Part 1 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Sinar matahari sore menyengat aspal jalanan yang mulai ramai dengan suara motor knalpot bising.
Brooom! Brooom! Brooom!
Grunggg! Grunggg! Grunggg!
Di sudut sebuah gang, tokoh utama dalam cerita ini yang bernama Miska Izzatunnisa duduk di atas motor temannya sambil menghisap permen karet dengan santai.
Seragam putih abu-abunya sudah kusut, roknya sedikit dinaikkan, dan kerudungnya pun tergantung asal di lehernya.
“Mis, lo nggak pulang?,” tanya Rendi, yang selalu menjadi teman nongkrongnya, sambil menyalakan rokok.
“Ntar aja, males,” jawab Miska dengan santainya. “Di rumah pasti ribet, nyokap pasti ceramahin gue lagi," lanjutnya.
“Gara-gara bolos kemarin?," tanya Rendi sambil terkekeh.
Miska pun mengangguk cuek, lalu matanya melirik geng sebelah yang baru datang.
Sejak masuk SMA, hidupnya seperti ini, pulang sekolah bukan ke rumah, tapi ke jalanan. Nongkrong, balapan liar, dan sesekali ribut dengan geng lain.
“Hoi, Miska!,” teriak seorang gadis dari kejauhan. Gadis itu bernama Nadine, rival sekaligus musuh bebuyutannya.
Miska lalu berdiri sambil melipat tangannya dan membalas teriakan itu, “Apaan lo?," ujarnya.
Nadine pun mendekat dengan dua orang cowok di belakangnya. “Gue denger lo ngomongin gue di belakang, ya? Sini kalau berani," tantang Nadine
Mendengar tantangan itu, suasana pun langsung memanas. Beberapa anak mulai bersorak dan menunggu pertarungan yang sengit.
"Miska! Miska! Miska! Miska!."
"Nadine! Nadine! Nadine!."
Semua orang menyerukan nama kedua gadis itu yang nampak sudah siap untuk bertarung.
Adapun Miska, ia tidak pernah mundur kalau ditantang. Kini, tangannya sudah mengepal dan siap untuk menghajar Nadine seperti yang sudah-sudah.
"Maju lo!!."
Tapi sebelum sempat bergerak, suara sirene terdengar meraung di kejauhan.
Wiiiwwww!!!
Wiiiwwww!!!
Wiiiwwww!!!
"Polisi patroli!."
Seketika anak-anak remaja disana langsung bubar kalang kabut, termasuk Miska yang buru-buru menaiki motor Rendi.
“Sialan, kabur dulu!,” teriaknya.
Mereka ngebut melewati gang-gang kecil untuk menghindari razia. Jantung Miska pun berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena adrenalin yang ia sukai. Karena ia merasa, jika jalanan ini dunianya, tempat ia merasa bebas.
**
Setelah berhasil menghindari razia, Miska bukannya pulang ke rumah. Adrenalin masih mengalir deras di tubuhnya hingga membuatnya malas menghadapi rumah dan omelan orang tuanya.
“Ke rumah gue aja dulu,” ajak Rendi setelah mereka berhasil keluar dari gang sempit.
Tanpa pikir panjang, Miska pun mengangguk setuju. Mereka pun melaju ke rumah Rendi, sebuah kontrakan kecil di pinggir kota yang sering jadi tempat nongkrong anak-anak geng.
Rumah itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk jadi tempat pelarian.
Begitu masuk ke rumah tersebut, bau asap rokok tercium menyengat, bercampur dengan suara musik metal yang menggelegar dari speaker kecil di sudut ruangan.
Beberapa anak sudah duduk santai, ada yang bermain kartu, ada juga yang sibuk dengan ponsel mereka.
“Eh, Miska datang!,” seru Arul, salah satu teman mereka.
Miska hanya tersenyum kecil, lalu menjatuhkan dirinya di sofa kumal yang ada di tengah ruangan.
Lalu, Rendi melemparkan sekaleng soda ke arahnya, yang langsung Miska tangkap dengan sigap.
“Lo udah makan?,” tanya Rendi.
Miska pun menggeleng. “Males.”
“Wih, jagoan! Bukan Miska namanya kalau nggak cuek sama perut sendiri," timpal Arul sambil tertawa.
"Ha ha ha ha...."
Semua orang pun ikut tertawa dan menikmati momen kebersamaan itu tapi malam terus berjalan. Miska semakin tenggelam dalam keseruan sehingga lupa waktu dan lupa segalanya.
Hingga saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Di rumah besarnya, kedua orang tua Miska duduk menunggu dengan gelisah.
Ibunya mondar-mandir di ruang tamu sambil terus menatap layar ponselnya yang tak kunjung mendapatkan pesan dari Miska.
“Abi, gimana ini? Anak kita belum pulang,” ucap sang ibu merasa cemas.
Sementara itu Ayah Miska duduk diam di sofa dengan wajah yang tampak serius. “Abi sudah telepon temennya, tapi nggak ada yang tahu dia di mana.”
“Kita harus cari dia. Umi takut terjadi sesuatu,” ujar ibunya panik.
Ayah Miska menghela napas dan mengusap dadanya. Ini bukan pertama kalinya Miska pulang larut malam tanpa kabar, tapi kali ini perasaannya benar-benar tidak enak.
Sementara itu, di rumah Rendi, Miska baru menyadari jam yang sudah sangat larut.
“Gila, udah jam 10! Gue harus pulang,” katanya sambil meraih tasnya.
“Yaudah, hati-hati. Lo naik apa?," jawab Rendi seraya mengangkat bahunya.
“Gue pesen ojek online aja.”
Setengah jam kemudian, Miska sampai di depan rumahnya. Lampu teras masih menyala, menandakan orang tuanya masih menunggu hingga jantungnya pun mulai berdebar.
Ngeeeeekkk...!!
Perlahan, Miska membuka pintu. Begitu masuk, ibunya langsung menghampiri.
“Miska, kamu dari mana? Kamu tau udah jam berapa ini?," tanya ibunya dengan suara yang gemetar, campuran antara perasaan marah dan lega.
"Biasa aja, Umi. Aku kan cuma main," jawab Miska sambil melepas sepatu dengan malas.
“Kamu itu anak perempuan, Miska! Pulang jam segini, nggak kasih kabar. Kamu nggak mikir, kita di rumah gimana?,” kata ibunya lagi dengan suara yang mulai meninggi.
“Kamu pikir hidup ini cuma buat main? Kamu mau jadi apa kalau terus begini?," timpal Ayahnya yang duduk di sofa sambil menatap Miska dengan tajam.
"Aish!." Miska mendengus kesal karena merasa diceramahi lagi. “Udah, kan aku pulang? Nggak usah lebay," ujar Miska tidak mengindahkan perkataan orang tuanya.
Plak!
Tangan ibunya hampir saja mendarat di pipi Miska, tapi di tengah jalan gerakan itu berhenti. Ibunya menghela napas berat, lalu berbalik dan berusaha menahan tangis.
Sementara, Ayahnya yang biasanya lebih tegas kali ini hanya mengusap wajahnya sendiri, seolah lelah menghadapi putri satu-satunya itu.
“Abi dan Umi udah nggak tau lagi harus gimana sama kamu, Miska,” ucap ayahnya pelan.
Miska pun kini diam. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyusup di hatinya, tapi ia terlalu gengsi untuk menunjukkannya.
“Kamu tidur. Besok kita bicara,” kata ayahnya dengan suara yang terdengar dingin.
Miska tidak menjawab lagi dan hanya mengikuti perintah ayahnya. Ia lalu berjalan menuju kamarnya. Saat pintu kamarnya tertutup, ia duduk di tepi ranjang, lalu menatap langit-langit.
Entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Biasanya ia tidak peduli saat dimarahi, tapi malam ini... ada sesuatu yang membuat dadanya sesak.
BERSAMBUNG...
Jangan lupa like, subcribe, vote dan kasih bintang 5 nya ya... 🤗
~💠💠💠~
PROLOG
Miska Izzatunnisa.
Nama yang indah, sarat makna, pemberian dari kedua orang tua yang berharap ia tumbuh menjadi gadis yang berakhlak baik dan menjaga izzah/kehormatannya sebagai seorang muslimah.
Namun, harapan itu perlahan pudar seiring dengan bertambahnya usia Miska.
Terlahir dari keluarga terpandang, Miska adalah anak tunggal dari pasangan Rasyid dan Farida, pengusaha sukses yang juga dikenal sebagai keluarga yang taat beragama.
Ayahnya, seorang pengusaha tekstil, adalah pria yang selalu mengenakan peci dan tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid.
Ibunya, seorang dosen di universitas Islam ternama, adalah perempuan anggun yang tidak pernah terlihat keluar rumah tanpa hijab panjangnya.
Bahkan, hampir seluruh anggota keluarga besar mereka adalah orang-orang yang meniti jalan agama dengan penuh ketaatan.
Kakek dan neneknya adalah ulama terpandang, para paman dan bibinya aktif berdakwah, dan sepupu-sepupunya adalah santri atau hafidz Quran.
Tak ada satu pun dalam garis keturunan mereka yang berperilaku seperti Miska.
Gadis itu bak duri dalam mawar, berbeda dari yang lain.
Miska tumbuh menjadi sosok yang sulit dikendalikan. Cantik, mempesona, dan memiliki aura yang membuat siapa pun menoleh, tapi juga liar, keras kepala, dan berjiwa pemberontak.
Sejak kecil, ia selalu merasa terkekang oleh aturan keluarganya yang ketat, yang menurutnya terlalu membatasi kebebasan.
Jilbab yang seharusnya menutupi auratnya hanya dikenakan semaunya, kadang ada, kadang tidak. Rok sekolahnya selalu lebih pendek dari aturan yang ditetapkan sekolah Islamnya.
Ia lebih suka nongkrong di jalan sepulang sekolah, menghabiskan waktu dengan teman-teman yang jauh dari nilai-nilai yang ditanamkan keluarganya.
Bagi Miska, agama hanyalah sesuatu yang dipaksakan kepadanya. Ia tidak pernah benar-benar memahami esensinya, apalagi merasakannya.
Baginya, hidup harus dinikmati, bukan diatur dengan sekian banyak aturan yang membuatnya merasa seperti burung dalam sangkar emas.
Namun, sekuat apa pun ia berlari dari keluarganya, seberapa jauh pun ia berusaha memisahkan diri dari ajaran yang mereka pegang teguh, takdir memiliki cara tersendiri untuk menariknya kembali.
Miska belum tahu, bahwa hidupnya akan berubah. Bahwa orang tuanya telah menyiapkan keputusan besar yang akan mengguncang dunianya.
**
Langit masih gelap, angin pagi berembus pelan melalui celah jendela kamar Miska. Di luar, suara jangkrik mulai mereda, digantikan oleh kicauan burung yang riang menyambut fajar.
Suasana rumah mulai hidup. Umi Farida sibuk di dapur menyiapkan sarapan, sementara di ruang tamu, Abi Rasyid baru saja kembali dari masjid setelah shalat subuh berjamaah.
Namun, di kamar Miska, suasana masih sunyi. Hingga beberapa saat kemudian...
Kring! Kring! Kring!
Alarm ponselnya berbunyi nyaring, memenuhi kesunyian kamar yang remang-remang. Dan jam digital di nakas pun sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB.
Alarm itu bukan sekadar pengingat biasa, melainkan sudah diatur setiap hari untuk membangunkannya sebelum adzan subuh berkumandang.
Tapi, seperti biasa, tak ada reaksi dari Miska. Gadis itu tetap saja terlelap meski suara bising memekakkan telinganya.
Wajahnya tertimbun bantal, selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya. Hanya suara napasnya yang terdengar, tenang dan tidak terganggu, yang terkadang beserta suara dengkuran halus yang selang seling.
"Khhhookk!... Khhhookk!...."
Sementara itu, di luar kamar, suara adzan subuh sudah lama berlalu. Umi Farida yang sedang menuang teh tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ya Allah, Miska…” desisnya, lalu bergegas menuju kamar putrinya.
Begitu masuk, ia menghela napas seraya memegangi dadanya. Umi Farida melihat anak gadisnya masih tidur seperti bayi yang tidak berdosa.
Dengan sedikit gemas, Umi Farida menggoyangkan tubuh Miska lalu berseru, “Miska, bangun. Sudah adzan subuh.”
Namun guncangan itu seakan tidak berpengaruh sehingga tidak ada reaksi apapun. Yang sedikit terdengar hanya gumaman kecil dari bibir Miska yang masih setengah sadar.
"Masih ngantuk...."
Umi Farida kembali menggoyangkan tubuh Miska dan kali ini lebih keras. “Astagfirullaah... Anak ini, selalu susah kalau dibangunkan. Miska!," serunya dengan sedikit membentak.
Miska pun mengerjapkan mata dengan malas dan sedikit mengangkat kepalanya yang terasa berat. Ia merengut kecil sebelum akhirnya duduk dengan rambut yang berantakan.
“Iya, Umi… Aku bangun,” gumamnya dengan suara serak.
Umi Farida menatap Miska sejenak untuk memastikan bahwa anaknya benar-benar sadar dan akhirnya merasa lega. “Jangan tidur lagi, langsung ke kamar mandi, ya. Umi nggak mau lihat kamu ketiduran lagi," pesannya.
Miska pun hanya mengangguk asal.
Setelah memastikan putrinya tidak akan kembali tidur, Umi Farida pun keluar dari kamar.
Tapi begitu pintu tertutup…
GUBRAK!!
Miska langsung membanting tubuhnya kembali ke kasur dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
“Lima menit lagi…” gumamnya pelan.
Namun, lima menit berubah menjadi sepuluh. Lalu dua puluh. Sampai akhirnya, matahari mulai naik dan suara hiruk-pikuk dari luar kamarnya mulai terdengar.
**
Sementara itu di meja makan, Abi Rasyid duduk dengan tenang sambil membaca koran. Sesekali ia menyeruput teh yang sudah disediakan istrinya.
Suara piring dan sendok beradu, tanda bahwa Umi Farida tengah sibuk menyiapkan sarapan.
“Miska sudah bangun, Umi?,” tanya Abi Rasyid tiba-tiba.
Umi Farida yang tengah mengatur piring hanya melirik jam dinding sekilas lalu menjawab, “Sudah, tadi Umi bangunkan.”
Abi Rasyid pun mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 05.45 WIB. Tapi matanya tiba-tiba menyipit curiga.
“Sudah shalat?,” tanyanya lagi.
Umi Farida terpaku sejenak. Ia juga mulai ragu lalu berujar, “Harusnya sudah, Bi… tapi…”
Keduanya pun saling berpandangan.
"Hm!."
Abi Rasyid mendengus pelan, lalu melipat korannya dan berdiri. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kamar Miska.
Tok tok tok!!!
"Miska?."
Tok tok tok!!
"Miska?."
Beberapa panggilannya berlalu begitu saja tanpa sahutan dari dalam. Lalu, tanpa mengetuk pintu lagi, Abi Rasyid langsung membuka pintu.
Ceklek!!
Dan di sanalah ia menemukannya. Putrinya yang masih tertidur pulas dengan meringkuk di balik selimut seperti tidak terjadi apa-apa.
GUBRAK!
Suara pintu yang terbuka dengan keras membuat Miska tersentak. Ia lalu membuka mata dengan kaget dan mendapati sosok ayahnya berdiri di ambang pintu dengan wajah yang serius.
“Bangun.”
Hanya satu kata, tapi nadanya cukup untuk membuat bulu kuduk Miska meremang.
"Emmmh...." Miska mengerang malas lalu berujar, “Abi… sebentar lagi…”
Namun, Abi Rasyid tidak menggubris. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Miska.
“ABI!!,” pekik Miska. Tubuhnya menggigil karena udara pagi yang masih dingin.
“Shalat subuh bukan pilihan, Miska.” ucap abinya tegas. “Bangun. Sekarang.”
Miska nampak kesal. Tapi ia tidak bisa melawan. Dengan malas, ia akhirnya bangkit dari kasur, lalu menyeret kakinya menuju kamar mandi.
Tapi sebelum menutup pintu, ia melirik ke arah abinya dengan kesal dan menggerutu, “Kenapa sih harus sekaku ini? Nggak bisa santai dikit?.”
“Ini bukan soal santai atau tidak. Ini soal tanggung jawabmu sebagai seorang muslim," jawab Abi Rasyid seraya menatapnya tajam.
"Huh!."
Miska membuang napas dengan kasar lalu menutup pintu kamar mandi dengan keras.
BLUG!!
Abi Rasyid hanya bisa menggelengkan kepalanya dan merasa tidak habis pikir.
Adapun di luar kamar, Umi Farida sudah menunggunya dengan tatapan penuh arti. “Dia tetap saja seperti itu, Abi," ucap Umi Farida, seolah merasa putus asa.
“Dia butuh lebih dari sekadar diingatkan," jawab Abi Rasyid.
Umi Farida pun hanya manggut, seolah mengerti makna di balik kata-kata suaminya.
BERSAMBUNG...
~💠💠💠~
Di ruang makan yang luas dan tertata rapi, tiga orang duduk mengelilingi meja makan dengan hidangan sederhana namun menggugah selera.
Ada nasi panas, sayur bening, tempe goreng, dan telur dadar. Di tambah harum aroma teh melati yang mengepul dari cangkir hingga membuat suasana menjadi hangat.
Namun, di balik kehangatan itu, suasana disana juga terasa tegang.
Miska duduk dengan wajah malas, sambil menyuap makanannya tanpa semangat. Sementara itu, Umi Farida dan Abi Rasyid makan dengan tenang, mengikuti kebiasaan mereka untuk tidak berbicara saat makan.
Hening...
Yang terdengar hanya suara sendok yang beradu dengan piring.
Namun, Miska tahu betul, begitu sarapan selesai, maka perang akan dimulai lagi.
Setelah suapan terakhir, Umi Farida meletakkan sendoknya dan mengambil tisu. Sementara Abi Rasyid langsung berdoa lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
Kemudian, Abi Rasyid menatap putrinya yang tampak enggan menatapnya.
"Sudah selesai? Kalau sudah, kita bicara sebentar," ucap Abi Rasyid terdengar tegas, tapi tetap lembut.
"Haaah... Tuh kan, aku bener. Pasti Abi mau ngelanjutin masalah semalam," batin Miska.
Dalam hati, Miska ingin menghindari ini, tapi ia pikir tak ada gunanya juga melawan. "Iya," jawabnya singkat, lalu mendorong piringnya ke tengah meja.
Abi Rasyid melipat tangannya di atas meja, seraya menatap Miska dengan tajam. "Miska, kamu tahu kenapa Abi dan Umi ingin bicara denganmu lagi?," tanyanya.
Tapi Miska malah mengangkat bahunya dan acuh tak acuh. "Karena semalam aku pulang malam, kan?," tanyanya, yakin.
Abi pun Rasyid mengangguk.
"Itu salah satunya. Tapi ini bukan sekadar soal pulang malam, Miska. Ini tentang keseluruhan sikapmu. Kami sudah cukup lama mengamati dan menegur, tapi tidak ada perubahan. Justru kamu malah semakin menjadi," ujar Abi Rasyid.
Mendengar penuturan ayahnya, Miska malah memainkan ujung bajunya seraya menghindari tatapan orang tuanya.
"Miska," panggil Umi Farida yang terdengar lebih lembut. "Kamu sadar nggak, setiap hari kamu semakin jauh dari didikan yang seharusnya?," jelasnya.
Miska mendongak, lalu menatap ibunya dengan tatapan tidak suka. "Maksudnya?," tanya Miska.
"Kamu sering pulang larut malam tanpa izin. Pergaulanmu makin bebas. Jilbab yang seharusnya kamu pakai dengan baik malah sesuka hati. Dan yang paling penting, kamu mulai jauh dari kewajiban sebagai seorang muslim. Shalat diabaikan, apalagi mengaji. Kami bukan hanya kecewa, Miska. Kami khawatir," jelas Abi Rasyid.
Miska kini menggigit bibirnya, tapi tetap diam dan tidak mengelak.
"Kita ini keluarga yang menjunjung agama. Semua orang di keluarga besar kita menjaga nilai-nilai Islam. Tapi kamu… kamu satu-satunya yang berbeda," tambah Abi Rasyid.
Namun Miska hanya mendengus, lalu matanya melirik ke samping. "Jadi karena aku beda, aku jadi masalah?," tanyanya.
"Ini bukan soal beda, ini soal benar dan salah. Kamu bisa melihatnya sendiri, kan? Perilakumu selama ini… Apa kamu pikir ini jalan yang benar?," jawab Abi Rasyid sambil menatapnya serius.
Miska pun membisu. Ia ingin membantah, tapi jauh di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah yang berusaha ia abaikan.
Beberapa saat kemudian, Abi Rasyid menyandarkan dirinya ke kursi dan menghela napas panjang. "Karena itu, Abi dan Umi sudah membuat keputusan," ucapnya, terdengar semakin serius.
"Keputusan?," tanya Miska seraya mengangkat wajahnya dengan kening berkerut.
"Mulai semester depan, kamu akan pindah sekolah dan masuk pesantren," kata Abi Rasyid dengan menatapnya langsung.
"APA?!."
Saking terkejut, Miska hampir melompat dari kursinya. Matanya membulat sempurna, seolah baru saja mendengar sesuatu yang paling buruk dalam hidupnya.
"Abi becanda, kan?!," tanya Miska dengan suara yang meninggi, lalu menatap kedua orang tuanya dengan tidak percaya.Tapi ekspresi Abi Rasyid tetap tenang.
"Abi tidak pernah main-main dalam hal ini, Miska," jawab Abi Rasyid.
Miska lalu menatap Umi Farida, berharap ibunya itu akan membelanya. Tapi wajah ibunya juga menunjukkan ketegasan yang sama.
"Umi… serius ini? Aku masuk pesantren?," tanyanya lagi dengan suara yang mulai terdengar panik.
"Iya, Sayang. Ini keputusan terbaik untuk kamu," jawab Umi Farida seraya mengangguk pelan.
"Hah 😐." Miska tertawa sinis lalu berkata, "Keputusan terbaik? Bagi siapa? Jelas bukan untuk aku!," serunya.
"Ini bukan soal keinginan kamu, Miska. Ini soal apa yang terbaik buat kamu. Dan kami, sebagai orang tuamu, tahu bahwa ini satu-satunya cara untuk menyelamatkanmu sebelum kamu makin jauh."
"Tidak! Aku nggak mau! Aku bukan anak kecil yang bisa kalian atur sesuka hati!," ujar Miska seraya menggeleng cepat dengan napas yang memburu.
"Justru karena kamu bukan anak kecil lagi, kamu harus belajar disiplin!," potong Abi Rasyid. "Dan kalau kamu tetap keras kepala, Abi nggak punya pilihan lain."
Miska menatap orang tuanya dengan mata berkilat marah. "Ini nggak adil! Kalian cuma mikirin apa yang kalian anggap benar tanpa peduli aku maunya apa!," teriak Miska.
Umi Farida lalu mendekatinya dan berusaha menyentuh tangannya, tapi Miska langsung menolak dan menjauhkan dirinya.
"Kami peduli, Miska," kata Umi Farida. "Justru karena kami peduli, kami tidak bisa membiarkan kamu terus seperti ini."
Miska menahan air matanya yang mulai menggenang di pelupuk mata. Ia bangkit dari kursinya, lalu mendongak menatap mereka dengan penuh perlawanan.
"Kalau kalian pikir ini cara yang benar, silakan. Tapi jangan harap aku akan terima begitu saja!," ancam Miska.
Tanpa menunggu jawaban, Miska langsung berbalik dan berlari menuju kamarnya. Ia membanting pintu dengan keras, hingga membuat suara dentuman menggema di seluruh rumah.
Sementara itu, di ruang makan, Umi Farida menunduk sambil menggigit bibirnya untuk menahan tangis.
"Biarkan dia. Dia butuh waktu," kata abi Rasyid.
**
Dalam beberapa saat, rumah masih terasa hening setelah suara pintu kamar Miska dibanting keras tadi.
Umi Farida masih duduk di meja makan dengan kepala menunduk, sambil memainkan ujung jilbabnya dengan gelisah.
Sementara itu, Abi Rasyid tetap tenang, walau dari sorot matanya jelas terlihat rasa khawatir.
Tap! Tap! Tap!
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Langkah yang cepat dan terburu-buru.
Miska muncul dengan wajah masam, dengan tas ransel hitam yang sudah tergendong di punggungnya.
Dia tidak mengenakan seragam sekolah, melainkan kaus oversized dengan celana jeans longgar. Jilbabnya terpasang asal menutupi sebagian kepalanya.
Tanpa berkata apa-apa, ia langsung berjalan menuju pintu depan, dan tidak sekali pun melirik kedua orang tuanya.
"Mau ke mana, Miska?," tanya Abi Rasyid seraya menegakkan tubuhnya di kursi sambil menatap putrinya dengan pandangan tenang namun tajam.
Namun, Miska tidak menggubris dan tetap melangkah tanpa menoleh. Ia terus melangkah seolah tidak mendengar apa pun.
Baru ketika tangannya menyentuh gagang pintu, suara Abi Rasyid kembali terdengar, dengan suara yang lebih tegas. "Miska, Abi tanya."
Miska pun menghentikan langkahnya sejenak, tapi tidak berbalik. "Ke sekolah," jawabnya dingin.
Umi Farida kini berdiri dan mencoba mendekati anaknya lalu berkata, "Miska, setidaknya pamit dulu. Jangan pergi seperti ini."
"Nggak perlu, kan? Aku cuma pergi sekolah, bukan mau kabur," jawab Miska ketus tapi tetap tidak menoleh.
Abi Rasyid menatap punggung putrinya dengan sorot mata tajam dan berkata lagi, "Kalau sudah pulang, langsung ke rumah. Hari ini kita akan ke rumah nenek sesuai janji."
"Lihat nanti," jawab Miska datar, masih dengan punggung yang menghadap mereka.
Setelah itu, tanpa menunggu respons lagi, ia membuka pintu dan keluar, membiarkan angin pagi menyambut wajahnya.
Di luar, jalanan kompleks perumahan masih sepi. Matahari baru saja mulai naik, sinarnya lembut menyapu permukaan bumi. Miska menarik napas dalam-dalam lalu melangkah dengan cepat.
Sementara di dalam rumah, Umi Farida hanya bisa menatap pintu yang kini tertutup rapat dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Dia marah sekali ya, Bi?," gumamnya dengan suara lirih.
Abi Rasyid menghela napas panjang, lalu berdiri. Ia menatap ke arah pintu dengan ekspresi penuh pertimbangan lalu berkata, "Biarkan saja dulu. Kita lihat apakah dia benar-benar akan pulang atau tidak."
"Kalau dia nekat kabur gimana, Bi?," tanya Umi Farida seraya menatap suaminya dengan cemas.
"Dia masih marah. Tapi sejauh apa pun dia pergi, dia tetap akan pulang. Karena bagaimanapun, dia tahu ke mana harus kembali," jawab Abi Rasyid.
Namun, keduanya tidak menyadari bahwa hari itu, Miska tidak langsung pergi ke sekolah seperti yang ia katakan.
Ia punya rencana lain. Rencana yang mungkin akan membuat orang tuanya semakin kecewa.
BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!