NovelToon NovelToon

RACUN

E. 1~Aku

Helaan napas panjang terdengar, menghentikan Khalisah dari keinginannya mengambil buah.

Khalisah memberi perhatian pada mama mertuanya yang terlihat sengaja ingin menarik pandangannya.

"Kapan ya, rumah ini ada suara anak kecilnya?"

Lagi.

"Ma...." sahut Abizar yang menghentikan maksudnya menusuk apel yang sudah terpotong rapi atas piring. Dia menyipit mata pada orang tua satu-satunya di rumah tangga mereka.

"Apa? Mama cuma bergumam sendiri," balas mama Laili agak menantang.

"Mana ada gumaman sekeras itu!" Nada Abizar mulai meninggi.

"Nggak papa, Mas. Mama bicara fakta," tanggap Khalisah datar dibalik cadarnya, meski tidak ada yang mengerti betapa tidak terbiasa dirinya mendengar ucapan sama selama lima tahun pernikahan.

"Tuh, Khalisah saja sadar diri!"

"Ma!"

Lantas Khalisah menggenggam tangan terkepal sang suami hingga wajah itu menoleh padanya. "Sudah, Mas. Kita naik ke atas 'yuk, ada yang mau aku bicarakan."

Mata Khalisah menyipit sebagai tanda senyuman dibalik satir yang kerap melingkari di kepalanya.

Abizar menghela napas dan balas tersenyum. "Baik, ayo!"

Khalisah bermaksud menghentikan adu mulut orang tua dan anak, namun maksudnya justru diartikan lain oleh mertuanya.

"Kurang ajar kamu, Khalisah!" pekik mama Laili pada tangga.

Khalisah menutup mata tapi Abizar meraih pundaknya untuk menaiki tangga beriringan.

"Mas," seru Khalisah yang berada di kedua kaki Abizar yang duduk di kasur.

Abizar melingkari tangannya di pinggang istrinya dan menatap matanya penuh arti. "Tidak perlu dipikirkan. Seperti katamu kita belum rezeki saja."

"Menikah lagi saja, Mas. Aku nggak masalah." Khalisah tersenyum ketika mengucapkan ini kesekian kalinya pada suami yang dicintainya.

Jujur, aku capek mas pada cacian mamanya Mas.

Seuntai kata yang tak pernah dikeluarkan Khalisah.

"Jangan berkata begitu lagi," tegur Abizar mengeryit dahinya.

"Please, Mas." Kali ini mata Khalisah mulai berkaca-kaca dan suaranya mulai serak. Padahal Khalisah sudah sering berlatih mengucapkan kata yang sama dengan ekspresi biasa saja, tapi di depan suami ia luluh lantah.

"Kumohon...." Air mata Khalisah jatuh.

Abizar meraih Khalisah dalam pelukannya.

"Aku yakin Mas bakal jadi pemimpin yang adil."

Tidak ada jawaban, dan hanya terdengar isakan Khalisah.

"Baiklah."

Jantung Khalisah seakan dihantam palu dengan keras. Mengapa? Apa nyatanya dirinya tak benar-benar siap mendengar kesanggupan suami, dan sudah terbiasa atas penolakannya?

Isak tangis Khalisah semakin kencang.

.

.

.

.

Setiap wanita punya pernikahan impian, lantas bagaimana dengan Hara, seorang wanita yang dinikahi namun menjadi yang kedua?

Ia terus memandangi wajah Abizar sampai akhirnya menunduk ketika pelafalan ijab kabul terjadi antara Abizar dan hakim. Padahal acara diselenggarakan dalam rumah dengan memanggil penghulu, bermodal pakaian pengantin seadanya dan tamu yang terdiri dua orang laki-laki sebagai saksi pernikahan.

Perempuan itu terlihat bahagia.

Khalisah duduk di samping mama Laili dan melihat semuanya tanpa berkedip.

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah."

Meski Khalisah ikut menyerukan suaranya, ia tak bisa menahan air matanya lagi.

Sekarang kamu bukan milikku seorang lagi, Mas.

Acara ini berakhir tidak memerlukan waktu berjam-jam, namun entah bagaimana hari menggapai malam hingga Khalisah sudah berbaring atas kasur dalam pakaian malamnya.

Dingin, setidaknya sampai tujuh malam ke depan. 

Tok! Tok! Tok!

Khalisah bangkit. Ia menyampirkan selendang atas bahunya dan menghampiri pintu. Khalisah diterjang pelukan begitu pintu terbuka.

"Mas Abi!"

Abizar melepas pelukan dan memandangi istri cantiknya. "Malam ini aku tidur di sini ya?"

Melihat suaminya tersenyum saat mendatangi kamarnya menciptakan kebahagiaan dalam diri Khalisah. Ketika ego menyeru, namun kepahamannya dalam ilmu agama tentang pernikahan poligami menentang nafsunya.

Khalisah menggeleng. "Nggak bisa, Mas. Malam ini sampai tujuh malam ke depan Mas mustahaqnya Hara."

Khalisah tersenyum simpul.

"Tapi...."

Nada merajuk itu tak boleh merayunya. Khalisah yang gigih langsung memakai pakaian muslimah ya, tidak lupa cadarnya.

Ia mengandeng Abizar ke kamar pengantin suaminya dengan madunya. Sedikit memudahkan Khalisah karena suaminya itu menurut hingga menghadapkan kamar pengantin.

Khalisah mengetuknya dulu sebelum membuka, dan mendapati Hara sedang duduk di atas ranjang.

"Aku kira Abi nggak bakal datang."

Khalisah reflek menutup mata Abizar melihat seseksi apa pakaian malam madunya.

"Eh, kenapa mata Abi-nya ditutup, Kak?" tanya Hara yang memiringkan kepalanya.

Abi? Tanpa embel-embel mas?

"Tidak ada." Khalisah menurunkan tangannya saat kenyataan menyadarkannya kembali. Meski begitu, Abizar tetap menutup matanya.

"Selama tujuh malam ke depan, Mas Abi milik kamu. Selanjutnya tiga malam buat aku, dan tiga malam selanjutnya milik kamu. Begitu seterusnya ya," jelas Khalisah datar.

"Baik," seru Hara riang, dan hal tersebut membuat Khalisah tertegun.

"A-aku pergi dulu." Khalisah buru-buru keluar sambil menutup pintu kamar.

"Khalisah!"

Abizar hendak berbalik, tapi pergelangan tangannya dipegang. Spontan ia menarik tangannya. "Jangan menyentuhku."

Hara sempat terkejut dan memandangi tangannya, namun kesadarannya kembali dengan cepat dan tersenyum pada pria yang resmi jadi suaminya. "Lama tak bertemu, Abizar. Aku nggak nyangka bakal beneran jadi istri kamu, itu impian aku 'lho."

"Jadi, istri kedua?" Abizar mengangkat alisnya.

"Aku tidak masalah, asal statusku adalah istri kamu, Abi."

Sebalik dari tatapan tulus Hara, Abizar justru menunjukkan tatapan dinginnya. "Bagaimana kamu bertemu mama, sampai mama lebih memaksa aku menikah lagi dibanding sebelumnya?"

"Ah, waktu itu aku baru turun dari bus perjalanan Jogja ke Jakarta, dan melihat mama Laili yang masih kuingat wajahnya sehingga aku menyapanya. Aku beruntung mama Laili mengingat namaku walau tidak dengan wajahku, karena sudah lewat lima belas tahun. Aku senang mama tetap baik kepadaku," jelas Hara riang.

"Lalu, mengapa kamu ke Jakarta? Bagaimana dengan nenek Melati yang kamu tinggalkan di Jogja?" tanya Abizar.

"Nenek udah nggak ada delapan tahun lalu."

Sesaat Hara menangkap kesedihan pada raut terkejut Abizar, namun segera dikembalikan ke semula.

Bagaimanapun nenek sangat menyayangi Abi dulu, dan Abi juga pasti sama 'kan?

"Dan aku ke sini mau cari pekerjaan," sambung Hara.

"Ya, kamu langsung mendapatkan pekerjaan dari mama untuk menjadi istri keduaku," sindir Abizar.

-dan Hara masih tersenyum.

"Benar-"

"-Dan bagaimana kalau selanjutnya Abi membantuku menyelesaikan pekerjaan mama yang kedua?" Kemudian Hara menarik ikatan tali di dadanya.

Abizar melorot.

"Hara Arani!"

.

.

.

.

Khalisah mengangkat kedua tangannya. "الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه اجمعين."

Niat awalnya ingin merebahkan badan yang terasa lelah karena mengikuti hati, justru berubah ingin mencurahkan segalanya kepada sang pencipta.

Khalisah memutuskan melaksanakan shalat witir tiga rakaat dua kali salam dikarenakan isya sudah dikerjakan pas azan berkumandang.

"Ya Allah. Diantara banyak hal, ada satu hal yang hambamu ini takuti yaitu memutuskan pilihan. Karena saya takut menghadapi masa depan apabila keputusan salah. Mengatakan ini bukan berarti saya tak percaya pada Engkau, Ya Allah. Namun inilah ungkapan hati yang bisa Engkau ketahui tanpa perlu saya katakan-"

"-Saya cuma mau jujur pada diri saya sendiri."

Air mata Khalisah mengalir di pipinya.

"Saya cuma berharap yang terbaik dari keputusan ini, Ya Allah. Dan الله العلم (Allah maha mengetahui) atas segala sesuatu. Aamiiin, aamiin ya rabbal a'lamin."

...☠️...

...☠️...

...☠️...

Rain: 🧑‍🔬

E. 2~Tepat

Ketika sinar matahari tetap menembus gorden sehingga menyinari kamar, Hara tak bisa jika tak membuka matanya. Hara berkedip untuk menyesuaikan cahaya padanya, dan mulai bangkit bersandar pada ranjangnya.

Pandangannya langsung jatuh pada sofa yang berhadapan dengan ranjang. Di sana, ada Abizar yang tidur diselimuti selimut lainnya.

Hara menghela napas untuk menekan rasa sesak di dadanya. "Setidaknya Abi nggak pergi dari kamar ini."

Lekas Hara menyiapkan diri dan segera turun ke bawah. Dia mengikat rambut sambil menuruni tangga. Hidungnya terasa menggelitik ketika ada aroma mengenakkan tercium.

Khalisah menuangkan sup ayam keempat porsi mangkuk.

"Selamat pagi, mbak Lisah!"

Hara yang tiba-tiba nongol di samping, tak membuat Khalisah terkejut karena sudah menangkap suara kaki yang menuruni tangga.

"Pagi."

Hanya sebatas itu, dan Khalisah mengangkat nampan ke meja makan tapi Hara mengikuti.

"Mbak, masaknya udah selesai?"

Khalisah mengerling saat menata mangkuknya di meja makan. Ia menghirup napas dalam-dalam dan melepasnya. "Oke. Kalau ada yang mau kamu masak, masaklah."

Hara jadi kegirangan. "Makasih, Mbak."

Segera Hara melakukan keinginannya, dan Khalisah melanjutkan tugas menata makanan yang telah dimasaknya.

Suara sepatu yang kuat beradu lantai membuat Khalisah menggigit bibir dibalik cadarnya.

"Pagi, Sayang!" Mama Laili datang. Beliau menghampiri Hara yang sedang membersihkan udang di wastafel dan cipika-cipiki dengannya.

"Pagi, Ma," jawab Hara.

"Pagi, Ma," jawab Khalisah mengikuti ucapan Hara.

Sontak keduanya berpaling pada Khalisah.

"Saya nggak ngucapin ke kamu ya." Mama Laili memutar bola mata.

Saya? Khalisah tersenyum miris. "Khalisah Ma, yang ngucapin pagi ke Mama."

"O-oke." Mama Laili linglung.

Abizar menuruni tangga sambil mencoba memasang dasi.

Hampir saja Khalisah ingin menghampiri sang suami, namun keduluan Hara.

"Sini, Bi. Aku yang pasang."

Khalisah memegang erat sandaran kursi. Matanya berusaha fokus ke arah lain.

Jangan, Khalisah. Tujuh hari ke depan mas Abi milik Hara.

"Ck!"

Terlalu keras untuk kekesalan yang ingin dipendam. "Biar kulakukan sendiri saja."

Akhirnya Abizar memasang dasinya sendiri, dan Hara mundur selangkah membiarkan Abizar melewatinya.

Khalisah membungkam mulutnya, berusaha agar bibirnya tak tertarik ke atas.

Nggak-nggak, Khalisah. Jangan begini....

Ayo, استغفر الله. استغفر الله العظيم.

"Abizar, kamu nggak boleh gitu sama istri kamu," tegur mama Laili.

"Nggak, Abizar nggak pernah gitu sama istri Abizar. Benar 'kan, Lisah." Sang suami merangkul Khalisah dan mendekatkan hidung ke pipinya.

"Abizar!" pekik mama Laili.

"Mas...." Khalisah jadi enak sama Hara melihat gadis itu semakin menunduk, tapi melakukan gerakan penolakan pada suami juga perbuatan dosa.

"Ayo, makan." Abizar menarik kursi dan mendudukkan Khalisah, dirinya pun ikut duduk di sebelah.

Hara pun perlahan bergabung dengan mereka diikuti mama Laili yang menarik kursi untuk Hara duduk di sampingnya.

Hanya terdengar dentingan sendok, kecuali pada piring Khalisah karena ia makan menggunakan tangan. Tidak ada pembicaraan sampai waktu keberangkatan.

Khalisah mencium punggung tangan Abizar sambil berucap, "اللهم صل على سيدنا محمد."

Abizar membalas mencium kening istrinya. Baru sebentar, tapi Khalisah mundur dan menarik Hara di sampingnya ke hadapan Abizar.

"Giliran Hara," kata Khalisah sampai matanya ikut menyipit.

Hara ingin meraih tangan Abizar, namun kepalanya malah di dorong menubruk bibir sang suami.

Hanya sesaat, dan Abizar langsung berbalik setelahnya.

"السلام عليكم !" pekik Khalisah pada Abizar yang menggapai pintu.

"وعليكم السلام," balas Abizar.

Khalisah melambai tangan sampai suaminya hilang dari pandangan. Ia berbalik walau sempat melihat Hara membuka mulut.

Akhirnya Hara diam di tempat.

.

.

.

.

Khalisah menuruni tangga. Wajahnya berpaling mendengar bisik-bisik di dapur samping bawah tangga, dan berakhir menghentikan langkahnya.

Dilihatnya sang ibu mertua yang membantu mengemas rantang makanan dan memberikan pada menantu kedua. Hara kegirangan dan mencium pipi mama Laili, lalu pergi ke arah pintu keluar.

Mata Khalisah tak berkedip, ia lantas memutar raga dan melangkah menaiki tangga. Meninggalkan mama Laili yang mengetahui keberadaannya.

Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke perusahaan Abizar. Hara serta senyum cerahnya menyertai perjalanan sambil menatap jalanan kota lewat jendela mobil, sampai akhirnya mobil memasuki pekarangan perusahaan.

"Pak Angga tungguin Hara ya," ucap Hara pada lelaki paruh baya di kursi pengemudi.

"Baik, Nona."

Hara menyempatkan senyum pada pak Angga sebelum keluar mobil. Rasanya rahangnya mau jatuh memandangi gedung megah di depannya, namun Hara menahannya agar tidak terlihat memalukan.

Ayok, Hara. Seperti yang diajarkan mama.

Hara mulai melangkahkan kakinya memasuki perusahaan. Mula-mula ia menghadap meja yang diberitahukan mama Laili sebagai meja yang ditempati orang untuk ditanyai.

"Permisi." Seruannya menarik atensi wanita yang tadinya sibuk dengan laptopnya, langsung mendongak dan berdiri.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya resepsionis wanita itu sopan.

"Abizar-nya ada?"

"Pak Abi ada di ruangannya, Mbak. Kalau boleh tahu, Mbak siapa? Biar saya hubungi pak Abi kalau ada tamu yang ingin bertemu."

"Saya istrinya," jawab Hara dengan senyum simpul.

Wanita resepsionis itu terkejut sampai menutup mulutnya. "Ya ampun, Nyonya Khalisah ya? Nggak nyangka setelah lama menikah, akhirnya Nyonya datang ke mari juga."

Hara mengernyit dan berpikir; Memangnya mbak Lisah nggak pernah ke perusahaan Abi ya?

Hara menggeleng.

Bukan saatnya berpikir tentang itu.

"Nama saya Hara, Kak."

Wanita resepsionis itu terkejut kembali. "Benarkah? Tapi seingat saya pak Abi pernah bilang nama istri beliau Khalisah."

Dengan penuh percaya diri Hara berucap, "Saya istri keduanya."

Bruk!

Hara menoleh pada asal suara dan mendapati Abizar tidak jauh dari posisinya. Suaminya itu tampak terkejut, begitu juga dengan yang berlalu lalang akibat reaksi sang bos.

"Hara Arani!"

Hara tersentak dan gemetar takut, apalagi Abizar yang melangkah tajam ke arahnya. Begitu suaminya itu tiba, tangannya ditarik kuat hingga dirinya berjalan seakan diseret ke tempat yang diketahuinya.

Abizar menyentak tangan Hara. "Apa maksudnya semua ini? Kenapa kau datang ke perusahaan?"

Tubuh Hara gemetar, takut pada Abizar yang meninggikan suara.

Abizar meraup wajahnya, ia tersadar ada orang di pantry yang menonton mereka. "Keluar!"

Segera para OB keluar dari ruangan yang sedang berlangsung perkara.

Hara mengangkat wajahnya pada Abizar yang menatapnya marah. "A-aku mau mengantar bekal makan siang untuk kamu."

"Apa mama yang memberimu saran?" tanya Abizar menekan suara, berusaha meredam amarah. Karena bagaimana pun ia mengenal Hara, dan tahu jalan pikiran perempuan di hadapannya ini.

Anggukan yang di dapat Abizar membuat Abizar menghirup napas dalam-dalam.

"Dengar baik-baik, Hara Arani."

Hara memberikan tanggapannya.

"Pulang, dan jangan pernah datang ke sini lagi."

"Kenapa?" Hara memiringkan kepalanya.

"Ya, karena kamu mempermalukanku!"

Hara tersentak dengan nada tinggi Abizar dan hentakan kelakuan kekesalannya.

Abizar mengusap rambutnya. "Istri kedua? Konyol!"

Hara sontak memandang Abizar.

"Kamu mempermalukanku. Istri kedua? Orang-orang pasti berpikir aku ini gila wanita sampai melakukan poligami pada istriku yang seperti berlian itu."

Mata Hara mulai berkaca-kaca.

Abizar melirik Hara, dia jadi memandangi Hara dari atas sampai bawah. Bibirnya menyunggingkan senyum remeh.

Gaun krem selutut dengan sepatu high heels senada. Rambut tergerai dan dibuat agak bergelombang disertai makeup tipis.

"Benar, berlian. Orang-orang pasti berpikir aku sudah kehilangan akal hingga menjadikan batu kerikil sebagai madunya."

...☠️...

...☠️...

...☠️ ...

Rain: 🕕

E. 3~Ada di Sampingmu

Tik.

Tik.

Tik.

Bunyi jam menggema di ruangan yang sunyi.

Abizar mengetuk-ngetuk balpoin di keningnya sembari menatap kurva yang ada pada laptop di depannya.

Awal-awal ketukannya lembut namun menjadi cepat seiring berdirinya dari kursi. "Arrggh!"

Abizar melempar balpoinnya. Lalu menggebrak meja. "Kenapa aku terus memikirkannya?"

Tak bisa dipingkuri sadari tadi isi kepalanya adalah wajah Hara yang mengeluarkan air mata sebelum berlari meninggalkannya.

"Dia benar-benar...." Abizar menjatuhkan tubuhnya pada kursi. Ia meraup wajahnya.

"Dari dulu aku memang tak bisa melihatnya menangis."

Bunyi ketukan pintu terdengar. Abizar segera memperbaiki penampilannya sebelum berucap masuk dan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.

Namun kelakuannya tak berlaku pada sosok temannya satu ini. Andra langsung masuk dan duduk di sofa tanpa dipersilahkan.

"Lo tampak kacau, Kawan." Andra mengambil apel dalam mangkuk buah dan memakannya.

"Ada perlu apa Lo ke sini?" Abizar meneruskan ketikannya di laptop.

"Tujuan awal ya ingin membahas pekerjaan, tapi malah dapat tontonan menarik. Jadinya pangling," balas Andra santai yang membuat Abizar melihat ke arahnya.

"Lo beneran nikah lagi ya, tapi Lo rahasiain bahkan ke gue yang sebagai pencetus ide."

"Gue nikah lagi nggak ikutan rencana Lo." Abizar menjawab sambil kembali mengetik di laptopnya.

"Yakin? Tapi bisa jadi sih, soalnya Lo kayak gamon gitu sama istri kedua Lo. Jangan-jangan ada rasa."

"Omong kosong!" Abizar menyambut cepat perkataan temannya.

Andra tersenyum remeh. "Enggak masalah 'sih kalau nggak mau ngaku, semuanya ada di Elo 'kan? Gue cuma ngakuin istri kedua Lo cantik."

"Apa masalahnya?" Abizar memutar bola matanya.

"Lo mengakuinya ya. Apa lebih cantik dari istri pertama Lo, makanya Lo nggak pernah bawa dia ke mana-mana?"

Kini malah Abizar yang tersenyum remeh. "Gue nggak kayak Lo, kalau punya sesuatu yang berharga malah Lo pamerin ke semua orang."

"Enggak ya...." Andra tak bisa meneruskan kalimatnya.

Abizar menengadah dan tersenyum sampai terkekeh, ketika wajah istri pertamanya seakan tepat di depannya.

.

.

.

.

Khalisah mengalihkan pandangan dari pot bunga ke gerbang, karena mendengar suara mobil. Matanya memperhatikan pak Angga yang turun dari mobil dan berlari membukakan pintu untuk Hara.

Dilihatnya Hara yang berbicara dengan pak Angga sebelum masuk ke dalam rumah. Mata Khalisah mengiringi langkah Hara sebelum akhirnya berjalan pada keran untuk mematikan air.

Khalisah menghampiri pak Angga seraya memanggilnya agar pak Angga tidak lagi berjalan.

"Ya, ada apa, Nyonya?" jawab pak Angga.

Khalisah melihat jam tangannya. "Apa yang terjadi sampai menghabiskan waktu empat jam hanya untuk mengantar makan siang?"

"Ah, itu Nyonya...."

Keningnya Khalisah mengkerut sebagai tanggapan atas kepanikan pak Angga.

"Apa terjadi sesuatu di kantor? Wajah nyonya Hara juga tampak baru selesai melepas beban."

Pak Angga melirik-lirik ke arah lain. Aura majikannya satu ini selalu membuat siapa saja yang berada di dekatmu jadi segan, ditambah cadar yang selalu menghiasi wajahnya sehingga tidak ada yang tahu apa nyonyanya ini tersenyum.

"Sebenarnya Nyonya, Saya juga nggak tahu apa yang terjadi di kantor. Tau-tau nona Hara keluar udah banjir mukanya. Terus sempat mampir ke taman sebelum pulang, karena kata Nona Hara mau nenangin diri dulu. Cuma segitu yang Saya tau, Nyonya," jelas pak Angga.

Khalisah terdiam. Pak Angga jadi gelisah menunggu respon majikannya.

"Begitu ya. Kalau begitu saya masuk dulu, makasih atas kejujurannya." Khalisah mengiring kakinya masuk rumah.

"Baik, Nyonya."

Khalisah menaiki tangga perlahan. Matanya melirik ke bawah pada mertua yang cemas pada menantu yang kembali dalam keadaan agak berantakan.

Penampilan Hara cantik, cara jalannya juga anggun. Jadi, nggak mungkin jadi pembicaraan orang-orang kantor. Pasti ada hal lain dan tentunya ada kaitan dengan mas Abizar.

Pada akhirnya Khalisah memutuskan menunggu suaminya. Duduk atas sofa sambil membaca buku dan rupanya berhasil mengalihkan waktu tanpa di sadarinya.

Bunyi suara pintu mengalihkan pandangan Khalisah. Ia segera meletakkan buku dan menghampiri suaminya untuk membantu melepas jas.

"السلام عليكم ، Mas."

Abizar mencium kening Khalisah. "وعليكم السلام."

Khalisah membawa jas dan tas kantor sang suami ke walk in closet, lalu kembali sambilan membawa handuk.

Abizar menyampir handuk di bahunya. Tangannya meraih pinggang sang istri dan bibirnya menyunggingkan senyum. "Kamu lagi nungguin Mas 'ya?"

Khalisah mengangguk. "Kenapa Hara menangis sehabis keluar dari kantor?"

Seakan sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan ini, Abizar tersenyum dan menyatukan dahinya dengan Khalisah. "Coba tanya padanya."

"Aku rasa Mas lebih mengenal watak Hara yang pasti nggak bakal bilang apa-apa." Khalisah mengerutkan kening.

"Benar, dia cuma terlalu jujur dan memperjelas hubungan kami di kantor." Tangan Abizar melepas ikatan di belakang kepala Khalisah sehingga cadar istrinya itu jatuh.

Nyaman banget dengan pakaiannya ya.

"Mama yang nyuruh Hara buat nganterin bekal untuk Mas," tutur Khalisah.

"Ya, tapi tidak dengan harus mengaku sebagai istri keduaku 'kan?"

Pandangan Khalisah menunduk. "Mas malu punya dua istri?"

"Iya." Jawaban yang padat, dikarenakan Khalisah sendiri bicara langsung pada inti.

"Kenyataannya memang begitu 'kan? Nggak mungkin Hara datang mengaku sebagai orang lain, sedangkan ada identitas yang lebih terhormat yang disandangnya."

"Terhormat menurut agama 'kan, tapi tidak dengan pandangan orang-orang, Khalisah."

Khalisah menengadah hingga bisa menatap Abizar. " Pandangan orang bakal lebih buruk lagi kalau Hara mengaku datang sebagai orang lain. Istri yang menyedihkan, sang pelakor dan suami yang tidak tau untung."

Hening.

Abizar menatap lama pada Khalisah yang kukuh pada pendiriannya. Dan itu berakhir menyebabkannya helaan napas panjang, dan Abizar mendudukkan diri di atas kasur. "Jadi, kamu maunya Mas harus bagaimana? Minta maaf padanya?"

Khalisah menghadap pada Abizar. "Berusaha untuk tidak mengulanginya lagi."

"Baik."

Balasan yang menerbitkan senyum Khalisah, dan itu menulari Abizar juga.

"Dan, eumm...."

"Katakan saja." Abizar jadi bingung pada Khalisah yang bimbang, tidak seperti Khalisah yang biasanya.

"Aku sudah membereskan kamar tamu di bawah," papar Khalisah dengan mata tak tenang.

"Apa ada tamu yang bakal menginap?"

Khalisah menunduk. "Menurut ketentuan agama tentang pernikahan poligami, para istri harus tinggal di rumah yang berbeda. Tapi karena rumah besar, jadi kurasa lebih baik tinggal di tingkat yang berbeda saja biar nggak mubazir ruangan."

Hening.

Khalisah takut untuk menatap wajah sang suami, seakan ia akan dimarahi karena melakukan hal yang salah.

"Hah, agama lagi?"

Jantung Khalisah seakan ditikam pisau mendengar kalimat meremehkan itu.

"Lalu, mengapa kamu yang harus di bawah?"

"Rasanya tidak adil cuma aku yang tidur di kamarnya, Mas. Jadi, aku membagi menjadi ruang untuk aku, Mas, dan Hara. Dan, dan untuk di bawah karena aku suka dekat dengan kolam renang."

"Begitu ya, apa itu sikap keadilan darimu, Khalisah?"

...☠️...

...☠️...

...☠️...

Girl_Rain67

Referensi pengetahuan; kitab I'annah dibimbing oleh;

Tisara Al-Muchtar

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!