Gundukan tanah merah itu masih basah. Bunga nan harum serta potongan daun pandan bertaburan di atasnya. Dua buah nisan kayu bertulisan nama seseorang tertancap kiat di kedua ujung.
Terlihat seorang wanita dengan pakaian serba hitam, serta kerudung renda berwarna senada, tengah berjongkok sembari meluk salah satu nisan tersebut.
“Istirahatlah, Bu. Sekarang Ibu pasti udah Nggak kesakitan lagi kan,” ucap si wanita.
Sore itu, dia baru saja selesai memakamkan keluarga satu-satunya yang selama ini menjadi sumber kekuatannya.
“Ijah, ndang mulih. Wis sore,” seru seseorang pada wanita itu.
Dia pun menegakkan tubuhnya dan menghapus jejak bening yang mengalir di pipi.
“Nggih, Bu dhe,” sahut wanita bernama Azizah atau yang sering disapa Ijah di dusun itu.
Dia pun kembali menatap pusara sang ibu untuk terakhir kali sebelum ia pergi.
“Aku pamit, Bu. Ibu yang tenang ya,” ucap Azizah.
Wanita cantik dengan rambut lurus panjang sepinggang, berwarna kemerahan itu bangun dan beranjak dari peristirahatan terakhir ibunya.
Dia berjalan mengekor Bu dhe Sum yang sudah lebih dulu di depannya. Mereka menuju rumah Bu dhe untuk mempersiapkan tahlilan pertama nanti malam.
Setibanya di dusun, banyak ibu-ibu berkumpul sambil membicarakan hal heboh yang sedang terjadi di tempat tersebut.
“Bisa apes dusun kita,”
“Harusnya jangan boleh. Suruh bongkar lagi aja kuburannya,”
“L*nte kok yo diterima nang kene ke piye toh,”
“Delok anake. Podo wae koyo l*nte,”
Bisik-bisik itu terus terdengar disepanjang jalan dusun, mengiringi langkah Azizah pulang ke rumah Bu dhe Sum.
Semua orang sedang membicarakan almarhumah ibunya, namun wanita itu seolah tak peduli dan terus berjalan dengan wajah datar dan tatapan kosong.
Sesampainya di rumah Bu dhe, Azizah terlihat masuk kamar. Dia duduk sejenak di tepi tempat tidur, dan beberapa saat kemudian Azizah bangun dan mengemasi barang-barangnya yang masih bercecer di ruangan tersebut.
Bu dhe Sum yang hendak mengajak Azizah makan, melihat apa yang sedang dilakukan keponakannya dan segera masuk ke dalam kamar tempat keponakannya itu menginap.
“Jah, mau kemana kamu? Nggak mau ikut tahlilan ibumu dulu?” tanya Bu dhe Sum.
“Aku mau balik ke kota, Bu dhe. Nggak ada gunanya juga aku lama-lama di sini,” sahut Azizah.
“Nggak pantes, Jah. Baru kepaten kok malah langsung pergi. Apa kata orang nanti?” tutur Bu dhe.
“Buat apa ngurusin kata orang, Bu dhe? Mereka juga udah ngomongin jelek tentang ibu, tentang aku. Biarin aja kalo mau ditambahin,” jawab Azizah keras kepala.
Wani cantik itu telah selesai mengemas. Dia pun berbalik menghadap Bu dhe Sum yang sejak tadi memperhatikan keponakannya itu.
"Mbok ya makan dulu, Jah. Kamu belum makan dari semalem lho. Nanti sakit," bujuk Bu dhe Sum.
"Makasih, Bu dhe. Nanti aku makan di jalan aja. Ijah pamit Bu dhe. Titip ibu,” ucap Azizah.
Dia meraih tangan Bu dhenya dan mencium pungung tangan wanita tua yang sudah baik pada dia dan sang ibu.
Satu-satunya keluarga di dusun, itu yang mau menerima dan mengurus pemakaman almarhum ibunda tercinta.
“Bu dhe panggilin Tio dulu sebentar buat nganter kamu ke terminal. Hampir maghrib, pamali anak gadis pergi sendiri,” seru Bu dhe.
Bersambung ▶️▶️▶️
Jangan lupa like, comment dan rate novel aku ya 😄, kasih dukungan banyak-banyak ke sini 🙏
“Bu dhe panggilin Tio dulu sebentar buat nganter kamu ke terminal. Hampir maghrib, pamali anak gadis pergi sendiri,” seru Bu dhe.
Azizah mengangguk. Dia melihat wanita tua itu mencari anak bungsunya yang terlihat baru pulang mengaji, bahkan mesin motonya baru saja dimatikan.
“Yo, anter mbak mu ke terminal bentar,” seru Bu dhe.
“Lho kok udah mau pergi, Bu?” taya Tio.
“Udah nggak usah tanya-tanya. Anterin aja ya,” ujar Bu dhe
Azizah pamit dengan keluarga Bu dhe Sum lainnya, dan diantar Tio ke terminal yang berada cukup jauh di jalan nasional yang terletak di kecamatan.
Sore itu, banyak calon penumpang yang sudah menunggu bus yang akan membawa mereka ke kota, untuk merantau mencari nafkah.
Motor Tio telah sampai di depan salah satu agen bus yang ada di sana. Azizah pun turun dan melepas helm yang sedari tadi dipakainya.
“Ini, Yo. Kamu langsung pulang aja ya. Nggak usah nungguin mbak. Nanti keburu gelap,” seru Azizah.
Wanita itu mengembalikan helm kepada Tio yang segera diraih oleh pemuda tersebut.
“Kalo Ibu tanya gimana Mbak?” tanya Tio.
“Bilang aja Mbak yang suruh,” sahut Azizah.
Dia meraih dompet dari dalam tasnya dan mengambil beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribu.
“Ini buat beli kuota kamu, Yo,” seru Azizah.
Tio terlihat ragu menerimanya. Dia terlanjur mendengar omongan warga dusun tentang Azizah, yang kabarnya kerja sebagai pelacur di kota.
“Nggak usah, Mbak. Lagian aku nggak main game online, jadi nggak butuh banyak kuota,” sahut Tio.
Mendengar penolakan itu, Azizah nampak mendengus pelan.
“Ya sudah,” ucap Azizah.
Dia tak banyak bertanya karena sudah tahu jelas alasan penolakan Tio. Wanita cantik itu pun kembali menyimpan uangnya ke dalam tas dan kembali meminta keponakannya untuk cepat pulang.
Tio pun pamit dan meninggalkan Azizah di sana.
Tepat pukul lima sore, bus yang ditunggu datang. Orang-orang mulai berjejer mengantri naik ke dalam bus tersebut, begitupun Azizah.
Wanita itu hanya membawa sebuah tote bag berisikan beberapa helai pakaian yang dibawanya sejak datang ke dusun.
Dia menyusuri lorong bus, dan melihat dua kursi yang masih kosong. Azizah pun duduk disana, di kursi yang berada di dekat jendela.
Dalam diam, pikirannya terus terbayang momen terakhirnya dengan sang ibu beberapa hari lalu.
“Ibu pengin kamu berhenti, Nak. Ibu nggak mau kamu ikut ibu ke neraka nanti,” ucap sang ibu dalam kelemahannya.
Wanita tua yang terbaring sakit-sakitan selama beberapa tahun itu merasa bersalah, karena menganggap dirinya telah menjerumuskan putrinya ke jalan sesat, sama sepertinya dulu.
“Ibu ngomong apa sih? Lagian kalo nggak jadi p*rek, aku bisa kerja apa, Bu? Sekolah aja nggak tamat SD kok. Mau makan dari mana kita?” sahut Azizah.
Wanita cantik berambut panjang itu seolah tak peduli dengan permintaan tulus sang ibu disaat terakhir hidupnya.
Namun dibalik itu, ada hati yang hancur dan takut, melihat sosok tua penyakitan yang sudah tak berdaya akibat kanker lambung yang dideritanya semenjak beberapa tahun lalu.
Ibu yang mencoba sebisa mungkin menyelamatkan putri satu-satunya, namun dihancurkan sendiri oleh sang ayah yang hanya tau judi dan mabuk-mabukan.
Setetes bening meluncur dari pelupuk mata indah itu, kala membayangkan perjalanan hidupnya yang jauh dari kala indah.
Keadaan memaksanya menutup mata hati, mematikan perasaan dan membuang jauh-jauh keinginan akan masa depan yang bahagia.
“Permisi, Mbak. Disini kosong kan?” tanya seseorang yang membuyarkan lamunan Azizah.
Dia dengan cepat menyeka air matanya, tanpa menoleh ke orang yang bertanya.
“Nggak ada” sahut Azizah ketus.
Bersambung ▶️▶️▶️
Jangan lupa like, comment dan rate novel aku ya 😄, kasih dukungan banyak-banyak ke sini 🙏
“Permisi, Mbak. Disini kosong kan?” tanya seseorang yang membuyarkan lamunan Azizah.
Wanita itu dengan cepat menyeka air matanya, tanpa menoleh ke orang yang bertanya.
Dia hanya meringsut semakin ke pinggir, sembari memeluk tas yang ada di pangkuannya.
"Nggak ada," ucap Azizah singkat.
Mendengar jawaban itu, orang tersebut pun memutuskan untuk duduk di sana.
“Permisi ya, Mbak. Saya bukan orang jahat kok,” ucap si pria yang sejak tadi dicueki Azizah.
Wanita itu terus memilih diam sembari menatap ke arah luar.
Rintik hujan mulai turun. Tetesannya kian menumpuk di jendela, menghalangi pandangan mata si wanita cantik.
Hawa dingin dari pendingin di atasnya membuat Azizah semakin mengeratkan pelukan pada tas miliknya itu.
Dinginnya bahkan seolah menembus dada Azizah yang kesepian. Air mata kembali mengalir saat roda bus bergerak, berputar di aspal, membawanya pergi dari kampung halaman ibunya.
Selamat tinggal, Bu, batin azizah merintih.
Meski terlihat keras kepala dan kuat, namun tak ada seorang pun yang bisa baik-baik saja saat kehilangan orang yang amat dicintainya.
Apalagi harus menghadapi kenyataan, bahwa dia sudah sendirian di dunia yang kejam ini.
Tak ada lagi alasannya untuk tetap tegar seperti dulu. Tak ada lagi alasan untuknya berpura-pura baik-baik saja.
Hatinya sakit hingga linangan itu seolah tak mau berhenti berderai.
Isak mulai terdengar seiring lagu dangdut yang diputar pak supir, membuat tangis Azizah teredam meski terdengar begitu pilu.
Hanya pria di sampingnya yang sejak awal mendengar tangis dalam diam Azizah, dan merasakan perasaan yang begitu sesak.
Karena lelah, wanita itu pun tertidur perjalanan, dengan kepala yang masih bersandar pada kaca jendela yang begitu besar di sampingnya.
Jejak bening masih menghias wajah cantik itu. Bahkan isaknya sesekali masih terdengar halus keluar daru mulut Azizah yang terlelap.
Sekitar empat jam berlalu. Bus melaju tanpa hambatan di jalan tol. Hingga mereka pun tiba ditempat transit sebelum nantinya kembali melanjutkan perjalanan ke kota tujuan.
Semua penumpang mulai turun dan beristirahat di tempat tersebut. Ada yang membeli makan malam, ada yang sekedar duduk sembari menghabiskan barang satu lintingan tembakau. Atau hanya sekedar duduk-duduk melepas lelah sekian jam duduk di dalam kendaraan.
Azizah yang tertidur, tampak menggeliat sebelum akhirnya terbangun dan menyadari dirinya baru sampai di tempat istirahat.
Namun saat wanita itu melihat ke samping, dia dikejutkan dengan keberadaan pria yang sejak awal duduk disampingnya, masih berada di sana sambil memakan roti yang ia bawa sejak sebelum naik bus.
“Eh, udah bangun, Mbak? Mbaknya tidur pules banget. Saya mau ninggalin kasihan takut ada yang jahatin,” ucap si pria itu.
Azizah bukannya merasa lega mendengar penuturan pria itu, dia justru semakin merasa curiga.
“Aku serius lho, Mbak. Nggak ada modus apa-apa. Beneran,” ucap si pria.
Dia bahkan mengambil sesuatu dari dalam tas selempang kecilnya dan menunjukkannya pada Azizah.
“Nih KTP ku. Mbaknya bisa lihat kalau aku orang baik-baik. Profesiku pengajar lho. Aku nggak mungkin kurang ajar sama orang, apalagi yang nggak aku kenal,” ungkap si pria bernama Irsyad itu.
“Jaman sekarang nggak guru biasa nggak guru ngaji, yang kelihatan baik-baik juga semuanya bisa aja jadi kriminal,” ucap Azizah.
“Astaghfirullah Haladzim, nggak semuanya gitu lho, Mbak. Salah satunya aku,” ujar Irsyad.
“Mana gue tau. Masa bodo juga. Bukan urusan gue,” sahut Azizah.
Bersambung ▶️▶️▶️
Jangan lupa like, comment dan rate novel aku ya 😄, kasih dukungan banyak-banyak ke sini 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!