NovelToon NovelToon

Obsesi Tuan Pemaksa

01

Viona berdiri didepan bandara sambil mengecek ponselnya, dan sesekali ia melihat kearah jalan tampak sedang menunggu sesuatu.

Ting....

Terdengar notif pesan masuk diponselnya dengan cepat Viona memeriksa pesan tersebut yang memang sudah ia tunggu.

Papa: "Viona maafkan Papa yang tidak dapat menjemputmu dibandara seperti janji Papa sebelumnya. Namun tenang saja, Papa sudah menyuruh sopir untuk menjemput mu. Kamu akan langsung diantar kerumah kita dan beristirahatlah disana. Mungkin Papa tidak akan pulang malam ini karena masih banyak pekerjaan dikantor."

Hanya pesan singkat yang dikirim oleh Papa nya, awalnya Viona merasa kesal karena bukan Papa nya sendiri yang menjemputnya sekarang

Karena jujur saja setelah beberapa tahun tidak bertemu, kini dirinya jadi merindukan pria paruh baya tersebut.

Viona: "Baiklah tak apa-apa terima kasih sudah repot-repot mengirim sopir untukku." Meski begitu Viona tetap membalas pesan tersebut, kembali memasukan ponselnya kedalam saku jaketnya.

Tak lama kemudian mobil yang menjemputnya datang. Viona segera memasukan beberapa kopernya dibawanya kedalam bagasi mobil dengan dibantu oleh sopir itu.

Tak ada percakapan yang terjadi diantara keduanya selama perjalanan, untuk mengusir bosan Viona hanya mendengarkan musik dari earpods yang Dia pakai sambil menatap pemandangan gedung-gedung pencakar langit disekitar jalan yang ia lalui.

Sudah lama sekali sejak terakhir ia menginjak tempat ini, saat itu Viona baru saja lulus Junior High School dan harus meninggalkan Negara ini karena kedua orang tuanya yang bercerai.  Kemudian ia memilih untuk ikut bersama Ibunya pulang keIndonesia meninggalkan Papa dan kakak perempuannya disini.

Saat itu Ibunya bersumpah tidak akan membiarkan Viona kembali menginjakan kakinya kenegara ini lagi, apalagi sampai bertemu Papanya. Tapi sekarang semuanya telah berbeda.

Seiring berjalannya waktu Ibunya sadar kalau Dia tidak bisa memberikan yang terbaik untuk putrinya. Viona, sehingga akhirnya Sarah meruntuhkan egonya. Dengan membiarkan satu-satunya putri yang menemaninya selama ini pergi, untuk tinggal bersama dengan mantan suaminya yang dianggap lebih mampu mengurus putri mereka dibandingkan dirinya.

Sementara Viona... Jangan salah faham Dia bukannya tega meninggalkan ibunya sendirian di Indonesia. Viona bahkan sempat marah besar saat tahu rencana Ibunya yang ingin mengirimnya kembali pada Papanya.

Bukan tanpa alasan Ibunya melakukan hal itu, keadaan ekonomi mereka yang semakin sulit semenjak pandemi melanda membuat niat ibunya semakin mantap untuk membiarkan Putrinya kembali tinggal bersama mantan suaminya itu.

Tak terasa air mata Viona jatuh saat sekelebat bayangan wajah Ibunya yang sedang menangis melintas dibenaknya.

Flasback on*

"Kau akan kembali tinggal bersama Papa mu diAmerika kami sudah membicarakannya dan juga sudah menyiapkan jadwal keberangkatanmu," ucap Sarah berusaha tegar meski tatapan sendunya tak dapat membohongi perasaannya yang hancur saat kata itu terucap.

"Apa! Tidak... Aju tidak mungkin meninggalkan ibu disaat-saat seperti ini!" seru Viona tak terima.

Mendengar penolakan dari putrinya Sarah hanya dapat terdiam, Dia juga sebenarnya belum rela. Tidak! Dia bahkan tidak akan pernah rela berpisah dari Vionanya. Tapi apa boleh buat lagi-lagi keadaan menempatkan dirinya diantara dua pilihan yang sulit. Yang dimana, apapun keputusan yang akan Ia ambil akan berakhir luka untuk dirinya sendiri.

"Nak ibu tahu ini berat, tapi ini semua demi masa depan kamu kalau kamu tetap berada disisi ibu sekarang_" Sarah terkejut saat dirinya tiba-tiba mendapat pelukan dari Viona Dia bahkan kehilangan kata-kata dan hanya membalas pelukan itu.

"Bu... Kita hanya sedang jatuh aku yakin dengan tetap berusaha kita bisa bertahan dan kembali bangkit seperti sedia kala." Ucap Viona optimis sambil mengelus punggung ibunya.

Sarah tak kuasa menahan air matanya, akhirnya tangis yng semula ingin Ia pendam sendiri pecah dihadapan putrinya.

"Tidak Viona! Sudah cukup kamu hidup menderita menemani ibu selama ini. Ibu menyerah... Memang seharusnya dari awal Ibu tidak membawamu kesini." Ucap Sarah parau sambil terus menangis.

"Apa yang ibu katakan. Aku tidak menderita justru aku bahagia tinggal bersama ibu!" Seru Viona sambil berusaha menahan tangis.

"Kau bisa lebih bahagia lagi kalau ikut tinggal bersama Papa mu... Ingat. Disaat kamu bahagia dapat dibelikan baju yang harganya ratusan ribu. Audrey kakakmu setiap harinya selalu memakai baju dari brand-brand ternama yang harganya puluhan juta. Apa kau masih tidak mengerti sekarang!" Seru sarah putus asa sambil melerai pelukan mereka, dia benar-benar merasa gagal menjadi orang tua yang baik untuk putrinya sekarang.

"Ya... Mungkin Aku akan bahagia bila tinggal bersama mereka. Tapi bagaimana dengan Ibu? Apa Ibu yakin akan baik-baik saja disini sendirian tanpa aku?. Bu... Meski kita tak sekaya mereka tapi setidaknya kita tidak pernah kelaparan disini dan itu sudah lebih dari cukup bagiku." Tekan Viona.

"Tidak Viona. Kamu berkata demikian hanya untuk membohongi Ibu karena kau kasihan bukan! Kau juga pasti ingin merasakan apa yang Audrey rasakan dan kau pantas mendapatkannya. Maafkan Ibumu ini yang teramat egois, yang memaksakan dirimu untuk tinggal bersama dirinya yang miskin ini. Maafkan Ibu Viona." Ucap Sarah sambil menangis lalu masuk kekamarnya meninggalkan Viona sendiri.

Flasback off*

Tok...

Tok...

Tok...

Bunyi kaca mobil yang diketuk tiga kali membuat Viona kembali tersadar dari lamunannya, tampak sopir tadi sudah berada diluar dengan kopernya yang sudah dikeluarkan dari bagasi.

Viona pun segera turun dari dalam mobil dan membawa kopernya kedepan rumah sambil dibantu oleh sopir itu, yang lalu meninggalkannya saat Viona sudah sampai didepan pintu.

Viona sempat tercengang melihat rumah dua lantai dengan halaman luas dihadapannya saat ini. Apa mungkin dia salah rumah? Ah tidak...

Meski sudah delapan tahun berlalu, Viona ingat betul kalau lokasi rumah mereka yang dulu memang disini.

Tapi rumah mereka yang dulu tidak sebesar dan semewah rumah ini. Setelah beberapa saat terdiam didepan rumah itu akhirnya Viona memberanikan diri menekan bel dan tak lama kemudian seorang perempuan paruh baya dengan seragam maid_nya membukakan pintu untuknya.

Sejenak meneliti wajah serta penampilan Viona. Setelah merasa yakin kalau Gadis itu merupakan anak Tuannya yang kabarnya akan tiba diRumah ini. Maid itu pun langsung membungkuk memberi hormat pada Viona, dan langsung mempersilahkan dirinya masuk sambil membawa dua buah koper besar Viona ditangannya.

"Aku bisa membawanya sendiri," pinta Viona saat ingin merebut kopernya namun segera ditolak oleh maid itu.

"Tidak Nona. Ini memang sudah menjadi tugas Saya sebagai pelayan dirumah ini!" Serunya sambil membawa Viona kedalam rumah mewah itu.

Lagi-lagi Viona dibuat tercengang saat melihat dua tangga mewah yang terletak ditengah-tengah rumah itu dengan lampu gantung yang berada tepat ditengahnya membuat kesan rumah ini seperti istana para Putri diDunia Disney.

"Para pelayan akan segera mengantar koper Anda keatas sekarang mari ikuti Saya. Saya akan menunjukan dimana letak kamar Anda." Masih dengan kekagumannya Viona hanya berjalan terus mengikuti langkah kaki maid itu.

Sampai saat mereka sudah berada dilantai dua dan melewati satu lorong pendek akhirnya mereka sampai didepan pintu kamar Viona.

"Semua sudah kami siapkan didalam, dan kalau Nona perlu sesuatu tinggal panggil pelayan mereka akan segera membantu Anda." Jelasnya lalu sekali lagi wanita itu membungkuk dihadapan Viona dan setelahnya ia pergi meninggalkan Viona seorang diri didalam kamar itu.

Viona menutup mulutnya terkejut, dia nyaris memekik saat melihat begitu mewahnya kamar yang akan ditempatinya kini. Tidak cukup sampai disitu Dia kembali dikejutkan saat mengetahui bahwa kamar itu masih memiliki satu ruangan lagi yang ternyata tak kalah mewahnya.

02

Tempat yang Viona lihat itu adalah walk in closet yang sudah terisi penuh oleh baju serta sepatu dari brand-brand ternama. Viona sempat berfikir mungkin wanita tadi salah mengantarnya, mungkin kamar ini milik kakak perempuannya Audrey...

Ya mungkin saja. Tapi kemana orangnya? Mengingat sekarang sudah pukul dua dini hari harusnya kakaknya itu masih terlelap ditempat tidurnya.

Viona berniat keluar mencari seseorang yang mungkin bisa Dia tanyai, namun baru saja ia membuka pintu kamarnya.

Viona dikejutkan dengan sosok Audrey yang langsung memeluk dirinya erat Audrey bahkan sempat mengangkat serta memutar tubuh Viona diudara beberapa kali persis seperti yang sering dilakukan mereka saat masih kanak-kanak. Postur tubuh Audrey yang besar menurun dari sang Papa mempermudah wanita itu untuk mengangkat Viona yang jauh lebih kecil darinya.

"Viona Adik kecilku...!" seru Audrey penuh haru sambil terus memeluk tubuh Viona dan menciumi puncak kepalanya beberapa kali.

"Kakak kau bisa membunuhku kalau terus begini." Gumam Viona pelan saat merasa dirinya mulai sesak didalam pelukan Audrey, mendengar hal itu Audrey pun segera mengurai pelukannya dan kembali menatap wajah adiknya yang sangat dirindukannya selama ini.

"Kufikir Kau akan tumbuh lebih tinggi dari ini!" Seru Audrey sambil meletakan telapak tangannya dipuncak kepala Viona. Hanya sebatas dagunya saja.

"Jangan mengejekku." Dengus Viona sambil memanyunkan bibirnya tanda merajuk.

"Oh astaga. Maafkan aku Princess bukan maksudku mengejek dirimu." Ucap Audrey sambil mencubit pipi Viona gemas.

Viona langsung tersenyum lalu kembali memeluk tubuh Audrey erat. Rasanya masih sama seperti dulu, pelukan hangat yang amat sangat dirindukan Viona. Akhirnya dapat ia rasakan kembali.

"Aku sungguh merindukan diri Mu Kakak!" Seru Viona lirih, tak terasa air matanya ikut jatuh saat ia mengucapkan kata rindunya itu.

"Aku juga Adik kecil." Jawab Audrey sambil membalas pelukan adiknya itu. "Andai saja perjanjian konyol itu tidak ada. Aku sudah pasti akan terbang kesana dan menemui Mu tanpa harus menunggu selama ini!" Seru Audrey terdengar kesal.

"Perjanjian? Perjanjian apa yang Kau maksud kak?" Tanya Viona bingung, yang membuat Audrey menatap wajahnya tidak percaya.

"Kau tidak tahu kalau sebelum kalian berdua meninggalkan Negara ini delapan tahun yang lalu Papa dan Ibu Mu membuat surat perjanjian hitam diatas putih." Viona tampak mengeryitkan dahi nya bingung.

"Memangnya apa isi surat itu?" Tanyanya lagi.

"Disitu dijelaskan kalau Aku dan Papa tidak boleh menemui dirimu, begitu juga dengan kalian berdua yang tidak boleh menemui Aku disini. Kalau ada pihak yang melanggar maka akan didenda. Saat itu kau tahu sendiri bisnis Papa bermasalah, karena itulah kami tidak berani menemui Mu. Tapi sekarang semua sudah berbeda Papa bahkan sudah membayar berkali-kali lipat dari nominal denda sebelumnya agar kami dapat bertemu dengan Mu." Jelas Audrey panjang lebar.

Akhirnya Viona mengerti kenapa selama ini Kakak dan Papa nya tidak pernah menghubunginya sekalipun. Messki sekarang sudah ada sosial media dan semacamnya yang seharusnya membuat mereka dapat dengan mudah berkomunikasi meski sedang berjauhan.

"Aku akan tidur disini malam ini." Audrey pun menaiki kasur Viona tanpa permisi dan langsung masuk kedalam selimut bersiap untuk tidur.

Sementara Viona masih memperhatikan tempat disekitarnya bingung seperti sedang mencari sesuatu.

"Apa ada sesuatu yang salah?" tanya Audrey menyadari kebingungan Viona.

"Ah tidak apa... Aku hanya bingung mencari letak kamar mandinya dimana karena aku ingin membersihkan diri sekarang." Jawab Viona jujur.

Audrey pun segera menuruni tempat tidur lalu membawa Viona kedepan cermin besar disisi kamarnya lalu menekan sisinya dan perlahan cermin itu pun bergeser. Lalu tampaklah sebuah kamar mandi mewah didalamnya.

Lagi-lagi Viona ternganga melihat tempat ini dan Audrey hanya tersenyum geli melihat ekspresi lucu Adiknya itu. Diam-diam merasa kasihan dengan Viona.

"Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan padamu Kak. Tapi sepertinya malam ini tidak bisa kutanyakan karna aku sudah cukup lelah setelah penerbangan yang cukup panjang." Ucap Viona setelah ikut membaringkan tubuhnya disamping Audrey setelah sebelumnya Dia membersihkan diri didalam kamar mandi.

"Kalau begitu tidurlah dulu, kita masih punya banyak waktu untuk bicara besok!" Seru Audrey sambil menarik selimut sampai sebatas dada mereka berdua.

***

Perlahan Viona membuka matanya dan melihat kesekeliling. Kosong... Tidak ada Audrey disampingnya, hanya Dia sendiri ditempat tidur itu.

Viona pun segera mencari tas yang dipakainya kemarin lalu mengambil ponselnya, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati kalau sekarang sudah pukul sebelas siang.

"Apa bagaimana bisa!" Seru Viona terkejut, diapun langsung bangun dan turun dari kasurnya. Yang sayangnya hal tersebut malah membuat kepalanya berputar.

Setelah peningnya perlahan mereda Viona segera pergi kekamar mandi untuk mencuci muka lalu segera keluar dari kamarnya berniat mencari Kakaknya, Audrey.

Namun baru saja membuka daun pintu kamarnya Viona sudah disambut oleh seorang pelayan yang tampaknya sudah berjaga disana dari tadi.

"Anda pasti Nona Viona. Perkenalkan saya Anna pelayan dirumah ini." Ucap seorang Wanita muda yang mungkin seumuran dengan Audrey.

"Anna apa kau melihat Kakak ku?" Tanya Viona langsung.

"Oh... Nona Audrey sudah pergi sejak pukul sembilan pagi tadi." Jawab Anna.

Viona pun langsung merenggut tak suka. Dia ditinggal sendiri dirumah, dihari pertamanya datang.

"Viona!"

Suara itu sangat familiar ditelinganya, dan sudah lama sekali Viona tidak mendengarnya sejelas ini.

Tak terasa air mata Viona mengalir saat matanya bersitatap dengan pria paruh baya yang masih terlihat gagah dibalik setelah jas yang membalut tubuh jangkungnya.

"Papa!" seru Viona sambil mendekat dan langsung memeluk pria yang dia panggil Papa itu.

Pria itupun memeluk tubuh Viona tak kalah erat, namun tak seperti Viona yang sudah menangis tersedu-sedu Papanya malah tertawa riang sambil terus mengusap punggung Viona pelan.

"Aku tidak menyangkan hari ini akan tiba, akhirnya Wanita keras kepala itu menyerah juga!" Seru Papanya masih dengan tawa riang.

Namun entah kenapa saat Papanya menyebut Ibunya seketika gelombang kebahagiaan yang tadi menerjangnya langsung surut, seketika menghilang tak berjejak. Hanya ada kesedihan dihatinya sekarang dan tampaknya hal tersebut segera disadari oleh Jeremy Rainer Papa nya.

"Ada apa Nak?" Tanya Jeremy sambil memperhatikan raut murung Putrinya.

"Aku merindukannya!" Seru Viona lalu tangisnya kembali pecah, tapi bukan tangis kebahagiaan seperti tadi namun tangis yang sarat akan kesedihan.

Melihat Putrinya yang sudah menangis Jeremy hanya dapat menghela nafas lelah. Lalu kembali merangkul tubuh Viona kedalam pelukannya.

"Aku tahu ini berat bagimu, tapi sudah cukup delapan tahun terakhir. Aku juga orang tuamu dan aku ingin Putriku hidup dengan layak disini bersama dengan Ku." Ucap Jeremy lembut sambil mengusap air mata Viona yang terus mengalir. "Kau akan segera terbiasa sayang," ucapnya lagi.

Sementara itu batin Viona campur aduk antara sedih atau bahagia, sedih karena Dia harus meninggalkan Ibunya sendirian dan senang karena dapat kembali merasakan hangatnya pelukan dari Pria yang paling dirindukan nya ini.

"Papa... Aku sedih karena harus berpisah dari Ibu, tapi aku juga senang dapat kembali bersama dengan Kalian!" seru Viona sambil membenamkan wajahnya didada Jeremy.

03

Saat tengah menangis tiba-tiba saja perut Viona berbunyi. Ya, memang sejak kemarin sore Viona tidak sempat makan apapun karena suasana hatinya yang masih kacau.

"Bunyi apa itu? Apa itu berasal dari perut Princess Papa." Goda Jeremy.

"Hm... Ya, sebenarnya sekarang aku sangat lapar. Apa Papa punya makanan yang bisa mengenyangkan perutku ini?" Jawab Viona sambil menatap wajah Jeremy.

"Baiklah ayo kita keruang makan. Aku tentu tidak akan membiarkan Putriku ini kelaparan!" Seru Jeremy sambil merangkul bahu Viona lalu membawanya menuju keruang makan.

Sepeti bagian rumah lainya, ruang makan ini pun tak kalah mewah. Hal itu sukses membuat Viona befikir memangnya seberapa kaya Papa nya sekarang.

Aroma sedap dari makanan yang baru disajikan oleh pelayan membuat rasa lapar Viona semakin menjadi. Dia bahkan tak hentinya menatap para pelayan yang seolah tak ada habisnya menyajikan makanan dihadapan mereka. Yang padahal hanya ada Mereka berdua dimeja itu.

Jeremy pun terkekeh geli meliha ekspresi putrinya itu yang dianggapnya lucu. Dari dahulu memang Viona sangat menyukai dan tidak akan tahan dari godaan makanan.

Sambil memegang sendok dan garpu dikedua tangannya Viona tampak sudah siap untuk menyantap hidangan yang ada dihadapannya sekarang, namun sebelum itu Dia tampak melirik Jeremy sekilas dan tersenyum tipis.

"Papa tidak ikut makan?" Tanya Viona bingung karena melihat Jeremy yang hanya meminum kopi hitamnya saja.

"Papa sudah makan. Kamu makan saja semua ini sendiri." Jawab Jeremy sambil terkekeh.

"Apa Papa fikir Aku ini Babi. mana mungkin Aku memakan semua hidangan ini sendirian!" Seru Viona kesal.

Namun tak lama setelah itu Jeremy kembali tertawa geli melihat begitu lahapnya Viona menyantap hampir semua hidangan yang disediakan. Bahkan dari delapan jenis makanan yang ada Viona hanya menyisakan satu piring yang berisi salad karena sedari dulu Dia memang tidak menyukai sayur.

"Kalau tidak salah tadi ada yang mengatakan dirinya tidak mampu menghabiskan semua makanan ini." Goda Jeremy sambil terus tersenyum menatap wajah Viona.

"Bukan salahku. Salah Papa yang tidak mau membantu Aku menghabiskan semua makanan itu. Tidak baik menyisakan makanan yang sudah disediakan untukmu Ibu akan marah bila_" Tiba-tiba Viona terdiam, raut wajahnya pun langsung berubah murung. Tanpa sadar Dia kembali mengingat sosok Ibunya, membuat Jeremy hanya dapat menghela nafas lelah.

Bukan salah Viona. Mereka berdua memang sangat dekat dari dulu, maka tidak heran kalau Viona selalu memikirkan Ibunya sekarang.

"Kuatkan dirimu Nak, awalnya memang terasa berat namun seiring berjalan waktu Kau akan segera terbiasa. Sama seperti Kakak mu dulu." Ucap Jeremy lalu bangkit dari kursinya menghampiri Viona yang tampak hampir menangis.

Dan saat Jeremy menepuk pelan pundaknya perlahan air mata itupun kembali tumpah, namun segera Viona hapus dengan tangannya, berusaha tetap untuk tersenyum menatap Jeremy.

"Maafkan Aku Papa. Aku akan berusaha. Tapi apa Aku boleh mengunjungi Ibu lagi?" tanya Viona dengan tatapan penuh harap.

"Kau bahkan baru sampai tadi malam dan sudah hendak kembali ke Ibumu lagi. Apa kau sudah tidak mencintai Papa mu ini lagi," jawab Jeremy dengan wajah murung.

Mendengar jawaban itu Viona pun langsung gelagapan dan langsung berdiri memeluk tubuh Jeremy erat.

"Tidak... Bukannya begitu aku hanya bertanya karena aku takut tidak bisa menemuinya lagi, seperti aku yang tidak pernah menemui kalian selama ini!" seru Viona sambil kembali menangis.

"Papa bukan orang yang egois seperti Ibumu Viona. Aku tidak akan melarangmu menemui dirinya tapi tidak dalam waktu dekat ini. Aku masih merindukan Princes kecilku ini sekarang!" Seru Jeremy sambil menyeka air mata dipipi Viona.

"Jelek sekali," candanya sambil tersenyum menatap wajah sembab putrinya itu yang langsung membuat Viona merenggut kesal.

"Papa!" Seru Viona kesal.

"Aku hanya bercanda sayang. Kamu tetap cantik meski dengan wajah sembab seperti ini."

Jeremy pun kembali memeluk tubuh putrinya itu, menyalurkan semua kerinduan yang sudah Dia pendam selama ini. Semua seperti mimpi baginya akhirnya dia dapat kembali memeluk Putri kecilnya ini lagi setelah sekian lama.

Namun getaran ponsel disakunya mengganggu acara melepas rindu diantara Orang tua dan Anak itu.

Dengan perasaan kesal Jeremy mengambil ponsel itu dari sakunya, dan melihat siapa yang memanggilnya. Yang ternyata itu dari Ronald asistennya.

Ronald tidak pernah menghubunginya kalau saja bukan karena hal yang penting, karena itu Jeremy pun langsung meninggalkan Viona setelah mengecup puncak kepalanya penuh cinta.

"Papa bekerja dulu, kalau Kau ingin jalan-jalan tinggal minta sopir untuk mengantarmu berkeliling dan ini_"

Lagi-lagi Viona terkejut saat mendapati black card yang baru diberikan Jeremy padanya, dengan tatapan kagum sekaligus bingung Viona menatap wajah Papanya.

"Bagai mana bisa hanya dalam delapan tahun Papa bisa menjadi sekaya ini?" Tanya Viona pada akhirnya.

"Maafkan Papa sayang, kali ini Papa tidak ada waktu untuk menceritakan semuannya padamu. Tapi Papa berjanji akan menceritakan semuanya nanti atau kau bisa tanyai kakak mu Audrey." Jawab Jeremy cepat dan langsung pergi setelahnya.

Viona masih termenung menatap kepergian Papanya yang perlahan menghilang diujung lorong, lalu setelahnya Dia pun bergegas kembali kekamarnya.

***

Viona duduk termenung diatas sofa yang terletak diujung tempat tidurnya, sudah dua belas kali Dia mencoba menghubungi Ibunya yang berada diIndonesia, namun belum juga mendapat jawaban.

Nyaris putus asa Viona kembali menekan kontak Ibunya dan menunggu jawaban, setelah beberapa detik berdering telpon itu pun akhirnya dijawab oleh Ibunya. Yang membuat Viona senang bukan main.

"Akhirnya... Aku sempat khawatir karena Ibu tidak mengangkat telepon ku beberapa kali!" Seru Viona girang.

"Dasar anak kurang ajar, setelah Putriku jatuh miskin kau malah kembali pada Ayahmu yang biadab itu alih-alih menemani Ibumu disini!"

Senyum diwajah Viona pun luntur ketika Ia menyadari itu bukan sapaan lembut dari suara ibunya. Melainkan makian kasar dari Neneknya. Wanita Tua yang selalu melempar kalimat kebencian padanya sejak lama.

"Apa maksud Nenek? Dimana Ibu Aku ingin berbicara dengannya sekarang," pinta Viona berusaha untuk tetap sopan.

"Untuk apa Kamu mencari Putriku lagi! Bukannya Kamu sudah hidup bahagia disana!" Bentak Neneknya lagi.

Lalu setelah itu terdengar suara Ibunya, yang berseru panik diseberang telepon dan kemudian terdengar pula perdebatan antara Nenek dan Ibunya itu. Dan setelahnya sambungan telepon itu pun terputus.

Seketika itu pula air mata Viona kembali jatuh. Dia sudah tahu kalau dari dulu keluarga Ibunya memang tidak ada yang menyukainya, semenjak Dia ikut pulang bersama Ibunya keIndonesia terutama Neneknya.

Karena itulah Sarah. Ibunya, memutuskan untuk merantau keluar kota jauh dari jangkauan keluarganya lalu membuka usaha sendiri agar dirinya dapat menjalani hidupnya dengan tenang bersama dengan Viona. Namun hal itu malah semakin membuat Neneknya membenci Viona karena beranggapan Viona lah yang membuat Anak Perempuan satu-satunya itu menjauh darinya.

Bahkan selama delapan tahun terakhir tidak pernah sekalipun Viona diajak oleh Sarah untuk menemui keluarganya, karena sudah pasti mereka tidak akan menerima keberadaan Viona disana.

Saat mengingat beberapa kenangan buruk itu Viona segera menjatuhkan kepalanya ketempat tidur lalu kembali menumpahkan air matanya disana.

Setelah lama menangis akhirnya Viona lelah dan terlelap dengan mata yang masih berair.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!