Wajah yang sempurna ditambah dengan bentuk tubuh yang proporsional merupakan dambaan dari daftar keinginan semua kaum wanita dan kenyataan yang ada, godaan paling berat bagi para kaum pria dimuka bumi ini selain harta dan tahta adalah WANITA.
"Selamat datang di Toko perhiasan kami, ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang Pramuniaga disebuah Galery perhiasan terbesar di salah satu Mall ternama dikota itu.
"Keluarkan semua perhiasan seri terbaru yang limited edition," ucap seorang wanita dengan senyum sumringahnya saat melihat gemerlapnya kilauan emas dan permata di Etalase perhiasan dalam Toko tersebut.
"Baik Nona, ini seri keluaran terbaru, silahkan dipilih Nona."
Dengan melihat sekilas saja dari penampilan sang pembeli, pelayan Toko perhiasan itu seolah tahu benar dengan isi saldo dikartu ATM sang pembeli dan sontak saja ia langsung mengeluarkan beberapa koleksi perhiasan yang harganya cukup fantastis dari sebagian koleksi Toko mereka.
"Wow, aku mau em.. this one, this one and this one."
Benar saja, wanita cantik berparas sempurna diantara yang lainnya itu langsung menunjuk hampir semua perhiasan yang dikeluarkan oleh pelayan Toko itu.
"Je?"
Seorang pria tampan yang berpakaian serba hitam disampingnya, mencoba menahan keinginan wanita itu dengan suara lembutnya.
"Eh, semuanya aja deh Mbak!" ucap wanita itu dengan santainya tanpa menghiraukan pria yang sudah melotot disampingnya itu.
"JENNIFER LIN, kendalikan dirimu!" Pria itu langsung mengubah intonasi suaranya, saat suara lembutnya seolah diabaikan begitu saja.
"Jangan memanggilku dengan nama asliku dong! Namaku cukup Jeje saja dan kalau kamu mau pakai perhiasan ini juga, kamu tinggal ambil aja, pilih saja gaya sesukamu, ngono wae kok ribet!"
Wanita keturunan darah blasteran itu malah berpikiran lain, dia terus saja mencoba perhiasan itu satu persatu secara bergantian.
"Aku pria, aku tidak butuh itu semua." Tolak pria itu sambil memalingkan wajahnya, karena pelayan Toko perhiasan itu terus saja melirik kearahnya dengan senyuman yang seolah penuh arti.
"Maaf Nona, ini jadi dibeli atau tidak?" Karena melihat raut wajah dan ekspresi pria tampan itu seolah tidak setuju, pelayan itu seolah ragu dan menanyakannya kembali.
"Jadi dong Mbak, hei.. Ryu cepat urus semuanya," ucap Jeje yang seolah memberikan titah yang tidak terbantahkan.
"Tapi Je, ini--?" ucapannya langsung terputus saat satu jari Jeje menempel lekat dibibirnya.
"Ssst, beli semuanya atau kamu saja yang aku beli!" ujar wanita itu tanpa banyak berpikir.
Tanpa kamu beli sekalipun, aku bahkan akan menyerahkan jiwa dan ragaku untukmu.
"Ya sudah, bungkus semuanya Mbak, pembayarannya bisa lewat m Banking saja kan?" Ryu hanya bisa protes didalam hati dan memilih mengeluarkan sebuah kartu pembayaran untuk menyelesaikan transaksi pembelian siang itu.
"Tentu Mas, terima kasih banyak, semoga kalian puas dengan barang kami dan selalu murah rejeki," Ujar pelayan Toko itu dengan senyum kegembiraan, karena sudah bisa dipastikan dia akan medapatkan bonus penjualan yang fantastis hari ini berkat Jeje.
"Sama-sama Mbak," Ucap Ryu dengan helaan nafas panjang dan hanya mampu menggelengkan kepalanya, saat satu kotak yang ukurannya tak seberapa namun yang ia bawa itu bahkan bisa untuk membeli tanah beberapa hektar di daerah pedesaan sana.
"Hehe, thank you Kentucky."
Jeje langsung mendongakkan kepalanya dihadapan Ryu yang tinggi badannya melebihi rata-rata pria Asia dengan senyum yang selalu membuat jantung pria itu berdebar tak karuan.
Pletak
"APA? Kentucky kamu bilang? Hei.. kamu pikir aku ayam, hah!"
Ryu langsung menyentil kening Jeje dengan wajah yang seolah terlihat kesal, walau jauh didalam hatinya dia sangat bahagia, bahkan begitu mengagumi semua tentang Jeje.
"Aw, sakit tau nggak! Mana ada asisten yang berani menyentuh aset berharga milik bosnya!" jerit Jeje yang langsung berkacak pinggang seolah tidak terima.
"Aku lah! Lalu kamu mau apa? Mau pecat aku? Silahkan, dengan senang hati Nona!" jawab Ryu yang seolah tahu bahwa Jeje tidak akan pernah mampu melalui kesehariannya tanpa dirinya.
"Ck, gitu aja ngambek! Ayam goreng crispy kan memang juwara, seperti kamu yang selalu nomor satu bagi aku, hehe!" Ucap Jeje sambil merengkuh lengan Ryu dan langsung bergelendotan manja dilengan kekar itu tanpa ragu ataupun segan sedikitpun.
"Cepat masuk mobil, aku ingin bicara serius sama kamu!"
Walau masih merasa gemas dengan wanita yang sering bertingkah absurd dengannya itu, namun ia langsung mengubah topik, karena ada hal yang menurutnya lebih penting bagi Jeje untuk kedepannya.
"Kamu pikir kita sedang tes wawancara apa?" Namun Jeje yang terkadang kurang peka itu selalu saja membantah tentang apapun sesuka hatinya.
"Je, sampai kapan kamu akan melakukan profesi gilamu ini? Apa kamu tidak ingin hidup bahagia seperti wanita pada umumnya?" tanya Ryu kembali.
Saat mereka berdua sudah masuk kedalam mobil, Ryu langsung mengutarakan tentang apa yang mengusik hatinya akhir-akhir ini.
"Ryu, apa kamu buta? Aku sedang menikmati kebahagiaanku lah ini," jawab Jeje sambil memainkan ponselnya.
"Kebahagiaan apa yang kamu maksud?" Ujar Ryu dengan tatapan sendunya.
"Lihatlah, aku punya mobil sport keluaran terbaru, baju brand ternama yang melekat ditubuh indahku ini, lalu tas yang ada dilenganku ini bahkan seharga tanah satu hektar di kampungmu, dan baru saja kamu lihat sendiri tadi, aku beli cincin, gelang, kalung, anting, bahkan kakiku ini juga ikut kebagian emasnya."
Jeje memamerkan harta yang dia hasilkan selama ini, tanpa harus membanting tulang sampai harus mengeluarkan keringat yang bercucuran.
"Apa kamu yakin, semua hartamu itu menjamin tentang kebahagiaanmu?"
Ryu adalah pria yang selalu menjadi garda terdepan bagi Jeje dalam segala hal, tentang pekerjaan maupun tentang masalah apapun yang terjadi dalam kehidupan Jeje.
"Jangan munafik jadi orang, siapa sih yang nggak butuh harta jaman sekarang, bahkan banyak orang yang rela mengorbankan segalanya demi harta."
Wajah Jeje seketika langsung berubah menjadi muram dan masam, dia tidak punya pilihan lain untuk saat ini dan menurutnya Ryu tahu semuanya, tapi masih menanyakannya.
"Jen, berapa sih rentang umur kita didunia ini? lima puluh, seratus atau kamu mau hidup seratus lima puluh tahun lagi? Bisa apa kamu diumur setua itu, hah?"
"Ryu, sudahlah jangan bahas tema seperti itu, bukankah semua orang berharap panjang umur, emang kamu mau mati cepat!" Jeje bahkan langsung menutup kedua telinganya, seolah tidak ingin mendengar ceramah dadakan dari Ryu saat ini.
"Mati diumur tua itu memang suatu anugerah tapi itu juga termasuk musibah, kita bisa apa coba? Makan pun udah nggak enak, karena gigi kita sudah ompong semua, jalan pun mungkin sudah nggak bisa, kulit keriput, rambut memutih, pendengaran kurang, bahkan terkadang sudah sakit-sakitan, apa nikmatnya coba?"
Ryu memang sosok pria multitalenta, dalam urusan pekerjaan dia bisa membuka jalan datangnya uang, dalam urusan lain dia bisa berubah menjadi sosok apapun, tergantung dengan situasi dan kondisi.
"Ngomong to the point aja lah Ryu, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan, jangan bikin telingaku jadi panas!" Jeje memilih menyandarkan kepalanya dibahu kursi, saat ceramah Ryu seolah tidak bisa ia hentikan.
"Berhentilah menjadi Joki Istri, jangan bebankan dirimu dengan kenikmatan dunia yang tak seberapa ini." Akhirnya kata itu berhasil terlepas dari mulut Ryu.
Profesi Jeje saat ini adalah Joki Istri atau pengganti istri bayaran, sedangkan Ryu adalah asisten pribadinya, pada awalnya Ryu menolak menjadi asisten Jeje, karena tidak setuju dengan profesi ini, namun karena sudah beberapa kali Jeje pernah mengalami hal yang kurang mengenakkan karena salah memilih klien sendiri, akhirnya Ryu yang turun tangan hingga sampai detik ini dalam mengurusi semua hal yang menyangkut tentang pekerjaan Jeje.
"Aku bukannya pendosa yang menyiksa dan memeras klienku hanya untuk uang, mereka sendiri yang menginginkannya, aku justru membantu mereka," jawab Jeje yang menggambarkannya secara realistis walau sebenarnya banyak kata terpendam dihatinya.
"Tapi Je?"
"Sudahlah Ryu, kamu tidak perlu menggurui aku tentang arti dari kebahagiaan dalam kehidupan, karena aku sudah mati rasa tentang semua itu!" pungkas Jeje yang sebenarnya hanya malas ribut dengan Ryu, karena selama ini Jeje selalu menggangap Ryu adalah sosok kakak, sosok teman bahkan sosok ayah yang memang begitu tertanam pada diri Ryu.
"Je, bukan sebentar aku mengenalmu, aku tahu pasti siapa dan seperti apa kamu!"
"Memangnya aku seperti apa menurutmu?" Jeje melirik tajam kearah pandangan kedua mata Ryu yang selalu terlihat redup saat menatap dirinya.
"Jauh didalam lubuk hatimu, kamu juga ingin hidup bahagia seperti wanita-wanita yang lainnya bukan? kamu hanya belum menemukan jalannya saja, jadi--"
"Diamlah! Jangan sok tahu kamu! Karena kamu tidak pernah tahu bagaimana sakitnya jadi aku, yang tidak pernah diinginkan untuk terlahir didunia ini dan selalu menjadi bahan hinaan hanya karena aku miskin, paham kamu!"
Kali ini kedua mata Jeje terlihat begitu berapi-api, seolah apa yang mengganjal dihatinya dan rasa sakit yang ia pendam selama ini sontak keluar dengan sendirinya.
Andai kamu tahu Je, walau aku tidak bisa menghentikan hujan, tapi aku ingin selalu menjadi rumah yang bisa melindungimu dari derasnya hujan dan angin yang menerpa.
"Maaf."
Hanya kata maaf yang kini bisa keluar dari mulut Ryu saat ini, dia pun serba salah, tak tahu harus berbuat apalagi, sesungguhnya ia hanya ingin semua yang terbaik bagi sosok Jennifer Lin.
..."Hidup ini tempatnya belajar, kita nggak bisa sempurna untuk bisa menguasai seisi dunia, bisa menerima dan berdamai saja udah keren banget"...
Sejak perdebatan singkat namun cukup mendalam dengan Jennifer Lin kemarin, Ryu memilih untuk tidak lagi membahas tentang arti kebahagiaan didepan perempuan kesayangannya itu, dia sebenarnya hanya ingin Jeje hidup selayaknya wanita normal dan bekerja sewajarnya saja, namun sepertinya kata-katanya justru malah menikam, bahkan menusuk relung hati Jeje yang terdalam.
Terkadang jiwa perempuan itu memang misteri, sering memilih diam daripada mengutarakan isi hatinya, namun jika sudah tersentuh, suatu saat nanti dia akan menjadi pembicara hebat yang tidak terhentikan tanpa harus diminta sekalipun.
"Bulan depan kontrak kamu sudah akan berakhir dan aku sudah mendapatkan beberapa klien baru, kamu bisa memilihnya atau kamu punya keinginan lain?"
Ryu memilih mengikuti perjalanan Jeje seperti alur biasanya saja, karena dia tidak ingin jauh dari Jeje hanya karena keinginannnya semata. Jika dia tidak bisa memaksa wanita kesayangannya untuk menjadi apa yang ia harapkan, dia bisa memaksakan dirinya sendiri untuk selalu ada disamping Jeje dalam keadaan apapun dan dimanapun dengan segala resikonya.
"Pilihkan saja seperti biasa, kamu yang paling tahu tentang itu," jawab Jeje sambil merapikan rambutnya yang hitam memanjang itu didepan meja rias miliknya.
Jika orang awam melihat kebersamaan mereka, pasti sudah berfikir jika Jeje dan Ryu adalah pasangan paling harmonis selama ini, namun balik lagi, dalam hidup ini kita tidak bisa menilai isi didalamnya hanya dari menatap sampulnya saja.
"Kamu tidak mau istirahat dulu atau mau liburan dulu?"
Ryu memilih duduk dibelakang tubuh Jeje sambil mengagumi kecantikan Jeje dalam diam, karena entah mengapa setiap gerak-gerik Jeje selalu saja menarik perhatiannya.
"Tidak perlu, karena kebutuhan hidup kita di dunia ini juga tidak pernah bisa istirahat walau hanya satu menit saja, jadi langsung terima saja!" ujarnya tanpa pikir panjang, karena menurutnya pekerjaannya tidak butuh tenaga yang kuat, tapi butuh mental yang tangguh.
"Huft, baiklah!"
Ryu pun sesungguhnya tidak mau terus menerus menjalani bisnis yang tidak wajar seperti ini, namun ia tidak ingin membiarkan Jeje berjalan sendirian dalam gelapnya malam dalam kesehariannya.
Kring
"Hallo? APA?" teriak Ryu saat menjawab panggilan dari ponsel miliknya, bahkan kedua alisnya langsung tertaut, seolah menunjukkan keterkejutan yang begitu luar biasa.
"Kenapa? Apa yang terjadi?"
Jeje pun langsung ikut penasaran, tentang apa yang didengar oleh sosok Ryu saat ini.
"Kita ke Rumah Sakit sekarang!"
Tanpa pemberitahuan apapun Ryu langsung mengambil tas milik Jeje diatas meja dan meraih pergelangan tangan wanita disisinya itu agar segera mengikuti langkah kakinya.
"Ngapain sih buru-buru amat, santai aja napa Wak?" ucap Jeje dengan nada suaranya yang cukup ngos-ngosan, apalagi dia belum sempat sarapan tadi, jadi kadar oksigen didalam tubuhnya seolah sudah menipis saat diajak lari maraton dadakan begini.
"Calon mantan suamimu bulan depan, saat ini sedang kritis di ruang IGD," jelas Ryu sambil memasangkan sabuk pengaman untuk Jeje saat mereka sudah masuk kedalam mobil.
"Aish, aku sungguh tidak ingin mengakhiri kontrak pernikahanku di Kuburan Wak!" ucap Jeje dengan helaan nafas beratnya, saat mobil mereka sudah keluar dari parkiran Apartement mewah itu.
♡♡♡
Sesampainya di Rumah sakit Ryu sama sekali tidak melepaskan tangan Jeje hingga mereka berdua sampai didepan pintu ruangan IGD.
"Permisi Sus, saya mau mengunjungi Revan," sapa Jeje sambil sedikit melirik dimana keberadaan Revan saat ini.
"Karena anda adalah wali sah dari pasien yang bernama Revan, maka anda harus mengetahui kondisi pasien untuk saat ini."
Saat itu pasien yang kritis hanya Revan seorang, jadi suster jaga saat itu langsung saja membicarakan intinya saja.
"Kenapa saya yang jadi wali sahnya?" tanya Jeje yang sebenarnya hanya malas ribet saja untuk mengurus ini dan itu.
"Loh, bukannya anda adalah istri dari saudara Revan?" Suster itu sedikit kebingungan, saat Jeje seolah ingin angkat tangan dalam urusan pasien, padahal setau dia Jeje adalah istri pasiennya itu satu-satunya.
"Sst, ingat kontrakmu Je!" Bisik Ryu sambil menyenggol lengan Jeje, saat suster itu sudah menjadi sedikit curiga atas kepolosan Jeje yang luar binasa.
"Oh iya ding Sus, hehe." Dengan tampang masa bodohnya dia memilih memasang tampang cengar-cengir untuk menutupi sandiwaranya.
Karena hal yang menyangkut nyawa dan kesehatan pasien tidak ada dalam kontrak kerjanya, jadi Jeje seolah lupa diri dengan pekerjaan utamanya saat ini.
"Astaga Je, jangan tersenyum dalam situasi seperti ini Je," Ryu langsung mendelik kearah Jeje, saat tatapan kedua mata Perawat itu terlihat aneh ketika senyum Jeje selebar pekarangan milik saudagar kaya raya, padahal kondisinya Revan sedang kritis saat ini.
"Aish, begini salah, begitu salah, terus gimana ini Sus, apa kondisinya sudah memburuk? Atau umurnya sudah tidak akan lama lagi?" tanya Jeje yang bahkan sebenarnya tidak ingin ambil pusing.
"Em, apa hanya anda pihak keluarga pasien?" Perawat itu seolah kembali curiga akan kewarasan otak Jeje, karena terlihat sekali bahwa tidak ada guratan kesedihan dari wajah cantiknya itu saat kondisi pasien benar-benar sudah diambang maut ibarat kata.
"Tentu tidak, ada banyak tapi mungkin mereka sedang sibuk saja, jadi kalian bisa mendiskusikan kondisi pasien denganku saja," ujarnya dengan santai, seolah dirinya sang maha bisa, padahal Ryu juga yang selalunya menjadi repot dibuatnya.
"Sepertinya anda harus mengumpulkan mereka semua." Dia sebagai ahli medis tahu betul bahwa kondisi pasien memang sudah tidak memungkinkan untuk bertahan lebih lama lagi, seolah hanya tinggal menunggu siang dan malam saja.
"Aku tidak mengenal mereka semua, aku hanya--"
"Em, maksudnya biar kami saja yang mengurus segalanya, jadi silahkan sampaikan saja bagaimana kondisi Revan, nanti biar kami yang--"
Sebagai pihak penanggung jawab Ryu langsung menyahut ucapan Jeje, agar kegilaannya tidak terbongkar disaat-saat yang genting seperti ini pikirnya. Namun saat Ryu ingin mengambil alih, suara sirine yang seolah menggantikan Malaikat maut itu tiba-tiba berdengung nyaring ditelinga mereka.
Tiitttt
Suara deringan panjang terdengar dari layar monitor dalam ruangan itu yang sudah menunjukkan garis lurus, menandakan bahwa kini batas kehidupan pasien itu didunia ini telah berakhir.
"Haduh, kenapa dia?" Tiba-tiba Jeje tersentak, dia bukan mengkhawatirkan nyawa Revan, tapi dia malah mengkhawatirkan kondisi kontrak nikah mereka akan berakhir seperti apa nantinya.
"Maaf Nona, sepertinya pasien sudah tidak bisa bertahan lagi."
Perawat jaga itu mencoba ingin menenangkan hati wali pasien seperti biasanya, karena hidup dan mati seseorang itu memang sudah ada takdir sendiri pikirnya, tapi...
"Okey tidak masalah," jawab Jeje dengan suara entengnya, bahkan seolah beban yang menempel ditubuhnya seolah sudah menghilang begitu saja.
"Hah?" Jelas saja ekspresi perawat itu terlihat terkejut, karena bukan tangisan atau reaksi sendu yang ia lihat seperti pada umumnya.
"Maaf, begini Sus, dimana saya harus mengurus segala administrasinya." Ryu mulai turun tangan untuk menutupi apa yang janggal dari sosok Jeje dalam hal apapun.
"Didepan Pak."
"Baik Sus, tapi sekarang boleh kami ditinggal dulu sebentar, ada yang ingin kami bicarakan terlebih dahulu," ujar Ryu yang tak ingin membuat Perawat itu kembali berpikir buruk tentang Jeje yang terlihat masa bodoh itu.
"Silahkan, kami juga masih menunggu beberapa waktu untuk memindahkan jenazahnya nanti," Ujarnya dengan helaan nafas berat.
"Terima kasih Sus."
Dengan berjuta kata tanya dan anggapan yang bersarang didalam otak sang Perawat itu, ia memilih segera pergi dari sana untuk mengurus hal lainnya.
"Lalu gimana ini kontraknya Ryu, apa bisa dibilang ini otomatis sudah berakhir?" tanya Jeje sambil memijit kedua kakinya yang terasa penat setelah datang buru-buru tadi.
"Sepertinya begitu, tak kan mungkin kamu mau menemaninya tinggal di Kuburan bukan?" Tanpa diminta, Ryu langsung mengambil alih untuk memijit kedua kaki Jeje, bahkan rela duduk jongkok dihadapan Jeje dan menjadikan kakinya sebagai pijakan agar Jeje merasa lebih nyaman.
"Jadi tiga minggu ini aku bebas dong tapi sisa uangnya gimana?"
Almarhum Revan memang sosok yang baik, dia bahkan sudah melunasi uang pembayarannya sampai kontrak berakhir, bahkan memberikan banyak bonus untuk Jeje sebelumnya.
"Walau ini tidak tertulis didalam kontrak pernikahan, tapi secara tidak langsung dia yang sudah mengakhiri kontraknya terlebih dahulu, jadi anggap saja semua sudah selesai." Walau Ryu belum yakin namun dia menggangapnya seperti itu saja untuk saat ini.
"Kalau begitu kita bantu biaya pemakamannya, setelah itu semua tugasku sebagai joki istri untuknya sudah berakhir, cocok kau rasa?"
"Okey, biar aku suruh orang lain saja yang mengurusnya, lebih baik kita pulang saja, kamu bahkan belum sempat makan tadi bukan?" Seperti biasa, semua tentang Jeje selalu ia dahulukan.
"TUNGGU!"
Tiba-tiba seorang pria masuk dengan suara keras dan tatapan kedua mata yang seolah berapi-api kearah tampang Jeje yang sok polos itu.
"Aduhai, siapa lagi dia?" Lirik Jeje dengan tatapan sinis, dia benar-benar malas berdebat untuk saat ini.
"Diam disana, siapa bilang tugasmu sudah selesai?" ujarnya sambil menyingsingkan lengannya, seolah ingin pamer otot didepan wanita cantik itu.
Widih, ototnya boleh juga tuh! Tapi sepertinya temperamennya menyebalkan, FAIL!
"Heh, maksudnya?" Ia sempat terpikat, namun hanya beberapa detik saja.
"Selesaikan tugasmu sesuai dengan bayarannya." Kedua lengannya mulai berkacak pinggang, seolah ingin menampilkan sisi seram didalam dirinya.
"Tapi dia sudah meninggal, jadi for what gitu loh?" Jeje pun tak mau kalah, dia bahkan sengaja membusungkan dadanya, agar si Paijo dan Paijan terlihat lebih menonjol didepan sana.
"Selesaikan tugasmu dan alihkan semuanya kepadaku!" ucapnya dengan nada penuh dengan penegasan.
Sial, apa dia tidak tertarik dengan pesonaku?
"Tapi?"
"Tidak ada kata tapi, atau aku akan membawa urusan ini ke pihak yang Berwajib, SEKARANG JUGA!" Bentak pria itu dengan nada suara yang cukup keras, bahkan ia sedikit memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan Jeje.
Mampus lah, selama ini aku tidak pernah berurusan dengan pihak yang berwajib, apa bisa dibilang pekerjaanku ini Legal atau bahkan Ilegal? Argh sial, aku tidak mau menghabiskan masa mudaku didalam Sel Tahanan.
"A-apa maksud kamu Polisi?" Jeje merasa ketar-ketir kali ini, dia sama sekali tidak membayangkan hal ini akan menjadi serumit ini pikirnya.
"Mau atau tidak itu adalah pilihanmu, yang jelas jika kamu memilih 'tidak' itu akan sangat merugikanmu!"
"Tunggu, memangnya kamu siapa, berani-beraninya ingin menuntut kami, apa urusanmu!" Ryu langsung memberikan pembelaan ketika Jeje terlihat terpojok saat ini, sedari tadi dia hanya ingin mengamati dulu, karena sepertinya pria ini punya ikatan darah dengan almarhum, jadi Ryu ingin mencoba untuk memakluminya, namun sepertinya hal ini membuat Jeje terusik, jadi Ryu jelas memilih bertindak.
"Aku adiknya Revan dan satu-satunya wali sah untuk dia saat ini."
DUAR
"Tapi Revan tidak pernah bercerita soal ini?"
"Aku tidak perduli, pokoknya aku akan menuntutmu jika kamu menolak hal ini, PAHAM KAMU!"
Jeje memang tidak tahu menahu soal silsilah keluarga Revan, dia juga sebenarnya tidak mau perduli tentang itu, yang terpenting adalah kerjaan dan bayarannya sesuai saja, dan saat terselenggaranya pernikahan kontrak antara Revan dan Jeje kala itu, pria ini pun tidak hadir, jadi Jeje dan Ryu pun tidak tahu menahu soal pria ini.
"Huft, ya sudahlah."
Saat ini Jeje tidak punya alasan untuk menolak, sedangkan Ryu pun hanya bisa terdiam, dia masih memikirkan langkah selanjutnya, sebagai pihak asisten dan penanggung jawab urusan pekerjaan Jeje, dia tidak bisa sembarangan dalam mengambil keputusan walau keadaan mendesak sekalipun, karena dia tidak ingin Jeje terlibat masalah nanti kedepannya.
Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-NYA lah kita semua akan kembali..
Suasana pemakaman siang itu terasa begitu menyesakkan hati bagi keluarga almarhum Revan, bahkan seolah alam pun ikut berduka dengan menyelimuti udara siang itu dengan awan mendung yang menggumpal hitam, seakan langit ikut mengiringi kepergian Revan pergi dari dunia yang fana ini untuk selama-lamanya.
"Ternyata dia masih punya keluarga besar Je," bisik Ryu sambil mencondongkan kepalanya dibelakang tubuh Jeje saat dia melihat banyak orang yang ternyata menangis kehilangan diacara pemakaman tersebut.
"Almarhum memang sosok yang introvert, dia tidak pernah mau bercerita apapun soal keluarganya, aku fikir dia tidak punya, ternyata dia hanya tidak mau mengatakannya."
Jeje pun berulang kali termenung dalam diam, dia sebenarnya tidak ingin terlalu perduli, namun saat melihat jenazah Revan dimasukkan kedalam liang lahat, entah mengapa hatinya ikut terasa sesak sekali, seolah ada yang melempar batu besar didadanya, yang biasanya cuek dan mati rasa itu.
"Apa dia juga tidak pernah bercerita tentang pria yang mengaku sebagai adiknya itu?" tanya Ryu yang sebenarnya masih sangat penasaran akan hal ini.
"Jangankan adiknya, aku bahkan tidak tahu jika dia masih punya kedua orang tua," Jawab Jeje sambil mengusap wajahnya yang tiba-tiba menjadi sendu.
"Ck, lalu sebenarnya untuk apa dia ingin menikah secara kontrak denganmu?" Biasanya Ryu tidak pernah ingin tahu tentang kehidupan pribadi klien mereka, namun entah mengapa dia merasa ada yang janggal kali ini.
"Entahlah, aku pun tak tahu, mungkin dia hanya ingin merasakan punya status sebagai seorang suami saja," imbuhnya kembali.
"Jujur deh Je, apa selama dia menjadi suamimu dia pernah meminta anu, em--"
Hampir setiap malam Ryu menghubungi Jeje untuk mencari tahu apa yang perempuan kesayangannya itu lakukan dimalam menjelang tidur, bahkan terkadang dia sengaja video call sampai Jeje tertidur dikamar yang terpisah dengan klien mereka agar bisa melihat aktifitasnya.
"Diamlah, itu bukan keranah mu sebagai asistenku." Jeje langsung mendelik kesal, saat Ryu menanyakan hal tabu ditempat yang menurutnya tidak tepat untuk menceritakan hal semacam itu.
"Tapi Je?"
Hal ini juga sebenarnya yang setiap harinya membuat Ryu selalu gelisah, karena sejujurnya ia ingin memiliki Jeje sepenuhnya, untuk dirinya sendiri bukan untuk dibagi-bagi.
"Apa kalian berdua datang kemari hanya untuk bergosip?"
Tiba-tiba terdengar suara lantam dari arah belakang tubuh mereka, yang kini mulai sering terdengar dikedua telinga mereka.
"Oh tidak, kami berdua hanya sedang--" Jeje sontak menoleh dan merapikan bajunya yang sebenarnya masih rapi seperti biasa.
"Pintu keluar ada diujung sana, kalau kalian masih mau mengoceh silahkan selesaikan diluar sana, jangan sampai orang berpikir lain karena adanya gosip murahan dari kalian!" ucapnya dengan tatapan yang terlihat sekali memancarkan kobaran kebencian.
Dia ngusir gue?
"Buset dah ah, sepertinya dia Dajjal versi lain," Celetuk Jeje dengan senyum masamnya.
"Tunggu apa lagi, pergi sana!" usirnya kembali tanpa basa-basi.
"Maaf, kami berdua hanya ingin mengantarkan almarhum untuk yang terakhir kalinya, itu saja."
Andai ini bukan moment pemakaman, mungkin Jeje sudah melawannya dengan kata-kata yang lebih pedas dari yang ia dengar saat ini.
"Kalau begitu bisa kalian diam? suara kalian benar-benar menganggu," umpatnya kembali.
"Aish, kenapa udaranya tiba-tiba panas begini, gerah banget dah!"
Baru kali ini ada pria yang seolah tidak terusik akan kecantikan Jeje sedikitpun, padahal selama ini banyak pria selalu ingin berbalik kearahnya saat Jeje baru sedikit saja menebar pesona.
"Stt, kita pindah tempat saja Je." Ryu langsung meraih pinggang Jeje untuk membawanya menjauh dari pria itu.
"Tapi kita hanya--" Jeje merasa belum terima saat dirinya terlihat kalah dengan seseorang.
"Kalau begitu kami permisi, maaf sudah mengganggu, tadi kami hanya ingin ikut berbela sungkawa saja."
"Jangan munafik jadi orang, aku rasa kalian juga akan bersorak bahkan mungkin kalian akan berpesta setelah kepergian Abangku."
Suaranya semakin terdengar pedas, apalagi saat melihat lengan kokoh Ryu masih bertengger santai dipinggang ramping Jeje, entah mengapa dia merasa tidak suka saja.
"Hei, jaga bicaramu Bung!" Emosi Jeje mulai terpancing sampai disitu.
"Sudahlah Je, dia keluarga almarhum, jangan terpancing keributan olehnya, ayo kita pindah tempat saja."
Akhirnya Ryu menarik lengan Jeje karena kedua kakinya sudah maju dua langkah dan Ryu memilih membawanya untuk menjauh dari pria yang kini masih menatap keduanya dengan tatapan yang terlihat bengis, seolah memendam rasa kebencian yang tak terukur seberapa dalamnya.
♡♡♡
"Aaaaaaa... Revan, jangan tinggalin Mama nak, kenapa kamu pergi secepat ini?"
Suara tangisan seorang Ibu seolah pecah, saat jenazah Revan kini sudah tertutup rapat dengan tanah dan ditaburi dengan bunga-bunga terakhir dari keluarga besar mereka.
"Ma, jangan seperti ini, kasian Revan nanti."
Terlihat seorang pria paruh baya merengkuh bahu wanita yang terus bergetar sedari tadi tanpa henti.
"Tapi kemarin dia masih telpon Mama, dia bilang baik-baik saja disini, tapi kenapa dia ninggalin Mama duluan."
"Dinda, kamu bawa Mamamu ke mobil saja, antarkan dia pulang."
"Aku mau nemenin Revan saja Pa, cepat bangunin dia Pa!"
"Jangan begini Ma, ikhlaskan Revan, biar dia tenang disana, ayo kita pulang Ma."
Terlihat seorang gadis remaja merengkuh tubuh wanita itu kedalam pelukannya, walau sedari tadi terus saja memberontak.
"Tolong bantu gendong saja ke mobil."
"Aaaaaaa... Revan!"
Mamanya benar-benar terlihat syok sekali, dia masih saja berteriak histeris saat digendong paksa oleh keluarga mereka, seolah ia belum rela jika almarhum Revan pergi secepat itu.
"Apa kita juga pulang saja?" Ryu langsung mengusap lengan Jeje, saat tatapan perempuannya itu terlihat kosong.
"Tunggu sebentar lagi, kita doakan dulu Revan untuk yang terakhir kalinya." Hal itu membuat Jeje semakin miris, bahkan ia sebenarnya tidak tega berlama-lama melihat tangisan haru seperti ini.
"Aku rasa ini bukan tanggung jawab kita lagi sebagai klien."
"Tidak apa-apa, kita melakukannya sebagai wujud rasa bela sungkawa antar sesama umat manusia saja."
"Ck, tapi--"
Obrolan Jeje dan Ryu langsung terputus, saat lagi dan lagi pria yang mengaku sebagai adik dari almarhum itu datang mengusik.
"Setelah semua selesai, kamu harus datang kerumahku."
DUAR
"Hah, ngapain?" Jeje langsung menatapnya dengan raut wajah kesal, entah hal apa lagi yang harus dia buat hari ini pikirnya.
"Apa kamu sudah pikun, atau kamu sedang melakukan drama amnesia Nona?"
Senyumnya memang menawan, tapi ini sungguh menyebalkan!
"Maksud kamu apa?" Jujur Jeje kagum melihat pria itu, tapi rasa benci akan semua kata-kata dan sikapnya lebih mendominasi.
"Tolong bicara baik-baik ya, bahkan tanah almarhum Abangmu saja masih basah, tidak bisakah kamu untuk jangan memancing keributan disini?" Ryu benar-benar kesal sebenarnya, namun masih ia tahan sampai saat ini.
"Tunggu saja didalam mobil putih yang ada diujung, tak perlu banyak tanya," titahnya kembali.
"Tidak perlu, aku punya mobil sendiri."
"Cih, apa itu hasil dari memeras uang Abangku?" tuduh Pria itu dengan senyum narkasnya.
Bangke!
"Jaga mulutmu ya, kamu kira aku semiskin itu?" Ujar Jeje yang merasa tidak terima, dia mendapatkan uang sesuai dengan perjanjian, bukan pemerasan pikirnya.
"Sudahlah, jangan terpancing olehnya, kita lihat saja apa mau dia." Ryu berulang kali mengusap lengan Jeje agar perempuan kesayangannya itu bisa menjaga emosi walau sulit.
"Kamu tidak perlu ikut, urusanku hanya dengan wanita itu saja, bukan kamu!" Dan ternyata hal kecil yang dilakukan Ryu semakin membuatnya merasa muak dengan mereka berdua.
"Tidak bisa, apapun yang menyangkut tentang Jeje, harus melibatkan saya!" bantah Ryu dengan tegas.
"Apa kamu tidak melihat kondisi Mamaku tadi seperti apa? Atau kamu juga mau menambah kalut pikirannya saat tahu jika istri almarhum anaknya sudah berkepit dengan seorang pria, padahal baru saja selesai acara pemakamannya, hah?" Sangat tergambar jelas, bahwa emosinya kini memang sedang berada dipuncak, karena perasaan kaget, sedih, kecewa, terluka, semua tercampur aduk menjadi satu.
"Tapi ini--" Ryu terlihat keberatan dengan hal ini, apalagi saat dia melihat Jeje benar-benar tidak mood karenanya.
"It's oke, aku bisa mengatasinya sendiri, kamu pulang duluan aja." Jeje mulai lelah dan memilih mengalah saja.
"Je, dalam perjanjian kita dulu tidak begini."
"Sudahlah, aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri nanti, kamu tidak perlu risau dengan hal ini." Jeje menggengam jemari Ryu yang seolah tidak ingin lepas darinya.
"Apa kalian masih mau bermesraan di pemakaman umum ini, hah?" Pria itu kembali meninggikan suaranya.
"Hei, jangan sembarangan bicara kamu!"
"Ryu, nggak ada gunanya kamu menjawab omongan sampahnya, kamu pulang saja, nanti aku kabarin semuanya."
Setelah memejamkan kedua matanya berulang kali, Jeje memilih untuk menjadikan pria itu sebagai tantangan hidupnya saja, ia berjanji didalam hati akan membalas semua kata-kata pedas pria itu dengan sambal ramuan asli dari cabai rawit setan pilihan dan menyumbatkannya kedalam mulut pria itu.
"Apa kamu bilang? aku sampah? Apa kamu tidak bisa berkaca?"
"Semua perkataanmu bahkan lebih bau daripada sampah, jadi lebih baik tutup saja mulutmu itu!"
"Kau--"
"Entah kenapa aku jadi ragu jika kamu memang adiknya, karena setahuku Almarhum Revan orangnya begitu baik dan sopan, tidak seperti kamu yang seperti manusia tidak ber-attitude sama sekali!"
"Haha, jangan sok suci kamu j@lang!"
Ia bahkan tak segan menghina dengan kata-kata yang kurang sedap didengar telinga.
"Aku memang bukan wanita suci, tapi setidaknya aku tahu jika orang yang benar-benar baik itu tidak akan pernah menghakimi orang yang belum baik, permisi!"
Kelas!
Ryu tersenyum puas saat mendengar kata-kata pamungkas dari Jeje, apalagi saat dia melirik kearah pria itu yang akhirnya diam tak lagi berkata.
Dan Jeje memilih langsung bergegas pergi meninggalkan pria itu tanpa perduli dengan umpatan yang ingin dia lontarkan nantinya, Jeje bahkan tidak menyangka jika keluarga almarhum Revan ada yang bermulut pedas gila melebihi dirinya, karena menurutnya almarhum Revan adalah sosok pria yang penyabar, bahkan dia tidak pernah sekalipun meninggikan suaranya saat berbicara dengan dirinya, walau ia melakukan kesalahan sekalipun dalam hal kesehariannya selama menjadi Joki istri untuknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!