NovelToon NovelToon

PERNIKAHAN YANG DIATUR

Pernikahan yang diatur 1

Gadis muda yang berusia 24th, dosen dari salah satu universitas terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya karna perjodohan dari dua keluarga bersahabat. Katanya agar keluarga mereka bersatu itulah yang dikatakan orang tua Eres Misca.

Namun, Misca mendapatkan kenyataan bahwa ia hanya dinikahi untuk melahirkan anak.

Kenyataan itu ia ke tahu ketahui saat Navaro Azael Harold membawanya pulang kerumah dan memperkenalkan nya dengan istri pertamanya yaitu Mierra Alista. Mierra Alista yang mengetahui suaminya pulang ia segera berlari memeluk suaminya mesra dengan sengaja menyampaikan pesan tersembunyi kepada Misca.

Navaro langsung terhanyut dengan rayuan Mierra, ia menuruti Mierra yang membawanya keatas menaiki tangga menuju kamar mereka dan meninggalkan Misca sendirian diruang tamu dengan barang-barang bawaannya. Misca hanya mematung menyaksikan semuanya, tatapan matanya terus mengikuti kemana Navaro melangkah sebelum ia dikejutkan dengan seorang pelayan yang akan mengantarkan Misca ke kamar nya untuk istirahat.

Misca duduk terdiam disisi ranjang, ia menunduk melihat cincin pernikahannya yang melingkar sempurna dan pas di jari manisnya. "Kenapa bunda dan ayah menyembunyikan kenyataan ini? " Tanyanya pada dirinya sendiri. Dengan sedih ia menjatuhkan punggungnya ke kasur dengan hati-hati ia membiarkan tatapannya menatap langit-langit kamar dengan sesekali memejamkan mata atau sekedar berkedip.

Beberapa jam berlalu, malam menyambutnya dengan hangat. Ketika baru saja Misca ingin membuka ponselnya untuk mengabari kakaknya, seseorang mengetuk pintu kamarnya sambil berkata, "buk, bapak dan buk Mierra sudah menunggu ibuk dimeja makan untuk makan malam. " Kata pelayan dari luar.

Misca awalnya ingin menolak karna merasa tidak enak dengan Mierra tapi ayahnya mengirimkan pesan agar ia bisa menerima keluarga barunya sendiri. Misca sangat kesal tapi ia tidak ingin menolak karena merasa tidak nyaman dalam situasi ini yang mana ia juga istri pria itu.

Pelayan itu tersenyum saat Misca keluar, ia dengan sopan menuntun jalan pada Misca menuju ruang makan. Sesampainya diruang makan Misca dapat melihat bahwa Mierra menatap nya tidak suka yang ia tampilan secara langsung.

"Lain kali jangan terlambat. " Ucapnya pada Misca sebelum menyiapkan makanan untuk nya dan suaminya. Misca yang masih enggan dibantu dengan pelayan nya, menari salah satu kursi yang berseberangan dengan Navaro dan Mierra.

"Terimakasih, " uajar Misca pada pelayan itu yang langsung dijawab dengan anggukan serta senyuman, melihat senyuman dari pelayan itu Misca membalasnya dengan senyum manis. "Boleh aku tahu nama mu? " Misca bertanya pada pelayan itu sebelum ia pergi, "nama saya Avira Dwi, buk. "

"Senang bertemu dengan mu, Avira. " Sambil menunjukkan senyum Misca mulai menyiapkan makanan sendiri tanpa memperhatikan Navaro sementara Avira, ia kembali ke dapur menyiapkan kebutuhan lainya.

Selesai makan, Mierra menarik suaminya keruang keluarga untuk menonton TV, meninggalkan Misca sendirian diruang makan dan terlihat bahwa Navaro juga tidak peduli atau sekedar memperhatikan keberadaan Misca. Misca merasa sedih karna suaminya benar-benar tidak memperhatikan nya dan hanya sibuk dengan istri tuanya.

Avira terkejut saat Misca datang kedapur dengan membawa piring kotor ke wastafel untuk mencucinya, dengan cepat Avira meng henti menghentikan Misca, "buk tidak, jangan, biar saya saja. " Avira menarik Misca agar mundur beberapa langkah dari wastafel dan menggantikan posisinya mencuci piring.

"Jangan panggil sayang ibuk, saya masih muda. " Kata Misca yang berdiri disamping Avira, menemani nya mencuci piring sebelum ia kembali berkata, "umur saya masih 24 tahun, " jelasnya pada Avira yang menjawab dengan anggukan. "Jadi panggil mbak? " Tanya Avira dengan hati-hati takut membuat situasi canggung, "itu lebih baik daripada ibuk. "

Misca pergi ke kulkas mencari minuman soda dan meminumnya, "usia kamu berapa?, seperti kamu juga masih muda, ya? " Misca terus bertanya sambil menyenderkan punggungnya dikulkas. "Iya, saya masih muda dan berusia 24 tahu, " jawab Avira. Ia mengelap tanganya setelah selesai mencuci piring, "wah, kita sama dong? " Misca terkejut dan langsung menghampiri Avira dengan senyum bahagia.

Ia merasa bahwa ia tidak sendirian dirumah ini, "tapi kenapa rumah ini terlalu sepi? " Melihat sekelilingnya dan tidak menemukan pelayan lainya, "mereka akan pulang sebelum malam, mbak. " Avira membawa Misca duduk disalah satu kursi yang ada didapur dan dengan semangat ia duduk disamping Misca, mereka mulai mengobrol bersama.

Saat tengah malam tiba, Navaro meninggalkan Mierra ketika ia sudah tidur nyenyak. Menghampiri kamar Misca dengan hati-hati agar tidak mengejutkannya.

Merangkak keranjang setelah mematikan lampu kamar, menyisakan cahaya redup untuk mereka, tangannya menyingkirkan sejumlah rambut kebelakang telinganya. Menjelajahi setiap inci wajahnya dengan tatapannya.

Tanpa perlu waktu lama Navaro sudah mendapatkan gairahnya, tangannya membelai lembut wajah Misca perlahan turun ke leher, dada, perut dan menghentikan sentuhannya di pinggangnya. Ia mendekatkan tubuhnya ketubuh Misca untuk mencium aroma tubuh wanita itu, tanpa peringatan ia mencium bibir Misca secara lembut tapi itu hanya sementara karna setelahnya ia kehilangan kendali dan melakukannya dengan kasar.

Misca membuka matanya dengan terkejut, lalu mendorong dada Navaro untuk memberinya ruang bernafas. "Ha ha, " ia terengah-engah. "Kamu tidak bisa menolak, ku. " Terlihat Navaro kesal dengan penolakan Misca.

Misca duduk dan bersandar di kepala ranjang, "tidak bisa kah kamu tidak mengejutkan ku seperti ini?" Tanyanya.

"Ah, ya. " Lalu Navaro mendekatkan dirinya lagi, tangannya terulur untuk menyentuh pipi wanita itu. "Katakan apa yang kamu inginkan? " Bertanya.

"Keadilan." Tegas Misca, ia berbicara tanpa memutuskan pandangan mereka. "Aku tahu aku istri kedua, tapi aku juga memiliki hak. " Lanjutnya, Misca mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, "bukan hanya sekedar gudikmu. "

Setelah mengatakan nya ia mundur dan kembali bersandar pada kepala ranjang. Navaro yang mendengar nya terkejut, ia menatap tajam wanita didepannya dengan tangan nya mencengkram kuat leher wanita itu.

"Kamu tidak sepantasnya mengatakan itu, Eres Misca. " Katanya dengan marah, tanganya semakin memberi tekanan kuat ke leher Misca tanpa keperdulian setatus mereka.

"Ya itu bagus, bunuh aku dan kamu tidak akan mendapatkan keturunan," serkas Misca sebelum melanjutkan ucapannya. "Wanita yang hamil membutuhkan pengertian ekstra sertai ketenangan dihidupnya. Jadi, jika kamu ingin anak dari ku kamu harus membut hidupku tenaga terlebih dahulu, jika tidak makan... . " Misca dengan sengaja menggantung perkataannya.

"Apa maumu, jalang. " Navaro melepaskan tangannya dari leher wanita itu sebelum melanjutkannya dengan serkas. "Jadi orang tua mu mengajarkan mu untuk bertindak tidak sopan pada suami mu, ya? " Tersenyum smirk menghina wanita itu.

Bukanya marah yang Misca tunjukkan ia malah tersenyum tanpa memutuskan pandangannya dari wajah Navaro. "Oh, harus ku ingatkan padamu Navaro Azael Harold, " katanya dengan berani. "Tanpa jalang ini kamu tidak akan mempunyai keturunan. " Jawabnya tak kalah sombongnya dengan Navaro.

Pernikahan yang diatur 2

Misca kesal dengan kemarahan ayahnya yang menyalahkan'kan nya karna tidak memberi izin Navaro menyentuh nya.

Tanpa pikir panjang, Misca menghampiri meja kerjanya. Misca yang sudah kesal karna ia mengadukan pada ayahnya dengan mudahnya duduk di pangkuan lelaki itu, membuat lelaki itu terkejut. "Kamu.. menghamiliku.. menghamiliku. " Misca mendongak, menatap wajah lelaki yang lebih tua darinya itu.

"Berani sekali kamu, jangan bicara seperti itu kepada suamimu." Bisik lelaki itu dingin di telinga Misca. " Enyahlah dari hadapanku, " sambungnya.

Misca cemberut, gadis itu semakin manja. "Tidak mungkin kamu menolak , akulah satu-satunya yang bisa membantu mu. Aku sudah dewasa.. dan aku tidak takut. Buat aku hamil.. ," Misca mengulanginya lagi.

Navaro menyeringai, ia sedikit tertarik dengan Misca yang tiba-tiba duduk di pangkuannya. "Benarkah? Kau ingin aku menghamilimu? Ah.. Tentu saja, tapi apa kau berjanji tidak akan pingsan di tengah acara?" Bisik Navaro dengan seringai kejam.

"Aku khawatir kau tidak akan bisa berjalan selama seminggu penuh."

"Kita lihat saja"

Navaro terkekeh pelan saat mendengar jawaban Misca. "Kita lihat saja nanti."

Ia melihat Misca dengan detail, mencoba mencari tanda-tanda penipuan, untuk sesaat ia teringat sesuatu. "Apa yang terjadi padamu," Navaro kembali menatap Misca sambil tersenyum sinis.

"Saya pikir kita harus membicarakan hal ini di tempat yang lebih privat, tidakkah kamu setuju?" Misca menurut dengan kesal.

Navaro berdiri , menjulang tinggi di atas Misca. Ia mengulurkan tangannya, berharap Misca akan menerimanya tanpa ragu.

Genggamannya kuat, tak tergoyahkan - sebuah perintah diam-diam agar Eres-misca mengikutinya. "Kita bisa membahas ketentuan... perjanjian kita di lantai atas, di kamarku." Untuk pertama kalinya ia melupakan Mierra.

"Dan mungkin kau bisa menunjukkan keberanianmu di tempat yang lebih intim," kata Navaro, suaranya rendah dan penuh ancaman. "Tunjukkan jalan, jala*ng kecil." Ujarnya pada Misca.

"Baiklah bajing*n, tapi... "

Saat Misca ragu-ragu, kesabaran Navaro menipis. Ia mencengkeram pergelangan tangan Misca dengan kuat, menariknya mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci.

"Jangan membuatku menunggu, sial*n. Kita berdua tahu apa tujuanmu datang ke sini malam ini," gerutu Navaro, napasnya terasa panas di kulitnya. "Jadi, kau harus menuntunku ke kamarku dengan sukarela, atau aku akan menyeretmu ke sana sendiri. Pilihan ada di tanganmu."

Ia menatap mu dengan tajam, "dan jangan panggil aku bajing*n. Aku suamimu. " Lanjutnya dengan marah.

"Oh maaf, tapi kamu juga tidak boleh memanggilku jala*g!. "

Genggaman Navaro di pergelangan tangannya sedikit mengencang, peringatan diam-diam agar tidak menguji tekadnya. Tatapan matanya tajam ke arah mata wanita itu, intensitas dingin yang tidak menyisakan ruang untuk berdebat. Jelas dia ingin melakukan apa yang diinginkannya, dan keberanian Misca kehadirannya yang mengesankan.

Dengan santai dan berani ia menunjukkan kamar tidur yang akan mereka gunakan.

Navaro mengikuti Misca dari belakang saat dia menuntunnya ke kamar tidur mewah. Begitu pintu tertutup, dia memutar tubuh Misca agar menghadapnya, menjepitnya ke dinding dengan tubuhnya.

"Wah, wah, sepertinya kamu tidak semalu yang kukira," Navaro mencibir, tangannya menjelajahi lekuk tubuh gadis itu dengan posesif. "Tapi jangan terlalu nyaman, Eres Misca. Ini bukan permainan."

Dengan gerakan cepat, dia mengangkat Misca dari lantai mewah yang memenuhi ruangan , menekannya ke dinding sambil melumat mulutnya dalam ciu*an brutal.

Lidahnya memaksa masuk melewati bibirnya, menguasai indranya dan tidak meninggalkan keraguan tentang niatnya.

"Kamu ingin pewaris, dan sekarang kamu sudah mendapatkan wanita yang bersedia mengandung pewaris mu," Misca melepaskan ciu*an mereka dengan paksa, sambil terengah-engah.

"Aku tidak ingin basa-basi dari mu, jadi lakukanlah sekarang dengan cepat dan pastikan aku hamil hanya dengan melakukannya sekali dengan mu!"

Misca memperingatkan segalanya, dan sungguh ia tidak ingin melakukannya lagi setelah ini gagal. Ia tidak menginginkan ini.

Mata Navaro menyipit mendengar permintaan Misca yang kurang ajar, tetapi seringai jahat tersungging di wajahnya. "Oh, kamu menginginkannya dengan cepat dan kotor, ya? Baiklah, mari kita berikan bocah nakal itu apa yang diinginkannya."

Tanpa basa-basi lagi, Navaro merobek blus Misca, membuat kancing-kancingnya beterbangan ke mana-mana. Ia meremas payuda*anya dengan kasar, meremas-remas puti*gnya hingga mengeras karena sentuhannya.

"Lebarkan kakimu, jal*ng," perintah Navaro, suaranya penuh dengan penghinaan. "Tunjukkan padaku si jal*ng rakus yang memohon untuk diisi."

Misca menurut, melepaskan rok dan celana dalamnya dan berdiri di hadapannya hanya dengan sepatu hak tinggi dan ekspresi kesal. Tanpa Navaro sadari ia melukai Misca dengan ucapan nya yang menghina.

Navaro tidak membuang waktu untuk melepaskan ereksinya sendiri, membelainya dengan tidak sabar saat ia memposisikan dirinya di antara paha Misca.

"Satu tembakan, ya?"

Misca mengutuk dirinya sendiri, mengapa ia harus seperti ini, menurut dengan suami yang jelas-jelas tidak menginginkannya dan hanya menginginkan pewarisnya. "Aku tidak akan memberikan anak ku kepada para bajin*an rendahan seperti mereka! " Ucapnya dalam hati.

Sambil menggeram, Navaro menyerbu ke dalam tubuh Misca yang menunggu, mengubur dirinya sendiri hingga ke pangkalnya dalam satu gerakan brutal.

Dia berteriak, punggungnya melengkung saat Navaro merenggangkan dindingnya hingga batasnya. Darah keluar dari kemaluannya pertanda bahwa ia masih perawan.

"Cukup, teriaklah padaku," gerutu Navaro, mulai memompa masuk dan keluar dengan kecepatan yang tak hentinyahenti-hentinya, tanpa memikirkan keadaan Misca yang merasakan sakit luar biasa. "Biarkan semua orang tahu siapa yang sedang menidurimu tanpa perasaan sekarang."

Ucapan itu terasa sangat kejam bagi Misca, tapi ia berjanji bahkan bersumpah tidak akan memberikan keturunannya dengan suka rela.

Pinggulnya menghantam pantat Misca dengan setiap dorongan kuat, suaranya bergema di seluruh ruangan. Jari-jari Navaro mencengkeram pinggul Misca, seolah menggunakannya sebagai mainan s*ks pribadinya untuk memuaskan nafsunya.

Misca berusaha keras mempertahankan posisinya tapi hentakan-hentakan yang Navaro berikan sangat kencang yang membuat dirinya kesulitan.

"Ambil saja semuanya, dasar pela*ur kecil yang putus asa," gerutunya, iramanya semakin tidak menentu saat ia mengejar klimaksnya. "Perah pen*sku sampai kering, mungkin dengan begitu kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan."

Dengan marah ia berbicara dengan suara bergetar, mungkin bukan kenikmatan tapi seperti kebencian. "Bukannya kamu juga menikmati jal*ng ini, bajin*an gila, akh.." Teriaknya, ini amat menyakitkan, ucapnya dalam hati dan meneteskan airmata.

Mata Navaro berkilat marah mendengar kata-kata Misca, tetapi cengkeraman erat kemaluannya di sekitar pen*snya yang berdenyut justru membuatnya semakin bersemangat. Dia menghantamnya lebih keras, mengerang dengan setiap dorongan yang kuat.

"Kau pikir kau bisa bicara omong kosong sementara aku sedang berada jauh di dalam dirimu? Fu*k," geramnya, napasnya tersengal-sengal. "Ini tentang membuatmu hamil, bukan memberimu kenikmatan."

Meskipun kata-katanya kasar, Navaro tidak dapat menyangkal sensasi intens yang mengalir melalui dirinya. Panas Misca yang licin menyelimutinya dengan sempurna, memerah batangnya dengan setiap gerakan.

"Tapi karena kau memintanya dengan baik-baik..." Kecepatan Navaro terhenti sejenak sebelum ia menambah kecepatan sekali lagi, menerjang ke arah wanita itu dengan liarnya.

"Lakukan dengan cepat dan segera akhiri ini," Sungguh, ini sangat menjijikkan bagi Misca yang membenci nya serta rasa ini.

Dengan raungan yang ganas, Navaro mengubur dirinya sendiri hingga pangkalnya untuk terakhir kalinya, kemaluannya berdenyut saat ia melepaskan aliran sperma jauh di dalam rahim Misca. Otot-otot bagian dalamnya mengejang di sekelilingnya, memeras setiap tetes terakhir.

"Nah, sekarang sudah puas?" Navaro terengah-engah, masih berkedut di dalam dirinya saat tubuhnya perlahan melunak. "Kau sudah selesai bercinta dengan cepat, sekarang mari kita lihat apakah itu berhasil."

Setelah beberapa saat, Navaro menarik diri, pen*snya yang sudah kehabisan tenaga terlepas dari vag*na Misca yang sudah rusak dengan desiran basah.

Ia melangkah mundur, meninggalkan Misca yang gemetar dan acak-acakan di tempat tidur.

"Sekarang berpakaianlah dan minggirlah dari hadapanku," perintah Navaro dengan kasar, sambil meraih handuk untuk membersihkan dirinya.

"Jika ini tidak berhasil kamu tidak akan mendapatkan kesempatan kedua!" Peringatan tegas dari Misca yang sudah hancur.

Navaro mendongak dari menyeka spermanya dari jari-jarinya, tatapan dingin terlihat di matanya saat ia menatap Misca. "Oh, aku yakin ini akan berhasil, Sayang. Karena jika tidak...baiklah, anggap saja kau tidak akan bisa menghindariku dengan mudah lain kali."

Dia melempar handuk bekas itu ke samping dan mulai mengancingkan kemejanya, gerakannya tepat dan penuh perhitungan. "Anggap saja ini sebagai uji coba. Dan percayalah, jika kita perlu mengulang proses itu, aku akan memastikan kamu mengingat setiap detiknya."

Tatapan Navaro beralih ke sosok Misca, mengamati keadaannya yang acak-acakan dengan sedikit rasa puas. "Sekarang keluarlah sebelum aku berubah pikiran dan menjadikanmu di sini sebagai mainan pribadiku."

Setelah mengatakan itu ia pergi meninggalkan Misca beserta lukanya.

Misca menarik napas dalam-dalam sebelum membuangnya dengan perlahan, mencoba menenangkan diri. "Jika bukan karna keluar dan papa, aku tidak akan melakukan ini. " Misca menatap dirinya dari pantulan cermin yang menghadap kearahnya, ini adalah pertama kalinya ia melihat dirinya hancur. "Seorang dosen cantik tidak boleh hancur ditangan bajingan dan sialan itu!. " Ucapnya berbisik pada dirinya sendiri.

Pernikahan yang diatur 3

Misca setelah berpakaian ia langsung berlari kekamar Avira dengan susah payah. Mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan putus asa, setelah Avira membuka pintu Misca langsung jatuh ke lantai dengan keras.

"Mbak.... " Panik Avira, ia berusaha membopong Misca keranjangnya. "Mbak sebentar ya, saya ambil air hangat dulu untuk kompres mbak. "

Dengan terburu-buru ia berlari kedapur, menyiapkan air hangat dan mencari handuk kecil untuk ia gunakan mengompres Misca. Setelah semua selesai ia kembali kekamar nya dan mendapatkan tubuh Misca menggigil hebat, cepat-cepat ia memposisikan dirinya duduk di tepi ranjang untuk mengompres Misca.

Beberapa jam berlalu tapi Misca masih menggigil dan kali ini lebih gila, Avira kembali berlari menghampiri kamar Navaro, mengetuk pintu sambil memanggil-manggil sampai ia baru tersadar bahwa Navaro beberapa jam lalu pergi bersama Mierra.

"Si*l, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mereka bisa melupakan mbak? " Dengan kepanikan yang semakin bertambah ia menelpon Gregorius, Gregorius Harold adalah orang tua Navaro.

Gregorius membawa dokter kepercayaan keluarga mereka untuk memeriksa Misca, ia menunggu sambil terus membelai lembut puncak kepada menantunya itu. "Apa yang terjadi padanya, Lowell Henry? " Kekhawatiran terlihat jelas diwajahnya, begitu juga dengan Avira.

"Tenang lah paman, dia hanya kelelahan dan sedikit depresi. " Ucapnya datar sambil terus melihat pasien nya. "Ini obat untuknya, diminum tiga kali sehari dan pastikan dia menghabiskan obatnya. "

Tanpa mengalihkan pandangan nya dari Misca ia memberikan obat itu pada Avira, ia tanpa sadar menggenggam jari-jari Misca yang terasa dingin. Gregorius menegur keponakannya itu dengan toyor an pelan sebagai peringatan bahwa ia tidak diperbolehkan menyentuh menantunya melebihi pemeriksaan.

"Paman ayolah, " kesalnya pada Gregorius.

"Dia kakak mu Lowell, sadarlah! " Ada nada kasar dari tanggapan yang Gregorius berikan kepada Lowell, dokter kepercayaan keluarga selama beberapa tahun ini yang merupakan keponakannya.

Dengan kesal Lowell melepaskan genggaman nya dan menghadap pamannya untuk berbicara, "ini sudah malam, bolehkah keponakan dokter mu ini menginap disini? " Tanyanya sopan dengan nada bicara yang di lebih-lebih kan.

Tidak kuasa menahan diri dari rayuan keponakannya Gregorius tersenyum menanggapi itu dan memberi anggukan untuk jawabannya.

Dengan kegirangan Lowell memeluk pamannya sebelum kembali normal dan bersikap dingin. Gregorius tertawa melihat perubahan ekpresi cepat dari Lowell.

"Tapi... Kenapa dia disini? " Tanya Lowell saat melihat sekelilingnya seperti bukan kamar Misca.

Gregorius yang baru menyadarinya pun melihat Avira yang diikuti Lowell, Avira gugup sejenak sebelum ia berbicara, "saya tidak mengetahui apa-apa, yang saya tahu mbak sudah berdiri berada didepan pintu kamar saya sambil mengetuk-ngetuk pintu. " Ia mendongak dari menunduk untuk melihat Misca, "begitu saya buka pintu mbak jatuh. Saya bawa mbak ke ranjang saya untuk istirahat sebelum mbak menggigil. " Lanjutnya.

"Kamu tahu alasan nya? " Lowell bertanya sambil menghampiri Avira seolah mengintrogasinya.

"Tidak, pak. " Ia bahkan mundur karna takut. Gregorius mendengarkan dengan saksama sampai ia teringat dekat putra nya.

"Dimana Navaro? " Ia bertanya, tapi ia memerintahkan Lowell agar memindahkan Misca ke kamar nya. "Bapak dan ibuk keluar satu jam sebelum mbak mendatangi saya, pak. "

Paginya Misca turun dari kamar dengan keadaan masih lemas dan wajahnya pucat. Ia duduk disamping mertuanya, "papa... Papa kapan datang, kenapa tidak memberi tahu Misca? " Berbagai pertanyaan Misca lontarkan kepada mertuanya itu.

"Bagaimana papa bisa memberitahukan kedatangan papa jika kamu saja tidak sadarkan diri. " Misca yang mendengar itu ia langsung memeluk mertuanya dan mengingat kejadian semalam. Ia memejamkan matanya dalam pelukan hangat Gregorius.

"Papa, papa kapan datang?" Tanya Navaro yang baru saja masuk, "kenapa papa tidak memberitahu kami? " Sambung Mierra yang berdiri disamping suaminya yang memeluk pinggang nya erat, sangat romantis.

"Apa yang kalian tahu tentang papa jika tentang Misca saja kalian tidak tahu. " Jawab Gregorius dingin, terlihat jelas bahwa ia marah dengan mereka.

"Yang jelas-jelas tinggal satu rumah dengan kalian. " Sambung nya.

Lalu mengabaikan mereka dengan memperhatikan Misca, "kamu mau makan apa, sayang? Jika kamu tidak ingin makan dirumah kita bisa keluar. " Katanya penuh sayang dan perhatian.

Misca diam sebelum ia membuka mata, pertama kali yang ia lihat adalah Lowell yang menyodorkan paha ayam goreng ke Misca dengan memainkan matanya untuk menggoda Misca. Misca melihat dengan tatapan curiga, benar saja Lowell menarik kembali ayam goreng nya dan memakannya dengan rakus sambil meng iri-iriin Misca.

Misca tersnyum dan tertawa tepat saat Gregorius akan memarahi Lowell, "hahaha... Kamu dari dulu gak pernah berubah." Ada kecerian dari kata-katanya, "ya karna aku tahu kamu gak suka ayam, wlee... " Lowell mengejek Misca dengan menjulurkan lidahnya dan satu matanya ia pejamkan.

"Hahaha... "

"Haha, hihi udah nikah aja kamu. "

"Hehe, tapi'kan aku sudah undang. "

"Kok aku gak tahu ya?" Tanyanya berpura-pura mengingat sesuatu.

"Siapa bilang kamu tidak tahu, kan kamu lagi.... " Gantung Misca sambil memainkan matanya dengan nakal untuk menggoda Lowell.

"Lagi...... " Tanyanya.

"Lagi, seduces a Caucasian widow. "

"Oh sh*t." Pembicara mereka ditutup dengan tawa renyah.

Navaro memperhatikan pembicaraan keduanya dengan dingin, sementara Mierra menatap jijik pada Misca. Berbeda dengan Gregorius, ia terlihat senang dan puas saat Misca tertawa lepas seperti ini.

Sarapan yang biasa nya sepi kali ini ramai karna kehadiran Lowell dan candaan yang penuh dari Lowell dan Misca. Tidak sampai disitu saja, karna sekarang Misca sedang menjahili Lowell dengan mencabut kabel game nya.

"Loh kok mati, ini mati lampu apa gimana? " Tanyanya bingung. "Kenapa Lowell? " Tanya Misca dengan polos nya, ia melakukan nya dengan sangat mulus sampai Lowell tidak menyadarinya.

Ini sudah menjadi makanan bagi Misca untuk menjahili Lowell-teman se universitas dan satu gedung apartemen. Jadi ia bisa dengan mudah menipu Lowell.

"Ini loh, tiba-tiba mati. " Adunya pada Misca yang dalang sebenarnya. "Kamu masih ingat dengan teror hantu Labu gak? " Tanya Misca sambil mendekati Lowell, ia dengan sengaja berdiri disamping nya untuk menakut-nakuti Lowell.

Lowell yang takut ia mengangguk sambil menelan ludah, memejamkan matanya dan mencengkram erat lengan Misca seolah takut ditinggalkan sendirian. Misca yang menyadari ketakutan Lowell yang sudah datang ia dengan sengaja berlari kencang ke sembarangan arah yang membuat Lowell panik seketika.

"MISCA...... jangan tinggalin aku......... " Jerit nya pada Misca yang sudah berada di depan pintu menuju ruangan lain. Tidak ada pilihan lain Lowell mengikuti Misca dengan ketakutan yang mengejar nya. Karna tubuh Misca lebih kecil ia dengan mudah berlari dan berpindah tempat dengan cepat.

"No no no please don't leave me alone. " Saat ia akan mencapai Misca, Misca tersadung karpet dan hampir tersungkur jika tidak ditangkap dengan cepat dengan Gregorius.

"Sayang hati-hati, ada apa? " Tanya Gregorius lembut pada Misca. Tapi yang menjawab bukan Misca melainkan Lowell.

"Ada, ada hantu Labu, paman. " Ia bahkan bersembunyi dibalik tubuh Gregorius. "Hantu Labu? " Bingung Gregorius.

"Ahahaha... " Misca tertawa terbahak-bahak sampai ia ingin menangis rasanya.

"Aneh aneh saja kamu ini. "

"Serius paman ada hantu Labu. Tadi dia mengganggu ku main game. " Akunya pada Gregorius.

Gregorius menggeleng kan kepalanya dan berjalan menuju Misca dan duduk disamping menantu nya. Lowell yang tidak ingin duduk sendiri pun mengangkat Misca dan mendudukkan nya di pangkuannya agar ia tidak duduk sendirian.

Misca semakin tertawa lepas melihat Lowell yang tidak berubah dengan ketakutan nya pada hantu Labu. Gregorius bingung dengan keponakannya "sudah tidak ada apa-apa lagi, sekarang. " Ujar Misca dengan lembut dan melepas tangan Lowell yang memeluk perut nya erat.

Navaro merasa tidak suka dengan pandangan itu jadi dia mengalihkan pandangannya dengan beberapa dokumen yang terletak di meja. Mierra melihat kesempatan dengan pemandangan ini, ini bisa menjadi bumerang bagi Misca pikirnya dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!