Malam itu, langit mengamuk. Petir menyambar bertubi-tubi, menerangi istana megah yang kini diselimuti kabar duka. Hujan turun seperti ratapan para dewa, meratapi kejatuhan sang legenda. Di aula megah, suara lonceng kematian menggema, mengumumkan takdir yang tak dapat dihindari—Selene Everhart telah gugur.
Mereka menyebutnya pilar terkuat kekaisaran.
Tetapi bahkan pilar pun bisa runtuh.
Mayatnya tak pernah ditemukan—hanya genangan darah yang mengering di medan pertempuran, saksi bisu dari kepergiannya.
Namun, di saat dunia berkabung atas kepergiannya, jauh di pelosok kekaisaran, sebuah tangisan bayi memecah kesunyian malam.
Di tengah badai, di hutan yang sunyi, seorang bayi mungil tergeletak di tanah basah. Kulitnya seputih porselen, matanya keemasan, tetapi tubuhnya menggigil kedinginan. Tangisannya menggema di antara dedaunan yang basah, menusuk malam seolah menuntut dunia untuk mengakuinya.
Dua sosok menunggang kuda menerobos hujan—Gideon d’Aragon dan istrinya, Isolde d’Aragon. Mereka baru saja kehilangan bayi mereka sendiri. Kesedihan masih mencengkeram hati mereka, seperti lubang yang tak bisa diisi. Namun, tangisan itu menarik perhatian mereka.
Isolde turun dari kudanya, berlari menuju sumber suara, lalu membeku. Matanya yang penuh air mata melebar.
Bayi itu menatapnya—bukan dengan mata polos yang penuh ketakutan, tetapi dengan sorot yang tajam dan berani, seolah dia mengerti sesuatu yang lebih besar dari dunianya.
Seolah takdir mempertemukan mereka.
"Gideon… dia cantik sekali," bisik Isolde, suaranya penuh duka dan harapan yang bercampur menjadi satu. "Seolah Tuhan mengirimnya untuk kita."
Gideon menatap bayi itu dengan ekspresi rumit. Hujan terus mengguyur, tetapi tangan kasarnya meraih tubuh mungil itu dengan kelembutan yang tak biasa.
"Kau tahu siapa yang selalu sekuat baja?" tanyanya lirih. "Selene Everhart."
Isolde menutup mulutnya, air mata mengalir di pipinya. Dia menarik napas dalam dan tersenyum tipis di tengah tangisannya.
"Maka kita akan menamainya Selene."
Dan malam itu, Selene d’Aragon dilahirkan kembali.
***
Lima Pilar yang Terpecah
Pagi harinya, langit cerah seolah badai semalam tak pernah ada.
Namun, bagi kekaisaran, badai baru saja dimulai.
Sejak kematian Selene, kelima pilar kekaisaran tak lagi utuh.
Selene Everhart, Pilar Terkuat, telah gugur.
Magnus Ignis—putra mahkota—naik takhta, mengenakan mahkota dengan bayangan sosoknya yang masih menghantui.
Cassian Rosenthal mengambil alih gelar Duke, tetapi tak ada yang bisa menggantikan kehadiran Selene.
Regis Vermillion, pria yang paling dihormati dalam urusan pendidikan dan strategi, menarik diri ke Akademi Valdris, menghindari kekacauan yang terjadi di istana.
Dan yang paling mengejutkan—Gideon d’Aragon, "Tangan Baja" yang selalu setia di sisi Selene, menghilang bersama istrinya, Isolde.
Mereka yang dulu berdiri sejajar sebagai pilar… kini terpecah.
Tanpa Selene, hierarki yang selama ini seimbang runtuh.
Kekaisaran kembali ke hukum lama—"Yang kuat berkuasa."
Tanpa Selene, kaum bangsawan mulai menunjukkan taring mereka.
Tanpa Selene, perbatasan mulai bergejolak.
Tanpa Selene, tak ada lagi yang menahan mereka.
Musuh yang selama ini bersembunyi di bayang-bayang akhirnya muncul. Perbatasan terbakar. Kota-kota hancur. Para jenderal mulai bertarung bukan untuk rakyat, tetapi untuk diri mereka sendiri. Kaisar baru hanya bisa menahan sejauh yang dia mampu, tetapi kekaisaran telah kehilangan pedangnya.
Dan begitulah, patung Selene Everhart didirikan di tengah kota.
Berdiri gagah, mengenakan jubah kebesaran dengan tangan mencengkeram pedang. Seolah masih melindungi mereka.
Setiap hari, rakyat berdoa di depannya—bukan kepada para dewa, tetapi kepada satu-satunya orang yang pernah melindungi mereka tanpa pamrih.
Mereka mengingatnya sebagai Jenderal Terkuat, Pilar Kekaisaran, dan perisai rakyat.
Namun, waktu adalah musuh terbesar kenangan. Hari berlalu, tahun berganti. Mereka yang pernah mengenalnya perlahan menua, dan ingatan mulai memudar.
Tapi setiap kali mata mereka tertuju pada patung itu—
saat hujan mengguyurnya, saat salju menutupinya, saat matahari menyinarinya—mereka tahu.
Selene Everhart belum benar-benar mati.
***
Sang Putri yang Dilupakan
Lima tahun kemudian...
Seorang gadis kecil menyelinap di gudang taman. Matanya keemasan, penuh rasa ingin tahu. Jemari mungilnya menyentuh gagang pedang, belati, bahkan busur kecil.
Dia mengangkat sebilah pisau kecil dan memeriksa pantulan wajahnya di bilahnya. Mata emas itu masih bersinar tajam, seolah mengingat sesuatu yang belum bisa dia pahami.
"Cantik," gumamnya puas.
Namun, suara panggilan ibunya membuatnya tersentak.
"Selene! Kau di mana, Nak?"
Jantungnya berdebar. Dengan cepat, dia menyembunyikan senjata itu di balik papan kayu lantai gudang. Saat dia berbalik, sebuah tangan besar menepuk kepalanya.
"Putri ayah rupanya bersembunyi di sini, ya?" Suara Gideon terdengar geli. "Apa kau takut ibumu menangkap basah dirimu?"
Selene kecil terkikik. Dengan pipi merah merona, dia melompat dan mencium pipi ayahnya. "Muach! Ayah, selamatkan aku."
Hati Gideon langsung meleleh. Dia mengusap kepala putrinya dan mengangguk. "Baiklah, ini rahasia kita, kan?"
Mereka mengunci janji dengan jari kelingking—ritual kecil antara ayah dan anak.
Saat mereka keluar, Isolde sudah berdiri dengan tangan di pinggang. "Dari mana saja kalian?" tanyanya curiga.
"Kami hanya bermain bersama," jawab Gideon santai, sambil mengedipkan mata pada putrinya.
Selene kecil terkikik. Mereka bertiga berjalan pulang, menikmati pagi yang hangat setelah badai.
Tanpa ada yang tahu—gadis kecil itu adalah legenda yang pernah dikubur sejarah.
Dan suatu hari nanti, dia akan mengukir namanya kembali dalam tinta emas.
Karena Selene Everhart belum benar-benar mati...
Di sebuah kota kecil, yang jauh dari hiruk-pikuk istana, Gideon dan Isolde hidup dalam ketenangan yang sederhana. Rumah mereka kecil tapi hangat, dengan dinding batu kokoh dan halaman yang dipenuhi bunga liar.
Tapi yang paling berharga bagi mereka bukanlah rumah itu.
Melainkan seorang gadis kecil bernama Selene.
Ceria, cerdas... dan obsesif terhadap pedang.
Di usia lima tahun, dia lebih suka mengasah belati ketimbang bermain boneka, lebih sering mengayunkan tongkat kayu seolah itu pedang dibandingkan berlari di taman bunga.
Isolde sering mendapati dirinya melotot ke arah suaminya, setiap kali melihat putri mereka lebih tertarik pada besi tajam dibandingkan pita sutra.
"Apa yang kau ajarkan pada putrimu, huh?!" Isolde berkacak pinggang, ekspresi galaknya tak main-main. "Anak perempuan lain bermain boneka, sementara anak kita sibuk membersihkan belati! GIDEON, AKU SERIUS!"
Gideon hanya tertawa kecil, meskipun di dalam hatinya, dia tahu alasan sebenarnya.
Dia melihatnya dalam mata putrinya.
Mata yang sama.
Mata yang pernah dimiliki Selene Everhart.
Gadis itu… yang hanya tinggal dalam ingatan.
Saat Gideon bertemu Selene Everhart, dia bukan siapa-siapa. Hanya anak haram dari seorang bangsawan, seorang gadis kecil yang kehilangan ibunya di usia lima tahun. Sejak itu, hidupnya menjadi neraka. Tapi satu hal yang tidak pernah berubah—matanya selalu menyala saat melihat pedang.
Dan kini, dia melihat nyala yang sama dalam diri putrinya.
Sebuah suara kecil membuyarkan lamunannya.
"Ayah... ayah..."
Gideon tersentak, langsung menggendong putrinya ke dalam pelukannya.
"Ohh, putri kecilku yang cantik, apa kau memanggil ayah?"
Selene kecil menempelkan kedua tangan mungilnya di pipi ayahnya, matanya berbinar-binar.
"Ayah melamun."
Gideon terkekeh. Ya, buat apa mengingat masa lalu? Sekarang, dia memiliki keluarga. Itu yang terpenting.
***
Matahari cerah bersinar, Gideon sedang bermain bersama Selene ditaman. Karena kemarahan istrinya terakhir kali, dia membujuk putrinya untuk bermain boneka selayaknya anak seumurannya.
Suasana mereka begitu harmonis, selene cukup tertarik dengan boneka berbaju perang mini dengan jubah merah hasil karyanya.
Sampai suara derap kuda di halaman depan memecah kedamaian...
Gideon menoleh, ekspresinya langsung berubah tajam.
Sebuah kereta mewah berhenti di depan rumah mereka. Dua pria turun—seorang pria dewasa yang flamboyan, mengenakan pakaian mencolok dengan permata berlebihan. Dan pria kecil yang wajahnya penuh kesombongan.
Sebelum Gideon sempat bicara, Selene menunjuk mereka dan berkata dengan polos,
"Badut."
Hening...
Gideon hampir tertawa. Lupa bahwa beberapa saat lalu tatapan nya masih begitu tajam.
Sementara itu, pria kecil itu memerah, "Hei, jalang kecil! Siapa yang kau panggil badut?!"
Jalang kecil?
Gideon hampir melemparkan belati ke tenggorokan pria kecil itu.
Namun, sebelum dia sempat bergerak— Selene sudah bangkit secepat kilat, dia berdiri didepan pria kecil itu, menarik roknya sedikit, lalu mengangkat kaki kanannya, dan...
BAM!!!
Selene menendang pria kecil itu tepat di dadanya.
Pria kecil itu terhuyung, terjatuh ke tanah dengan wajah penuh keterkejutan.
Suasana hening... seolah semua orang sedang memproses apa yang sedang terjadi.
Lalu—
"ARGHHHHHHH...!!"
Pria kecil itu meraung, sementara ayahnya, Stefan Hansson, langsung melompat ke arahnya Selene.
"Apa yang kau lakukan pada putraku?!"
Dia mencoba meraih Selene, tapi gadis kecil itu dengan gesit menggigit tangannya.
KRAK!
"ARGHHHHHHH...!!" Darah mengucur dari tangannya.
Gideon buru-buru menarik putrinya kembali. Tapi Selene malah memuntahkan darah yang menempel di bibirnya dengan ekspresi jijik.
"Huwek... pahit!"
Gideon... tertawa terbahak-bahak.
Dia mengusap kepala putrinya dan berkata dengan bangga, "Lain kali, biarkan ayah yang menjadi pahlawan, Nak."
***
Di dalam rumah, Isolde menatap suaminya dengan ekspresi yang campur aduk antara syok, bangga, dan frustasi.
"Maksudmu, pria banci itu menyebut putriku jalang?!"
Gideon mengangkat tangan, "Sayang, tenang dulu. Ceritaku belum selesai."
Saat dia menceritakan bagaimana Selene menendang pria itu dan menggigit tangannya, mata Isolde melebar.
Lalu dia perlahan... tersenyum.
"Ya Tuhan."
Dia menatap putrinya yang masih mengunyah pie apel di meja makan, dengan kaki kecil bergoyang-goyang santai.
"Putriku luar biasa."
Gideon tersenyum puas. "Tentu saja. Dia putriku."
Isolde langsung mencubit wajah suaminya. "Dia juga putriku, dasar!"
Selene menyendok pie ke mulutnya tanpa peduli, lalu menyela, "Aku putri kalian."
Mereka tertawa.
Untuk saat ini, kebahagiaan itu terasa sempurna.
Namun, malam itu, Selene bermimpi.
Dalam kegelapan, dia mendengar suara yang bergema—
"Angkat pedang kalian. Lindungi kekaisaran..."
Teriakan. Deru perang. Cahaya pedang yang berkilat di bawah sinar bulan.
Lalu—
PRANG! PRANG!
Selene tersentak bangun, keringat dingin membasahi dahinya. Dadanya naik turun. Matanya membelalak menatap langit-langit.
Mimpi itu... kenapa terasa begitu nyata?
Sementara itu, di kamar lain, Isolde menatap suaminya dengan mata penuh kekhawatiran.
"Gideon... katakan sejujurnya alasan mereka kemari?"
Gideon menghela napas berat. "Kekaisaran memintaku kembali."
Isolde menegang. "Kembali? Untuk apa?"
Gideon menatapnya dalam. "Lucian telah ditunjuk sebagai putra mahkota."
Sebagai pewaris takhta, Lucian akan menjadi target. Kekaisaran ingin Gideon melindunginya.
Isolde terdiam. Lalu bertanya dengan pelan, "Apa kau menerimanya?"
Gideon menggeleng. "Tidak. Aku belum siap kembali ke sana."
Isolde menghela napas lega...
Dia tahu, kembali ke istana berarti kehilangan ketenangan ini. Kehilangan suaminya... kehilangan kebebasan putrinya.
Sebagai bentuk rasa syukur, dia menempelkan ciuman lembut di bibir suaminya.
Gideon menatapnya penuh arti. "Istriku... apa kau sedang ingin?"
Isolde mendengus, "Aku hanya mengucapkan terima kasih, bukan karena ingin."
Tapi saat dia mencoba berbalik, Gideon menarik pinggangnya dan berbisik di telinganya dengan nada rendah.
"Tapi aku ingin."
Ciuman dalam menyapu bibirnya.
Cahaya bulan masuk melalui jendela, membentuk siluet dua insan yang tenggelam dalam malam yang semakin panas.
Sementara itu, di kamar sebelah—
Selene menatap ke luar jendela, matanya menerawang ke arah bulan.
Seolah dalam hatinya, dia tahu.
Kedamaian ini... tidak akan bertahan lama.
Suasana pagi di kediaman d'Aragon…
"Cit… citt… citt…"
Di luar, burung-burung kecil berkicau, menyambut datangnya pagi yang masih diselimuti hawa dingin.
Di dalam sebuah kamar, seorang gadis kecil menggeliat pelan di balik selimut tebalnya. Mata emasnya yang indah masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, pipinya merona karena cuaca dingin.
"Hoaaammm…"
Dia menguap lebar, tubuh mungilnya meringkuk lebih dalam ke dalam selimut, enggan berpisah dari kehangatan tempat tidurnya.
Saat itu, suara langkah kaki mendekat.
"Klek."
Pintu kamar terbuka, lalu seorang wanita dengan rambut panjang berwarna keemasan masuk. Wajahnya lembut, penuh kasih sayang. Dia tersenyum melihat putri kecilnya yang masih enggan bangun.
"Putriku, apa kau belum bangun?" tanyanya dengan suara hangat.
Dia mendekat, duduk di tepi tempat tidur, lalu menunduk dan mencium lembut dahi putrinya. Aroma manis khas ibunya membuat Selene mengeliat kecil.
"Ibu..." suara manisnya masih mengandung rasa kantuk.
"Ayo bangun, ibu membuat sup jamur kesukaanmu."
Mata Selene yang tadinya masih mengantuk langsung terbuka sedikit. Sup jamur? Itu makanan favoritnya!
"Juga Pie Strawberry." lanjut Isolde.
"Aku suka Pie Strawberryyy..."
Isolde tersenyum melihat reaksi putrinya. Dengan lembut, dia menggendong Selene dari tempat tidur, membawanya ke wastafel untuk membasuh muka. Setelah itu, dia mulai merapikan rambut putrinya dengan cekatan.
Setelah selesai, mereka turun ke lantai bawah untuk sarapan.
***
Di meja makan, Gideon sudah duduk rapi, mengenakan pakaian yang lebih formal dari biasanya.
Selene, yang baru duduk di kursinya, memiringkan kepalanya bingung. Ayahnya, biasanya tidak berpakaian serapi ini saat sarapan.
"Ayah, mau ke mana?" tanyanya penasaran.
Gideon mengangkat cangkir tehnya, lalu menatap putrinya dengan senyum tipis. "Ayah akan pergi ke rumah Paman Edward."
Mendengar itu, kotak obrolan kecil Selene langsung terbuka.
"Siapa itu Paman Edward?"
"Apa yang dia lakukan?"
"Kenapa ayah pergi ke sana?"
"Bolehkah aku ikut?"
Gideon sempat ingin menolak. Udara di luar masih dingin, dia tak ingin putrinya jatuh sakit. Tapi… begitu melihat tatapan penuh harap Selene, dia menyerah.
Sungguh, Putrinya sangat manis, membuatnya tak bisa berkata tidak?
Gideon akhirnya menghela napas dan berkata, "Baiklah, tapi kau harus mengenakan pakaian hangat."
Isolde, yang sudah tahu bagaimana keras kepala putrinya, langsung menyiapkan pakaian tebal untuk Selene.
Begitu Selene selesai memakai mantel berbulu, topi rajut berbentuk beruang, sarung tangan tebal, dan sepatu bot dengan sol kuat, dia terlihat seperti boneka kecil yang sangat menggemaskan.
Pipinya yang merah karena cuaca dingin membuatnya semakin imut.
Setelah semuanya siap, mereka berangkat.
***
Perjalanan ke Rumah Edward
Awalnya, Gideon ingin menggunakan kereta kuda karena takut Selene kecil kedinginan. Namun, karena salju masih begitu lebat, menggunakan kereta hanya akan merepotkan. Jadi, dia memilih menunggang kuda langsung, dengan Selene duduk di depannya. Dia menggunakan jubah nya untuk menutupi tubuh putri kecilnya dari deru angin musim dingin.
"Hiya… hiya!"
Sepanjang perjalanan, Selene kecil terus bersemangat. Dia bertindak seolah-olah dia yang mengendalikan kuda, meskipun sebenarnya Gideon yang mengontrol semuanya.
Setelah perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka tiba di sebuah pondok kayu lusuh.
Selene menatap pondok itu dengan sedikit ragu. Tempat ini terlihat tua dan hampir tidak layak ditinggali. Tapi begitu pintu terbuka…
Matanya langsung berbinar.
Di dalam, terdapat jejeran senjata. Pedang berbagai ukuran, tombak, kapak, bahkan baju besi yang dipajang di rak-rak kayu.
"Wow…!"
Gideon hanya tersenyum kecil melihat reaksi putrinya.
Saat itu, suara berat seorang pria terdengar dari dalam.
"Ohh, Gideon! Sudah lama kau tidak kemari!"
Seorang pria berbadan besar dan berjanggut tebal keluar dari dalam. Edward, sahabat lama Gideon, mantan prajurit yang kini menjadi pandai besi.
Mereka berdua berjabat tangan erat, lalu mulai mengobrol.
Selene, yang mulai bosan, perlahan menyelinap keluar.
Gideon melihatnya sekilas, tapi dia membiarkan putrinya berkeliling. Salju di daerah ini tidak terlalu tebal, jadi dia yakin Selene akan aman.
Saat berjalan-jalan, Selene mendengar suara benturan kayu dari kejauhan.
"Duk! Duk! Duk!"
Dia penasaran dan segera berlari mengikuti suara itu.
Begitu dia sampai di sumber suara, dia menemukan dua anak laki-laki kecil sedang bertarung dengan pedang kayu.
Selene menonton pertarungan dua bocah laki-laki itu dengan mata berbinar. Mereka saling menyerang dan menangkis dengan pedang kayu, masing-masing berusaha menang.
Tanpa sadar, Selene semakin mendekat. Dia ingin mencoba!
"Bolehkah aku ikut?" tanyanya dengan penuh semangat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!