Di bawah langit biru yang cerah, angin sepoi-sepoi bertiup lembut, menyapu permukaan tanah yang hangat. Suara angin yang berhembus melalui daun-daun kelapa terdengar seperti bisikan alami, menenangkan setiap pendengar. Tali kelapa yang tinggi melengkung dengan anggun, daunnya yang hijau bergoyang perlahan seolah menari mengikuti ritme angin. Di sekitar, udara terasa segar, dengan aroma khas dari pepohonan kelapa yang menguar lembut.
Di kejauhan, suara gemerisik dedaunan lainnya menyatu dengan desiran angin yang membuat suasana semakin damai. Setiap hembusan angin yang datang terasa menyejukkan kulit, dan bayang-bayang pohon kelapa yang panjang menyelimuti tanah, menciptakan tempat teduh yang nyaman untuk beristirahat. Suara dari debur ombak yang jauh bisa terdengar samar, menambah kedamaian dari alam sekitar. Semua terasa begitu tenang, seolah waktu melambat, memberi ruang untuk menikmati ketenangan yang sempurna.
Di bawah sinar matahari yang cerah, dua anak kecil tampak sedang bersenang-senang. Seorang gadis kecil berusia 8 tahun mengenakan baju merah muda dengan gambar Hello Kitty yang ceria, wajahnya penuh senyum, matanya berbinar penuh kegembiraan. Di sampingnya, adiknya yang berusia 6 tahun, mengenakan kaos lengan pendek dan celana pendek, ikut berlarian dengan semangat yang sama. Mereka berdua saling berkejaran, tertawa riang, dengan ranting kayu di tangan masing-masing, seolah-olah itu adalah pedang atau tongkat sihir yang mereka gunakan untuk bermain.
Suara tawa mereka yang meriah memenuhi udara, saling bersahutan seiring langkah kaki kecil yang berlarian di atas tanah berumput. Beberapa kali, gadis kecil itu hampir tertangkap, namun dengan kelincahan seorang anak, ia berputar dan berlari lebih cepat, menyebabkan adiknya yang lebih muda tertawa lepas, seolah merasa bangga bisa mengejarnya. Di sekitar mereka, pohon-pohon memberikan keteduhan, dan angin sepoi-sepoi sesekali menyapu wajah mereka, menambah keceriaan dalam permainan itu.
Ranting kayu di tangan mereka, yang seharusnya hanya benda biasa, kini seolah menjadi bagian dari dunia imajinasi mereka. Gadis kecil itu mengayunkan rantingnya seolah menebas udara, sementara sang adik berusaha menangkisnya dengan gerakan lucu. Di kejauhan, bunga-bunga warna-warni tumbuh di sekitar halaman, menambah keindahan suasana yang dipenuhi keceriaan dan kebebasan.
Langit biru yang cerah menjadi latar belakang sempurna untuk hari penuh petualangan itu. Mereka berlarian tanpa rasa lelah, seolah dunia hanya milik mereka berdua, dan waktu pun terasa melambat dalam kehangatan dan kebahagiaan masa kanak-kanak yang sederhana.
Agnes berdiri dengan tenang di pinggir sungai dangkal, airnya yang jernih mengalir perlahan di antara bebatuan kecil. Dia memandang dengan penuh perhatian seekor katak yang duduk di atas batu besar, matanya yang bulat tampak fokus, seolah-olah sedang mempersiapkan diri untuk melompat. Tubuh katak itu sedikit mengejang, kaki belakangnya yang kuat terangkat sedikit, siap untuk meluncur ke udara. Agnes menyaksikan setiap gerakan katak itu dengan rasa ingin tahu yang besar, bibirnya terkatup rapat, tidak ingin mengganggu keheningan alam di sekitarnya.
Angin sepoi-sepoi berhembus, membelai rambut Agnes yang tergerai lembut, membawa aroma segar dari rerumputan di sekitar sungai. Di kejauhan, suara air yang mengalir lembut membentuk ritme alami yang menenangkan. Pepohonan di sekitar sungai berbisik pelan, daunnya bergoyang ringan. Langit biru yang cerah memberi pencahayaan sempurna, menciptakan bayangan hijau dari pepohonan yang terpantul di permukaan air.
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari belakang, "Agnes! Agnes!" Suara itu memecah kesunyian, membuat Agnes menoleh dengan cepat. Susan, adiknya yang berusia 6 tahun, berlari mendekat dengan langkah-langkah kecil yang cepat, wajahnya penuh semangat.
Agnes menatap kosong ke arah sungai, matanya sedikit sayu. Katak yang tadi ia amati dengan penuh perhatian kini telah melompat jauh, meluncur dengan lincah ke air yang tenang. Bunyi percikan kecil itu hilang seiring dengan lenyapnya sang katak ke dalam kedalaman yang lebih dalam. Agnes menghela napas pelan, merasa sedikit kecewa karena telah kehilangan momen langka itu, yang seharusnya bisa ia nikmati dalam keheningan sendiri.
Susan yang berdiri di sampingnya tampak tidak menyadari kekecewaan kakaknya. Dengan senyum ceria, ia menggenggam tangan Agnes, menariknya agar lebih dekat. "Ayo, kita main lagi! Kita bisa cari katak yang lain!" teriak Susan dengan semangat, berharap dapat mengalihkan perhatian Agnes.
Namun, Agnes hanya diam, matanya kini tertuju pada air yang tenang tanpa seekor katak pun terlihat. Ada sedikit kerutan di dahi Agnes, dan bibirnya terkatup rapat. "Susan! lihat kataknya hilang. Kamu berisik sekali sih ," gumam Agnes pelan, nada suaranya agak sumbang, mencerminkan kekecewaan yang terpendam.
Susan terlihat bingung, matanya yang besar menatap Agnes dengan tatapan polos, tidak mengerti kenapa kakaknya marah. "Kenapa sih? Aku kan cuma panggil kamu," jawab Susan, sedikit cemas, tangannya masih menggenggam erat tangan Agnes.
Angin sepoi-sepoi yang tadi menenangkan kini terasa sedikit lebih berat. Suara daun-daun yang bergoyang di atas kepala mereka terdengar lebih jelas, seolah mengisi kekosongan di antara mereka. Di sekitar sungai, kesunyian kembali merayap, dan hanya suara gemericik air yang terdengar pelan.
Agnes menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, tapi suasana hatinya sedikit terganggu. Dia merasa marah pada dirinya sendiri, karena seolah-olah momen itu hilang begitu saja, terlewatkan oleh gangguan yang tidak bisa ia kontrol. "Aku hanya ingin melihatnya melompat," desah Agnes dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.
Susan merasakan perubahan itu, dan akhirnya, dengan ragu-ragu, dia melangkah lebih dekat lagi. "Maaf," kata Susan pelan, wajahnya kini terlihat lebih serius. "Aku gak sengaja."
Agnes menoleh pelan, wajahnya mulai melunak. Dia memandang adiknya dengan ekspresi campuran antara kesal dan sayang. Meskipun sedikit kecewa, Agnes tahu adiknya tidak bermaksud mengganggunya. Perlahan, dia menghela napas lagi, mencoba mengatasi rasa kesalnya.
"Sudahlah, aku cuma… pengen lihat kataknya melompat," ucap Agnes, sedikit lebih lembut. Dia kemudian menatap Susan yang masih tampak khawatir, dan akhirnya tersenyum kecil. Suasana kembali tenang, meskipun ada sedikit ketegangan yang tersisa di udara, seperti angin yang berhembus pelan, membawa kembali suasana damai yang sempat terganggu.
Tiba-tiba, tangan kecil Susan bergerak, dan dia menunjuk ke arah aliran sungai. "Kak, lihat itu!" serunya dengan suara ceria yang kembali memecah keheningan. Agnes menoleh, sedikit terkejut, dan mengikuti arah tunjuk adiknya.
Di tengah riak air yang perlahan mengalir, terlihat sebuah benda yang melintas, terbawa arus. Sebuah bungkusan plastik berwarna biru tua tampak bergerak pelan, tenggelam dan muncul ke permukaan air. Bungkusan itu terikat dengan pita merah yang mencolok, menambah kesan kontras dengan warna biru yang lebih gelap.
Agnes terdiam sejenak, melupakan sejenak kekecewaannya atas katak yang telah melompat. Matanya tertuju pada bungkusan itu, yang tampak seperti benda asing yang mengganggu ketenangan sungai. "Apa itu?" gumam Agnes, heran.
Susan dan Agnes saling memandang, keduanya terdiam sejenak, menatap bungkusan plastik biru tua yang kini berada di tangan Agnes. Mereka tidak bisa menghindari perasaan heran dan sedikit kecewa melihat sampah yang terbuang begitu saja di sungai yang seharusnya begitu damai itu.
"Siapa yang buang sampah sembarangan kayak gini?" tanya Agnes dengan suara sedikit kesal, matanya yang penuh rasa ingin tahu kini berubah menjadi kecewa. Dia melihat pita merah yang tadi terikat pada bungkusan itu kini lepas dan terurai, melayang-layang mengikuti arah angin. Pita merah itu akhirnya tersangkut di sebuah batu besar yang terletak di pinggir sungai, mencolok dengan warnanya yang terang di antara bebatuan yang lebih gelap.
Susan ikut melangkah mendekat, tatapan matanya juga penuh rasa ingin tahu. "Kenapa ada orang yang buang sampah di sini, Kak?" tanyanya polos, tidak mengerti mengapa ada yang bisa begitu ceroboh dengan lingkungan sekitar. "Itu pita merahnya terlepas, Kak, mungkin ada yang sengaja buang…"
Agnes meraih pita merah yang terperangkap di batu besar dengan tangan kecilnya, namun tak sampai. Tangannya hanya bisa menyentuh udara tipis di atas batu, sementara pita itu tetap terjepit rapat di antara celah-celah bebatuan. Wajahnya mulai sedikit frustrasi, namun dia tidak menyerah.
Melihat itu, Susan yang berada di sampingnya segera merasa ingin membantu. Dia mengangkat ranting kayu yang masih ada di tangannya, berusaha menjulurkan ujung ranting itu ke arah pita yang terjepit di batu. Ranting kayu itu terulur dengan hati-hati, seolah berusaha meraih pita dengan kesabaran yang sama seperti mereka berdua.
"Semoga bisa," kata Susan sambil menarik ranting itu perlahan, wajahnya penuh konsentrasi. Dengan gemetar, ujung ranting itu akhirnya tersangkut pada pita merah yang masih terjepit, dan pita itu pun bergoyang seiring dengan tarikan Susan.
"Dapat, Kak!" seru Susan dengan kegembiraan yang terpancar di wajahnya, meski pita itu belum sepenuhnya terlepas. Agnes segera menyusul dan membantu, meraih bagian lain dari ranting kayu yang sudah tertarik oleh adiknya. Bersama-sama, mereka menarik ranting itu dengan hati-hati, berharap bisa mengeluarkan pita dari batu.
Dengan sedikit usaha, akhirnya pita merah itu terlepas dari batu dan tersangkut di ujung ranting kayu milik Susan. Keduanya menariknya dengan senang hati, sementara angin kembali berhembus sepoi-sepoi, membawa suara gemerisik dedaunan di sekitar mereka.
Agnes berdiri di samping Susan, memandang pita merah yang kini berada di tangan mereka. Rasa penasaran kembali muncul, dan tanpa ragu, Agnes mencoba mengedus udara di sekitar pita itu. Hidungnya bergerak-gerak, mencoba mengenali bau yang tercium. "Ugh... ini bau apa, ya?" keluh Agnes dengan wajah cemberut, seolah-olah bau itu membuatnya tidak nyaman.
Susan, yang lebih kecil, turut mengedus pita itu, mencoba mencium bau yang sama. "Wah, bau nggak enak banget," katanya sambil meringis. "Kayak bau darah ikan!" Susan melanjutkan, tampak yakin dengan apa yang ia rasakan. Agnes mengangguk perlahan, mencoba mencerna apa yang dikatakan adiknya. Namun, meski mereka berdua sama-sama mencium bau itu, mereka tetap tak bisa menebak dengan pasti apa yang membuat bau itu terasa aneh.
Agnes, yang masih penasaran, menoleh lagi ke aliran sungai. Matanya mencari-cari bungkusan biru tua yang tadi hampir mereka ambil. Namun, sungai yang tadinya begitu tenang kini terlihat lebih cepat, membawa air yang mengalir deras ke bawah, seperti tak peduli dengan apa yang mereka temui. Bungkusan biru itu sudah tidak tampak lagi, terbawa arus yang semakin kuat. Agnes menatap sungai itu sejenak, kecewa karena momen itu terlewat begitu saja.
"Sudah hilang, Kak," ujar Susan, suara kecilnya terdengar kecewa meski dia sudah menerima kenyataan. Agnes hanya mengangguk pelan, masih sedikit terperangah.
Hari semakin sore, dan langit mulai berubah warna, menyiratkan bahwa malam sudah hampir tiba. Suara alam yang dulu menenangkan kini terasa lebih sunyi, seolah ikut meresapi suasana hati mereka yang sedikit terganggu. Agnes melihat ke arah adiknya yang sudah memasukkan pita merah itu ke dalam kantong celana pendeknya, mungkin sebagai kenang-kenangan dari kejadian aneh itu.
"Yuk, kita pulang, hari hampir gelap," kata Agnes akhirnya, suaranya lebih lembut, mencoba mengubah suasana hati mereka yang sedikit canggung. Susan mengangguk setuju, meski tangan kecilnya masih memegang erat kantong celana tempat pita merah tersimpan.
Mereka berdua berjalan menjauh dari sungai, langkah kaki mereka ringan meskipun sedikit kelelahan. Angin sore yang semakin dingin menyentuh wajah mereka, namun seiring dengan langkah mereka, ada ketenangan yang mulai kembali terasa. Suasana yang tadinya penuh rasa penasaran dan sedikit ketegangan, kini berubah menjadi keheningan yang menyertai mereka pulang.
** Note:
Hai, readers aku kembali lagi dengan cerita baru, kali ini mengusung genre misteri. Selamat menikmati karya yang aku buat. Jangan lupa tolong berikan aku semangat dalam update karya ini ya, dengan komen, like dan vote. Terima kasih banyak dan happy reading.
Silahkan berkunjung karyaku yang lain ya :)
Di bagian depan bangunan, suasana tampak sangat sepi. Meja resepsionis yang biasanya ramai, kini terlihat kosong. Pekerjanya sudah pulang setelah seharian bekerja, meninggalkan ruang resepsionis yang sunyi. Hanya ada beberapa tumpukan berkas yang tertinggal di meja, menambah kesan kesendirian di ruangan itu. Tidak ada suara obrolan atau derap langkah kaki. Semua terasa begitu tenang, seperti dunia yang perlahan memasuki fase transisi antara siang dan malam.
Langit di luar mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Warna jingga perlahan merayapi horizon, menyelimuti langit dengan nuansa kehangatan yang hampir menyelimuti segala sesuatu. Matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit atau gedung-gedung tinggi memberikan pertanda bahwa hari akan segera berganti malam. Cahayanya yang lembut mengalir ke dalam melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan yang panjang di lantai, membuat suasana terasa lebih damai, tetapi juga sedikit melankolis.
Keheningan itu tidak berlangsung lama. Di luar, suara angin yang berdesir pelan bisa terdengar, menciptakan desiran lembut yang menggambarkan betapa sepinya suasana sekitar. Setiap detik yang berlalu menambah rasa hening, di mana perubahan waktu begitu terasa namun sangat halus. Panti asuhan itu tampak seakan beristirahat sejenak sebelum malam yang lebih gelap datang.
Malam semakin dekat, dan angin yang lembut semakin kuat, seperti membawakan pesan dari jauh, mengingatkan siapa pun yang ada di sana bahwa hidup harus tetap berjalan, meski dalam kesendirian yang sesekali datang.
Di bagian lain bangunan itu, suasana semakin tegang. Seorang wanita berlari dengan napas terengah-engah, tubuhnya terlihat sedikit tergesa-gesa namun penuh ketegangan. Di tangan kirinya, ia menggenggam erat ponsel, matanya tak lepas dari layar yang tampaknya menampilkan sesuatu yang penting. Setiap langkahnya terdengar jelas di lorong yang sepi, berderap dengan cepat seiring detak jantungnya yang semakin cepat. Wajahnya tampak cemas, dan bibirnya sedikit bergetar, seolah-olah dia berusaha menenangkan dirinya sendiri dalam kepanikan yang perlahan merayap.
Matanya terus memperhatikan setiap sudut ruangan yang ia lewati, seakan mencari sesuatu atau seseorang. Ia melirik ke dalam ruang-ruang yang kosong, namun sepertinya tidak menemukan apa yang dicari. Di setiap langkah, suara napasnya semakin keras, dan tangan yang menggenggam ponsel terasa semakin kaku, seolah-olah ia takut kehilangan jejak atau melewatkan sesuatu yang sangat penting.
Sesekali, ia menghentikan langkahnya sejenak, menatap layar ponselnya dengan cemas, dan tampaknya mencoba menghubungi seseorang atau mencari informasi lebih lanjut. Keheningan yang melingkupi bangunan itu seolah semakin menambah ketegangan yang ada di tubuhnya. Suasana sekitar yang sunyi membuat setiap langkahnya terasa seperti langkah yang lebih berat.
Wanita itu berhenti sejenak di ambang pintu, matanya terfokus pada sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Di atas tempat tidur, seorang anak laki-laki berusia sekitar dua tahun terbaring, tubuhnya menggigil dan kejang. Kejang-kejangannya membuat tubuh kecil itu terkulai lemah, sementara beberapa wanita lainnya—mungkin pengasuh atau staf panti asuhan—berusaha dengan panik menenangkan dan memberikan pertolongan pertama.
Seorang wanita memegang bahu anak itu dengan hati-hati, mencoba untuk memiringkan tubuhnya dengan lembut agar saluran pernapasannya tetap terbuka. Dua wanita lainnya berusaha menahan tangan dan kaki sang anak agar tidak cedera akibat kejang-kejang yang terjadi, sambil sesekali memanggil nama anak itu, berharap bisa mendapatkan respons.
Suasana di sekitar mereka sangat tegang. Meskipun ruangan itu terlihat rapi dan bersih, suasana panik di udara hampir bisa dirasakan. Wanita yang berlari tadi, dengan napas terengah, menatap pemandangan itu dengan cemas. Dia menggenggam ponselnya dengan erat, seolah berusaha menghubungi seseorang atau mencari pertolongan medis, namun tangannya sedikit gemetar.
Dengan tubuh yang terus bergejolak karena kejang, wajah anak itu memerah, dan peluh tampak membasahi dahinya. Suara sesak napasnya terdengar jelas di ruang yang sepi. Orang-orang di sekelilingnya bekerja dengan cepat, meskipun ketegangan dan ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. Mereka tidak hanya berusaha memberi pertolongan pertama, tetapi juga mencoba menenangkan diri mereka sendiri dalam situasi yang sangat mendesak itu.
Keringat dingin mulai membasahi wajah wanita itu saat dia melangkah maju, matanya tidak bisa beralih dari anak yang tengah menderita.
Di sudut ruangan yang sedikit lebih gelap, wanita muda berusia 20-an itu berdiri terpaku, matanya terfokus pada anak laki-laki yang tengah mengalami kejang di atas tempat tidur. Keheningan seakan mengelilinginya, sementara wanita-wanita lain berusaha memberikan pertolongan. Di antara keributan dan kecemasan yang jelas tampak di wajah mereka, wanita muda itu tampak berbeda. Ia tidak bergerak, hanya berdiri dengan diam, namun matanya tidak bisa lepas dari anak tersebut.
Ada sesuatu yang berbeda di dalam tatapannya—sebuah ekspresi yang samar, yang sepertinya tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebuah senyuman tipis tersungging di sudut bibirnya, sebuah senyuman yang aneh, tak bisa dijelaskan. Senyuman itu bukanlah senyuman penuh kebahagiaan atau kelegaan, melainkan sesuatu yang lebih gelap, lebih tersembunyi.
Ketegangan semakin memuncak ketika sang ketua panti berlari cepat menyusuri koridor yang sunyi, diikuti oleh dokter yang baru saja tiba. Langkah-langkah mereka terdengar berat, memecah keheningan malam yang sudah mengisi ruangan itu. Sang ketua panti membuka pintu dengan terburu-buru, memberi ruang bagi dokter untuk masuk. Dengan cepat, sang dokter bergerak menuju tempat tidur, memerintahkan para wanita yang mengelilingi anak tersebut untuk mundur dan memberi ruang agar dia bisa melakukan tindakan.
Ruangan yang awalnya dipenuhi kepanikan dan harapan itu kini dipenuhi dengan kecemasan yang semakin dalam. Dokter itu mulai memeriksa tubuh anak yang terbaring lemas, mencoba untuk melakukan tindakan penyelamatan, namun saat tangannya menyentuh tubuh anak tersebut, suasana tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Anak itu terbujur kaku, tubuhnya terasa dingin dan keras. Matanya tetap terbuka, menatap langit-langit dengan pandangan kosong yang semakin menambah rasa ngeri yang menyelimuti seluruh ruangan.
Kengerian segera menyebar di kalangan para pengasuh dan orang-orang di sekelilingnya. Beberapa dari mereka tidak bisa menahan diri, mulai menangis, sementara wajah mereka dipenuhi dengan ketidakpercayaan. Mereka berusaha memanggil nama anak itu, berharap keajaiban bisa terjadi, namun tidak ada jawaban. Keheningan yang mencekam semakin dalam, dan rasa kehilangan mulai menguasai setiap sudut hati yang ada di sana.
Namun, di antara para wanita yang terisak, sosok gadis muda itu tetap berdiri tegak tanpa mengeluarkan satu kata pun. Wanita itu berdiri di pojok ruangan, hanya mengamati dengan ekspresi datar yang tak terbaca. Tidak ada air mata, tidak ada kerutan kecemasan di wajahnya. Ia hanya menatap tubuh kecil itu dengan tatapan yang kosong, seolah-olah segala yang terjadi di hadapannya adalah sesuatu yang sudah diprediksi sebelumnya, sesuatu yang sudah ditunggu-tunggu. Tidak ada kejutan di wajahnya, hanya kekosongan yang mendalam, seakan tak ada yang lebih alami baginya daripada apa yang baru saja terjadi.
Suasana di ruangan itu berubah menjadi gelap, bukan hanya karena kehilangan yang terjadi, tetapi juga karena adanya perasaan yang sangat berat, seolah ada sesuatu yang lebih mengerikan yang masih menunggu di luar sana, di balik senyuman samar di wajah pengasuh muda itu. Keheningan yang menyelimuti ruangan semakin dalam, membawa perasaan tak terungkapkan bagi mereka yang menyaksikan peristiwa mengerikan itu.
Di sebuah kota kecil bernama Manarang, yang terletak di bagian selatan, tepat di pinggir pantai, kehidupan berjalan dengan ritme yang tenang namun penuh kegiatan. Kota ini, meskipun kecil, memiliki daya tarik tersendiri. Setiap pagi, nelayan-nelayan yang tinggal di sepanjang pantai berangkat menuju laut dengan perahu-perahu mereka, membawa harapan akan tangkapan ikan yang melimpah. Udara laut yang segar membawa bau asin yang khas, sementara suara deburan ombak seolah menjadi latar alami bagi kehidupan sehari-hari.
Pekerjaan utama penduduk Manarang adalah perikanan, dan banyak dari mereka yang menghabiskan hari-hari mereka di atas perahu, mencari ikan untuk dijual di pasar lokal. Di pagi hari, pelabuhan kecil kota ini dipenuhi dengan perahu-perahu yang kembali dengan hasil tangkapan yang berbeda-beda, dari ikan-ikan besar hingga hasil laut lainnya. Deru mesin perahu bercampur dengan suara teriakan nelayan yang sibuk memindahkan ikan ke dermaga, menciptakan suasana yang sibuk namun teratur.
Pelabuhan kecil ini juga menjadi jalur utama bagi akses ke pulau besar yang terletak tidak jauh dari sana. Dari pelabuhan ini, kapal-kapal barang membawa komoditas yang dibutuhkan oleh penduduk kota, mulai dari bahan pangan, peralatan rumah tangga, hingga bahan baku industri yang penting. Manarang meskipun sederhana, memiliki peran penting dalam mendukung kegiatan ekonomi di sekitarnya, berkat pelabuhannya yang strategis.
Pemandangan yang ada di sepanjang pantai sangat memukau, dengan pasir putih yang halus menyapa kaki yang berjalan di sepanjang tepi laut. Pohon-pohon kelapa yang tinggi menambah keindahan alam, berayun lembut oleh angin laut yang sepoi-sepoi. Di kejauhan, terlihat kapal-kapal besar dan kecil yang berlayar, membawa barang atau berlayar menuju pulau-pulau sekitarnya.
Namun, di tengah keseharian yang sibuk, ada pula keheningan yang tercipta, terutama saat matahari mulai terbenam. Langit yang memerah dan pantulan cahaya matahari yang hilang perlahan di horizon, memberi kesan damai pada suasana kota kecil ini.
Meskipun Manarang bukan kota besar, penduduknya cukup padat dan beragam, menjadikan kehidupan di kota ini terasa hidup meski dalam ukuran yang lebih kecil. Aktivitas sehari-hari berlangsung dengan ritme yang khas, menciptakan nuansa yang penuh dengan kedekatan antarwarga. Jalan-jalan utama di kota ini selalu ramai dengan orang-orang yang berjalan kaki, berbelanja di toko-toko kecil, atau sekadar menikmati udara segar di pagi hari.
Kota ini memiliki berbagai fasilitas yang memadai untuk kebutuhan warganya, meskipun tidak sebesar kota-kota besar di luar sana. Dari taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA), sistem pendidikan di Manarang cukup lengkap.
Di pusat kota, terdapat rumah bersalin yang juga berfungsi sebagai rumah sakit kecil. Fasilitas kesehatan ini menjadi tempat yang sangat penting bagi penduduk Manarang, terutama karena letaknya yang strategis dan mudah dijangkau. Meskipun fasilitasnya tidak sebesar rumah sakit besar di kota-kota besar, rumah sakit kecil ini selalu siap memberikan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan, dengan layanan medis yang terjangkau dan cukup lengkap.
Tak jauh dari situ, tempat ibadah berbagai agama juga ada di Manarang, menciptakan sebuah kota yang penuh dengan keberagaman dan saling menghormati. Masjid, gereja, dan pura berdiri berdampingan, memberikan ruang bagi setiap penduduk untuk beribadah dan merayakan keyakinan mereka dengan damai. Setiap sore, suara azan, lonceng gereja, dan lantunan doa terdengar bersahutan, mengisi udara kota dengan ketenangan dan rasa saling menghormati.
Di pusat kota yang cukup ramai, ada sebuah supermarket paling besar di kota tersebut yang selalu dipenuhi dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Di atasnya, ada toko baju yang menyediakan pakaian-pakaian trendi dengan harga terjangkau. Supermarket dan toko baju ini menjadi pusat perbelanjaan bagi warga Manarang yang ingin membeli barang-barang kebutuhan hidup, dari bahan makanan hingga pakaian.
Meskipun Manarang cukup layak dihuni dan menawarkan kehidupan yang nyaman dengan segala fasilitas dasar yang dibutuhkan, banyak penduduk yang sadar bahwa untuk memenuhi kebutuhan tertentu, mereka harus menuju ke pulau seberang yang lebih besar dan maju. Di sana, segala fasilitas yang lebih lengkap dan modern dapat ditemukan—dari universitas ternama, pusat perbelanjaan besar dengan bioskop, hingga rumah sakit besar yang memiliki peralatan medis canggih. Masyarakat Manarang sering menyebut pulau tersebut dengan nama Kota Besar, sebagai tempat yang memiliki segala hal yang tidak bisa mereka dapatkan di kota kecil ini.
Kota Besar, yang terletak tidak jauh dari Manarang, memiliki segala kemudahan yang ditawarkan oleh kehidupan perkotaan modern. Universitas-universitas besar dan terkenal berdiri kokoh di sana, menarik mahasiswa dari berbagai penjuru wilayah untuk menuntut ilmu dan melanjutkan pendidikan. Banyak pula yang pergi ke sana untuk mengejar karier, karena Kota Besar memiliki lapangan pekerjaan yang lebih luas dengan berbagai industri dan sektor yang lebih berkembang.
Pusat perbelanjaan yang sangat besar dengan berbagai toko terkenal, restoran internasional, hingga bioskop-bioskop yang menayangkan film terbaru menjadi daya tarik utama bagi mereka yang ingin menikmati hiburan. Para penduduk Manarang yang ingin menyaksikan film-film terbaru atau sekadar menikmati suasana mall yang megah, harus menyeberang ke Kota Besar. Di sana, mereka bisa menikmati semua fasilitas yang lebih modern, meskipun harus menghabiskan waktu beberapa jam untuk mencapai tempat tersebut.
Selain itu, rumah sakit besar yang memiliki fasilitas kesehatan yang lebih lengkap juga berada di Kota Besar. Bagi mereka yang membutuhkan perawatan medis lebih lanjut atau spesialis, perjalanan ke sana adalah hal yang biasa dilakukan. Rumah sakit di Manarang memang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, namun jika ada kasus medis yang lebih serius atau memerlukan penanganan lebih lanjut, Kota Besar adalah tempat yang menjadi tujuan utama.
Taman hiburan juga menjadi salah satu alasan mengapa warga Manarang sering mengunjungi Kota Besar. Di sana terdapat wahana permainan yang besar dan lengkap, yang sangat menarik bagi keluarga dengan anak-anak. Warga Manarang, terutama yang ingin menikmati liburan atau sekadar bersenang-senang, sering menghabiskan waktu di taman hiburan Kota Besar untuk melepas penat setelah bekerja keras.
Meski begitu, bagi sebagian orang, perjalanan ke Kota Besar bukanlah hal yang selalu mudah. Membutuhkan waktu dan biaya untuk menyeberang pulau, menjadikan perjalanan ke sana hanya dilakukan pada kesempatan tertentu, biasanya untuk keperluan penting. Namun, meskipun Manarang memiliki keterbatasan dalam fasilitas, penduduknya tetap merasa bangga dengan kota mereka, karena di sana mereka menemukan kedamaian, kebersamaan, dan cara hidup yang lebih sederhana.
Renjana berjalan dengan langkah berat, menyeret dua koper besar yang terlihat jauh lebih besar dari tubuhnya yang ramping. Setiap tarikan koper terasa semakin sulit, seakan-akan dunia di sekelilingnya ikut membebani langkahnya. Di atas kapal yang mengantarnya, waktu terasa bergerak sangat lambat. Satu hari penuh ia habiskan di atas geladak, meninggalkan kehidupannya yang lama, menuju tempat yang baru—ke Kota Manarang.
Pandangannya teralih pada jam tangan di pergelangan tangannya. Pukul 2 siang. Matahari masih bersinar terik, namun cuaca terasa begitu berbeda, lebih panas dan kering daripada yang biasa ia rasakan. Dia berhenti sejenak, menatap hamparan pelabuhan kecil yang sibuk dengan aktivitas para nelayan yang sedang membongkar hasil tangkapan mereka. Laut biru membentang di kejauhan, dan suara ombak yang menghantam pantai memberikan ketenangan yang kontras dengan kegelisahan di hatinya.
Renjana menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Perasaan cemas dan tidak pasti menyelimuti dirinya. Setiap langkah menuju daratan terasa begitu berat. Di balik wajahnya yang tenang, ada keraguan yang besar tentang keputusan ini. Apakah ia benar-benar bisa memulai kehidupan baru di sini? Di sebuah kota kecil yang jauh dari kehidupan yang ia kenal sebelumnya?
Namun, ia menghela napas panjang, berusaha menepis rasa khawatir itu. Tujuannya sudah jelas. Manarang adalah tempat yang ia pilih untuk memulai hidupnya kembali. Di sini, ia berharap bisa meninggalkan masa lalu yang penuh luka dan memulai lembaran baru. Ia ingin menjalani hidupnya dengan semestinya, meski tidak tahu pasti apa yang akan menantinya di kota kecil yang asing ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!