"Menikah? Aku tidak mau!" tolak Ana dengan tegas.
Plak!
Satu tamparan keras menghantam wajah Ana, matanya terbelalak menahan emosi yang membuncah di dada.
"Kau harus menikah dengan Dave, mamanya akan memberikan mahar seratus juta kepadamu. Ana, ini adalah kesempatan bagi kita untuk mendapatkan uang," ucap Ratna dengan nada tinggi.
"Ingat Ana, ayah meninggal dengan meninggalkan banyak hutang. Seratus juta sudah lebih dari cukup bagi kita untuk melunasi hutang peninggalan ayah dari pada rumah ini terjual," timpal Rani yang turut mendesak Ana untuk menikah dengan Dave.
"Kenapa tidak kakak saja?" teriak Ana yang emosi.
"Tidak mungkin aku, kau tahu sendiri aku sedang merintis karir sebagai seorang model," jawab Rani yang hendak memukul adiknya tapi ia tidak jadi.
"Kalau kau tidak mau, itu artinya kita harus bisa menjual rumah ini dalam waktu dua minggu. Rumah sekecil ini, pasti akan terjual murah. Setelah itu kita akan tinggal di kolong jembatan," ucap Ratna dengan napas memburu menahan emosi.
"Tugasmu hanya menikah. Pekerjaan gampang dan mudah. Setelah satu tahun, kau bisa menceraikan lelaki lumpuh itu," ucap Rani yang berusaha membujuk adiknya.
"Aku tidak mau!" tolak Ana tegas.
Plak!
Satu tamparan kembali menghantam wajahnya, Ratna sudah tidak bisa lagi menahan emosi yang membakar dada.
Ana merasakan panas membakar pipinya akibat tamparan ibunya. Dadanya naik turun menahan amarah, tetapi ia juga tahu bahwa situasinya semakin sulit. Ayahnya memang meninggal dengan meninggalkan banyak hutang, dan rumah ini satu-satunya tempat tinggal mereka. Namun, menjual dirinya demi uang? Itu bukan sesuatu yang bisa ia terima begitu saja.
Ana menatap ibunya dan kakaknya dengan mata berkilat. "Jadi, aku hanya alat untuk mendapatkan uang? Apa aku ini barang yang bisa kalian perjualbelikan?"
"Kau pikir hidup ini tentang pilihan?" suara Ratna tajam. "Kau pikir aku ingin menjual anakku sendiri? Tidak, Ana. Aku terpaksa! Aku tidak ingin kita hidup di jalanan! Aku tidak ingin mati kelaparan!"
Rani menyeringai, lalu menyilangkan tangan di dada. "Kalau kau menikah dengannya, hidupmu akan jauh lebih mudah. Kau hanya perlu berpura-pura menjadi istri yang baik selama setahun, lalu ceraikan. Itu lebih baik daripada jadi pengangguran yang hidup tanpa arah!"
Ana mengepalkan tangan. Baginya, pernikahan bukan permainan. Apalagi dengan seseorang yang bahkan tidak dikenalnya. Tapi melihat tatapan penuh harapan dari ibunya—atau lebih tepatnya, tatapan penuh ketakutan akan kehilangan tempat tinggal—Ana tahu bahwa ia tidak punya banyak pilihan.
"Kau jual saja ibumu ini," ucap Ratna dengan isak tangisnya. "Kau pikir Ibu tidak merasa lelah setiap hari harus berhadapan dengan rentenir yang menagih dengan kasar?"
"Aku ingin bertemu dengan Dave," kata Ana, akhirnya menyerah pada keadaan.
Ratna dan Rani saling berpandangan sebelum Ratna mengangguk. "Baik, kita akan menemui mereka besok. Aku yakin kau tidak akan menyesal."
Namun, Ana tidak yakin. Ia merasa seperti hewan yang dijual ke pasar, dan besok, hidupnya mungkin akan berubah selamanya. Ana hanya bisa menangis, kali ini ia tidak memiliki pilihan lain daripada ibunya hidup di jalanan.
***
Keesokan harinya, Ana dengan enggan mengikuti ibunya dan Rani ke rumah keluarga Hartawan. Rumah itu sangat besar, jauh berbeda dari rumah kecil mereka yang hampir dijual untuk melunasi hutang. Ana duduk dengan perasaan gelisah, sementara ibunya tersenyum ramah kepada Nyonya Hartawan, ibu dari Dave.
Setelah berbasa-basi cukup lama, akhirnya Dave muncul. Pria itu duduk di kursi roda, mengenakan kemeja rapi dengan ekspresi dingin di wajahnya. Matanya menatap Ana dengan tajam, seolah menilai dirinya. Ana menelan ludah. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Jadi, ini Ana?" tanya Dave dengan suara datar.
Ana mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Apa kau setuju dengan pernikahan ini?" tanya Dave lagi, kali ini nada suaranya terdengar menantang.
Ana melirik ibunya dan Rani yang duduk di sebelahnya. Ia tahu, jika ia mengatakan tidak, ibunya akan marah besar, dan mereka mungkin akan kehilangan rumah mereka. Tetapi, jika ia mengatakan ya, hidupnya akan berubah selamanya.
Ana menarik napas dalam. "Aku... tidak tahu."
Dave tersenyum kecil, tetapi bukan senyum ramah. "Jujur juga, ya. Bagus."
Nyonya Hartawan tampak tidak senang dengan jawaban Ana, tetapi ia tetap bersikap tenang. "Dave, jangan menakut-nakuti calon istrimu."
"Aku hanya ingin tahu apakah dia menikahiku karena terpaksa atau karena alasan lain," kata Dave, masih menatap Ana.
Ana mengepalkan tangannya di pangkuan. "Aku tidak punya pilihan," katanya jujur. "Keluargaku membutuhkan uang, dan ibuku memaksaku menikah denganmu."
Ruangan itu tiba-tiba sunyi.
Dave menatap ibunya, lalu kembali menatap Ana. "Jujur, aku tidak suka pernikahan yang dipaksakan. Aku juga tidak butuh istri yang hanya menikahiku karena uang."
Ana mengangkat wajah, sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. "Jadi... kau juga tidak menginginkan pernikahan ini?"
Dave mengangkat bahu. "Aku tidak keberatan menikah, tapi aku juga tidak ingin menjadi beban bagi seseorang yang tidak menginginkanku."
Ana merasakan harapan kecil muncul di hatinya. "Kalau begitu, kita bisa menolak pernikahan ini, kan?"
Sebelum Dave bisa menjawab, Nyonya Hartawan berdeham dengan tegas. "Tidak ada yang menolak pernikahan ini," katanya. "Dave, kau butuh seseorang di sisimu. Dan Ana, keluargamu butuh uang. Ini perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak."
Ana merasa sesak. Ternyata, keputusan bukan di tangan mereka berdua. Ia menoleh ke arah Dave, yang kini tampak berpikir dalam-dalam.
Setelah beberapa saat, Dave menghela napas dan menatap Ana dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku setuju menikah dengan satu syarat."
Semua orang menoleh ke arahnya.
Dave melanjutkan, "Pernikahan ini akan berlangsung selama satu tahun. Jika setelah satu tahun kita tidak bisa menemukan alasan untuk tetap bersama, kita akan bercerai, dan kau bebas pergi dengan uang yang telah diberikan."
Ana terdiam. Syarat itu terdengar masuk akal, tetapi tetap saja, ia merasa seperti pion dalam permainan besar ini.
Ratna dan Rani terlihat senang dengan keputusan Dave, tetapi Ana masih ragu. Ia tahu hidupnya akan berubah, tetapi apakah ini benar-benar keputusan terbaik?
Akhirnya, dengan suara pelan, Ana menjawab, "Baik. Aku setuju."
Dengan jawaban itu, takdir Ana dan Dave pun resmi terikat—setidaknya untuk satu tahun ke depan.
"Kenapa tidak mencari perawat saja untuk merawatmu?" tanya Ana yang merasa heran.
"Perawat terakhir mencuri di rumah ini. Perawat sebelumnya selalu memperlakukan aku dengan kasar. Aku tidak suka, mereka bekerja hanya untuk uang," jawab Dave membuat Ana tertawa mendengarnya.
"Dan aku menikahimu hanya untuk uang. Apa bedanya?"
"Kau akan tahu sendiri nanti," jawab Dave tentu saja membuat Ana penasaran apa yang dimaksud oleh Dave.
Dua minggu setelah pertemuan itu, pernikahan Ana dan Dave dilangsungkan dengan sederhana di rumah keluarga Hartawan. Tidak ada pesta besar, tidak ada tamu undangan yang berlimpah, hanya keluarga dekat dan beberapa kolega bisnis keluarga Hartawan. Ana mengenakan gaun putih yang dipilihkan oleh Nyonya Hartawan, sementara Dave mengenakan setelan jas hitam yang tampak sempurna di tubuhnya, meskipun ia tetap duduk di kursi roda.
Ana menjalani hari itu dengan perasaan hampa. Ia tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti pengantin lain. Baginya, ini bukan pernikahan impian, melainkan sebuah transaksi. Namun, saat ia mengangkat wajah dan melihat Dave, ia melihat sesuatu di matanya—bukan kebahagiaan, bukan kesedihan, tetapi sebuah pengakuan diam-diam bahwa mereka berdua sama-sama terjebak dalam situasi ini.
Setelah acara selesai, Ana dan Dave dipaksa tinggal di rumah keluarga Hartawan. Ana diberikan sebuah kamar di samping kamar Dave, yang membuatnya sedikit lega karena mereka tidak harus berbagi tempat tidur. Namun, saat ia memasuki kamarnya, Ana merasa seperti burung dalam sangkar emas. Kamar itu luas dan mewah, tetapi tidak ada kehangatan.
Malam pertama sebagai istri Dave, Ana duduk di ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Ia belum tahu bagaimana caranya menjalani hidup dengan seorang pria yang bahkan tidak ia kenal.
---
Hari-hari pertama pernikahan mereka terasa canggung. Ana dan Dave jarang berbicara. Jika pun berbicara, hanya sebatas formalitas. Ana lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya atau di taman rumah itu, sementara Dave sibuk dengan pekerjaannya. Meskipun ia duduk di kursi roda, Dave tetap mengurus bisnis keluarganya dengan ketegasan dan kecerdasan yang luar biasa.
Nyonya Hertawan mengajak Ana bicara empat mata di ruang kerja rumahnya. Ana awalnya merasa sedikit gugup, mengira ia akan mendapatkan peringatan atau teguran. Namun, Nyonya Hertawan justru menyodorkan selembar kertas berisi daftar tugas yang harus Ana lakukan untuk merawat Dave.
"Ini semua yang perlu kau ingat," ucap Nyonya Hertawan dengan suara tegas tapi datar.
Ana mengambil kertas itu dan membaca isinya. Daftar itu sangat rinci—mulai dari makanan dan minuman kesukaan Dave, jadwal makan yang harus dipatuhi, serta jenis-jenis makanan yang sebaiknya dihindari. Ada juga catatan tentang obat-obatan yang harus diminum Dave pada jam tertentu, serta jadwal terapi yang biasa ia jalani.
"Dave tidak suka makanan yang terlalu manis atau terlalu asin," lanjut Nyonya Hertawan. "Dia lebih suka makanan yang ringan, seperti sup ayam atau bubur saat sedang tidak enak badan. Kopi harus tanpa gula, dan kalau teh, dia hanya mau teh hijau."
Ana mengangguk sambil mencoba mengingat semuanya.
"Jangan lupa, dia harus minum obat ini tiga kali sehari. Pagi sebelum sarapan, siang setelah makan, dan malam sebelum tidur. Kadang-kadang dia lupa, jadi kau yang harus mengingatkannya," tambah Nyonya Hertawan.
Ana membaca daftar itu sekali lagi. Selain obat-obatan, ada juga catatan tentang terapi yang biasa dijalani Dave. "Dia masih rutin terapi?" tanya Ana pelan.
Nyonya Hertawan menghela napas sebelum menjawab, "Ya, dan kau harus memastikan dia tidak melewatkannya. Ada jadwal yang sudah disusun, kau bisa menghubungi terapisnya kalau butuh sesuatu."
Ana bisa merasakan betapa seriusnya Nyonya Hertawan dalam hal ini. Seolah-olah perawatan Dave adalah sesuatu yang tidak boleh dianggap remeh.
"Aku harap kau bisa menangani ini dengan baik," ujar Nyonya Hertawan sambil menatap Ana dengan tatapan tajam.
Ana menegakkan bahunya, mencoba menunjukkan bahwa ia siap dengan tanggung jawab ini. "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Bu," jawabnya mantap.
Nyonya Hertawan mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangannya. "Bagus. Kalau ada hal yang tidak kau mengerti, tanyakan langsung padaku. Aku tidak mau ada kesalahan."
Ana menerima tangannya, dan dalam hati ia tahu bahwa mulai saat ini, menjaga dan merawat Dave bukan hanya sekadar tugas, tapi juga ujian kepercayaan dari Nyonya Hertawan.
Setelah menerima daftar itu, Ana kembali ke kamarnya sambil memandangi kertas di tangannya. Ia membaca setiap poin dengan saksama, mencoba menghafalnya satu per satu. Semuanya begitu detail, seolah-olah Nyonya Hertawan tidak ingin ada sedikit pun kesalahan dalam perawatan Dave.
"Aku dinikahi hanya untuk dijadikan sandera sebagai perawat agar aku tidak bersikap seperti perawat-perawat sebelumnya. Ya Tuhan, kenapa nasibku seperti ini?" keluh Ana dengan berlinang air mata.
Ana tidak bisa menahan diri untuk berpikir—mengapa semua ini begitu teratur dan ketat? Apa yang sebenarnya terjadi pada Dave sampai-sampai ia harus dijaga dengan begitu cermat?
___
Pagi harinya, Ana bangun lebih awal untuk memastikan ia bisa menyiapkan sarapan sesuai dengan daftar yang diberikan. Ia masuk ke dapur dan meminta bantuan asisten rumah tangga untuk menyiapkan menu yang sesuai. Sup ayam ringan dan secangkir teh hijau, seperti yang tertulis di daftar.
Saat Ana membawa nampan itu ke kamar Dave, ia ragu sejenak sebelum mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban. Ana mencoba sekali lagi, dan akhirnya terdengar suara berat dari dalam.
"Masuk."
Ana membuka pintu perlahan. Dave masih berbaring di tempat tidur, wajahnya tampak pucat. Matanya sedikit bengkak, entah karena kurang tidur atau alasan lain yang Ana tidak tahu.
"Aku membawakan sarapan," ucap Ana pelan, meletakkan nampan di meja samping tempat tidur.
Dave melirik makanan itu sekilas, lalu menghela napas. "Tanteku yang menyuruhmu, ya?"
Kening Ana berkerut, ia tidak mengerti siapa tante yang dimaksud oleh Dave. "Nyonya Hertawan," ucap Ana memperjelas.
Dave menyunggingkan senyumnya. "Dia ibu tiriku. Aku memanggilnya dengan sebutan tante," ucap Dave memberitahu, tentu saja membuat Ana merasa terkejut mendengarnya.
Ana mengangguk jujur. "Beliau memberikan daftar tentang semua yang harus aku lakukan untukmu."
Dave tersenyum miring. "Tentu saja. Dia memang seperti itu."
Ana tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri di tempatnya, menunggu Dave mengambil makanannya. Tapi pria itu malah menatapnya lama, seolah sedang menilai sesuatu.
"Kau benar-benar mau melakukan semua ini?" tanyanya tiba-tiba.
Ana sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Ya. Ini tugasku"
Dave mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi aku punya satu syarat."
Ana menatapnya penuh tanya. "Syarat?"
Dave menatapnya tajam sebelum menjawab, "Jangan pernah merasa kasihan padaku."
Kata-kata itu membuat Ana terdiam. Ada sesuatu di mata Dave—sesuatu yang sulit dijelaskan. Luka, kemarahan, atau mungkin kelelahan yang begitu dalam.
Ana menarik napas, lalu berkata dengan suara tenang, "Aku tidak merasa kasihan. Aku hanya melakukan apa yang perlu Aku lakukan."
Dave terdiam sejenak, lalu akhirnya mengambil sendok dan mulai menyantap sarapannya. Ana tetap berdiri di sana, menyadari bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih rumit dari sekadar mengikuti daftar tugas dari Nyonya Hertawan.
Siang itu, Nyonya Hertawan datang ke rumah Ratna dengan membawa sebuah tas tangan berisi uang dalam jumlah yang telah disepakati sebelumnya. Ia disambut oleh Ratna dan Rani, yang sudah menunggu dengan penuh harap. Begitu Nyonya Hertawan mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya, mata Ratna dan Rani langsung berbinar.
"Ini sesuai dengan kesepakatan kita," ujar Nyonya Hertawan sambil meletakkan amplop di atas meja. Ratna buru-buru mengambilnya, jari-jarinya gemetar saat membuka dan menghitung uang di dalamnya. Wajahnya berubah sumringah, sementara Rani yang duduk di sampingnya ikut berseru girang.
"Terima kasih banyak, Nyonya," kata Ratna dengan senyum lebar. "Dengan ini, hidup kami akan jauh lebih mudah."
Nyonya Hertawan hanya tersenyum tipis. Baginya, uang itu adalah harga yang pantas untuk ketenangan pikirannya. Dengan transaksi ini, ia tak perlu lagi repot mengkhawatirkan siapa yang akan mengurus Dave. Semua sudah beres.
"Pastikan Ana menjaga Dave dengan baik," pesannya sebelum beranjak pergi.
Ratna dan Rani mengangguk penuh semangat. Setelah Nyonya Hertawan pergi, mereka saling pandang dengan tatapan penuh kegembiraan. Dengan uang sebanyak ini, mereka merasa hidup mereka akan jauh lebih baik.
Sementara itu, Nyonya Hertawan melangkah keluar rumah dengan hati lebih ringan. Baginya, keputusan ini adalah yang terbaik—ia tidak perlu lagi memikirkan tanggung jawab yang memberatkannya selama ini.
Setelah menerima uang dari Nyonya Hertawan, Ratna dan Rani tidak bisa menyembunyikan kegembiraan mereka. Awalnya, mereka berniat menggunakan uang itu untuk membayar hutang, tetapi melihat jumlahnya yang begitu banyak, keinginan mereka untuk berbelanja lebih besar.
"Mumpung ada uang, kenapa kita nggak beli sesuatu dulu?" usul Rani dengan mata berbinar.
Ratna awalnya ragu, tetapi setelah melihat ekspresi penuh antusias dari anaknya, ia pun luluh. "Iya juga, ya. Toh, hutang itu bisa dibayar nanti," balasnya.
Tanpa pikir panjang, mereka segera pergi ke pusat perbelanjaan. Ratna membeli beberapa pakaian baru, sementara Rani memilih perhiasan dan tas bermerek yang sudah lama diidamkannya. Mereka berdua larut dalam kesenangan, melupakan kenyataan bahwa uang itu seharusnya digunakan untuk melunasi utang-utang mereka.
___
Di sebuah restoran mewah, Nyonya Hertawan—atau yang lebih akrab disapa Lusi—duduk berhadapan dengan seorang pria yang kini menjadi kekasih barunya. Ia mengenakan gaun elegan dengan perhiasan berkilauan, tampak jauh lebih bahagia dan santai dibandingkan sebelumnya.
“Aku lega sekarang,” kata Lusi sambil menyeruput anggur merahnya. “Akhirnya, aku bisa hidup untuk diriku sendiri tanpa harus direpotkan oleh Dave.”
Pria di depannya tersenyum dan mengangguk. “Jadi, kau benar-benar sudah menyerahkan semua urusan anak itu?”
Lusi mengangguk mantap. “Aku sudah membayar cukup mahal untuk memastikan dia tidak lagi menjadi bebanku. Mulai sekarang, aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan.”
Obrolan mereka pun berlanjut ke rencana yang lebih besar. Lusi berencana untuk memindahkan semua aset peninggalan mendiang Tuan Hertawan atas namanya sendiri. Dengan begitu, ia tidak hanya bebas dari tanggung jawab merawat Dave, tetapi juga bisa menikmati seluruh harta warisan tanpa gangguan.
“Begitu semuanya beres, kita bisa pergi ke luar negeri dan memulai hidup baru,” ujar Lusi penuh semangat.
Pria itu tersenyum puas. “Aku suka caramu berpikir, Sayang.”
"Intinya aku harus tetap membuat Dave percaya kalau aku ini adalah ibu peri untuknya," ucap Lusi dengan gelak tawanya.
"Kau sangat benar sekali. Mari kita rayakan dengan pergi liburan," ajak Joni dijawab iya oleh Lusi.
Sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta ini pun mulai merencanakan acara liburan mereka. Sedangkan Dave harus tetap bekerja dari rumah walaupun kondisinya sedang lumpuh seperti ini.
___
Andre baru saja kembali dari perjalanan bisnisnya ke luar kota. Setelah berhari-hari sibuk dengan pekerjaan, ia akhirnya bisa kembali menemui sahabat sekaligus atasannya, Dave. Namun, setibanya di rumah Dave, ia langsung dikejutkan oleh kabar yang sama sekali tidak ia duga.
“Dave sudah menikah?” Andre mengulang kata-kata itu dengan mata membelalak, menatap orang yang baru saja memberinya informasi.
“Iya, baru kemarin,” jawab seorang pegawai rumah tangga. “Semuanya berlangsung cepat, seolah sudah direncanakan sebelumnya.”
Andre tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sebagai sahabat sekaligus asisten pribadi Dave, ia selalu tahu hampir segala hal tentang kehidupan pria itu. Namun, kali ini, ia benar-benar tidak mendapat informasi apa pun sebelumnya.
Tanpa membuang waktu, Andre langsung menuju ruangan Dave. Ia menemukan pria itu duduk di kursi rodanya, tampak tenang namun sedikit berbeda dari biasanya. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang sulit ditebak.
“Dave… apa yang sebenarnya terjadi?” Andre bertanya, berusaha memahami situasi. “Kenapa kau tidak memberitahuku soal ini?”
Dave tersenyum tipis. “Semua terjadi begitu cepat, Andre. Aku tidak punya banyak pilihan.”
Andre semakin bingung. “Apa maksudmu? Kau mencintai wanita itu?”
Dave tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan. Andre mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pernikahan ini.
“Apa ini ada hubungannya dengan Lusi?” tanya Andre hati-hati.
Dave masih diam, tapi ekspresinya sedikit berubah. Andre semakin yakin bahwa pernikahan ini bukan sekadar keputusan biasa—ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sesuatu yang mungkin tidak pernah Dave inginkan sejak awal.
"Sudah kuduga sebelumnya, pasti Lusi ingin bebas. Dave, mau sampai kapan kau membiarkan perempuan itu tinggal di rumah ini?" ujar Andre yang merasa sangat geram. "Kau bisa menolak pernikahan ini, lantas kenapa kau mengiyakannya?"
"Karena aku penasaran apa yang akan Lusi lakukan. Lagipula gadis itu akan merawatku. Dia tidak akan bisa lari dariku sebab aku sudah mengikatnya dengan pernikahan."
"Dave, kau sudah gila. Bagaimana bisa perempuan itu mau menikah denganmu?"
"Aku membelinya dengan mahar," jawab Dave diiringi dengan tawa. "Anggap saja dia perempuan murahan!"
"Dan asal kau tahu, aku tidak menerima uang mahar yang kau maksud itu. Aku terpaksa menikah denganmu demi berbakti kepada ibuku," ucap Ana yang saat ini tengah berdiri di ambang pintu kamar Dave. "Tolong jangan beranggapan kalau aku perempuan murahan sebab pernikahan ini tidak menguntungkan untukku!"
Dave dan Andre terdiam, mereka tak bisa berkata-kata terlebih lagi saat ini kedua mata Ana berkaca-kaca.
"Pandai-pandai menjaga perasaan orang lain. Sebab kita tidak tahu hati mana yang akan merasa tersinggung dengan perkataan kita," ucap Ana mengingatkan, setelah itu ia berlalu begitu saja.
Andre mendekat ke arah Dave kemudian berkata. "Cantik... Dave, dia hanya butuh dipoles sedikit saja."
"Kau tahu, aku tidak akan pernah memberinya uang sebab Lusi sudah memberi ibu dan kakaknya uang," ucap Dave terdengar sangat kejam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!