Sunyi...
Didalam ruangan berukuran besar itu.. Digo Melviano, pria tampan berusia tiga puluh tahun yang kini tengah duduk di kursi ruang depan sambil menatap kearah pintu utama dengan menyilangkan kedua kakinya.
Ekspresi gusar dan kemarahan terpampang jelas di wajah tampannya saat ini karena tengah menanti istrinya yang belum juga pulang. Entah sudah berapa kali Digo menghubungi nomor Kinara istrinya, namun tidak pernah diangkat.
Beberapa kali juga Digo tampak melirik ke arah jam tangan di pergelangannya yang kini menunjukkan sudah jam sebelas malam.
Digo tampak memainkan bibirnya menggunakan ibu jari dan telunjuknya, mencoba menepis semua pikiran buruk dibenaknya saat ini.
Sekitar lima belas menit kemudian, sura pintu depan berbunyi.
Krek!!
Kinara tampak masuk ke dalam rumah dengan posisi mundur, lalu menguncinya kembali.
Pria tampan dengan rahang tegas, mata tajam dan tubuh atletis itu mulai berdiri mendekati istrinya.
"Dari mana saja kamu?" tekan suara bas milik Digo yang membuat Kinara tersentak kaget.
"Digo!" sentak Kinara yang refleks langsung menoleh ke arah sang suami yang kini tengah berdiri tepat di belakangnya.
"Apa kamu sadar, ini sudah jam berapa Kinara?" lanjut Digo yang belum selesai dengan pertanyaannya.
"Aku banyak pekerjaan Digo, berhentilah mencecarku." ucap Kinara sambil berjalan meninggalkannya.
"Berapa banyak pekerjaanmu, sampai kamu lupa pada suamimu sendiri, Kinara. Aku menelfonmu sedari tadi, tapi kamu tidak mengangkatnya. Apa kamu sudah tidak menganggapku lagi!" cecar Digo pada Kinara yang kini tengah menaiki anak tangga.
"Berhentilah berpikir seperti anak kecil Digo! Aku hanya bekerja, tidak lebih. Aku baru menghadiri pementasan fashion show, banyak orang disana. Semua orang memuji karya disain baju buatanku. Mana sempat jika aku harus mengangkat telfon." jelas Kinara mencoba membela diri.
Digo tersenyum kecut mendengarnya. "Alasan! Apa kamu sadar, karena kesibukanmu itu membuat kita jarang memiliki waktu bersama?" tanyanya.
"Ingat Kinara, kita sudah menikah. Ibuku ingin cepat memiliki seorang cucu sebagai seorang pewaris. Lalu apa yang akan aku katakan jika hubungan kita saja seperti ini. Bagaimana kita akan bisa cepat memiliki seorang anak?" lanjutnya lagi.
"Berhentilah membebaniku dengan keinginan orang tuamu itu Digo. Berfikirlah lebih terbuka, kita hanya butuh waktu. Lagipula, aku masih menikmati kehidupanku saat ini, tidak ada yang perlu dirisaukan. Jika orang tuamu ingin aku cepat hamil, kitapun juga sudah berusaha. Atau memang kamu saja yang tidak becus untuk membuatnya!" cerocos Kiara panjang lebar.
Digo melebarkan tatapannya, rahangnya mulai mengeras dan wajah tampannya kini memerah menahan amarah. Tersulut emosi ketika Kinara seolah tengah merendahkannya Digo langsung berjalan kearahnya dan..
Plakk!
"Lancang!" geram Digo dengan memberikan tamparan keras pada pipi Kinara.
Kinara tampak kaget, memalingkan wajahnya ketika terkena tamparan keras di pipinya. Kinara perlahan menggeser wajahnya sambil memegangi pipinya yang terasa sangat panas.
Wajah seram dengan tatapan yang menusuk membuat Kinara hampir tidak percaya jika lelaki itu adalah suaminya.
"Kau tidak berhak melakukan ini padaku Digo! Kau jahat!!" ucap Kinara dengan mata berkaca-kaca, yang seketika membuat hati Digo yang awalnya tengah mengeras perlahan menjadi tersadar dan luluh.
"Aku.. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu Kinara." ucap Digo sambil mencoba memegang wajah Kinara dengan satu tangannya.
"Jangan sentuh aku! Kamu egois! kamu jahat Digo!" maki Kinara dengan air mata yang kini mulai turun membasahi pipinya. Wanita itu langsung berbalik pergi menuju kamarnya meninggalkan Digo yang masih terpaku ditempatnya.
"Kinara!" teriak Digo. Pria itu mengepalkan tangannya dan menghantamkannya kebesi pagar tangga dengan cukup keras.
Digo menyusul Kinara kekamarnya segera dan berusaha membukanya, namun Kinara ternyata sudah mengunci pintu tersebut.
"Kinara, kita butuh bicara." teriak Digo sambil menggedor-gedor pintu kamarnya.
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan lagi Digo! Aku butuh waktu untuk sendiri." saut Kinara dari dalam kamarnya dengan suara serak karena tengah menangis.
Digo meremas kedua telapak tangannya, membuang nafas kasar sebelum akhirnya mengalah dan pergi dari sana.
Diruang tengah kini Digo tampak termenung sendiri mengingat ucapan Kiara yang menghantui pikirannya kini.
"Benarkah apa yang diucapkan oleh Kinara? Apakah aku ini pria yang mandul?" batin Digo yang mulai frustasi dengan beribu pertanyaan memenuhi otaknya kini.
Malam itu Digo menghabiskan waktunya diruangan itu sambil berfikir keras untuk masalah yang kini tengah ia hadapi.
......................
Keesokan harinya, Digo yang tertidur disofa ruang tengah langsung menatap kearah jam ditangannya.
"Sudah jam tujuh, aku harus pergi ke kantor." lirih Digo lalu langsung berdiri mengangkat tubuhnya.
Saat akan menuju ke kamarnya Digo langsung mengingat kejadian semalam. "Apa Kinara baik-baik saja?" tanya Digo bermonolog.
Tanpa berfikir panjang lagi, Digo langsung menghampiri Kinara ke kamarnya. Namun sebelum sampai, Kinara sudah lebih dulu keluar dari sana dengan pakaian yang sudah rapi.
"Kamu mau kemana?" tanya Digo.
"Ke butik." jawab Kinara sambil menundukkan kepalanya seolah sedang tidak ingin melihat wajah Digo, dan berlalu begitu saja melewatinya.
"Kin...." Digo menghentikan ucapannya mengurungkan niatnya memanggil Kinara. Pasti saat ini Kinara masih sangat marah padanya. Biarlah, mungkin dia memang butuh waktu. Digo akan mencari waktu yang tepat untuk bicara padanya nanti.
✨✨
Diruang CEO, kini Digo tengah duduk di kursi tahta kebesarannya. Pikirnya tidak bisa lepas dari ucapan Kinara tadi malam.
Digo berfikir, ingin sekali mengajak Kinara untuk pergi kedokter untuk memeriksa kesehatan kesuburan mereka.
Namun dia sendiri tidak yakin, Digo takut apa yang dikatakan oleh Kinara akan menjadi kenyataan, jika dialah yang tidak bisa memberikan keturunan dalam rahim Kinara.
"Selamat pagi Tuan Digo." sapa Dafina sekertaris pribadi Digo. Wanita itu kini berdiri di depan pintu ruangannya.
"Hm.. Masuklah Dafina." titah Digo.
Wanita cantik itu langsung masuk ke dalam ruangan Digo dan berdiri didepan mejanya.
"Hari ini anda memiliki kontrak kerjasama dengan salah satu model dewasa yang tengah naik daun, nona Renata. Kita akan melakukan kerjasama dengan nona Renata satu tahun kedepan untuk menjadi brand ambassador dikantor kita.
Digo mengangguk mengerti. "Baiklah." jawabnya.
"Sekarang nona Renata ada diruangan bawah, tengah menunggu anda untuk menandatangani kontrak kerjasama." lanjut Dafina.
"Baik, ayo kita pergi sekarang." titah Digo sambil berdiri dari kursi tahtanya.
"Mari Tuan." ucap Dafina mempersilahkan.
Digo dan Dafina pergi keluar dari ruangannya dan berjalan kearah lift untuk turun keruang meeting.
Krek!!
"Silahkan Tuan." Dafina membukakan pintu ruangan tersebut untuk Digo.
Tanpak seorang wanita cantik tengah duduk menunggu kedatangannya bersama Jovan, asisten pribadi Digo yang bertugas untuk menyambut Renata.
Jovan langsung berdiri menundukkan kepalanya ketika Digo memasuki ruangan.
"Maaf membuat anda menunggu lama." ucap Digo yang kini berdiri di samping Renata.
Wanita cantik itu langsung berdiri dari tempat duduknya dan berhadapan dengan Digo."Tidak masalah, aku juga belum lama." jawabnya.
"Digo, Digo Melviano." ucap Digo memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.
Wanita itu tersenyum menyambut uluran tangan Digo. "Renata Anastasya." ucapannya.
Tangan lembut dan tatapan manis Renata membuat Digo merasa agak sedikit tertarik dengan wanita itu. Paras cantik dan tubuh sintal indah gadis itu membuat Renata tampak semakin menarik dan menantang dimata Digo.
"Silahkan duduk." ucap Digo saat keduanya sudah melepas tangannya.
"Terimakasih." ucap Renata.
Dafina menyerahkan map yang berisi surat perjanjian kontrak kerjasama mereka pada Digo.
"Silahkan, ini surat kerjasama kita. Anda bisa membacanya terlebih dahulu. Kita akan berkerja sama selama satu tahun terakhir, jika anda bisa membuat kemajuan pesat diperusahaan kita, maka kerjasama bisa kita perpanjangan sesuai dengan kesepakatan yang ada." terang Digo.
Renata menganggukan kepalanya lalu membuka surat kerjasama yang ada didepannya.
Sejak Digo mulai memperhatikan paras cantik dan tegas yang dimiliki oleh Renata diam-diam.
"Harga yang lumayan, aku setuju!" ucap Renata usai membaca jelas kontak tersebut.
"Lumayan? Satu milyar untuk satu tahun dia bilang hanya lumayan. Sungguh wanita gila!" umpat Dafina geram dalam hati.
"Baik, silahkan tandatangani." ucap Digo.
Dafina segera menyerahkan pulpen pada Renata untuk menandatangani kontrak kerjasama tersebut.
Tanpa berlama-lama, Renata langsung menandatanganinya.
"Sudah, apa ada lagi?" tanya Renata.
"Tidak ada, terimakasih untuk waktu anda. Anda bisa langsung masuk kerja besok." ucap Digo.
"Baik kalau begitu saya permisi. Senang bertemu dengan anda tuan Digo Melviano." ucap Renata sambil berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Panggil saja Digo." jawab pria itu sambil menjabat tangan halus Renata setelah berdiri di depannya.
"Kalau begitu saya permisi." pamit Renata.
"Silahkan." jawab Digo.
"Mari saya antar ke depan nona Renata." ucap Jovan dengan sopan.
Renata tersenyum. "Baiklah." jawabnya.
Renata dan Jovan keluar dari ruangan tersebut menyisakan Digo dan Dafina didalam.
"Maaf Tuan, apa tidak berlebihan jika memberikan nominal sebanyak ini untuk sekedar pemotretan satu tahun?" tanya Dafina dengan sopan.
"Tidak masalah, itu bukanlah seberapa dengan keuntungan yang akan kita peroleh nanti. Lagipula, dia adalah artis dewasa yang tengah naik daun. Pastinya itu akan membuat daya tarik tersendiri untuk kemajuan perusahaan kita." terang Digo.
"Baik Tuan." jawab Dafina. Gadis itu sebenarnya sangat dongkol mengingat nominal fantastis untuk pekerjaan yang sangat cukup mudah baginya. Apalagi dia bisa melihat tatapan mata Digo pada Renata tadi, membuat gadis itu terasa semakin kesal saja.
🩸🩸🩸
Tidak terasa, beberapa Minggu sudah Renata bekerja sebagai artis brad ambasador dikantor Digo.
Dengan secara diam-diam pun Digo juga suka memperhatikan gadis cantik itu. Digo mulai merasa ada ketertarikan lebih terhadap Renata yang ia rasa gadis itu juga menyadarinya.
Secara diam-diam mereka suka mencuri pandang satu sama lain kala bertemu atau tidak sengaja melihat. Digo yang merasa diberikan lampu hijau oleh Renata juga mulai berani menatap terang-terangan wanita bertubuh indah bak gitar spanyol itu.
Tentunya, tatapan itu tidak luput dari mata Dafina yang ternyata suka memperhatikan keduanya.
Sudah lama Dafina bekerja sebagai sekretaris pribadi Digo. Bahkan wanita itu diam-diam memiliki perasaan terhadap pria beristri itu, namun Digo tidak pernah menatapnya seperti tatapannya yang ia berikan pada Renata.
Dafina sungguh merasa sangat kesal pada gadis itu, yang seolah memang sengaja menggoda Digo untuk berpaling padanya.
"Awas saja, akan aku beri pelajaran nanti!" gumam Dafina kesal.
Setelah istirahat pemotretan pertama, Renata diberikan waktu untuk istirahat terlebih dahulu menuju pemotretan yang selanjutnya.
"Renata, bisa kita bicara sebentar." ucap Dafina pada Renata yang baru saja keluar dari ruang pemotretan.
"Tentu Dafina. Mau bicara dimana?" tanya Renata.
"Kita ke kantin." jawab Dafina.
Kebetulan memang ini sudah masuk jam istirahat untuk seluruh karyawan kantor, jadi Dafina memiliki waktu cukup senggang untuk bicara empat mata dengan Renata.
"Ada apa Dafina? Apa ada hal penting yang ingin kamu sampaikan?" tanya Renata setelah mereka duduk dimeja kantin kantor.
"Langsung saja Ren, aku sering melihat kamu bermain mata dengan Tuan Digo. Dan aku merasa cukup risih dengan itu." ucap Dafina to the points.
Renata menyunggingkan senyum pada Dafina.
"Asal kamu tau saja Ren, Tuan Digo sudah memiliki seorang istri. Dia sudah menikah satu tahun lalu." jelas Dafina.
"Lalu?" tanya Renata dengan tenang.
"Aku tidak mau kamu salah paham dan bertindak lebih jauh dari ini. Lebih baik mulai sekarang kamu jaga tatapanmu pada Tuan Digo jika kamu tidak ingin dicap sebagai seorang pelakor!" tegas Dafina.
Renata menghela nafas panjang sebelum menjawabnya.
"Aku rasa kamu yang sudah salah paham Dafina. Aku tau, Digo sudah memiliki istri. Dan apa salahnya jika kita hanya bersitatap, bukankah itu hal yang wajar?" tanya Renata.
"Bagaimana kamu bisa berfikir jika itu hal yang wajar Renata? Dia itu suami orang, ingat itu!" tekan Dafina.
"Selagi aku tidak menggoda, seperti apa yang kamu lakukan. Aku akan tetap berfikir itu hal yang wajar. Tapi jika nantinya Digo lebih tertarik padaku, itu urusanya." jelas Renata dengan nada datar penuh penekanan.
"Apa maksudmu Renata? Kamu menuduh aku merayu Tuan Digo, begitu?" tanya Dafina yang tidak terima.
"Aku tidak menuduh, tapi aku juga tidak buta.. Dafina." jawabnya. "Maaf, aku masih harus melakukan beberapa pemotretan lagi setelah ini." ucap Renata lalu pergi meninggalkan Dafina dimeja itu.
"Dasar jalang!" umpat Dafina sambil menatap benci pada punggung yang kini berjalan kian menjauh darinya.
Saat akan kembali keruang pemotretan, tiba-tiba seseorang memanggilnya dari arah belakang.
"Nona Renata!" panggil Jovan yang membuat langkah Renata langsung terhenti dan berbalik menatapnya.
"Asisten Jovan, ada apa?" tanya Renata dengan mengulas senyum manis dibibirnya.
"Sungguh cantik!" batin Jovan.
"Nona Renata, anda diminta untuk masuk ke ruangan Tuan Digo sekarang." ucap Jovan akhirnya.
"Oh, baiklah. Aku akan kesana." jawab Renata.
"Mari saya antar." ucap Jovan.
"Mari." jawabnya. Lalu mereka berdua pun pergi bersama keruang direktur utama.
Jovan mengetuk pintu, ketika mereka berdua telah sampai didepan ruangan Digo.
"Masuk!" suara Digo terdengar dari dalam ruangannya.
"Silahkan nona." ucap Jovan mempersilahkan.
"Terimakasih Jo," ucap Renata lalu masuk ke dalam ruangan Digo.
"Tuan Digo, apa anda memanggil saya?" tanya Renata.
"Oh, ya. Silahkan duduk." ucap Digo mempersilahkan. "Jovan, kamu boleh keluar." lanjutnya pada Jovan.
"Baik Tuan." Jovan keluar lalu menutup pintu ruangan itu.
"Ada apa Tuan memanggil saya? Apa saya melakukan sebuah kesalahan?" tanya Renata yang kini duduk didepan Digo.
Digo tersenyum menatap wajah manis gadis itu.
"Tidak, aku hanya ingin bicara pribadi denganmu. Kamu tidak keberatan bukan?" tanya Digo.
"Tentu tidak Tuan, saya senang jika bisa menjadi teman ngobrol dan pendengar yang baik untuk Tuan." jawab Renata.
"Terimakasih." ucap Digo.
Digo menatap intens pada wajah cantik yang ada didepannya kini.
"Renata, apa kamu sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Digo.
"Belum Tuan, saya masih sendiri untuk saat ini." jawab Renata.
"Oh, kalau begitu, apa kamu tidak keberatan jika aku mengajakmu untuk pergi keluar malam ini?" tanya Digo lagi.
Renata mengangkat satu alisnya sambil tersenyum miring menatap wajah Digo. Gadis itu seolah tau maksud dari arah pembicaraan mereka kali ini.
"Sepertinya anda menginginkan pembicaraan yang lebih intens Tuan?" tanya Renata menggoda.
Digo tersenyum lebar. "Ya, kamu benar. Aku butuh tempat yang tepat untuk bicara lebih dalam denganmu. Apa kamu keberatan?" tanya Digo memastikan.
"Tentu tidak. Sauatu kehormatan untuk saya bisa menjadi teman ngobrol Tuan Digo." jawabnya.
"Kalau begitu, malam ini aku akan menjemputmu." ujar Digo.
"Tentu, akan aku kirimkan alamat apartemenku nanti." jawab Renata.
❣️❣️❣️
Malam harinya...
Pukul setengah tujuh kini Digo telah sampai didepan pintu apartemen Renata. Gadis itu nampak sangat cantik dengan balutan dress merah maroon ketat diatas lutut.
Rambut panjang bergelombang yang tergerai indah pun memberikan kesan manis dan seksi pada penampilannya kali ini.
Renata memang kerap memakai pakaian seksi kemanapun ia pergi. Wanita itu seolah ingin memamerkan bentuk tubuh indah dan padat yang ia miliki.
Namun meski demikian, Renata bukanlah gadis yang mau pergi bersama semua laki-laki yang mengajaknya berkencan. Renata tidak akan meladeni orang-orang yang tidak membuatnya tertarik.
Kini mobil mewah Digo melaju menuju ke sebuah tempat dengan Renata didalamnya.
"Kamu sangat cantik malam ini, Ren." puji Digo sambil memegang kemudi menatap wajah Renata sesekali.
"Tuan Digo terlalu memuji." jawab Renata sambil tersenyum.
"Apa kamu akan keberatan jika aku membawamu kesebuah bar malam ini?" tanya Digo.
"Kita sudah sama-sama dewasa Tuan Digo, sesekali pasti kita butuh waktu untuk bersenang-senang. Aku tidak masalah sama sekali." jawab Renata.
"Aku suka jawabanmu Renata." ucap Digo.
"Aku hanya berfikir realitas Tuan." jawab Renata.
Setelah sampai disebuah bar, Digo mengajak Renata memasuki ruangan bising dengan suara keras musik menggema yang tengah diputar.
"Kita duduk di sebelah sana." ajak Digo dengan suara agak tinggi sambil menunjukkan meja kosong diujung.
Mereka berjalan melewati banyak orang didalam yang keluar masuk dari bar itu. Digo merangkul lengan terbuka Renata, seolah tengah menjaganya dari sentuhan orang lain.
Kini mereka duduk dimeja dengan saling berhadapan dengan satu gelas berisi minuman beralkohol yang sudah mereka pesan.
"Kamu pernah ketempat seperti ini?" tanya Digo memulai obrolan mereka.
"Pernah beberapa kali. Tuan sendiri?" tanya Renata.
"Baru kali ini bersama seorang wanita. Selebihnya, hanya menemui rekan bisnis untuk masalah pekerjaan." jawab Digo jujur lalu meneguk minumannya.
"Kedengarannya hidup anda terlalu serius Tuan. Apa anda sedang memiliki masalah saat ini?" tanya Renata.
"Kamu benar.. Hidupku sangat serius, hingga aku dibuat bercanda oleh takdir." ujar Digo.
"Benarkah? Aku pikir anda memiliki hidup yang sempurna Tuan Digo. Anda memiliki segalanya.. karir, uang, istri dan aku rasa itu sudah cukup membuat hidup seseorang bahagia." ujar Renata.
"Tidak ada kehidupan yang benar-benar sempurna Renata. Kamu benar, aku memang memiliki semua itu. Tapi satu hal yang belum aku miliki, yaitu anak." jelas Digo.
"Renata kau tau.. Aku memiliki seorang istri yang sangat sempurna, dia baik, cantik, pintar dan juga mandiri. Tapi aku benci! Aku benci kesempurnaannya.. Karena itu seolah membuatnya tidak lagi membutuhkanku." lanjutnya.
Renata menatap iba pada pria tampan itu sebentar lalu tersenyum. "Tuan benar, tidak ada yang benar-benar sempurna. Tapi aku rasa anda hanya perlu berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkannya bukan?" tanyanya.
"Tidak semudah itu Ren, aku juga sudah berusaha. Tapi istriku, Kinara tampaknya sudah tidak perduli lagi. Sedangkan orang tuaku selalu mendesak kami agar cepat memiliki momongan." ujar Digo.
"Miris sekali." lirih Renata sambil tersenyum miring lalu meneguk minumannya.
Digo tertawa kecil. "Memang miris, untuk itu aku mengajakmu keluar untuk bicara malam ini." ujar Digo.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Renata.
Digo meraih tangan Renata yang ada diatas meja dan menggenggamnya.
"Ren, aku mau kamu menikah denganku. Jadi istri keduaku, puaskan aku, berikan keturunan untukku, maka akan aku penuhi semua kebutuhanmu." ucap Digo dengan tatapan serius.
Renata terlihat diam sejenak. "Tuan Digo, aku harap anda sedang tidak bermain-main dengan ucapan anda kali ini." ucapannya.
"Tidak Ren, aku serius. Aku lelah dengan sikap Kinara, tapi aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Orang tuaku sangat menyukainya." ujar Digo.
"Lalu, apa jaminannya untukku?" tanya Renata.
"Apapun, apapun yang kamu mau aku akan memberikannya untukmu. Aku mencintaimu Ren, dan aku tau kamu juga memiliki perasaan yang sama terhadapku." ujar Digo merayu.
"Aku memang tertarik padamu Tuan, tapi.." Renata menggantungkan ucapannya.
"Akan aku berikan cinta dan waktu lebih dari yang aku berikan pada Kinara, aku janji!" ucap manis Digo.
"Baiklah, aku mau. Tapi aku ingin memiliki surat perjanjian, jika kamu mengingkari janjimu dan mencampakkan ku maka setengah aset di perusahaan mu harus menjadi milikku." ucap Renata dengan pintar.
"Cerdas! Aku suka." jawab Digo senang. "Asal kamu bisa memuaskan ku dan memberikan keturunan untuk keluarga ku, aku tidak akan pernah berpaling darimu." ujar Digo.
"Aku akan berusaha." jawab Renata dengan senyum diwajahnya.
"Boleh aku mencium tanganmu?" tanya Digo.
"Tentu." jawab Renata.
Digo tentu memiliki alasan lain untuk menginginkan Renata menjadi istri keduanya. Selain Digo memang mencintai wanita itu, Digo juga ingin membuktikan ucapan Kinara apakah dia benar-benar mandul atau tidak.
✨✨
Satu minggu berlalu..
Kini Digo dan Renata kini baru saja meresmikan hubungan mereka dengan menikah secara diam-diam.
Digo membelikan sebuah apartemen mewah untuk Renata, agar istri keduanya tidak lagi harus membayar sewa apartemen.
Digo juga membelikan sebuah pulau kecil untuk Renata sebagai hadiah pernikahan mereka tanpa sepengetahuan istri barunya itu.
"Siap?" kini mereka sedang berada di dalam jet pribadi milik keluarga Melviano.
"Kita mau kemana sih mas? kenapa harus naik pesawat segala." protes Renata namun juga penasaran.
"Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu." jawab Digo.
"Oh ya? Apa mas?" tanya Renata yang kini berubah menjadi antusias.
"Kamu lihat saja sendiri nanti." ujar Digo.
Renata tersenyum tidak sabar melihat apa yang akan Digo tunjukkan untuknya. Pesawat itu kini perlahan melaju dan terbang ke atas dengan dikemudian oleh supir pribadi keluarga Melviano yang sudah berpengalaman.
Renata memeluk erat tubuh suaminya dan membenamkan wajahnya diatas dada bidang pria yang kini sudah menjadi suaminya itu sambil tersenyum. Renata menghirup aroma maskulin yang menenangkan dari tubuh Digo suaminya.
Digo pun tidak mau kalah dengan membalas pelukan hangat sang istri. Jari-jarinya menyisir lembut rambut panjang Renata sambil menatap kearah luar jendela.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!