"Azizahhhhhh!" Sumarni berteriak itu adalah kegiatan rutinnya setiap pagi, sepertinya ada yang kurang hidupnya jika tidak berteria memanggil Aziah.
Azizah merapatkan tangannya, seperti ini lah rutinitas setiap pagi mendengarkan omelan ibu mertua yang selalu menganggap dirinya salah dan tak berguna.
"Ya, Bu?"Aizah menyahut suara ibunya dengan pelanm Aziza wanita lembut dia tak pernah berteriak apalagi meninggikan suaranya, apalagi dihadapan orang lebih dewasa darinya.
Dia berjalan perlahan menahan rasa sakit dipunggungnya, sekarang aziza sedang hamil 8 buln harusnya aziza dijaga betul-betul tapi malah dipaksa bekerja.
"Ada apa, Bu?" tanyanya, berusaha tersenyum meski perasaannya sudah tidak enak, dan pasti ada yang salah.
"Kenapa teh manisnya kurang manis?" Bentak sumarni tanpa sedikitpun menurunkan volume suaranya.
Sumarni benci azizah, bagi Sumarni Aziza adalah wanita kampungan tak berharga, bukan wanita karir yang mengahasilkan uang, bagi sumarni Aziza adalah beban raka anaknya.
Azizah menunduk, mengusap perutnya, lalu menjawab lirih, "Gulanya habis, Bu."
Sumarni menatap tajam pada Aziza pandangannya menusuk memberi aura intimidasi yang kuat lalu berteriak. "Ya beli dong! Raka kan udah ngasih uang belanja. Masa nggak ada gula?" suaranya tajam bagai silet baru.
Azizah menelan ludah. "Aku nggak bisa jalan jauh, Bu... Aku takut membahayakan kehamilanku."
Matanya berkaca-kaca, berharap ada sedikit belas kasih. kalaupun tidak suka dengan dia setidaknya ibu mertuanya menyayangi cucu yang Aziza kandung. Tapi harapan itu langsung hancur.
"Dasar manja! Udah numpang hidup di anak saya, ngurus rumah aja nggak becus! Kalau saja kamu nggak hamil, udah dari dulu saya suruh Raka cari istri lagi!"
Azizah terpaku. Hatinya seperti diremas. bagaimana mungkin ibu mertuanya tega mengatakan itu dihadapannya langsung, apakah mertuanya tidak punya hati mengatakan hal itu didepan menantu yang sedang mengandung.
Dan kenapa seorang istri yang tinggal di rumah suami disebut menumpang, bukankah salah satu kewajiban suami adalah menafkahi istri dan salah satunya adalah membuatkannya rumah, kalau sekarang aziza disebut menumpang logika macam apa ini.
"Ya udah, aku beli dulu, Bu," Tidak mau ada pertengkaran lebih lanjut aziza menuruti permitaan ibu mertuanya.
Ia melangkah keluar rumah dengan hati yang berat. Matahari menyengat, membuat peluhnya mengalir, tapi bukan itu yang paling menyiksa. Lebih menyakitkan tinggal serumah dengan mertua yang menganggapnya sampah.
Di depan rumah, Bi Eha—tetangga yang hobi julid tapi sebenarnya perhatian—sedang duduk sambil mengipas wajahnya dengan tutup panci. Matanya langsung menangkap sosok Azizah yang berjalan tertatih di bawah terik matahari.
"Eleuh-eleuh, Neng Gelis! Perut udah buncit gitu, bukannya di rumah aja, malah jalan-jalan. Panas, Neng!" serunya, setengah prihatin, setengah kepo.
Azizah hanya tersenyum tipis. Bahkan tetangganya saja mengerti kalau ibu hamil butuh perhatian lebih. Tapi kenapa mertuanya tidak? Kenapa suaminya malah makin galak?
Tapi ia tetap bertahan. Demi keutuhan keluarga.
Sampai di tepi jalan, ia berhenti sejenak. Jalanan cukup ramai, motor dan mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Azizah menelan ludah, bersiap untuk menyeberang.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara teriakan khas Mang Maman, tukang parkir yang selalu siaga di sekitar warung.
"Aduh neng jangan nyebrang dong harusnya, nanti kalau terjadi apa-apa sama neng dan anak yang neng kandung gimana coba" ucap Mang maman tukan parikr
Mangmaman membantu aziza menyebarang jala, dia memastikan agar aziza selamat sampai tujuan walau dia beberapa kali di hardik oleh pengguna jalan raya
Azizah tersenyum lelah. Setidaknya masih ada orang yang peduli.
Setelah selamat sampai di seberang, ia masuk ke warung Bu Susi dan membeli gula. Namun, saat ia keluar…
Matanya membelalak.
Di tepi jalan, tepat di depan warung, terparkir sebuah Alphard hitam mengilap. Aziza faham betul kalau itu adalah mobil Ayahnya.Jayadi Pratama
Aziza bukan dari kalangan sederhana dia adalah putri keluarga pratama, keluarga yang merajai bisnis di kota ini, Jayadi Pratama orang yang Aziza ingin hindari, memlilih raka bukan perkara mudah dia harus beratem dulu sama ibunya demi memili Raka, dan Aziza belum siap memperkenalkan Raka, taku raka minder kalau tahu Aziza dari kalangan konglomerat.
"Ziii, kapan pulang?" suara Jayadi terdengar datar, tapi ada tekanan kuat di dalamnya.
Azizah menggenggam plastik berisi gula lebih erat. Ia tidak menjawab. Dadanya terasa sesak.
Jaya di menatap lekap putri kesayangannya yang nampak kelelahan, bukannya tidak mau membantu tapi Jayadi hanya ingin anaknya merasakan apa yang sudah dia putuskan "Kamu harus segera jujur sama suami kamu, kalau kamu dari keuarga pratama, ingat bayi yang kamu kandung adalah cucu pertama keluarga pratama, orang-orang harus tahu itu, dan aku kakeknya tidak akan membiarkan cucuku dalam penderitaan" ucap Jayadi penuh penekanan
Azizah menunduk, bibirnya bergetar. "Beri aku waktu seminggu, Pah. Aku pasti memberi tahu Mas Raka."
Jayadi menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang ucapannya. "Baiklah.Papah beri kamu waktu, kalau salam seminggu tidak ada jawaban dari kamu, terpaksa papah akan datang ke rumah suamimu itu."
Suasana terasa semakin berat.
"Baik, Pah," jawab Azizah pelan.
Jayadi tidak berkata apa-apa lagi. Ia masuk ke dalam mobilnya, mesin menyala, lalu Alphard hitam itu melaju meninggalkan Azizah sendirian di tepi jalan.
Azizah menatap kepergian ayahnya dengan mata nanar."Maaf pah, aku belum bisa jujur sama mas Raka tentang keluargaku sebenarnya pa, keluarga mas raka meperlakukan ku dengan buruk, waktu seminggu ini akan aku lihat perkembangannya jika terus menyakitiku maka aku akan pergi demi anakku"
Angin berembus pelan, seakan mengerti kegelisahannya.
Azizah dibantu mang maman menyebrang dengan perlahan
"Terima kasih, Mang," ucap Azizah dengan senyum tipis.
"Sama-sama, Neng. Hati-hati, ya," balas Mang Maman sebelum kembali ke posnya.
Azizah melangkah pulang, napasnya terasa berat. Begitu sampai di rumah, wajah Sumarni sudah bringas, seperti singa betina yang siap menerkam.
"Lambat… lambat… lambat terus!" Bukannya ucapan terima kasih, atau perhatian malah cacian yang diterima aziza
Tidak tampak rasa kahwatir sama sekali terhadap Azizah ada cucunya sendiri.
Azizah diam. Jawaban hanya akan memicu perdebatan panjang yang melelahkan.
Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju dapur. Tangannya cekatan memasak, mencuci piring, mengepel rumah—semua dilakukan tanpa keluhan. Sementara itu, Sumarni tetap rebahan, tidak melakukan apa-apa selain memberi perintah.
Azizah, yang sejak kecil tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah karena semuanya dilakukan oleh para pembantu, kini harus bekerja keras demi keluarga yang bahkan tidak menghargainya..
Aiza berpura-pura jadi orang sederhana untuk mendapatkan cinta sejati Tapi yang ia dapatkan bukan cinta sejati—melainkan penghinaan sejati.
"Bu, aku mau bayar pembantu untuk membersihkan rumah ini," ucap Azizah hati-hati.
Sumarni menoleh tajam. Wajahnya langsung berubah menyeramkan, seperti serigala kelaparan yang siap menerkam mangsanya.
"Apa kamu bilang?Bayar pembantu, dasar ya kamu istri tak berguna, sudah jad beban suami, minta pembantu pula, emang kamu sanggup bayarnya, kamu ini numpang di rumah raka anakku setidaknya kamu itu harus berguna dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, jangan manja kamu, dasar tak berguna" Bentak Sumarni menggebu-gebu bai dia permintaan Aziza ini tidak masuk akal sama sekali.
Azizah menarik napas dalam. "Ya sudah, Bu."
Ia memilih diam. Tidak mau ribut. Tidak mau berdebat. hanya akan membuat dia sakit hati dan berujung ribut dengan raka nantinya,
Sore tiba, Raka pulag dengan wajah ditekuk seperti sedang menanggung masala yang besar. tanpa memperdulikan aziza sedikitpun, bahkan menyentuh perut aziah pun seolah tak sudi, Dulu raka baik, sholeh makanya Aziza jatuh hati pada Raka.
Sejak kapan dia berubah?
Azizah mengingat-ingat. Sejak usahanya maju Raka berubah padanya, apalagi saat raka mampu beli rumah, Aziza seolah tak ada dalam kehidupannya, ya mungkin begitu lah uang bisa memperjelas watak manusia
"Raka istri mu bisa apa sih, apa apa salah, ini ga bisa, itu ga bisa" Sumarni mulai mengadi dan seperti biasa akan memprovokasi Raka
Dana benar saja kesabaran raka sekarang setipis tisu, sekali sentuh langsung tembus, mendengarkan sedikit aduan dari ibuny langsung tersulut emosinya
"Azizah".....pekik Raka
Bersambung
"Azizah, apa sih yang bisa kamu lakukan?" Bentak Raka matanya tajam seakan mau membunuh aziza
"Mas kamu tahu sendiri aku bangun jam berapa, aku langsung masak nasi, memberishkan rumah, menyiapkan semua keperluanmu, menyiapkan makan mereka semua,dan kondisiku sekarang sedng hamil mas, aku ga bisa gesit seperti aku tidak hamil" JAwab Aziza rasanya aziza sangat sakit mendapat perlakuan seperti itu dari raka suaminya
"Alah,,,Raka wajar saja dia mengerjakan semua itu raka, bagaimanapun dia itu numpang di rumah kamum, wajar dia melayani kami semua, karena kami ini keluarga kamu, sedangkan dia siapa, dia itu hanya istri kamu raka, coba kalau dia bekerja raka mungkin kamu tidak serepot ini" Sumarni Mengatakan itu dengan nada yang sinis
Azizah mengusap keningnya yang berkeringat. Punggungnya terasa nyeri, perutnya semakin berat, dan kakinya membengkak akibat kehamilan yang sudah memasuki bulan kedelapan. Rasa lelah itu bukan hanya fisik, tapi juga mental.
Tapi, Raka malah menatapnya tanpa empati. "Zah, tolonglah kamu mengerti, cobalah jadi istri yang membanggakanku,tidak seperti sekarang setiap hari aku menerima aduan terus dari ibu, aku ini sudah lelah bekerja sampai rumah malah mendapati masalah kamu."
Sakit sekali Azizah mendengarkan ucapan raka, jelas sekali apa yang dia lakukan sama sekali tidak ada artinya bagi raka dan keluarganya.
Ingin sekalai Aziza berteriak kalau Aziza lelah dengan semua ini, dia ingim berteriak kalau dia butuh perhatian bukan cacian.
Sari yang datang dari kamarnya tiba-tiba berbicara "Raka habis lahiran kamu ceraikan saja Aziza, aku bosan dengar ribut terus dengan ibu, Mendingan kamu cari wanita karir saja biar tidak jadi beban keluarga,"
Dia duduk kemudian mengambil nasi dan lauk pauknya, ini adalah wanita yang tidak tahu diri, habis mencaimaki Aziza terus memakan makanan yang Aziza Masak,
Azizah menggigit bibirnya kuat-kuat. Matanya mulai panas, tapi ia menahan air mata itu agar tidak jatuh. Cukup, Azizah. Jangan menangis di depan mereka. Jangan tunjukkan kelemahan.
Sunggung Aziza ingin sekali mendapat pembelaan dari raka, tapi sepertinya harapannya kosong, raka sama sekali tidak bereaksi apapun saat sari menghina dirinya.
Aziza terdiam menahan tangis, dan tiba-tiba suara menggelegar menghacurkan hati Aziza.
"Sudahlah pergi kekamar, aku pusing denger keributan tersu" Ucap raka tegas
Azizah tidak membantah. Dengan langkah berat, ia menuju kamar, meninggalkan ruang tamu yang kini terasa lebih panas dari neraka. Punggungnya terasa nyeri, perutnya semakin berat, dan hatinya penuh luka.
Raka sebenarnya berasal dari keluarga sederhana, saat menikah dengan Aiziza usahanya belum terlalu maju,, dan mengontrak dengan aziza, saat mengontrak itulah aziza merasakan cinta sejati dari raka, raka begitu baik padanya sehingga aziza yakin kalau raka adalah orang yang tepat baginya.
Tapi Raka tidak boleh dibiarkan sederhana terus maka aziza meminta bantuan rekan-rekan bisnisnya untuk membantu raka, dalam waktu 3 tahun target aziza adalah menjadikan raka pengusaha tingkat menengah agar saat dia perkenalkan dengan keluarga besar pratama raka tidak minder,Aziza sudah merancang sdemikian rupa untuk menjaga kehormatan raka.
Selama kurang lebih 3 tahun usaha raka maju pesat, dia mendapatkan order dengan harga tinggi dan syarat yang mudah, hingga raka jarang pulang karena saking sibuknya, dan setahun yang lalu raka membeki rumah yang lumayan besar dan dia membawa ibunya sumarni dan kakanya sari tinggal bersama, dan mulailah penderitaan Aziza sampai sekarang, dimulai dari aziza dinyatakan hamil,raka jarang pulang, selain karena sibuk juga sering mengindari pertengakaran aziza dengan ibunya,
di kamar Aziza dan raka, aziza sedang menghadap cermin didepannya
"Nak Mamah masih ingin kamu lahir dengan disaksikan ayahmu, mamah mau kamu lahir dengan keluarga lengkap, mamah mau pas kamu lahir ada ayah kamu yang pertama kamu lihat" isi pikiran aziza
..
Pagi hari tiba, tapi bukan suara burung yang menyambut pagi di rumah ini—melainkan teriakan melengking yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari.
"Azizahhhhhh!"
Sumarni berteriak dari ruang tengah, suaranya menggema hingga ke seluruh rumah.
Azizah yang tengah berusaha bangkit dari tempat tidur hanya bisa menarik napas panjang. Kakinya yang mulai bengkak akibat kehamilan besar terasa nyeri setiap kali menapak lantai dingin. Dengan langkah tertatih, ia keluar kamar.
"Apa, Bu?" jawabnya, mencoba tetap sopan meski hatinya lelah.
"Kenapa baju Ibu belum digosok?!" bentak Sumarni dengan wajah penuh amarah.
Azizah mengerjap, mencoba mengingat apakah tadi malam ia sempat menyelesaikan tugas itu. Tapi nyatanya, tubuhnya yang lelah membuatnya tertidur sebelum sempat menyelesaikan semuanya.
"Maaf, Bu, semalam ketiduran," jawabnya lirih.
"Alasan! Cepat gosok sekarang!"
Tanpa membantah, Azizah segera mengambil setrika dan mulai menggosok baju dengan cekatan. Tangannya lincah, seolah pekerjaan ini sudah menjadi kebiasaannya sejak lama. Padahal, dulu, sebelum menikah dengan Raka, ia bahkan tak pernah menyentuh setrika sendiri. Azizah adalah anak orang kaya, tapi demi menyenangkan hati mertuanya, ia rela belajar mengurus rumah tangga dari nol.
Baru saja ia menyelesaikan setengah tumpukan baju, suara lain kembali terdengar.
"Azizah!" Kali ini suara Sari, kakak iparnya yang tak kalah menyebalkan.
Azizah menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Apa, Kak?"
"Mana semir sepatu gue?" tanya Sari ketus.
Azizah menelan ludah. Peluh keringat sudah bercucuran di wajahnya, tapi ia tetap menuruti perintah itu. Tanpa banyak bicara, ia mengambil semir dan mulai membersihkan sepatu Sari dengan sabar.
Tapi rupanya, itu belum cukup.
"Jadi istri kok nggak guna gini, sih? Raka nggak pantes sama kamu! Dia itu pantesnya sama wanita karir, bukan sama orang kampungan norak kayak kamu," sindir Sari, menatap Azizah penuh penghinaan.
Azizah tidak menjawab. Bukan karena tak mampu melawan, tapi karena ia lelah.
Apa gunanya berdebat dengan orang yang pikirannya tertutup?
Sari mendengus kesal melihat Azizah hanya diam, lalu pergi begitu saja.
Azizah menatap kedua tangannya yang mulai gemetar, bukan karena lelah, tetapi karena menahan diri. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan betapa tidak tahunya mereka tentang siapa dirinya sebenarnya.
Tapi untuk saat ini, ia memilih diam.
Karena suatu hari nanti, mereka akan tahu sendiri siapa Azizah sebenarnya.
Bab: Kesabaran yang Mulai Habis
Azizah berjalan ke dapur dengan langkah tertatih. Perutnya yang membesar membuatnya semakin sulit bergerak, tapi tak ada satu pun orang di rumah ini yang peduli. Jika ini rumahnya sendiri, ia tak perlu bersusah payah hanya untuk segelas susu. Tapi di sini? Ia bahkan harus menahan lapar dan haus karena setiap hal kecil yang dilakukannya selalu dipermasalahkan.
Sejak awal kehamilannya, ia belum pernah sekalipun diperiksa ke dokter. Apakah bayi ini sehat? Apakah perkembangannya normal? Ia tak tahu. Dan yang lebih menyakitkan, ia tak tahu apakah Raka benar-benar menginginkan bayi ini atau tidak.
Seharusnya ia dimanja. Seharusnya ia diperhatikan. Tapi kenyataannya, ia malah diperlakukan seperti pembantu yang tiada henti disuruh bekerja.
Dengan sisa tenaganya, ia menyeduh segelas susu hangat dan berniat kembali ke kamar. Tapi baru saja ia mengangkat gelas itu, suara melengking kembali terdengar.
"Azizah, APA INI?!" teriak Sari dari ambang pintu dapur.
Azizah mendongak lelah. "Susu, Kak."
Sari mendekat dengan ekspresi marah. "INI SUSU MAHAL, AZIZAH!"
"Iya, aku beli pakai uangku sendiri," jawab Azizah sabar.
"Bohong! Pasti pakai uang Raka!"
Azizah menarik napas dalam. Jika biasanya ia memilih diam, kali ini cukup sudah.
"Ya kalau pakai uang suamiku, emang kenapa?"
Mata Sari melotot. "IBUUUUUUU!"
Tak lama, suara langkah tergesa-gesa terdengar. Sumarni muncul dengan wajah garang. "Apa sih, teriak-teriak?!"
"Bu, Azizah beli susu mahal!" lapor Sari seolah menemukan kesalahan besar.
Sumarni menatap Azizah penuh kemarahan. Tanpa peringatan, ia merampas gelas dari tangan menantunya dan—
PRANGG!!
Gelas itu pecah berkeping-keping di lantai. Susu yang tadi ingin diminum Azizah kini tumpah berantakan, bercampur dengan pecahan kaca yang berkilauan di bawah cahaya dapur.
"Dengar, anak bodoh! Jangan habiskan uang Raka! Aku nggak rela!" hardik Sumarni.
Azizah berdiri membeku. Tangisnya pecah, bukan karena pecahan kaca yang melukai kakinya, tetapi karena perlakuan mereka yang semakin di luar batas.
"Menangis aja bisanya! Awas, aku aduin kamu sama Raka!" bentak Sumarni sebelum pergi meninggalkannya.
Sari melangkah mendekat, menatap Azizah penuh kebencian.
"Cepetan lu minggat! Kalau nggak, gue bakal bikin hidup lo lebih menderita!" bisiknya tajam, sebelum ia pun pergi.
Azizah berdiri di sana, menatap lantai penuh kekacauan.
Selesai.
Kesabarannya habis.
Ia mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar, lalu mengetik pesan. Namun, suaranya bukan lagi lirih dan lembut seperti biasanya. Kali ini, suaranya penuh ketegasan.
"Jemput gue sekarang."
Tangannya mengepal kuat. Matanya menatap kosong ke depan.
"Baiklah… Setelah bayi ini lahir, gue akan lipat kalian semua. Gue akan masukin sampah-sampah kayak kalian ke tempat yang seharusnya. Orang-orang macam kalian nggak layak hidup!" batinnya, penuh dendam yang membara.
Azizah perlahan melangkah keluar dari rumah Jamal. Udara pagi yang seharusnya sejuk terasa begitu menyesakkan. Perutnya yang semakin besar membuat setiap langkahnya terasa berat, tetapi ia tetap berjalan, menahan nyeri di punggung dan kakinya yang mulai bengkak.
Dari seberang jalan, seorang pria paruh baya dengan topi lusuh dan baju sederhana segera menyebrang menghampirinya.
"Neng Gelis, ayo amang sebrangin. Kemana sih suaminya? Gimana kalau lahiran pas nyebrang jalan, coba?" ucap Mang Maman dengan nada penuh perhatian.
Azizah terdiam. Hatinya menghangat. Orang lain, yang bukan saudara, bukan teman, bisa begitu peduli padanya. Tapi suaminya sendiri? Seolah tak pernah memedulikannya.
Kenapa?
Kenapa seakan-akan Raka tidak menantikan kelahiran bayi ini? Kenapa tidak ada rasa khawatir sama sekali? Apakah bayi ini memang tidak diinginkan?
"Terima kasih, Mang," ucap Azizah lirih, menerima bantuan Mang Maman untuk menyeberang.
"Neng, kalau udah mau lahiran mah jangan jalan-jalan terus, atuh. Amang mah dulu waktu si bibi mau lahiran giliran sama ibu mamang buat jagain istri mamang," ujar Mang Maman dengan nada hangat.
Azizah tersenyum samar, tapi hatinya mencelos.
Iya, seharusnya begitu…
Seharusnya, seorang ibu hamil dijaga baik-baik karena ia membawa dua nyawa. Seharusnya, suaminya ada di sisinya, memastikan ia baik-baik saja.
Tapi Raka?
Azizah tidak lagi mengenal suaminya.
Dulu, Raka adalah pria yang penuh kasih sayang, yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi sekarang? Yang ada hanyalah Raka yang ambisius, Raka yang kasar, Raka yang sombong.
Azizah menarik napas dalam.
Sudah cukup.
Jika Raka tidak peduli, maka ia pun tidak perlu lagi menaruh harapan.
"Neng mau belanja?" tanya Mang Maman ramah.
"Enggak, Mang. Lagi nunggu jemputan," jawab Azizah sambil tersenyum tipis.
Ia berdiri di pinggir jalan, sesekali mengelus perutnya yang semakin membesar. Hamil tua membuatnya mudah lelah, tapi ia tetap berusaha kuat.
Sementara itu, Mang Maman sigap membantu sebuah mobil yang hendak keluar dari parkiran. Setelah selesai, si pemilik mobil memberinya beberapa lembar uang. Dengan senyum tulus, Mang Maman menerima dan langsung berkata, "Terima kasih, Pak, hati-hati di jalan."
Azizah terdiam.
Pemandangan itu mengingatkannya pada seseorang—pada Raka.
Dulu, sebelum usahanya maju, Raka selalu bersikap sopan dan rendah hati. Ia tak pernah lupa mengucapkan terima kasih, sekecil apa pun bantuan yang ia terima. Saat masih hidup pas-pasan, mereka berdua saling menguatkan, berbagi tawa meski hanya makan dengan lauk sederhana.
Masa-masa itu… terasa begitu jauh sekarang.
Sejak bisnis Raka berkembang pesat, semuanya berubah. Kekayaan membawa serta kesombongan, dan Raka bukan lagi pria yang dulu begitu mencintainya.
Lebih buruknya lagi, sejak Sumarni dan Sari tinggal di rumah mereka, hidup Azizah semakin terasa seperti di neraka.
Ia menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuknya.
Apakah ini harga yang harus ia bayar untuk cinta yang pernah ia perjuangkan?
Azizah menghela napas lega ketika sebuah mobil Pajero putih berhenti di depannya. Ia langsung mengenali kendaraan itu—mobil Cindy, sahabatnya sejak kuliah.
Cindy turun, mengenakan jilbab panjang yang dipadukan dengan kacamata hitam, jaket punk, sepatu boots, dan sebuah tas yang tampak lusuh di mata orang awam. Tapi bagi yang paham barang mewah, mereka pasti tahu tas itu seharga rumah yang cukup mewah.
Azizah mengerutkan kening. "Cindy, lu kesurupan apa?" tanyanya heran.
Cindy mengangkat dagu dengan percaya diri. "Semakin jomblo, semakin punk," jawabnya santai.
Azizah hanya bisa mendengus. Jawaban itu sama sekali tidak nyambung.
"Udah, naik, Bumil," kata Cindy sambil membantu Azizah masuk ke dalam mobil.
Sementara itu, Mang Maman yang sedari tadi mengamati hanya bisa melongo. Baginya, dandanan Cindy adalah sesuatu yang aneh—perpaduan antara muslimah dan punk yang tidak biasa.
Azizah tersenyum tipis. Setidaknya, sekarang ia berada di lingkungan yang membuatnya nyaman. Bersama sahabat yang benar-benar peduli padanya.
Tak lama kemudian, sebuah Pajero putih berhenti dengan gaya dramatis di depan Azizah. Jendelanya turun perlahan, dan muncullah seorang perempuan berkacamata hitam dengan jilbab panjang, jaket punk penuh emblem, sepatu boot, dan tas lusuh—lusuh versi orang kaya, tentu saja. Kalau orang biasa, tas itu udah mirip gombalan mantan: penuh harapan tapi kosong isi. Tapi bagi yang tahu barang branded, tas ini seharga rumah tipe elit.
Azizah mengerutkan dahi. "Cindy, lu kesurupan apaan?"
Cindy menyesuaikan kacamatanya dengan gaya sok misterius. "Semakin jomblo, semakin punk."
Azizah memijat pelipisnya. "Jawaban lu sama sekali nggak nyambung, Cind."
"Udah naik, Bumil! Nih, gue bantu." Cindy buru-buru keluar dan membukakan pintu dengan gaya bak ajudan presiden, bahkan hampir memberi hormat segala.
Sementara itu, Mang Maman yang sedari tadi mengawasi, hanya bisa melongo. Matanya menelusuri Cindy dari atas ke bawah. Dandanan ini… aneh. Muslimah tapi punk? Ini mah aliran baru! Mungkin kalau masuk TV, judulnya bisa jadi Hijrah ke Arah yang Salah.
Azizah naik ke mobil sambil menahan tawa melihat ekspresi Mang Maman yang seperti baru melihat alien turun dari langit. Setelah pintu tertutup, Pajero itu melaju mulus meninggalkan rumah Raka yang makin terasa seperti penjara.
Di dalam mobil, Azizah menghela napas panjang. "Cind, kenapa lu tiba-tiba pake gaya begini? Gue sampe takut mau tanya."
Cindy nyengir, satu tangan tetap di kemudi. "Gaya, Zah. Gue udah janji sama diri sendiri, selama masih jomblo, harus tampil sangar biar nggak ada cowok iseng yang deketin."
Azizah tertawa kecil. "Jadi menurut lu, cowok takut sama cewek punk?"
"Enggak juga sih… Tapi minimal, kalau ada yang nyoba modus, gue tinggal garuk-garuk kepala pura-pura kutuan. Dijamin kabur."
Azizah terbahak. Cindy emang selalu punya cara aneh buat menghadapi hidup.
Club bisnis mereka sebenarnya terbentuk iseng saat masih kuliah. Awalnya sekadar geng anak orang kaya yang suka belanja dan nongkrong, tapi setelah Azizah gabung, arah mereka berubah total. Azizah yang punya jiwa bisnis kuat mulai ngajak mereka fokus ke investasi dan usaha. Hasilnya? Kini mereka bukan cuma sosialita, tapi pengusaha sukses di bidang masing-masing.
"Kok tumben sendirian? Tiffany, Claudia, Renata mana?" tanya Azizah sambil menyandarkan kepalanya.
"Pada sibuk, Zah. Ada yang ngurus bisnis, ada yang ngurus suami. Nah, gue? Gue ngurus jiwa biar tetep waras." Cindy tertawa, lalu melirik Azizah. "Tapi serius, Zah… Lu baik-baik aja?"
Azizah terdiam sesaat. Haruskah dia cerita? Haruskah dia mengakui bahwa hidupnya dengan Raka sudah tak lebih dari neraka? Tapi melihat Cindy yang menatapnya dengan penuh perhatian, hatinya sedikit mencair.
"Gue capek, Cind…" suaranya nyaris berbisik.
Cindy tak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan. Tangannya terulur, menggenggam tangan Azizah dengan erat.
"Udah, Zah. Lu nggak sendirian. Kita semua di sini. Dan kalau sikutukupret itu masih belagu, percaya sama gue, gue bisa setel ulang jadi bawaan pabrik."
Azizah tersenyum kecil. Setidaknya, dia masih punya tempat untuk pulang.
"Lu ada duit cash nggak?" tanya Azizah, nadanya setengah malas.
"Yaelah, lu kismin amat, Zah. Gue cuma bawa sejuta. Kalo semilyar mah gue transfer aja, ribet bawa duit segitu." Cindy melirik tajam.
"Gaya lo! Udah kaya banget sekarang, ya?" Azizah mendelik.
Cindy mengibaskan tangan. "Duh, kekayaan gue dibanding lo mah ibarat langit sama… langit-langit rumah kontrakan. Tapi sayang, lo malah kemakan drama online."
"Maksud lo?" Azizah mengerutkan dahi.
"Lo tuh ikut-ikutan tren pura-pura miskin biar dapet suami sejati, biar dapet cowok yang katanya sederhana tapi penuh cinta. Eh, tau-taunya yang lo dapet malah kutukupret! Siapa sih namanya? Neraka?"
"Raka, goblok!" Azizah mendelik, lalu mengulurkan tangan. "Udah, ada duit nggak?"
Cindy menghela napas panjang, lalu menyerahkan uang dengan tampang bosan. "Nih, nyonya Neraka."
Azizah meraih uang itu tanpa ragu. "Mang Maman, sini!" panggilnya.
Mang Maman langsung menghampiri, wajahnya penasaran. "Ada apa, Neng?"
"Parkirin mobil ini ya, Mang," kata Azizah santai.
"Siap, Neng!" Mang Maman sigap memarkirkan Pajero itu dengan lincah.
Begitu selesai, Azizah dengan enteng menyerahkan segepok uang ke Mang Maman. "Nih, Mang."
Mang Maman menerima uangnya tanpa melihat. "Makasih, Neng."
Lalu, saat dia melirik nominalnya, matanya langsung membelalak. "ASTAGHFIRULLAH! NENG, INI SEJUTA?!?"
Cindy sudah tancap gas, mobil melaju kencang meninggalkan Mang Maman yang berusaha mengejar sambil melambai-lambaikan uang.
"Mang, itu uang parkirnya!" teriak Azizah dari jendela.
Mang Maman terdiam di tempat. Tangannya bergetar melihat selembar uang sejuta di genggamannya. Air mata mulai menggenang.
"Laa ilaaha illallah… Ini rezeki dari langit…" gumam Mang Maman penuh haru, sebelum akhirnya… sujud syukur di pinggir jalan.
Sementara itu di dalam mobil, Cindy melirik Azizah dengan alis terangkat. "Lu emang suka bikin orang nangis, ya?"
Azizah menghela napas panjang, menatap ke luar jendela. "Dia itu baik banget sama gue, tau. Dia cerita, pas istrinya mau lahiran, dia gantian sama ibunya jagain istrinya. Harusnya gue juga diperlakukan seperti itu. Tapi yang ada, gue malah…"
Cindy menunggu sebentar sebelum menyahut dengan nada serius, "Kayak Upik Abu. Hahahaha!"
Azizah menoleh cepat, melotot. "Bangs*t, Cindy! Gue lagi curhat!"
Cindy mengangkat bahu tanpa dosa. "Ya terus gue harus apa? Guling-guling? Atau teriak ‘curhat dong, Mah! Alhamdulillah!’ gitu?"
Azizah mengangkat tangannya, siap mencubit. "Kalau gue nggak lagi di mobil, sumpah udah gue cubit lu!"
Cindy nyengir sambil tetap fokus nyetir. "Ya udah, curhatlah, gue dengerin kok. Tapi maaf, nggak janji bakal nangis."
Azizah mendengus, tapi entah kenapa dadanya terasa lebih lega. Meskipun Cindy ngeselin, setidaknya dia masih punya seseorang yang bisa dia ajak ketawa di tengah kekacauan hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!