lihat kurusnya dia."

Andre mengernyit bingung. Meletakkan laptop ke meja. Dia tampak tertarik mendengar berita Arman. Rasanya tidak mungkin, cewek seaneh itu pernah cantik dan ... langsung.

"Seriusan, lu? Dapat berita dari mana? Kapan dia pernah langsing?"

Bobi juga tampak antusias mendengar penuturan Arman. Sepertinya, ini juga berita baru baginya.

Arman mengangguk yakin. Sedetik kemudian, tawanya meledak melihat ekspresi kedua temannya.

"Waktu lahir, kali ... hahahaha." Arman tertawa puas sampai memegangi perutnya yang terasa kram.

"Sialan, Lu."

Andre dan Bobi tidak pernah tahu, jika berita yang dibawa Arman adalah sebuah kebenaran. Karena, lelaki itu mengunci rapat mulutnya atas kebenaran itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!