NovelToon NovelToon

Aku, Kamu, Dan Jarak Yang Tak Kasat Mata

Jumat 29 Desember 2023

Ini adalah bab terakhir yang ku tulis untukmu, Andra. Aku tak memungkiri, jika kamu satu-satunya orang yang singgah lama di hatiku dan mungkin akan terus begitu. Setiap bagian dari dirimu membuatku tertarik dan tidak bisa membuatku berpaling. Kamu perwujudan dari orang yang selalu ku idamkan. Setiap pandanganku jatuh padamu selalu membuatku mengucap dan memuji keagungan Tuhan. Tuhan menciptakanmu dengan begitu sempurna. Semuanya, sifat, tutur kata, perilaku, rambut hitam legamnya dan pupil matamu yang jauh lebih dalam dari gelapnya malam. Semuanya sempurna bagiku, begitu pas, tak ada yang perlu diubah darimu. Aku mencintaimu apa adanya, semua bagian darimu. Aku tak tahu apakah ini termasuk perasaan cinta atau bukan meskipun kamu sudah lama mengisi hatiku. Membuat tak ada ruang yang tersisa untuk orang baru di sana. Sedangkan yang ku bisa hanya mendambakannya.

Memang benar, manusia harus lebih mencintai Penciptanya dari pada ciptaan-Nya. Mungkin perasaanku berlebihan, dan sesuatu yang berlebihan tidak pernah berakhir baik. Bagaimana bisa, aku, yang seorang manusia biasa, mengharapkan sesuatu yang tidak bisa ku gapai. Sesuatu yang takkan mungkin, meskipun orang-orang bilang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Lalu bagaimana dengan kisahku? Aku mengalami sesuatu yang orang sebut dengan kata "tidak mungkin" itu.

Aku tak pernah bisa melangkah lebih dekat kepadamu karena ada batas yang memisahkan kita. Batas yang sangat jelas bentuk dan rupanya namun tak kasat mata. Batas yang seharusnya memang memisahkan kita dan tak harusnya pernah coba dilewati. Jarak yang sangat membedakan kita. Dan dari situ, aku selalu mencoba mengikhlaskanmu, membiarkanmu pergi walau aku terluka setengah mati. Hanya diam mengagumi kamu yang berada di jarak tak kasat mata itu tanpa pernah mendekat. Karena apa yang dipisahkan oleh Tuhan takkan pernah bisa disatukan oleh manusia.

Awalnya, ku pikir seiring berjalannya waktu nanti kamu akan pergi dengan kemauanmu sendiri, dan aku mungkin akan kehilangan rasaku kepadamu, namun rupanya aku yang memang tak ingin kamu pergi. Hanya satu hari pertemuan kita saat itu namun kamu sudah mengklaim tempat di dalam hatiku. Tidak ada pertemuan hingga setahun setelahnya.

Hanya aku yang terus memandangi fotomu di akun whatsapp grup kita. Ya, aplikasi whatsapp. Grup untuk para penulis muda yang memenangkan lomba menulis cerpen nasional saat itu. Grup itu menjadi sarana bagi lima orang dari kita yang menjadi pemenang lomba itu. Yang punya kesempatan untuk magang di penerbit itu selama enam bulan. Lomba yang membawaku melihatmu. Yang membuatku berharap bisa mempersempit jarak kita walau tak pantas. Kita yang hanya berkomunikasi di dalam grup dengan admin yang merupakan salah satu editor suatu penerbit yang selalu menjadi penerbit novel-novel favoritku dan tak pernah berbicara pribadi berdua. Kita yang bahkan tak pernah saling sapa. Atau bahkan hanya sekedar saling menandai di dalam grup, tak pernah sama sekali.

Kau ingat pertemuan pertamaku denganmu saat kita kelas sepuluh waktu itu? Di ibukota negeri ini, aku yang berasal dari desa di suatu kota kecil paling ujung timur pulau menapakkan kaki di kota paling padat di seluruh Indonesia. Setelah mengikuti lomba cerpen nasional itu, aku meraih juara pertama. Kamu meraih juara kedua, dan Brian meraih juara ketiga. Kita pada akhrinya berteman, seiring berjalannya waktu. Aku datang ke ibukota menggunakan tiket pulang pergi pesawat yang dikirimkan oleh pihak penerbit. Itulah kedua kalinya aku naik pesawat dan pertama kalinya aku pergi ke suatu tempat seorang diri. Aku sangat takut tentunya, namun pihak penerbit benar-benar sangat membantu ku dengan baik. Aku sungguh-sungguh hanya seorang gadis desa dari kalangan menengah ke bawah. Sungguh jauh berkebalikan denganmu.

Aku juga masih bertanya-tanya, mengapa Tuhan menghadirkan kamu dalam hidupku. Harusnya aku hanya mengagumimu dari jauh. Tidak pernah terlibat atau malah dekat denganmu. Harusnya aku tahu, aku bukan siapa-siapa. Harusnya aku bisa menahan diri. Menahan perasaanku. Mencegahnya agar tak berkembang lebih jauh. Mencegah agar perasaanku tak tumbuh dan malah membelenggu dan menyakiti kita berdua. Maka dari itu, aku tak pernah mau memulai kisah kita.

Meski mereka bilang kita tidak salah karena kita saling cinta. Karena aku tahu, jika kisah kita dimulai, maka tidak akan ada akhirnya. Tidak ada akhir yang bahagia diantara kita. Tidak akan ada kita yang berjalan beriringan bersama-sama sampai hari senja kita.

Cinta ini benar, hanya saja tumbuh di saat yang tidak tepat. Cinta ini hadir diantara dua orang yang tidak tepat. Jika bisa, aku ingin mengulang waktu agar aku tak pernah mengenalmu. Tak ingin dekat denganmu yang sampai-sampai membuat perasaanku tumbuh semakin dalam. Jika begitu, maka kita akan bahagia di jalan kita masing-masing. Kamu akan bergandengan tangan bersama gadis yang kamu cinta tanpa jarak. Dan aku tahu gadis itu bukan aku. Hatiku sesak. Membayangkan duniaku tanpa mengenalmu. Jarak itu masih menjadi pemisah kita dan selamanya akan terus seperti itu.

Aku akan mencintai orang lain setelahnya. Dan kamu juga akan melakukan hal yang sama. kita hanya dua insan yang secara sengaja Tuhan pertemukan, namun tidak Tuhan satukan. kita berada di jalan yang berbeda. Kamu akan jadi laki-laki yang pernah aku cinta. Mungkin ini memang yang terbaik bagi kita. Kita pada akhirnya memang akan berpisah pula. Nanti, suatu hari, aku akan menemukan orang sepertimu yang tak berjarak seperti kita, orang yang ku cintai sedalam cintaku padamu. Kami akan berjalan beriringan di jalan yang sama. Begitu pula kamu. kita terpisah jarak dan akan selalu terpisah jarak itu.

Tetapi, terima kasih. Sungguh. Kamu adalah dia, dia yang ku temui di tengah cerita hidupku namun takkan pernah bisa membuat cerita indah bersamaku. Jarak ini terlalu nyata untuk kita. Meski kamu memiliki pandangan yang berbeda denganku tentang apa yang dimaksudkan Tuhan dengan menghadirkan cinta di antara kita. Sungguh, bagiku, cinta ini adalah cobaan. Cobaan yang dihadirkan Tuhan ke dalam hidupku. Cobaan indah yang ku temui.

Aku akan ikhlas. Aku harus ikhlas. Meskipun berat pada awalnya namun aku yakin akan terbiasa. Tuhan tahu apa yang terbaik. Biarkan saja coretan-coretan pena ku di kertas ini merangkum perasaanku padamu. Perasaanku padamu. Kamu adalah cobaan terindah bagiku. Cobaan yang membuatku semakin yakin pada Tuhanku. Cobaan yang akan membuat langkahku semakin tegak di jalan yang ku yakini.

Cinta. Ku mohon agar Tuhan hapuskan rasa yang ku miliki itu padamu meskipun secara perlahan-lahan namun pasti. Karena pada akhirnya, rasa ini harus habis. Sehingga kita berdua sama-sama bisa menemukan pengganti masing-masing. Sungguh, aku doakan kebahagiaan dan lindungan Tuhan agar selalu menyertai langkah kakimu. Sungguh. Aku berharap rasa ini akan semakin menipis. Dan akhirnya nanti, kita bisa mencintai orang lain lagi, dan itu bukan aku dan kamu. Bukan tentang kita, aku, kamu, dan jarak yang tak kasat mata.

Sabtu 26 Desember 2015

Aku bertemu seorang anak laki-laki. Dia seumuran denganku. Kami sama-sama kelas sepuluh. Aku bertemu dengannya di Jakarta. Iya, Jakarta. Ribuan kilometer dari rumahku. Aku seperti anak yang tersesat di sini.

Jadi begini, aku mengikuti lomba menulis cerpen tingkat nasional. Dan Alhamdulillah dari sekian banyak peserta yang mengirimkan email cerita. Aku meraih juara satu. Huhuhu... Aku ingin menangis dan memang kenyataannya aku menangis. Cerita yang ku tulis meraih juara satu di lomba menulis cerpen yang diadakan salah satu penerbit yang ku suka.

Saat pertama mendapatkan pemberitahuan jika aku menang lomba dari pesan whatsapp. Ku pikir itu penipuan. Jadi ku acuhkan saja pesan itu lebih dari seminggu. Sampai akhirnya salah satu panitia lomba menelepon dan meminta kesediaanku datang ke Jakarta. Tentu saja aku menolak. Pergi ke Jakarta sangat jauh, aku merasa keberatan. Belum lagi biaya perjalanan pulang pergi dan biaya makan di sana. Jadi aku bilang saja jika aku tak apa-apa jika tak jadi pemenang di lomba itu.

Tetapi, aku sempat bertanya apakah uang hadiah lomba dapat ditransfer saja. Kebetulan kakak sepupuku punya rekening bank. Dan alhamdulillah nya lagi, pihak penyelenggara bilang jika mereka akan mengirim tiket pesawat pulang pergi supaya aku bisa datang ke Jakarta menghadiri acara penyerahan hadiah lomba cerpen itu. Untuk makan dan tempat menginap pun, mereka sudah menyediakan hotel khusus untuk aku dan empat orang lainnya yang juga memenangkan lomba menginap. Mereka bilang, aku punya potensi jadi penulis. Karena ceritaku meraih poin tertinggi dari para juri dari beribu email yang masuk.

Dan selain ada hadiah uang yang jumlahnya cukup besar, cerpen yang ku tulis akan diterbitkan dalam suatu buku bersama cerpen-cerpen lain yang juga memenangkan lomba. Dan juga....... Aku punya kesempatan magang di penerbit tersebut. Aku benar-benar takjub luar biasa.

Tetapi kan tidak mungkin jika aku yang masih berusia lima belas tahun ini ikut magang. Jadi ku putuskan saja untuk menunda mengambil bagian magang itu. Mereka bilang hal itu tidak jadi masalah, aku bisa magang setelah aku lulus SMA nanti. Asyik...... Mereka bilang ada dua anak lainnya yang ternyata juga sama-sama masih kelas satu SMA. Dari lima pemenang, kami bertiga menduduki posisi juara satu hingga tiga. Maka dari itu pihak penerbit sampai bilang jika aku dan yang lainnya punya potensi jadi penulis yang hebat. Wahh, aku dipuji habis-habisan.

Aku berangkat jam empat sore dari Bandara Blimbingsari menuju Jakarta kemarin. Benar-benar seorang diri. Ada rasa takut. Luar biasa takut. Keluargaku sudah menyiapkan keperluanku dengan sangat baik. Aku bisa melihat raut wajah takut mereka. Begitu pula kembaranku. Tetapi mau bagaimana lagi, hanya ada satu tiket. Dan besok sore aku juga akan segera kembali ke rumah.

Ayahku sempat menawarkan diri untuk ikut namun ku tolak. Biaya tiket pesawat lumayan mahal. Tidak usah. Aku akan segera kembali besok. Keluargaku mengizinkanku berangkat setelah ayah menginterogasi salah satu panitia lomba untuk memastikan jika lomba ini bukan penipuan. Mereka sempat beradu mulut sampai-sampai panitia lomba tersebut, yang kemudian ku ketahui jika Namanya Pak Radit menunjukkan kantor tempat penerbit tersebut beroperasi dan menunjukkan tempat acara akan dimulai. Aku pun berangkat ke Jakarta seorang diri.

Sesampainya di Jakarta, sudah ada Pak Radit yang menungguku. Pak Radit masih muda, usianya sekitar dua puluh lima tahunan. Pak Radit bilang dia kepikiran omongan ayahku. Dan wajar saja hal itu terjadi. Mengingat apa yang ku alami, benar-benar seperti mimpi di siang hari. Tidak akan lucu jika ternyata sesampainya di Jakarta, aku malah dijual ke luar negeri. Amit-amit. Naudzubillah. Namun Pak Radit sangat baik, bahkan Pak Radit membantuku membawa barang-barang bawaanku.

Kami naik mobil. Mobilnya bagus sekali. Aku tak tahu jenisnya. Fitur-fitur mobilnya sangat canggih. Namun tetap saja, sebagus apapun mobil itu, membuatku tak betah. Aku mabuk kendaraan. Jadi selagi Pak Radit mengajakku bicara dengan ramah, yang sanggup ku lakukan hanya diam seribu bahasa. Pak Radit yang duduk di kursi depan awalnya terus lanjut bicara sampai beberapa lama waktu menuju hotel. Pak Radit semakin diam lalu menengokku yang duduk di kursi penumpang. Kami saling bertatapan. Pandangan Pak Radit penuh dengan rasa menyelidik. Saat kami berhenti di lampu merah. Pak supir juga ikut menengok ke arahku. Aku sempat dengar Pak Supir bilang jika wajahku sudah pucat pasi. Lalu beliau menoleh lagi ke depan seakan-akan mencari sesuatu.

Pak Radit masih menatapku. Pandangan matanya masih menyelidik. Ekspresinya datar. Sedangkan ekspresiku semakin kecut. Jilbab yang kenakan mulai basah penuh keringat. Aku tak beranjak sesenti pun dari tempatku awal duduk tadi saat pertama kali masuk mobil. Sampai akhirnya Pak Radit bersuara.

"Kamu mabuk kendaraan, ya?" tanyanya.

Aku tak menjawab sama sekali. Namun tanganku langsung menyambar kantung plastik yang disodorkan oleh Pak supir. Sedetik kemudian. Aku muntah.

Pak Radit langsung sigap memberikanku minyak kayu putih. Argghhh aku malu sekali. Aku hanya bisa mencoba tidur dan memejamkan mata. Sedangkan Pak Radit menginstruksikan kepada Pak supir agar mempercepat laju mobil sampai kami tiba di hotel. Entah kenapa perjalanan terasa lama sekali.

Saat sampai di hotel, aku sudah muntah lima kali dan badanku benar-benar lemas.

Pak Radit mengantarku ke kamar tempatku menginap. Pak Radit bilang jika kamar tempat lima pemenang lomba menginap, semuanya berjejer berurutan di samping kamarku. Dimulai dari kamarku yang berada di paling pojok. Hanya kamarku dan kamar di sebelahku yang terisi. Sisanya masih kosong karena yang lainnya berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan mereka semua belum sampai di Jakarta. Aku jongkok di depan pintu kamar sambil menahan pusing dan mual sementara Pak Radit membuka pintu kamarku dengan kartu. Canggih sekali.

"Na, yok masuk. Nanti kamu istirahat dulu aja, jangan kemana-mana dulu. Kamu pucat banget loh ini." Kata Pak Radit penuh khawatir.

Aku hanya menjawab dengan mengangguk lemah. Pandanganku masih ke bawah dan aku masih mencoba menahan rasa mual. Makanan yang tadi ku makan mulai naik lagi ke kerongkonganku.

Saat aku akan masuk ke dalam kamar. Sesorang memanggil Pak Radit. Aku sempat menoleh sekilas sebelum lari secepat kilat ke dalam kamar mandi. Mabuk kendaraan memang luar biasa. Yang ku ingat waktu itu, yang memanggil Pak Radit adalah anak laki-laki. Jika dilihat-lihat sepertinya keturunan cindo. Wah, dia mirip artis Korea yang selalu ku idamkan belakangan.

Hari itu ku habiskan dengan tidur. Aku bangun jam tujuh pagi dan tergesa-gesa sholat subuh. Acara dimulai jam delapan dan aku belum sarapan. Saat ku cek ponselku puluhan panggilan tak terjawab dari keluargaku dan Pak Radit menyambutku. Setelah mengabari keluargaku. Aku segera keluar kamar, di depan pintu kamar ada meja sarapan. Lalu aku sarapan lebih dulu.

Aku masuk kembali ke kamar dan makan dengan buru-buru. Sarapannya luar biasa enak. Nasi goreng cumi-cumi dilengkapi sop buntut dan jus jambu. Wah. Luar biasa. Saat melihat cermin, aku baru sadar jika dasi seragam sekolahku belum ku pakai. Lalu aku mencarinya dan ku temukan di kamar mandi. Ini pertama kalinya aku mandi air hangat menggunakan shower. Pak Radit bilang kami yang masih SMA harus menggunakan seragam putih abu-abu kami untuk menunjukkan identitas kami. Jadi aku membawanya dari rumah. Setelah penampilanku ku rasa rapi. Aku segera berlari keluar. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat naik lift.

Saat melihat Pak Radit di lobi hotel. Aku merasa senang dan malu bercampur jadi satu. Pak Radit jadi repot mengurusku yang mabuk kendaraan kemarin. Namun Pak Radit bilang jika yang ia lakukan hanyalah hal biasa. Pak Radit juga bersama dengan tiga orang lainnya yang juga pemenang lomba. Ada salah satu yang juga menggunakan seragam putih abu-abu sepertiku. Anak laki-laki. Tetapi dia bukan anak laki-laki yang kemarin. Kami semua berkenalan. Anak laki-laki itu bernama Brian, dia meraih juara tiga. Aku bertukar nomor ponsel dengan Brian. Ada seorang Bapak yang usianya ku rasa sama dengan ayahku, namanya Pak Jhon, beliau juara lima, dan ada seorang kakak cantik dengan penampilan modis yang usianya dua puluhan, namanya Kak Reya, juara empat. Kak Reya terlihat sangat cuek dan mengintimidasi. Selebihnya, mereka semua ramah. Kami lalu berjalan keluar hotel. Aku sempat bertanya kepada Pak Radit dimana anak laki-laki lain yang seusia denganku. Kata Pak Radit, anak laki-laki itu. tidak menginap di hotel karena rumahnya di Jakarta.

Kami sampai di tempat acara tepat waktu. Aku bebas dari mabuk kendaraan karena aku naik ojek motor. Alhamdulillah. Aku bilang ke Pak Radit jika aku akan mengganti ongkos ojeknya nanti. Namun tentu saja, lagi-lagi Pak Radit menolak. Saat aku masuk ke ruangan acara. Aku melihatnya lagi. Anak laki-laki yang kemarin. Kali ini secara lebih jelas.

Benar. Dia juga mengenakan seragam SMA seperti aku dan Brian. Rambutnya hitam legam. Rapi. Aku bisa melihat rambutnya licin karena gel rambut. Ada sedikit bagian dari poni rambutnya yang ku rasa tidak suka diatur sehingga agak menjuntai ke keningnya. Pupil matanya lebih gelap dari malam. Pikirku. Menurutku. Dia lebih tinggi dariku, tinggiku mungkin hanya se lehernya saja. Dibandingkan dengan Brian pun, ia masih jauh lebih tinggi. Seragam yang ia kenakan juga seragam dari sekolah elit. Badge tanda nama sekolahnya berada di lengan baju kirinya. Di dada kirinya ada badge nama lengkapnya.

Dia mengobrol dengan santai dengan Brian dan yang lain. Termasuk dengan Kak Reya yang dari tadi kelihatan cuek. Aku hanya sekali bicara dengannya saat awal, hanya sekedar menyebutkan nama tadi. Aku begitu sibuk mengamatinya. Dia tidak seperti idola K-pop yang ku idolakan. Dia lebih dari itu. Tatapan matanya begitu dalam dan tegas. MasyaAllah. Tuhan memang menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.

Aku bisa melihatnya sepuasku karena dia sama sekali tidak mengajakku bicara dan tidak menoleh ke arahku. Dia sibuk berbicara dengan Brian. Aku tidak tahu kenapa namun aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Bahkan Pak Radit sempat menggodaku karena hal itu.

Sampai akhirnya acara penyerahan hadiah dimulai. Semua pemenang maju satu per satu ke panggung dimulai dari Pak Jhon, dan seterusnya. Aku yang paling terakhir dipanggil. Saat namaku dipanggil, aku pun maju. Pandanganku terus saja ke anak laki-laki itu. Dia kali ini balas memandangku, tanpa ekspresi. Hanya diam. Aku tak bisa membaca mimik mukanya. Bibirnya tak menyunggingkan senyuman. Namun tak ada raut marah atau terganggu di sana.

Matanya menatap lurus ke mataku. Membuatku mengalihkan pandangan dan seketika tersandung kecil sebelum sempurna mengambil tempat berdiri di sampingnya. Aku menunduk malu. Aku bisa dengar pekikan tertahan Brian tadi. Dan saat aku melirik ke sampingku. Dia, anak laki-laki itu menundukkan pandangannya ke bawah sembari tersenyum tipis. Aku ikut tersenyum dan menunduk. Setidaknya dia tidak membenciku. Tidak. Ku harap dia tidak membenciku, aku harap aku tidak mengganggu di matanya. Aku harap kami bisa jadi akrab.

Nama lengkap anak laki-laki itu Satya Alfiandra Wijaya. Namanya Andra.

Senin 4 Januari 2016

Andra, aku masih ingat betul bagaimana pertemuan kita waktu itu. Rasanya memang benar-benar seperti mimpi. Layaknya ilusi semata. Tetapi, ya mau bagaimana lagi. Hanya sekali bertemu. Aku pulang ke Banyuwangi sore itu. Pulang ke rumah. Membawa kenangan manis tentang kamu.

Bagaimana bisa ya ada orang setampan kamu? Ya Tuhan, kamu sungguh indah. Aku sangat kagum menatapmu. Namun aku hanya melihat luarnya saja. Hehehe. Aku tidak mengenalmu. Apa aku bisa akrab dengan kamu, ya? Sepertinya tidak mungkin. Kita hanya kebetulan bertemu karena sama-sama memenangkan lomba cerpen itu. Selebihnya lagi, tidak ada hubungan sama sekali.

Bagaimana kabarmu hari ini? Aku ingin menanyakanmu ke Brian tetapi aku malu dan tidak enak hati. Aku rasa aku tak punya hak untuk menanyakan kabar kamu, Andra. Ayolah, wahai otak! Jangan terus memikirkan kamu! Semester baru sudah menanti di depan mata. Lebih baik aku fokus pada hal itu.

Wah, bisa-bisanya aku berharap bertemu lagi denganmu. Ayo, sadar diri, Ayana! Aku siapa? Kamu siapa? Hanya karena sama-sama memenangkan lomba dan bertemu sekali itu bukan berarti akan akrab. Jangankan akrab, mungkin kita tidak akan saling mengenal. Mungkin kamu sudah lupa pada namaku. Aku harus ingat jika aku dan kamu berada di dunia yang berbeda. Kamu anak Kota Jakarta, sedangkan aku? Lalu melihat dari caramu berpakaian tentu saja kamu pasti anak orang kaya. Itu pasti.

Tetapi boleh kan ya jika aku ingin bertemu denganmu lagi? Ini bukan sesuatu yang tidak wajar kan ya? Aku coba bertanya kepada Brian apakah dia punya nomor whatsapp Andra, dia bilang tidak punya. Aku jadi malu mau bertanya lebih jauh. Mengapa aku jadi terus memikirkan kamu terus, sih? Cukup, Ayana! Cukup! Jangan coba-coba berharap! Aku boleh mengagumimu sewajarnya saja. Cukup. Hanya itu.

Ibaratnya seperti menatap bulan di kegelapan malam. Hehe. Ku rasa aku sangat kagum kepada kamu sampai-sampai menyamakannya dengan bulan. Dan ku rasa, aku tak pernah bertemu anak laki-laki lain seperti kamu sebelumnya. Kamu begitu membekas di pikiranku. Aku terus memikirkanmu. Kamu begitu indah dan menarik di mataku. Ya, cukup, hanya itu. Hanya kagum semata. Anggap saja sedang mengidolakan anggota boy grup K-pop. Karena memang sama-sama ilusi. Sesuatu yang hanya bisa ku pandangi namun tak bisa ku dekati. Ah, bahasaku dalam sekali.

Aku dan Brian makin akrab memang. Dia menyenangkan. Dia mengajariku banyak kosa kata dalam Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi. Andai saja aku dan Andra juga bisa akrab seperti itu. Oh ya, pagi tadi puisi buatanku dipajang di mading sekolah. Pihak sekolah langsung heboh saat mendengar aku memenangkan lomba cerpen itu. Alhamdulillah. Aku jadi semakin semangat menulis.

Saat pelajaran di kelas tadi, aku masih saja bertanya-tanya apa yang kamu lakukan, Andra. Apakah kamu juga sedang mengikuti pelajaran sepertiku atau dia sedang di tempat lain. Bagaimana ya suasana sekolah tempatmu bersekolah? Kemarin aku sempat searching di google tentang sekolahmu dan luar biasa sekali hasilnya, uang spp per bulannya saja setara dengan gaji ayahku sebulan.

Bagaikan langit dan bumi. Jadi seperti ini ya melihat salah satu tokoh cerita yang tampan dan kaya raya secara langsung. Ku kira itu hanya dalam drama fiksi saja, ternyata di dunia nyata ada banyak. Ah aku lupa, terkadang kan kejadian di dunia nyata itu jadi salah satu inspirasi dari menulis cerita atau drama. Istilahnya drama di dunia nyata yang dituangkan ke drama fiksi. Aku kan jadi semakin ingin tahu tentang kamu. Aku jadi semakin tidak tahu diri.

Sayangnya tidak banyak yang ku tahu tentangmu. Kamu benar-benar seperti mimpi. Tidak, seperti ilusi. Aku ingin akrab dan mengenalmu tetapi apa daya? Kamu hanya mampir sehari ke dalam cerita hidupku yang begitu panjang. Apa seperti ini rasanya bertemu dengan Idol K-pop di dunia nyata, ya.

Rasanya seperti ingin bertemu denganmu setiap hari.

Ingin dekat denganmu dan mengenalmu.

Ingin berbicara denganmu.

Ingin terlibat dalam keseharianmu. Memandangimu dari dekat.

Ingin berbicara dan bersenda gurau denganmu. Ingin berteman denganmu sampai-sampai kita pergi menonton film di bioskop bersama-sama, dengan kamu dan Brian.

Aku ingin mengajakmu menonton movie salah satu anime favoritku.

Wah, sungguh indah berangan-angan. Pikiranku kacau sekali. Aku malah mirip stalker. Kamu pasti takut jika ia mengetahui hal ini. Tak rela rasanya hanya bertemu denganmu sekali saat itu. Bahkan saat kembali ke hotel setelah acara pun, kamu langsung pulang ke rumah. Kita tak sempat mengobrol sama sekali. Padahal sebelum kembali ke hotel, kita sempat ditraktir di salah satu restoran Jepang, namun kamu tidak bisa ikut karena terburu-buru. Dari pengalaman hari itu, aku tahu jika aku tidak suka daging ikan mentah. Rasa wasabi juga terasa sangat aneh di lidahku.

Mungkin jika hari itu dikatakan sebagai mimpi atau ilusi, aku akan percaya. Hari itu merupakan hari yang jauh berbeda dengan hari-hariku biasanya. Sungguh pengalaman yang menyenangkan. Karena setelah kembali ke rumah, aku kembali ke semula. Seakan kamu hanya ilusi dan aku harus menerima hal itu. Yang tersisa dari hari itu adalah kegembiraanku tentang lomba cerpen dan nomor whatsapp Brian. Brian teman yang menyenangkan. Entah kapan kami akan bertemu lagi. Jika kami memang bertemu lagi nanti, aku harap aku juga bisa bertemu denganmu lagi.

Tetapi aku tetap sadar diri. Berharap sesuatu secara berlebihan itu sama sekali tidak baik. Apalagi jika yang diharapkan benar-benar mustahil. Mengapa perasaanku agak buruk soal ini, ya? Tuhan sudah berbaik hati mempertemukan aku dengan kamu sekali. Aku tak boleh serakah dengan meminta lebih lagi. Aku hanya satu orang di antara banyaknya manusia.

Jakarta sungguh luas. Kamu memiliki urusanmu sendiri. Aku juga punya urusanku sendiri. Kita hanya bersinggungan sekali namun hatiku sudah berharap hal-hal mustahil. Sungguh lucu. Kamu ada di kehidupan yang akan terus kamu jalani yang mungkin saja takkan pernah bersinggungan lagi denganku. Begitu juga denganku. Jarak kita saja terpisah ribuan kilometer.

Kamu mungkin tidak habis pikir bagaimana bisa aku yang hanya bertemu sekali denganmu malah ingin mengenalmu lebih dalam. Kamu mungkin akan risih dan ketakutan jika tahu. Ku rasa pertemuan kita kemarin hanya sekelebat peristiwa yang hadir di cerita hidupmu, mungkin tak berarti seperti angin lewat. Yang mungkin saja kehadiranku di sana sama sekali tak meninggalkan kesan untukmu.

Berbeda denganku. Yang setelah berhari-hari masih saja berharap bertemu denganmu lagi padahal mungkin saja sudah tidak mungkin. Pertemuan waktu itu benar-benar membekas bagiku. Terasa menyakitkan, sih. Tetapi ini memang kenyataannya. Apa yang ku rasa penting belum tentu penting juga bagi orang lain. Jadi, sekali lagi, Ayana! Cukup berharapnya! Jangan pernah mencoba merajut ilusi yang mustahil terjadi!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!