Tangan Elora bergetar saat mengusap nisan yang bertuliskan nama Putri Amelia. Gadis berusia 21 tahun itu akhirnya tak bisa menahan air matanya.
"Ma, hari ini aku sudah diwisuda menjadi sarjana keperawatan. Seperti yang mama inginkan, hari ini aku sudah menjadi seorang perawat. Seperti juga mama." kata Elora diantara Isak tangisnya.
"Amel, tugasku hampir selesai mendampingi anakmu. Hutangku hampir lunas. Semoga kamu tenang di sana." kata Putra, pamannya Elora, adik satu-satunya dari Putri Amelia.
Elora menatap pamannya. Ada perasaan haru dalam hatinya karena sang paman sudah mendampinginya di acara wisuda hari ini.
"Ayo kita pulang!" ajak Putra. Elora mengangguk. Mereka pun naik motor berboncengan meninggalkan kompleks pemakaman itu yang memang tak jauh dari rumah pamannya.
Rumah Putra adalah rumah sederhana. Istrinya bernama Sara yang sehari-hari berjualan bahan-bahan sembako di depan rumahnya. Putra sendiri adalah kepala desa yang sudah 2 periode menjabat sebagai kepala desa di sini. Anak mereka adalah si kembar Dedi dan Dandi yang kini duduk di kelas 2 SMA.
"Bibi......!" panggil Elora begitu memasuki rumah. Sebenarnya ia sedih karena bibinya tak hadir di acara wisudanya. Bibinya memang selalu judes dan selalu keras mendidiknya. Namun Elora tahu kalau perempuan yang masih terlihat cantik itu sangat menyayanginya.
"Sudah pulang?" tanya Sara.
Elora langsung memeluk bibinya sambil menangis. "Terima kasih karena bibi sudah menyekolahkan aku sampai sekarang. Aku menyayanginya bibi."
Sara berusaha menahan air matanya. Ia sudah menyayangi Elora seperti putrinya sendiri. Perempuan itu memeluk ponakannya dengan erat. Baru kali ini ia bersikap lembut pada Elora.
"Maafkan bibi yang selama ini keras padamu. Yang melarang mu bergaul sembarangan, yang melarang mu pacaran, supaya kamu bisa fokus sekolah. Maaf jika bibi selalu membangunkan mu pukul 5 pagi karena bibi ingin kamu disiplin."
Elora melepaskan pelukannya. Ia menghapus air mata di wajah cantik bibi Sara. "Tetaplah menjadi bibi yang judes untukku. Karena didikan bibi telah membuat aku berhasil. Aku berjanji akan langsung cari kerja dan membantu bibi dan paman menyekolahkan Dedi dan Dandi."
Sara menatap suaminya. Ada sesuatu yang hendak ia sampaikan dibalik tatapan itu.
************
"Buenas noches...!"
Elora tersenyum mendengar ucapan selamat malam dalam bahasa Spanyol yang diucapkan oleh bibinya. Di belakang sang bibi ada pamannya.
"Los amo chicos (Aku mencintai kalian)." kata Elora sambil terkekeh.
Sejak kecil, mama Elora selalu mengajarkan Elora bahasa Spanyol. Elora tak mengerti kenapa mamanya begitu suka dengan Spanyol bahkan mengajari Elora banyak hal tentang negara itu.
Elora pernah berpikir, apakah mungkin papanya orang Spanyol karena wajah Elora yang blesteran? Walaupun Elora memiliki rambut hitam lurus dan kulit kuning Langsat seperti mamanya, namun hidung mancungnya, mata yang yang berwarna abu-abu, menunjukan bahwa Elora buka 100 persen orang Indonesia. Namun keberadaan papa Elora tak pernah mau dibicarakan oleh mamanya sampai wanita itu meninggal dunia saat Elora masih duduk di kelas 1 SMA.
"Kamu sedang apa, Elora?" tanya Sara.
"Mencari lowongan pekerjaan, bi. Sebenarnya ada tawaran bekerja menjadi perawat di luar negeri. Gajinya besar. Namun aku tak mau meninggalkan paman dan bibi. Apalagi kedua adikku yang bandel itu." jawab Elora lalu meletakan ponselnya di atas meja. Mereka kini duduk di gazebo yang ada di samping rumah.
"Elora, minggu depan kamu harus ke Spanyol." kata Putra lalu menyerahkan sebuah surat di pangkuan Elora. "Ini adalah surat mamamu yang dia tinggalkan untukmu. Dia katakan berikan ini padamu saat kamu sudah lulus kuliah."
Elora membuka amplop surat itu. Ia mengenali tulisan tangan mamanya. Nampak tintanya sudah merembes ke dalam kertas menandakan kalau surat ini memang sudah agak lama.
Anakku Elora ....
Hari ini pastinya kamu sudah lulus. Selamat ya? Berterima kasih lah pada paman dan bibimu.
Sesudah kamu membaca surat ini, pergilah kamu ke Spanyol. Akan ada seseorang yang menjemputmu. Kamu punya tugas untuk mendapatkan hati tuan muda Gomez di sana. Kamu harus menjadi istrinya dan hidup berbahagia dengannya. Jika kamu tak melaksanakan wasiat mama ini, kamu selamanya bukan anakku.
Elora terkejut. "Kok surat mama bunyi nya begini? Bagaimana aku harus menaklukan hati sang pewaris keluarga Gomez? Aku nggak mau!" Elora meletakan surat itu.
"Pasport, tiket dan kopermu sudah tersedia. Kamu tinggal berangkat saja." kata sang paman.
Elora semakin terkejut. "Paman, apa-apaan ini? Aku nggak mau ke sana. Aku akan kerja di sini dan membantu paman dan bibi. Kenapa juga aku harus menaklukan si pewaris keluarga itu?" Elora menatap paman dan bibinya. Pasangan suami istri itu hanya bisa saling menatap.
**********
Tak ada satupun yang bisa Elora lakukan selain berangkat ke Spanyol. Ia tak tahu apa yang harus di lakukan di sana dengan misi menaklukan hati sang pewaris keluarga Gomez.
Elora berangkat diantarkan oleh pamannya saja. Keduanya naik bis dari Bogor ke Jakarta menuju ke bandara. Elora tak tahu bagaimana semua dokumennya sudah tersedia, yang pasti tak ada sesuatu pun yang menghalangi dia untuk berangkat.
"Paman, haruskah aku pergi?" tanya Elora.
"Ya. Itulah hutang paman pada almarhumah mamamu. Paman juga tak tahu mengapa kamu harus pergi ke sana." Putra mengambil sesuatu dari saku celananya. "Ini adalah Kakung milik mama mu. Pakailah ini untuk menemani di sana. Jika memang kamu mengalami kesulitan dan tak bisa menaklukan sang pewaris itu, paman, bibi, Dedi dan Dandi akan selalu menunggumu di desa."
Elora membiarkan pamannya memakaikan sebuah kalung emas putih dengan liontin sebuah batu berwarna orange kemerahan.
"Berangkatlah, nak. Kamu punya modal bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. Paman yakin kamu tak akan pernah tersesat. Hanya saja, selalu gunakan bahasa kalbumu untuk menemukan sebuah kebenaran."
Elora mencium tangan pamannya sebelum melangkah menarik koper yang ia sendiri tak tahu apa isinya. Yang ia tahu dalam tas punggungnya, ada pasport, tiket, makanan kecil buatan sang bibi, dompet yang berisi mata uang Euro dan beberapa lembar uang rupiah. Elora tak tahu bagaimana sang paman yang bekerja sebagai kepala desa sederhana itu, bisa memperoleh semua ini.
20 jam waktu perjalanan yang akan Elora tempuh. Mereka akan transit di Soha selama 2 jam setelah itu langsung ke Madrid.
Sejak dulu Elora sangat suka dengan kota Madrid. Mungkin karena sejak kecil mamanya salalu mengajarkan dia tentang berbagai tempat di Spanyol. Elora bahkan sudah terbiasa menikmati makanan khas Spanyol seperti Tortolla de potatos yang terbuat dari kentang, atau soppa de ajo, sejenis sup yang terbuat dari ayam dan roti.
Elora tiba di bandara udara Barajas Madrid. Setelah mengambil kopernya, gadis itu berjalan menuju ke pintu ke luar. Kata pamannya, kalau ada seseorang yang akan menjemputnya.
Mata Elora langsung tertuju pada seorang laki-laki berbadan tinggi besar menggunakan pakaian serba hitam dan menggunakan kaca mata hitam juga. Ia memegang sebuah papan yang bertuliskan nama : ELORA TETIANA FROM INDONESIA.
"Soy Elora (saya adalah Elora)."
Lelaki itu tersenyum. Ia melihat ke ponselnya untuk memastikan gambar yang ada di ponselnya sama dengan gadis cantik yang berdiri di hadapannya.
"Bienvenida señorita Elora.(selamat datang nona Elora). Perkenalkan saya Chico, asisten sekaligus sopir nyonya Gomez."
Elora dapat merasakan kalau lelaki ini baik. Ia segera mengambil koper dari tangan Elora dan mengajaknya menuju ke sebuah mobil hitam yang sudah menunggunya.
Di dalam mobil itu hanya ada mereka berdua. Chico membawa Elora ke sebuah restoran. Untuk makan. Walaupun Elora sebenarnya tak begitu lapar namun ia makan juga makanan di sana.
"Tidurlah, nona. Sekarang sudah jam 7 malam. Kita akan tiba di mansion keluarga Gomez sekitar jam 1 dini hari. Nona akan beristirahat di sana sampai besok pagi dan kita akan melanjutkan perjalanan menggunakan helikopter jam 8 pagi."
"Memangnya kita nggak akan tinggal di kota Madrid ini?" hanya Elora.
"Tidak. Nona akan tinggal di rumah utama keluarga Gomez." Chico kemudian menjalankan lagi mobilnya. Rasa lelah membuat Elora tertidur. Mereka pun tiba di sebuah rumah besar dan Elora tidur di sana sampai keesokan paginya. Dari sana, mereka berangkat menggunakan helikopter selama hampir 3 jam.
Dari jauh Elora sudah melihat hamparan kebun anggur yang sangat besar. Lalu di atas sebuah bukit ada sebuah rumah bergaya Eropa kuno.
Saat helikopter mendarat, Elora pun diajak turun oleh Chico.
Elora akhirnya menyadari kalau hidupnya akan terkurung di desa terpencil ini. Jauh dari kemegahan kota Madrid yang Elora mimpikan sejak kemarin.
Seorang perempuan berusia sekitar 50 an keluar. Ia nampak anggun dengan gaun berwarna putih yang dikenakannya. Rambutnya di gulung ke atas dengan sebuah kalung yang menghiasi leher jenjangnya.
Wajah perempuan itu rasanya pernah Elora lihat namun ia lupa di mana.
"Elora sayang. Selamat datang di mansion keluarga Gomez." kata perempuan itu dalam bahasa Indonesia yang terdengar fasih walaupun dengan aksen cara bicara orang bule.
Perempuan itu dengan lembut memeluk Elora lalu meminta Chico membawakan koper Elora sebelum akhirnya mengajak Elora masuk.
Mata Elora terbelalak melihat rumah yang bagaimana istana ini.
"Tante siapa?" tanya Elora.
"Aku Tizza Gomes, sahabat mamamu, Putri Amelia."
Elora terkejut mendengarnya nama mamanya disebut. Misteri apakah ini?
**********
selamat datang di novel terbaru emak guys. Mungkin ini juga akan menjadi novel terakhirku guys.....
semoga kalian suka ya.........
Tizza Gomez mengajak Elora menuju ke kamarnya yang ada di lantai satu. Mansion besar ini bertingkat 3. Kamar untuk Elora ada di bagian luar rumah, menghadap ke sebuah kolam ikan.
"Semoga kamu suka kamar ini. Ini dulunya adalah juga kamar mamamu setiap kali ia datang ke sini. Memang kamar ini tak terlalu besar namun Amel sangat suka di sini karena pemandangannya." Tizza membuka pintu kamar itu. Tentu saja walaupun sang nyonya rumah mengatakan kalau kamar ini kecil, dibandingkan dengan kamar Elora di kampung, kamar ini sangatlah besar. Mata Tizza langsung tertuju pada sebuah foto yang digantung di dinding dekat tempat tidur.
Ada foto mamanya yang masih muda, menggunakan seragam perawat dan Elora yakin itu foto nyonya Tizza. Wajah perempuan itu tak jauh berbeda dengan yang sekarang.
"Ini foto kami saat masih berusia 20an. Aku saat itu adalah dokter magang di rumah sakit yang ada di Madrid dan mamamu seorang perawat di sana. Kami menjadi sahabat baik, sampai akhirnya aku harus menikah dengan suamiku dan mengubur semua impianku sebagai dokter." Tizza kelihatan sedih namun kemudian ia tersenyum. "Istirahatlah, nak. Sebentar lagi jam makan siang. Nanti ada pelayanan yang akan mengajakmu untuk makan siang." Tizza meninggalkan kamar Elora. Sedangkan gadis itu langsung membaringkan tubuhnya. Wajah teman-temannya terbayang suka. Ela yang paling jago melawak, Truli yang paling gemuk namun cantik, serta Jono yang agak bencong namun sebenarnya cowok tulen. Elora juga ingat dengan Jasen. Kakak tingkatnya yang sebenarnya sangat Elora sukai. Namun karena larangan bibinya untuk tidak berpacaran selama kuliah, Elora justru menolak pernyataan cinta Jasen menjelang cowok itu lulus. Elora bahkan harus menyembunyikan tangisnya dalam-dalam karena ia tak bisa bersama cinta pertamanya.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan di sini? Ini bukan impianku. Aku rindu ada di rumah sakit. Aku rindu dengan bau obat." tanpa sadar Elora menangis. Ia juga merindukan desa di mana ia dibesarkan. Rindu pada suasana di pematang sawah saat mengantarkan makanan untuk pamannya.
"Belum sehari aku di sini dan aku sudah rindu?" Elora segera bangun dan membuka kopernya. Ia terkejut melihat isi koper itu. Tak ada satupun celana jeans atau t-shirt oblong yang sangat Elora sukai. Untung saja di tas dukungnya Elora membawa 2 celana jeans dan kaos kesayangannya.
"Siapa yang menyiapkan baju ini? Bibiku? Tapi baju ini nampaknya pakaian buatan luar negeri. Semuanya nampak masih baru." Elora bingung saat melihat isi kopernya. Ia pun membuka lemari pakaian. Ada beberapa gaun dan sepatu yang sudah di atur di sana. Ada kartu yang sengaja diletakan di sana.
Para Elora. Bienvenido mi hijo. (untuk Elora, selamat datang anakku)
Elora tahu ini pasti dari nyonya Gomez. Ia pun segera mengatur semua pakaiannya di sana, lalu meletakan foto dirinya dengan sang mama di atas nakas. Elora menatap ijasah nya. Untuk apa juga ia membawanya. Misinya di sini bukan bekerja tapi menaklukan sang ahli waris. Dan Elora tak tahu bagaimana wajah si ahli waris itu.
Setelah mengatur semua barangnya, Elora memutuskan untuk mandi. Selesai mandi, ia mengeluarkan celana jeans dari tas punggungnya, menggunakan kaos hitam yang agak ketat di tubuhnya serta sandal jepit yang beberapa hari lalu dibelinya di pasar.
Pintu kamar Elora di ketuk. Seorang perempuan berkulit hitam namun cantik, menggunakan pakaian putih hitam berdiri sambil menatap Elora dari kepala sampai kaki.
"Señorita Elora?"
Elora mengangguk.
"Di tunggu untuk makan siang."
"Ok. Mari pergi."
"Dengan pakaian seperti ini?" tanya pelayanan itu.
"Ada yang salah dengan pakaian ku ini?" tanya Elora merasa bingung.
Pelayan itu tersenyum. Ia pun mempersilahkan Elora mengikuti langkahnya.
Mereka memasuki rumah dan menuju ke bagian belakang. Elora melihat sebuah ruang makan yang mewah dan besar.
Semua yang ada di ruang makan itu menatap Elora. Ada 2 wanita berusia seperti nyonya Tizza. Ada seorang lelaki tua yang duduk di kepala meja, ada seorang lelaki yang berusia sekitar 50an. Ada 2 wanita muda yang terlihat sangat cantik seperti bidadari, seorang lelaki muda yang terlihat tak bersahabat karena wajahnya dingin tanpa ekspresi.
"Elora sayang, ayo duduk sini!" ajak Tizza dalam bahasa Indonesia sambil menunjukan sebuah tempat duduk di samping 2 perempuan cantik itu.
Elora menyadari, semua yang ada di ruang makan ini berpakaian rapi. Yang cowok menggunakan kemeja, yang cewek menggunakan gaun, hanya Elora saja yang menggunakan kaos dan celana jeans.
Namun Elora tetaplah Elora. Ia cuek dan tersenyum manis lalu menyapa mereka.
"Hola a todos. Déjame presentarme, mi nombre es Elora. (Hallo semuanya. Perkenalkan namaku Elora)."
Yang lain nampak tertawa. Tentu saja tertawa mengejek karena melihat penampilan Elora. Tizza hanya menahan senyum sedangkan cowok berwajah cool itu nampak kesal.
"Sajikan saja makannya." kata cowok itu menghentikan tawa yang lain.
Makan siang yang sangat menyiksa menurut Elora. Ia yang terbiasa menggunakan tangan saat makan di kampung, kini harus menggunakan garpu, pisau, sendok khusus dan lain sebagainya. Kelakuan Elora di meja makan membuat yang lain semakin menjadikannya bahan ejekan.
"Maaf, saya permisi." Elora meninggalkan meja makan karena sebenarnya ia merasa tidak nyaman. Langkahnya sedikit berlari meninggalkan rumah itu. Elora memilih duduk di sebuah bangku taman, tepatnya di bawah sebuah pohon.
10 menit kemudian Tizza datang menyusulnya. "Elora sayang, ayo ikut aku!" ajak wanita cantik itu. Ia menarik tangan Elora menuju ke ruang keluarga yang terdapat banyak sekali foto.
"Ini keluarga Gomez. Lelaki yang duduk di kepala meja tadi adalah papa mertuaku. Namanya Simone Gomez. Dia sudah berusia 75 tahun dan agak pemarah semenjak istrinya meninggal 3 tahun yang lalu." Tizza kemudian menunjukan sebuah foto keluarga.
"Ini aku bersama suami dan anak-anak ku. Suamiku bernama Hernandes Gomez. Dia orangnya tak banyak bicara namun sebenarnya baik hati. Yang ini Enrique. Anak tertuaku. Yang ini Lelita anak keduaku. Dia sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya. Anaknya satu. Dan yang bungsu ini anak ketigaku. Namanya Armando. Dia meninggal 2 tahun yang lalu karena ditembak oleh orang yang tak dikenal." Wajah Tizza terlihat sedih. Elora langsung memegang tangan Tizza.
"Bibi, jangan bersedih."
Tizza menatap Elora. "Dalan tradisi keluarga ini, anak tertua atau pewaris keluarga harus dicarikan jodoh yang terbaik. Biasanya, para gadis akan tinggal di rumah ini selama 1 tahun sebelum akhirnya di pilih. Namun tradisi ini tak akan dilaksanakan jika sang pewaris sudah memiliki calonnya sendiri. Yang pasti perempuan itu harus memiliki darah Spanyol."
"Bagaimana dengan gadis yang tak dipilih?"
"Dia akan mendapatkan uang pengganti selama 1 tahun ada di rumah ini. Memang banyak keluarga yang sudah melupakan tradisi ini. Namun keluarga Gomez masih menjaganya sampai sekarang."
"Jadi, dua gadis yang duduk di sebelahku tadi adalah calon yang lain?"
"Iya. Yang satu adalah pilihan ayah mertuaku, dan satunya lagi adalah pilihan suami ku. Sebenarnya masih ada satu calon lagi. Dia adalah sahabat Enrique sejak kecil. Namun ia tak tinggal di sini. Karena juga sedang mengurus perusahaan keluarganya."
"Bibi, mengapa harus memilih aku? Aku kan bukan orang Spanyol. Aku juga bukan dari keluarga terhormat."
"Karena aku sudah berjanji pada mamamu untuk menjodohkan kamu dengan anakku. Sebenarnya dengan putra bungsuku. Andai saja dia tak tertembak."
"Bibi, jujur aku nggak suka ikut persaingan seperti ini. Aku ingin menjadi perawat. Aku ingin bekerja di rumah sakit."
Tizza tersenyum. "Di perkebunan ini, ada rumah sakit kecil milik keluarga Gomez. Selama satu tahun ini, kamu boleh bekerja di sana. Hanya saja, berilah waktumu untuk dengan Enrique. Rebut hati anakku. Aku tak bisa mempercayakan kehidupan Enrique di tangan orang lain."
"Bibi......!"
"Please ...., agar janjiku pada mamamu bisa diwujudkan."
Elora tak bisa menggelengkan kepalanya melihat wajah permohonan nyonya cantik ini. Gadis itu bingung mau bagaimana lagi.
"Enrique suka dengan gadis yang lembut dan selalu berpenampilan cantik. Ia juga suka gadis yang pintar masak dan tahu membuat kue. Menurutnya perempuan itu harus bisa membuat seisi rumahnya kenyang dengan masakannya sendiri. Ia juga suka dengan gadis yang tahu tentang anggur. Ini buku tentang tanaman anggur. Pelajarilah agar kamu bisa nyambung saat bicara dengannya."
Tizza berdiri. Ia kemudian menatap Elora. "Nak, kalau kamu sudah selesai makan, dan papa mertuaku belum selesai makan, jangan tinggalkan meja makan ya? Itu dianggap tidak sopan." lalu Tizza meninggalkan Elora di ruangan itu.
Elora memegang buku itu dalam genggamannya. Ia tak tahu harus bicara apa. Dalam hati muncul sesuatu dalam hati Elora. Ia akan melakukan semua yang Enrique benci agar ia tak terpilih nantinya.
*************
Bagaimana Elora bisa mewujudkan keinginannya ?
Elora keluar dari ruangan keluarga itu dengan menggunakan pintu yang menghadap ke arah kolam renang.
Langkahnya terhenti saat di hadang oleh 2 gadis cantik yang adalah pesaingnya untuk menaklukan sang pewaris.
"Hola mi nombre es Cecil. (Hai, nama saya Cecil)" kata Cecil yang berambut coklat karamel.
"Hola, saya Anna." ujar Anna yang berambut blonde.
"Saya Elora." Elora memperkenalkan namanya juga walaupun ia tahu kalau mereka sudah mengetahui namanya.
"Elora, jika kamu tidak tahu bagaimana cara berdandan, biar kami ajarkan." kata Cecil.
"Oh, jangan khawatir. Aku suka dengan gayaku sendiri. Kalian jangan takut ya, karena aku pasti tak akan bisa menyaingi kecantikan kalian untuk merebut hati Enrique. Jujur saja, aku tak suka dengan Enrique." kata Elora lalu segera berlalu dari hadapan 2 gadis itu. Ia menuju ke kamarnya, menyimpan buku itu di laci nakas kemudian keluar lagi dari kamar itu.
Cuaca siang menjelang sore ini begitu panas dan Elora belum mengenal daerah ini. Ia mengikuti kata hatinya kemana pun kakinya membawa dirinya.
Mata Elora berbinar saat melihat sebuah ayunan. Setengah berlari ia menuju ke ayunan itu dan duduk di atasnya. Elora jadi ingat saat ia bermain dengan kedua sepupunya di kampung.
"Mau aku dorong?"
Elora menoleh mendengar sapaan itu. Seorang lelaki tampan dengan tinggi atletis berdiri di sampingnya.
"Hai....." sapa Elora sambil memasang tanpa awas karena ketemu dengan orang baru.
"Saya Pedro. Kamu siapa? Sepertinya kamu orang baru di sini. Ataukah saya sedang bertemu dengan bidadari?"
Elora tertawa. Cowok ini terlihat gombal. "Elora."
"Waw, nama yang sangat cantik. Seperti nama bidadari."
"Kamu gombal."
Pedro menatap Elora. "Mungkin saya gombal. Tapi saya jujur jika berbicara tentang kecantikan."
"Oh ya?"
"Kamu dari mana?"
"Saya baru datang dari Indonesia. Saya tinggal di rumah itu!" kata Elora sambil menunjuk mansion keluarga Gomez.
"Oh, jadi kamu salah satu calon istri sepupuku?"
"Sepupumu?"
"Mamaku, adalah adik dari papanya Enrique. Beruntung sekali Enrique dikelilingi oleh banyak gadis cantik."
Elora memperhatikan pakaian Pedro. "Kamu seorang dokter?"
"Bagaimana kamu bisa tahu? Aku tidak menggunakan jas putih."
"Kemeja yang kamu gunakan ada nama merk obat. Di balik aroma parfum yang kamu gunakan, aku juga dapat mencium bau obat. Sepertinya kamu baru selesai melakukan operasi ya?"
Pedro mengerutkan dahinya. "Kok kamu bisa tahu? Jangan-jangan kamu ini penyihir ya?"
Elora tertawa. "Aku seorang perawat. Tepatnya baru lulus dari sekolah keperawatan di negaraku namun kini sudah harus berada di sini karena perjanjian antara 2 orang sahabat. Mamaku dan mamanya Enrique."
Pedro menatap kagum pada Elora. "Aku kagum dengan kamu. Pasti sedih ya tak bisa menjalankan tugas lagi sebagai seorang perawat."
Elora menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Kata bibi Tizza, aku bisa bekerja di rumah sakit keluarga mereka."
"Kalau begitu kamu bisa datang besok. Perkenalkan, aku direktur rumah sakitnya. Berangkatnya jam 7 pagi karena jarak rumah sakit dari perkebunan ini membutuhkan waktu 1 jam lebih."
Elora tertawa. "Nggak secepat itu. Aku kan belum punya seragam."
"Gampang lah. Nanti aku usahakan."
Ponsel Elora berdering. Ia melihat ada panggilan dari Tizza. "Bibi, aku sedang jalan-jalan. Baiklah." Elora menatap Pedro. "Semoga kita bisa bekerja sama ya?" Elora segera berlari meninggalkan Pedro. Gadis itu menyeberangi taman bunga tanpa memperhatikan kalau di atas balkon lantai 3, ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya.
Pembantu berkulit hitam yang tadi menjemput Elora makan siang menyambut gadis itu di depan pintu.
"Aku Nuna. Mereka memanggil ku si hitam Nuna."
Elora menatap Nuna. "Tapi kamu cantik."
Nuna mencolek hidung Elora. "Kamu sama persis seperti ibumu."
"Nuna mengenal ibuku?" tanya Elora penasaran.
"Ya. Aku bekerja di rumah ini sebelum nyonya Tizza menikah dengan suaminya. Ibu mu adalah gadis yang selalu tersenyum dan membuat banyak lelaki menyukainya. Semoga saja nona bisa menaklukan tuan Enrique."
"Mengapa harus menaklukan? Cinta itu datang secara alami."
Nuna mengusap kepala Elora. "Nak, hati-hati dengan Cecil dan Anna. Mereka sangat licik karena ingin mendapatkan hati tuan muda. Mereka tahu kalau kamu kesayangan nyonya Tizza pasti mereka merasa kalau kamu adalah saingan yang berat."
"Aku nggak mungkin bersaing dengan mereka. Lagi pula, aku tak tertarik dengan tuan Enrique."
"Tuan Enrique kan tampan."
Elora tertawa. "Tampan? Menurutku dia tak tampan. Tapi menyeramkan."
Elora dan Nuna menuju ke kamar Tizza tanpa menyadari bahwa di atas tangga, percakapan mereka di dengar oleh Enrique. Wajah lelaki itu nampak marah, tersinggung dan kesal karena dibilang menyeramkan.
*********
Makan malam dilalui oleh Elora dengan senyum yang dipaksakan. Anna dengan sombongnya menunjukan hasil masakannya.
"Bagaimana, nak? Kamu suka?" tanya Simone.
Enrique mengangguk. "Enak." jawabnya singkat disambut wajah sumringah Anna.
Malam ini Nuna memaksa Elora memakai salah satu gaun yang ada di lemari. Sebenarnya Elora tak mau namun Nuna tak menyerah untuk menyuruhnya memakai gaun berwarna biru tersebut.
Selesai makan malam, mereka duduk di ruang keluarga sambil menikmati kopi dan kue buatan Cecil.
"Elora, kapan kamu akan menunjukan kemampuan memasakmu?" tanya Hernandes Gomez, ayahnya Enrique.
"Maaf paman. Aku nggak bisa masak." jawab Elora membuat Cecil dan Anna tertawa.
"Kalau kamu ingin menjadi istri cucuku, kamu harus belajar memasak." ujar Simone.
"Tenang saja, kakek. Seorang perempuan tangguh itu bukan hanya dinilai dari masakannya, tapi juga dari keahliannya yang lain." jawab Elora dengan tegas. "Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk melakukan apa yang tidak disukainya. Jujur, aku tak suka memasak. Aku lebih suka makan."
Tizza nampak kesal karena Elora menjawab sesuatu yang tak diinginkan oleh putranya.
"Tenang saja. Aku yang akan mengajari Elora memasak." ujar Tizza.
Selesai acara minum kopi dan kue buatan Cecil yang menurut Elora tak enak itu, Elora segera menuju ke kamarnya. Ia sebenarnya belum mengantuk namun malas berbasa-basi dengan Enrique yang wajahnya seakan putus urat senyum.
Sampai jam 10 malam, Elora tak bisa tidur. Itu karena ia masih lapar dan juga perubahan jam antara Indonesia dan Spanyol yang berbeda.
Gadis itu memutuskan keluar kamar. Ia duduk sebentar di depan kolam ikan. Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke dapur. Mencari sesuatu yang bisa di makan.
Nuna sudah menunjukan padanya lemari tempat bahan makanan yang menurut Elora itu bukan lemari, melainkan gudang.
Gadis itu mengambil 2 butir telur, bawang putih, bawang Bombay, kecap dan beberapa cabe keriting. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan sepotong daging ayam. Sambil merendamnya di air, Elora memeriksa Magicom dan bersyukur ada nasi di sana.
Ia pun menyiapkan bumbu nasi goreng, Elora pun mulai memasaknya.
"Ini baru enak.....!" ujar gadis itu lalu membalikan badannya. Ia hampir berteriak kaget saat melihat sosok Enrique yang berdiri di depan pintu masuk.
"Kamu menakutkan aku saja." ujar Elora lalu duduk di depan meja pantry.
"Tak bisa masak dan hanya tahu makan?" tanya Enrique sambil melangkah masuk. Ia duduk di hadapan Elora.
"Ya. Aku hanya bisa masak nasi goreng. Mie instant dan sayur asem. Semua masakan itu pasti tak masuk kategori memasak menurut orang Spanyol." Elora menikmati masakannya.
"Mundur saja." kata Enrique.
"Mundur?"
"Ya. Pulang ke Indonesia karena kamu tak mungkin akan menang untuk menjadi nyonya Gomez."
Elora terkekeh. "Aku mau saja pulang ke Indonesia. Karena aku tak berharap akan jadi nyonya di rumah ini. Aku bahkan tak tertarik padamu. Karena bagiku, pernikahan itu harus datang dari dua hati yang menyatu. Bukan atas dasar kriteria bisa masak, tahu tentang anggur, cantik dan manis. Aku tak mau merubah diriku hanya karena ingin menyenangkan orang lain. Aku hanya menghargai mamamu dengan tetap ada di sini. Kan semua keputusan akhirnya ada padamu. Jadi untuk apa kamu menyuruhku pulang lebih awal?" Elora melanjutkan makannya. Enrique menatap Elora tajam.
"Aku tak mau menyakiti mamaku dengan menolak kamu sebagai calon istri yang dia inginkan."
"Tenang saja. Aku akan jatuh cinta pada lelaki lain yang tampan dan murah senyum di daerah sini sebelum waktunya tiba."
Enrique segera meninggalkan Elora. Ia lega karena Elora nampak tak tertarik padanya. Enrique sebenarnya sudah punya seseorang yang dia inginkan.
***********
Tawa Elora pecah saat ia dan Pedro masuk ke ruangan anak, dimana ada seorang anak yang sangat pintar membuat gerakan-gerakan lucu.
Hari ini adalah hari ketiga Elora berada di Spanyol dan dia diijinkan untuk mulai bekerja.
Rumah sakit ini memang tak begitu besar namun Elora sangat menyukai semuanya. Ia bersyukur sejak kecil mamanya mengajari dia dengan ketat bahasa Spanyol dan bahasa Inggris sehingga tak ada kesulitan baginya untuk berkomunikasi.
Pedro mendapatkan seragam untuk Elora. Dan gadis itu sangat menyukai seragamnya. Ia mengirimkan fotonya kepada paman dan bibinya.
"Elora, tolong ada pasien yang kecelakaan baru masuk!" panggil Tina, perawat yang usianya 10 tahun lebih tua dari Elora. Gadis itu segera berlari ke IGD.
Seorang lelaki nampak terluka di bagian kepala dan kakinya. Elora segera melakukan pertolongan awal sedangkan lelaki itu menatap Elora tanpa berkedip. Apalagi saat melihat kalung yang Elora pakai.
"Siapa kamu?" tanya lelaki berusia sekitar 50an itu.
"Saya Elora. Perawat baru di sini."
"Elora?"
***********
Bagaimana menurut kalian dengan cerita ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!