NovelToon NovelToon

Ellisa Mentari Salsabila

memanggil Ellisa

“Rani! Tolong antarkan pesanan kue ini ke toko seberang jalan, ya!” seru Ibu Panti dari ambang pintu dapur, tangannya sibuk mengelap sisa tepung yang menempel di apron.

Di ruang tengah, Rani tengah rebahan di lantai, mengawasi lima anak panti berusia sekitar dua tahun yang sibuk bermain balok kayu. Mendengar panggilan itu, ia menggeliat malas.

“Hoaamm... iya, Bu Panti,” sahutnya seraya menguap lebar.

“Ibu taruh di meja, ya. Tolong cepat diantar, takut keburu hujan,” ujar Ibu Panti, kemudian meletakkan sebuah kontainer besar berisi kue di atas meja.

Namun, alih-alih bangkit, Rani justru melirik ke arah seorang gadis berambut coklat yang dikepang besar di belakang punggung yang duduk di sudut ruangan, tengah menyusui seorang bayi mungil berusia lima bulan.

“Ellisa! Lo aja deh yang antar kue itu.”

Ellisa menoleh sekilas, lalu kembali memandangi bayi dalam dekapannya yang sudah mulai terlelap. “Maaf, Rani. Aku masih nyusuin Ciara,” jawabnya tenang.

Rani mengerang kesal, lalu membalikkan tubuhnya ke samping. “Alah, sebentar doang. Cuma nyebrang jalan! Gue masih ngantuk. Lo mau gue nyebrang terus tiba-tiba ketabrak gara-gara gue ngantuk?” katanya, setengah memaksa.

Ellisa mendesah panjang. Perdebatan dengan Rani pasti tidak akan berakhir cepat. Daripada berlama-lama, lebih baik ia yang pergi.

“Ya sudah deh, daripada ribut. Lagian, Ciara juga udah tidur.”

Ia pun perlahan melepas bayi itu dari pelukannya, memastikan posisinya tetap nyaman di keranjang. Setelah merapikan diri, ia berjalan menuju meja, mengangkat kontainer besar berisi dua puluh lima kotak kue.

Saat sampai di gerbang panti, angin dingin menerpa kulitnya.

“Aduh, aku lupa bawa jaket!” lirihnya, menyadari dirinya hanya mengenakan dress kerut sederhana yang tipis. "Ah! Gak apa-apa deh, cuma bentar. Tinggal nyebrang, ngasih pesanan, terus balik."

Tanpa berpikir lebih jauh, ia melangkah keluar, tidak menyadari bahwa dalam beberapa menit ke depan, hidupnya akan berubah selamanya.

Ellisa Melati Salsabila.

Seorang gadis berusia 18 tahun yang memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri. Pada usia 15 tahun, saat masa pubertasnya, ia mengalami kondisi langka yang membuat tubuhnya memproduksi ASI meskipun usianya masih remaja.

Tiga tahun sudah Ellisa mendonorkan ASI-nya, tetapi hal itu tidak pernah menjadi sesuatu yang mudah baginya.

Setiap hari, ia harus bertahan menghadapi rasa nyeri yang mendera saat dadanya penuh namun belum sempat disalurkan. Ia juga harus menelan kelelahan yang terus menggerogoti tubuhnya, karena menyusui bayi-bayi di panti asuhan bukan sekadar tugas, melainkan lingkaran tak berujung yang mengikatnya tanpa pilihan.

Kadang, saat malam-malam sunyi menyelimuti, ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini anugerah Tuhan atau sebuah kutukan?

Namun, ia tak pernah berani mengucapkan pertanyaan itu dengan lantang.

Jalan raya di depan panti cukup besar dan ramai. Ellisa harus menunggu cukup lama hingga menemukan celah aman untuk menyeberang. Begitu kesempatan itu datang, ia segera melangkah dengan hati-hati menuju seberang dan masuk ke toko oleh-oleh yang tampak ramai.

"Oh, dari Panti Cahaya Mentari, ya?" sambut seorang wanita paruh baya, pemilik toko.

"Iya, Bu," jawab Ellisa sopan sambil menyerahkan pesanan kue.

"Baik, totalnya 25 kotak, kan?"

"Iya, Bu."

"Ini uangnya. Terima kasih sudah mengantar, ya," ujar pemilik toko sambil menyodorkan amplop.

"Sama-sama, Bu. Kalau begitu, saya pamit."

"Iya, hati-hati nyebrangnya. Jangan buru-buru," pesan sang pemilik toko.

Ellisa mengangguk dan bergegas keluar. Saat berdiri di pinggir jalan, menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyeberang, langit yang tadinya hanya mendung kini mulai mengguyur hujan deras.

"Astaga, hujan?! Mana deras banget... Aku kan nggak bawa payung," keluhnya putus asa, menatap lalu lintas yang masih padat.

Ellisa menoleh ke sekitar, mencari tempat berteduh. Sayangnya, semua terlalu jauh dari pinggir jalan. Sementara itu, ia ingin segera kembali ke panti daripada menunggu hujan reda. Terpaksa, ia berdiri di sana, membiarkan tubuhnya basah kuyup.

Dari kejauhan, sebuah mobil berhenti di tepi jalan, tak jauh dari tempatnya berdiri. Di dalamnya, seorang pria mengamati suasana jalanan yang kini terlihat lebih berbahaya akibat genangan air.

"Hujan deras begini... Jalanan jadi makin licin dan berbahaya," gumamnya, tangannya tetap menggenggam kemudi.

Tatapannya kemudian beralih pada sosok gadis yang berdiri menggigil di pinggir jalan. Pakaian tipisnya basah kuyup, tubuhnya sedikit membungkuk, memeluk diri sendiri untuk menahan dingin.

"Kasihan... Kenapa dia nggak berteduh?" pria itu bergumam pelan, merasa iba.

Ellisa semakin gelisah. Ia merapatkan pelukan ke tubuhnya, menggigil hebat. "Dingin sekali... Aku nggak kuat kalau begini terus," ucapnya lirih sambil menggosok-gosok lengannya yang sudah basah.

Pria itu menghela napas, lalu meraih payung dari kursi belakang mobilnya dan keluar menghampiri Ellisa.

Ia membuka payung dan mendekatinya perlahan. Namun, begitu Ellisa mendongak, wajahnya langsung pucat pasi. Bibirnya membiru, tubuhnya gemetar hebat.

"Maaf, kamu nggak apa-apa?" tanya pria itu khawatir, mencoba menyodorkan payung kepadanya.

Namun, kondisi Ellisa semakin memburuk. Kakinya oleng, tubuhnya nyaris tumbang.

"Eh?!" Dengan sigap, pria itu menangkapnya. Payung yang tadi ia genggam terlepas begitu saja, terhempas hujan deras.

Melihat kondisi Ellisa yang semakin lemah, pria itu segera mengambil keputusan. Tanpa ragu, ia menggendong tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.

Setelah mendudukkannya di kursi depan, ia buru-buru melepas jasnya dan menyelimuti tubuh Ellisa yang menggigil hebat.

"Ini cewek siapa sih? Mau ke mana dia? Dari mana asalnya?" gumamnya, menatap Ellisa yang masih terpejam. "Gue nggak bisa ninggalin dia begini aja."

Ia menghela napas panjang, lalu menginjak pedal gas, melajukan mobilnya. Namun, dalam kekalutannya, ia lupa memasangkan sabuk pengaman untuk Ellisa.

Saat mobil melaju, tubuh Ellisa yang lemah terhuyung, hingga akhirnya jatuh ke pangkuannya.

"Sial! Ceroboh banget gue." Pria itu tersentak kaget, tapi buru-buru meraih tubuh Ellisa, memastikan gadis itu tidak semakin terluka.

Setibanya di sebuah rumah megah, seorang satpam segera membuka gerbang utama, sementara beberapa asisten rumah tangga bersiap di depan pintu.

Pria itu keluar dari mobil dan menggendong Ellisa. "Seven, bereskan mobil gue," katanya tegas pada pria berseragam hitam yang langsung mengangguk.

"Siap, Bos Sam."

Sam Adhipati melangkah cepat masuk ke dalam rumah, membawa Ellisa ke kamar tamu di lantai bawah.

Ia mendorong pintu kamar, lalu dengan hati-hati membaringkan Ellisa di atas ranjang berseprai putih bersih. Namun, baru saja ia hendak meluruskan tubuhnya, gadis itu tiba-tiba membuka mata perlahan.

"Syukurlah, kau sudah sadar," ujar Sam, nada suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

Ellisa mengerjap bingung. Tatapannya mengedar ke sekeliling ruangan. "Ini... di mana?"

Sam mengangkat tangan, memberi isyarat agar Ellisa tetap tenang. "Jangan khawatir. Aku nggak akan menyakitimu."

Ellisa mengeratkan genggaman pada jas yang tadi menyelimuti tubuhnya, berusaha menutupi tubuhnya yang masih menggigil. Matanya tetap menyiratkan kecurigaan, meski jelas kelelahan.

"H-ha... hachiiih!!" Sebuah bersin keras mengakhiri keheningan di antara mereka.

memandang Ellisa

Sam memandang Ellisa yang berdiri di depannya, menggigil kedinginan sambil memegang erat jas miliknya yang kini menutupi tubuh gadis itu.

Tatapannya tanpa sadar menelusuri dari ujung kepala hingga ujung kaki, memperhatikan detail yang tampak sederhana namun memikat.

Rambut cokelat Ellisa dikepang ke belakang, jatuh hingga di bawah pundaknya. Di balik jas yang membungkus tubuhnya, dress putih sederhana yang hanya mencapai lutut sedikit terlihat, memberi kesan polos namun anggun.

Kakinya mengenakan flat shoes yang kini agak basah, dipadukan dengan kaus kaki pendek yang berhenti di mata kaki.

Kulitnya bersih dan tampak terawat, seperti cerminan seorang gadis yang berasal dari keluarga penuh kasih.

“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” suara lembut Ellisa memecah lamunannya.

“Oh?” Sam segera tersadar dari pikirannya. Ia mengalihkan pandangannya dengan canggung, lalu menggaruk pipi dengan ujung jari telunjuk. “Maaf, aku nggak bermaksud menilaimu atau membuatmu nggak nyaman. Aku hanya… penasaran. Kau dari mana sebenarnya?”

Ellisa menatapnya dengan tatapan bingung dan sedikit waspada. “Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku benar-benar kedinginan,” jawabnya dengan suara serak.

"Kamu pingsan tadi," jawab Sam mudah.

Ellisa menarik lebih erat jas yang membungkus tubuhnya, “Bisakah kamu meminjamiku pakaian? Aku nggak bisa terus seperti ini.”

“Ah, maaf. Aku nggak bermaksud membuatmu semakin kedinginan. Tentu saja, tunggu sebentar. Aku akan bawakan baju ganti untukmu.”

Sam segera menekan tombol pada earphone-nya, menghubungi Asisten No.2

Suaranya terdengar tegas namun tetap tenang. “Two, bawakan gue sepasang baju ganti. Cepat!”

"Siap, Bos Sam!” sahut Two di seberang.

Sam Adhipati.

Pria lajang berusia 30 tahun, dikenal sebagai sosok pekerja keras dengan visi tajam dalam dunia teknologi gaming.

Sebagai CEO dari startup inovatif yang sedang berkembang pesat, ia jarang memiliki waktu luang, tetapi malam ini ia mendapati dirinya dalam situasi yang tak biasa. Berhadapan dengan seorang gadis yang basah kuyup dan membutuhkan bantuan.

Sambil menunggu, Sam berdiri di samping pintu, melipat tangan di dadanya. Jari-jarinya tanpa sadar mengetuk-ngetuk lengannya, sebuah kebiasaan yang muncul saat ia mencoba menghitung waktu dalam pikirannya.

Matanya sesekali melirik ke arah Ellisa yang sedang duduk di kursi. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membangkitkan rasa ingin tahunya, meski ia sendiri tak sepenuhnya memahami apa.

Ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang pria bertubuh kekar dengan jas hitam berdiri di ambang pintu.

“Ini, Bos. Pakaiannya,” kata Two.

“Oke, thanks. Good job, Two.”

Setelah Two pergi, Sam memberikan pakaian itu kepada Ellisa. “Ini, pakaian ganti. Kupikir ini akan lebih nyaman untukmu. Kalau perlu bantuan atau butuh apa pun, panggil saja aku,” ucap Sam sambil meletakkan pakaian itu di tepi ranjang.

Ellisa menatap Sam dengan sedikit ragu. “Terima kasih,” katanya pelan.

Sam mengangguk singkat, “Aku akan keluar sebentar supaya kamu punya ruang untuk berganti pakaian."

Sam keluar dan menutup pintu kamar tamu yang dipakai oleh Ellisa.

Ellisa berdiri mematung sejenak sambil memandang kaos pria berwarna abu-abu yang tergantung di tangannya.

Ukurannya jelas terlalu besar untuk tubuhnya yang mungil, tetapi itu satu-satunya pilihan. Ia menarik napas dalam-dalam dan menggumam pelan, "Ini… kaos pria? Aku belum pernah memakainya."

Meski merasa canggung, Ellisa akhirnya mengenakannya. Kaos itu menjuntai hingga hampir menyentuh lututnya.

Setelah selesai, ia melepaskan kepangan rambut cokelatnya yang sudah basah kuyup. Dengan handuk yang diberikan Sam, ia mulai mengusap rambutnya perlahan, gerakannya seirama dengan gumaman yang terlepas tanpa sadar dari bibirnya.

"Sebenarnya, aku di mana? Kenapa aku bisa ada di sini?" tanyanya pada diri sendiri.

Ia memandang cermin yang tergantung di sudut kamar, menatap pantulan wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap memancarkan kecantikan alami.

Namun, tangannya tiba-tiba terhenti. Sebuah sensasi tak nyaman menyergap dadanya, seperti ada beban yang semakin berat.

Ellisa menunduk dengan wajah gelisah, merasakan tekanan di dadanya yang semakin mengencang.

"Ugh! Dadaku mulai kencang… Aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku harus pulang," desahnya, setengah panik.

Saat itu juga, ia menyadari sesuatu yang membuat darahnya berdesir. Dua titik basah mulai tercetak di bagian depan kaos yang ia kenakan. Asinya mulai merembes.

"Astaga," gumamnya, wajahnya memerah karena malu. "Di sini… mana ada bayi? Aku butuh bayi," bisiknya cemas, tangannya refleks mencoba menutupi noda yang semakin membesar.

Rasa sakit yang menusuk mulai terasa di dadanya. Ellisa menggigit bibir, mencoba menahan perasaan yang semakin tak tertahankan.

“Emh! Sakit juga kalau nggak segera disalurin. Tapi gimana?” pikirnya keras.

Ia memutar otak, mencari solusi di tengah rasa panik. Tapi, situasi ini bukanlah hal yang mudah baginya.

Ia sudah terbiasa membantu anak-anak panti dengan memberikan ASI-nya, tetapi kali ini, ia berada di tempat asing, tanpa bayi, tanpa bantuan, dan tanpa tahu harus berbuat apa.

"Haruskah aku bilang? Tapi… itu pasti canggung banget. Gimana kalau dia menganggapku aneh? Ah, kenapa ini semua harus terjadi sekarang?" Ia meremas tangannya dengan gelisah, mencoba menenangkan diri.

Dari luar kamar, terdengar suara tangisan bayi yang samar-samar. Ellisa yang sedang duduk gelisah langsung menoleh ke arah pintu, ekspresi wajahnya berubah penasaran.

"Apa aku nggak salah dengar?" gumamnya, mencoba memastikan.

Tangisan itu semakin keras, terdengar memohon dan penuh kebutuhan. Seolah-olah bayi itu sedang meminta sesuatu dengan sangat mendesak.

"Benar. Itu bayi. Tapi… apa yang harus aku lakukan? Aku harus menenangkannya. Tapi… gimana caranya?" pikir Ellisa panik, tangannya tanpa sadar memegang erat bagian depan kaosnya yang mulai basah lagi.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Seorang wanita paruh baya berpakaian koki masuk dengan mendorong troli berisi makanan.

Senyumnya ramah, tetapi belum sempat ia bicara, Ellisa langsung mengangkat tangannya, memberikan isyarat agar wanita itu berhenti.

"Ja—jangan mendekat! Berhenti di situ!" kata Ellisa dengan nada tegas namun gugup.

Wanita itu menghentikan langkahnya, bingung dengan permintaan mendadak Ellisa. "Maaf, Nona. Memangnya ada apa?" tanyanya sopan, meski sedikit cemas.

Ellisa masih membelakangi wanita itu, tubuhnya kaku seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.

Dengan suara pelan tapi mantap, ia bertanya, "Apa di sini… ada bayi?"

Wanita itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Bayi? Oh, mungkin yang Nona dengar adalah tangisan putri Bos Sam. Tapi tenang saja, sepertinya sudah ditangani oleh Asisten No. 3. Dia sedang membuatkan susu untuk si kecil."

Mendengar itu, Ellisa langsung menoleh sedikit, matanya penuh harap. "Putri Bos Sam? Apa aku bisa… maksudku… bisakah kamu membawanya ke sini? Tolong, aku hanya ingin menenangkannya. Aku—aku punya cara agar dia berhenti menangis."

Wanita itu terlihat ragu. "Membawanya ke sini, Nona? Saya harus meminta izin dulu kepada Bos Sam."

"Baik, aku mohon, sampaikan padanya. Katakan ini penting," pinta Ellisa, suaranya terdengar tulus dan mendesak.

Wanita itu mengangguk. "Baiklah, saya akan berbicara dengan Bos Sam terlebih dahulu. Tapi... Nona, apakah Anda baik-baik saja? Kenapa membelakangi saya?"

Ellisa terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan, "Aku… tidak apa-apa. Aku hanya… lebih nyaman begini. Maaf, jika ini membuatmu bingung."

Wanita itu tersenyum simpul meski tak sepenuhnya mengerti. "Tidak apa-apa, Nona. Saya akan segera kembali setelah berbicara dengan Bos Sam."

"Te—terima kasih. Maaf sudah merepotkanmu," ucap Ellisa dengan nada menyesal.

Wanita itu keluar dari kamar dengan langkah cepat, meninggalkan Ellisa yang masih berdiri di tempat.

Tangisan bayi di kejauhan terus terdengar, menambah rasa gelisah di hati Ellisa. Ia memandang pintu yang baru saja tertutup rapat, berharap permintaannya akan segera terpenuhi.

Dengan napas tertahan, ia bergumam pelan, "Aku harus membantu bayi itu. Ini satu-satunya cara… untuk meredakan rasa sakit ini."

menatap Ellisa

Sam masuk ke kamar dengan perlahan, menggendong seorang bayi kecil yang sudah tenang setelah minum susu dari botol dot.

Bayi itu, Elmira Adhiyaksa.

Berusia 7 bulan, tampak mengisap dot dengan tenang sambil sesekali menggerakkan tangan mungilnya.

"Apa aku nggak salah dengar? Tadi koki bilang kamu minta aku membawa Elmira ke sini?" Sam membuka percakapan, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Ellisa yang berdiri membelakangi Sam tidak langsung menjawab. Dia hanya terus mencoba menenangkan diri. Menahan rasa sakit yang sulit dijelaskan.

"Maaf, Izinkan aku menggendongnya." Ucap Ellisa penuh permohonan.

Sam mengerutkan dahi, bingung dengan permintaan itu. "Menggendongnya? Tapi kenapa?"

"Aku mohon... aku hanya ingin menenangkannya. Itu saja," jawab Ellisa tanpa banyak penjelasan.

Sam memiringkan kepala, jelas masih tidak mengerti. Dia melirik bayi dalam gendongannya, lalu kembali menatap Ellisa.

Gadis ini sejak tadi memberikan jawaban yang terasa seperti menghindar, tidak pernah benar-benar menjawab pertanyaannya secara langsung.

Ellisa berdiri dengan tubuh yang tampak gelisah. Kakinya bergerak maju-mundur kecil, jemarinya meremas ujung kaos kebesaran yang menjuntai hingga menutupi lututnya.

Sam menatap rambut coklatnya yang terurai basah terlihat mulai kering, tetapi masih tampak kusut.

"Please, Bisakah kau memberikan anak itu padaku?" Desak Ellisa sekali lagi.

"Kenapa kau ingin menggendongnya? Kau belum menjelaskannya," ujar Sam akhirnya.

Ellisa menggigit bibirnya, merasa terpojok. "Aku... aku nggak bisa menjelaskan. Tapi aku mohon... aku butuh menggendongnya. Bayi itu... dia membutuhkanku."

Perkataan itu membuat Sam terkejut. "Membutuhkanmu? Kau bahkan tidak mengenalnya. Bagaimana mungkin seorang bayi membutuhkanku menyerahkan dia kepadamu?"

Ellisa menggenggam ujung kaosnya lebih erat, suaranya melemah. "Tolong... ini penting. Kalau kau tidak percaya, kau bisa berdiri di sini dan memperhatikan. Tapi aku harus memegangnya sekarang."

Sam akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah," katanya. Dengan hati-hati, dia mendekati Ellisa dan mengulurkan Elmira ke arahnya.

Ellisa berbalik perlahan, matanya berkaca-kaca saat melihat bayi itu. Dengan gerakan yang sangat lembut, dia meraih Elmira ke dalam pelukannya.

Sesaat setelah bayi itu berada di dekapannya, Elmira langsung tenang, bahkan senyuman kecil muncul di bibir mungilnya.

Dengan posisi tetap membelakangi, Ellisa perlahan mengangkat kaos kebesaran yang ia kenakan, memperlihatkan celana pendek dan pinggangnya yang ramping.

Sam, yang berdiri tak jauh darinya, tercekat. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Ellisa, tapi pemandangan itu membuat pikirannya penuh tanda tanya.

Ellisa, menyadari tatapan Sam yang tajam meski berada di belakangnya, "Sesuai yang kubilang, kamu boleh melihatnya... tapi jangan bertanya tentang apapun."

Sam hanya bisa diam.

Bibirnya ingin bergerak untuk bertanya, tapi kata-kata itu tertahan. Ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin melanggar permintaan gadis itu.

Ellisa lalu menurunkan botol susu dari mulut kecil Elmira. Bayi itu tampak sedikit resah, menggerakkan tubuh mungilnya, seolah mencari sesuatu.

Dengan gerakan penuh kasih sayang, Ellisa mendekap bayi itu lebih erat ke dadanya. Membiarkannya menghisap ASI semau Elmira.

Napas Ellisa teratur, dan dia mulai bersenandung dengan lembut, nada yang indah dan menenangkan memenuhi ruangan.

Tubuh Ellisa perlahan bergoyang lembut, menciptakan irama yang menenangkan, seirama dengan senandungnya.

Elmira, yang awalnya sedikit gelisah, kini tampak tenang dan mulai mengisap dengan nyaman.

"Aku bahkan belum tahu namanya, tapi aku sudah tahu kebiasannya," gumam Sam pelan, hampir seperti bisikan.

Tapi suara itu tidak sampai ke telinga Ellisa, yang tampaknya sudah larut dalam dunianya sendiri, memberikan ketenangan kepada Elmira.

Satu hal yang jelas bagi Sam adalah bahwa dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis itu. Ada sesuatu tentang Ellisa yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.

“Kau… menyusuinya?” tanya Sam menebak, alisnya terangkat sebelah. “Apa kau wanita bersuami yang sudah memiliki anak?”

Ellisa tetap membelakangi Sam, “Aku sudah bilang, jangan bertanya.”

Sam mendengus frustrasi. “Kau benar-benar tidak sopan pada orang yang telah menolongmu. Jelaskan padaku sekarang juga!” Nada suaranya naik, kali ini penuh dorongan untuk mendapatkan jawaban.

Tanpa sadar, tangan Sam bergerak, meraih pundak Ellisa dengan niat untuk memutarnya agar menatapnya langsung.

Tapi saat tubuh Ellisa sedikit berputar, pandangan Sam terhenti pada pemandangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ellisa sedang menyusui Elmira. Bayi kecil itu tampak nyaman dalam pelukan hangatnya, sementara tangan mungil Elmira menyentuh lembut dada Ellisa, seolah mencari lebih banyak kehangatan.

Sam terdiam, tubuhnya membeku di tempat. Mata kelabunya menatap penuh keterkejutan, hampir tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.

“Please…” suara Ellisa terdengar gemetar. “Jangan ganggu aku dulu. Aku butuh anak ini…”

Ellisa merangkul Elmira dengan erat, seolah bayi itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari kehancuran.

Sam mengerutkan kening, matanya melembut meski pikirannya tetap diliputi kebingungan. “Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”

Ellisa kembali membalikkan badannya. Dia hanya memejamkan mata, mencoba mengendalikan perasaannya yang kacau.

“Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Aku hanya tahu, aku butuh bayi ini untuk… mengurangi rasa sakit ini. Aku tahu ini aneh, tapi tolong, percayalah padaku…”

Sam menghela napas panjang, berusaha meredam gelombang emosi yang melanda dirinya.

Dia melangkah mundur, memberikan sedikit ruang untuk Ellisa. “Baiklah,” katanya akhirnya, meski nada suaranya masih menunjukkan ketidakpastian.

“Aku akan percaya padamu, untuk sekarang. Tapi setelah ini, aku butuh penjelasan. Aku tidak bisa terus membiarkanmu menyimpan rahasia seperti ini di rumahku.”

Ellisa mengangguk kecil.

Setelah Ellisa merasa tenang dan Elmira tertidur di pelukannya, dia bertanya lembut, "Siapa nama bayi ini?"

Sam menjawab, "Elmira. Elmira Adhiyaksa."

Ellisa tersenyum kecil, menundukkan kepala untuk menatap wajah mungil Elmira. “Elmira… Terima kasih ya atas kehadiranmu. Aku akan selalu menyayangimu, seperti aku menyayangi anak-anak di panti. Sekarang, tidur yang nyenyak, ya…” ucapnya lirih, seolah sedang berbicara pada sesuatu yang rapuh dan sangat berharga.

Sam memiringkan kepala, “U—udah?” tanyanya dengan nada gugup.

Ellisa mengangkat wajahnya, perlahan menyerahkan Elmira kembali kepada Sam. “Dia sudah kenyang. Terima kasih, kamu sudah mengizinkanku menyusui Elmira.”

“Mengizinkan?” Sam mengerutkan dahi, lalu memutar matanya. “Kalau meminta izin dengan paksaan, apa itu masih bisa dibenarkan?”

Sam akhirnya menerima Elmira dengan hati-hati, menatap bayi yang kini tampak begitu damai dalam tidurnya.

Ia melirik Ellisa sekali lagi sebelum melangkah menuju pintu. “Kalau begitu, aku akan membawanya ke kamarnya.”

Ellisa menatapnya dengan tatapan penuh arti, seolah dia tahu bahwa Sam tidak sepenuhnya marah, hanya bingung. Namun, dia memilih untuk tidak menjawab.

Dia memegang dadanya yang terasa kembali sedikit menegang, menandakan bahwa kenyamanan yang baru saja ia dapatkan dari menyusui Elmira tidak akan bertahan lama.

Di kamar Elmira, Sam menatap Elmira yang kini tertidur pulas dalam ranjangnya. Dia menghela napas berat. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi?” tanyanya pelan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!