Nenek bilang, malam itu tepat pukul duabelas malam majikannya mengalami kontraksi. Kehamilan dari anak yang sangat mereka tunggu. Benar, majikan nenek menunggu bahkan merencanakan dengan susah payah akan kehadiran bayi yang ada dalam kandungan majikannya yang bernama Lusy.
Bukan mereka tidak punya anak. Ada Bryan, dan ada Alan. Keduanya laki-laki. Lusy dan suaminya Adnan sangat mendambakan akan kehadiran seorang anak perempuan di keluarganya. Mereka melakukan berbagai macam cara sampai akhirnya bayi tabung mereka berhasil.
Hujan lebat disertai petir yang menggelegar, menyelimuti langit malam itu. Angin yang berhembus kencang membuat pohon bergoyang ke sana kemari tak tentu arah. Kilatan cahaya di atas langit seakan mencoba membelah langit luas malam itu.
Ijah. Itulah nama nenekku. Wanita yang masih muda kala itu ikut berjalan cepat mengikut ranjang rumah sakit yang berjalan menuju ruang operasi.
Lusy bukan kontraksi secara normal, dia kontraksi setelah terpeleset di kamar mandi dan menyebabkan perdarahan hebat.
Seluruh keluarga datang untuk menemani dan memastikan keadaan Lusy baik-baik saja, hingga seorang dokter keluar dan berkata.
"Maaf, Pak. Tapi kami hanya bisa menyelamatkan ibunya."
Antara bersyukur dan juga bersedih. Semua keluarga menangis termasuk nenekku, Ijah. Alan dan Bryan pun terlihat sangat sedih karena adik perempuan yang selama ini mereka dambakan harus pergi sebelum sempat lahir ke dunia.
Malam kelam itu terasa sangat panjang. Hujan tak kunjung reda, pun petir yang terus saja menyambar membuat suasana semakin suram. Dingin menusuk hingga sum-sum tulang. Dingin entah karena cuaca atau karena sesuatu telah pergi.
Adnan mengusap tubuh bayi yang membiru. Seharusnya sepekan lagi dia lahir, namun kini sudah berada di dunia dengan keadaan yang sudah terbujur kaku.
"Selamat datang dan selamat tinggal, Nak." lirih suara yang amat menyayat hati.
Pihak rumah sakit dan kerabat yang lain mengurus jenazah sang bayi, sementara Adnan dan anak-anaknya menemani Lusy yang sudah pasti akan sangat syok atas kepergian putri yang selama ini dia nanti.
Hingga esok hari, Lusy belum juga siuman. Dia masih terbaring di atas kasur dengan wajah yang pucat. Sesekali air mata menetes dari sudut matanya. Dengan lembut Adnan mengusapnya.
"Pah, kita sekolah dulu."
"Hmmm. Hati-hati kalian di jalan."
Alan dan Bryan pun berpamitan karena mereka harus pergi ke sekolah. Saat itu Bryan si sulung kelas 2 SMA, sementara Alan kelas 6 SD.
"Kak, kita gagal dong punya adik cewek?" tanya Alan merengut.
"Yang penting mama sehat dan selamat. Lebih sedih lagi kalau kita harus kehilangan mama bukan?"
"Iya, sih."
Bryan merangkul bahu adiknya seolah memberi kekuatan agar adiknya itu tidak terlalu sedih. Alan adalah orang yang paling antusias menyambut kehadiran bayi ibunya. Bahkan dia sangat antusias saat keluarganya menyiapkan kamar untuk si bayi.
Kehilangan anak yang sangat diinginkan bukanlah hal mudah untuk seorang ibu. Termasuk Lusy. Dia tidak menangis dan tidak meratapi. Tidak marah ataupun memberikan reaksi. Itulah yang membuat Adnan sangat takut.
Lusy depresi.
Tatapannya kosong. Tidak bereaksi pada siapapun dan pada apapun juga. Lusy tidak makan. Makanan masuk ke dalam mulut, ya sudah makanan itu akan terus berada di sana. Itulah kenapa Adnan memutuskan Lusy selalu dipasang infus agar tubuhnya tidak lemas.
Karena waktu dan kesibukan Adnan, dia tidak mungkin selalu menunggu istrinya di rumah sakit. Untuk itulah dia meminta seorang perawat yang siap siaga menemani Lusy di rumah.
"Pak, saya mau minta ijin."
"Ijin ke mana, bi Ijah? Kalau bibi pergi, siapa yang menjaga Lusy?"
"Itu Pak ...." Ijah terlihat segan untuk mengutarakan niatnya meminta ijin pulang kampung.
"Ada apa?" tanya Adnan sambil meletakkan koran pagi di atas meja. Lalu dia menatap dalam pada pembantu yang sudah sangat lama bersamanya.
"Anak saya anu, Pak." kembali Ijah terlihat sangat kebingungan. Adnan terus menatap, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja dan Ijah bisa mengatakan hal apapun.
"Ah, iya," ujar Adnan yang seolah menemukan sesuatu.
"Anak bibi malu melahirkan 'kan?"
Ijah tersenyum hambar dan juga lega atas pengertian Adnan.
"Pulang, Bi. Bibi harus menemani anak bibi di sana. Nanti biaya dan semua keperluannya akan saya tanggung. Jangan naik angkutan umum, biar sarif yang antar."
"Jangan, Pak."
"Biar nanti di sana ada kendaraan yang siap siaga, Bi. Udah, bibi jangan protes, nanti saya malah gak ijinin pulang, gimana?"
Ijah tertawa bahagia dan haru atas kebaikan Adnan padanya.
Setelah menyiapkan segala kebutuhannya, Ijah pamit pada semua anggota keluarga Adnan termasuk Bryan dan Alan. Juga pada beberapa pembantu yang juga kerja di rumah itu.
"Maaf ya, Rif. Saya jadi merepotkan."
"Merepotkan apa toh, Bi? Kan sama aja kerja. Lagian saya juga pengen liburan ke kampung. Jenuh di kota terus."
"Iya, nanti kamu bisa mancing di kolam milik kakak saya."
"Wah, seriusan punya kolam ikan?"
"iya, nanti bisa langsung dibakar. Kan enak tuh masih fresh."
"Bagus itu. Jadi gak sabar pengen cepet sampai." Sarif terlihat sumringah mendengar kata kolam dan ikan. Karena memancing adalah hobi nya.
Butuh lima jam lamanya dari rumah Adnan menuju rumah Ijah di kampung Jawa barat. Di tempat dataran tinggi. Di perbukitan yang begitu asri dan sejuk.
Sarif membuka jendela mobil lalu menghirup udara dalam-dalam. Dia seperti menemukan harta Karun karena bisa merasakan kesejukan udara yang selama ini jarang ia dapatkan di kota.
Sarif dan Bi Ijah yang semula tengah berbincang sambil sesekali tertawa, perlahan mulai terdiam. Mereka heran melihat kerumunan orang-orang di depan rumah bi Ijah. Hingga Sufri menghela nafas panjang saat melihat bendera kuning di samping rumah.
Tidak ingin menduga yang bukan-bukan, Bi Ijah turun perlahan dengan wajah cemas dan tubuh bergetar. Jalannya mulai sempoyongan namun dia masih mencoba untuk tetap tenang.
Suara tangisan dan histeris para penduduk yang ada di sana semakin keras begitu melihat kedatangan bi Ijah. Mereka segera menyambut dan sesekali mengusap pundak bi Ijah. Meski kepalanya sudah menebak apa yang tejadi, tapi hati Bi Ijah menolak kerasa hingga dia sadar bahwa dugaannya memang sebuah kenyataan.
Wajah cantik nan rupawan itu terlihat sangat pucat. Sambil tersenyum cantik dibalut kain kafan, terbujur kaku di tengah rumah. Beberapa orang yang sedang mengaji pun langsung terhenti tat kala melihat Bi Ijah datang.
"Jah, ini." Ruminah menghampiri sambil menggendong makhluk kecil yang sama cantiknya dengan sang ibu yang sudah berbaring tak bernyawa.
Dengan tangan bergetar, Ijah menerima bayi yang dibedong dengan kain jarik. Bayi itu nampak terlelap. Dia tidak mengerti dan tidak tahu bahwa pelindung nya di dunia ini sudah pergi.
Meski hatinya hancur, Bi Ijah nampak tidak meneteskan satu tetes pun air mata. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Bahkan hingga pemakan berakhir pun, Bi Ijah masih terlihat tidak menangis.
"Rif, besok kamu pulang dulu ke kota. Sampaikan kondisi di sini pada pak Adnan. Sekaran menginap saja dulu di sini, ya meski tidur di tempat seadanya."
"Gak masalah, Bi. Saya akan sampaikan pada bapak nanti. Kalau misalnya bapak nanya saya kapan bibi akan kembali, saya jawab apa?"
Bi Ijah menghela nafas berat, "saya mungkin tidak akan kembali, Rif. Saya akan merawat cucu saya di sini. Lagi pula tabungan saya mungkin cukup untuk saya pakai modal jualan apa lah di sini."
"Bapak pasti gak akan setuju, Bi. Bagaimana pun juga bibi udah lama ikut mereka dan udah dianggap ibu sendiri. Terlebih keadaan ibu masih belum ada kemajuan."
"Saya juga tau, Rif. Tapi mau bagaimana lagi. Kalau bukan saya, siapa yang akan merawat cucu saya?"
Sarif hanya bisa diam. Dia tidak bisa berkata apapun lagi karena memang situasi Bi Ijah tidak dalam posisi memilih. Dia memang harus mengutamakan cucunya.
"Tidak! Pokoknya kamar itu buat adik, bukan buat dia. Gak boleh, jangan!" Alan kenaikkan suaranya. Protes pada apa yang orang tuanya lakukan.
Adnan dan Lusy hanya saling pandang, lalu mereka memutuskan membawa bayi itu ke kamar mereka.
"Lebih baik kita buat kamar lain saja nanti. Sementara waktu kita biarkan Ara tidur bersama kita."
"Sampai kapan, Pah? Ini udah mau dua bulan. Kita berusaha membujuk Alan tapi dia bersikeras tidak mau menerima anak ini."
"Dia masih kecil untuk bisa menerima. Beda sama Bryan. Gak apa-apa, perlahan seiring bertambahnya usia, Alan pasti akan mengerti dan menerima."
Itulah harapan Adnan dan Lusy ketika mengangkatku sebagai putri mereka. Nenek bilang, saat itu Adnan datang setelah sepekan Sarif kembali ke kota. Awalnya Adnan hanya ingin mencoba merangsang Lusy yang seperti mayat hidup agar bisa kembali seperti manusia normal lainnya.
Ajaibnya, apa yang Adnan inginkan menjadi kenyataan. Nenek bilang, begitu aku dibawa masuk dan Lusy mendengar suara tangisanku, dia langsung merespon.
Begitulah kenapa aku berakhir di keluarga ini.
Namun, harapan Adnan dan Lusy untuk Alan bisa menerimaku, tidak bisa terwujud sampai usiaku yang kini sudah remaja. Dia menganggap ku seolah tidak pernah ada di rumah itu.
Tidak, dia tidak pernah marah, mencaci, ataupun melakukan kejahatan padaku. Dia hanya tidak peduli pada kehadiranku. Tidak pernah bicara bahkan menatap sekalipun.
Berbeda dengan Bryan. Dia hangat dan penuh perhatian. Aku benar-benar merasa kalau kami memang sodara kandung.
"pulang sekolah jam berapa?" tanyanya saat kami semua sedang sarapan.
"Hari ini aku ada ekskul, jadi pulang jam empat sore."
"Oke, kalau sempat nanti Abang jemput. Hari ini ada 3 operasi soalnya."
"Gak apa-apa, Bang. Aku bisa pulang sendiri kok. Bisa naik taksi ataupun angkot."
"Kamu sih, kenapa gak mau pakai supir aja, sayang?" tanya Adnan.
"Sekolahku bukan sekolah elit, Pah. Mana bisa datang pakai mobil pribadi."
Ya, sadar diri aku bukan anak kandung mereka. Aku mencoba membiasakan diri sebagai anak orang biasa. Tidak ingin terlalu menikmati semua fasilitas yang ada, toh ini memang bukan milikku.
Kok bisa aku tahu kalau aku bukan anak kandung mereka? Ya justru karena itu aku sadar diri dan tidak menikmati peran sebagai anak sesungguhnya di rumah ini. Sejak kecil Adnan dan Lusy sudah mengatakan bahwa aku bukan anak mereka. Mereka sering membawaku ke makam ibu agar aku tahu bahwa ya itulah ibuku yang sebenarnya.
Tujuan mereka memang baik, agar aku tidak melupakan siapa yang melahirkan aku ke dunia sampai dia harus kehilangan nyawa. Namun, ada beberapa hal yang membuat aku sendiri berpikir bahwa mereka pun tidak sepenuhnya menganggap aku putri kandung mereka. mungkinkah ini yang dinamakan tidak adanya ikatan batin? entahlah.
"Ayo habiskan sarapannya, Abang anter ke sekolah biar gak telat."
"oke, seperi biasa ya. Aku turun di depan halte aja."
"Terserah deh, senyamannya kamu aja."
Setelah menghabiskan sarapan, aku berpamitan pada Adnan dan Lusy, mencium punggung tangan dan cipika cipiki layaknya anak dan orang tua pada umumnya.
Entah kenapa pagi itu aku reflek mendekati Alan dan mengulurkan tangan hendak bersalaman, entah kenapa dengan otakku pagi itu. Aku lupa jika dia menganggap aku tidak pernah ada di dunia ini.
Aku yang terdiam karena masih heran dengan diri sendiri, ditarik oleh Bryan dan berjalan keluar menuju parkiran.
"uang jajan masih ada gak?" tanyanya mengalihkan kesadaranku.
Aku tersenyum seraya memeluk orang yang benar-benar seperti kakak kandung sendiri. Aku bahagia memiliki keluarga ini, setidaknya aku yatim piatu tapi nasibku lebih baik di antara anak-anak lainnya.
Bryan memang cerewet, tapi aku suka. Dia bisa menjadikan hal-hal sepele yang menjadi pembicaraan seru saat dia mengantar atau menjemputku.
"oke, kita udah sampai."
"Makasih, Abang."
"sama-sama, belajar yang rajin ya. Awas aja kalau pacar-pacaran dulu," pesannya saat aku turun dari mobil.
"kalau pacaran beneran berarti boleh dong?"
Dia langsung melotot sambil tangannya mengayun seolah hendak memukulku. Aku tertawa seraya menutup pintu mobil. Bryan melajukan mobilnya sambil melambaikan tangan padaku. Kepergian nya teriring doa dari mulut kecil ini agar dia selalu dilindungi tuhan dan selalu bahagia.
Di depan gerbang, kedua sahabatku sudah menunggu. Mereka melambaikan tangan dengan wajah sumringah melihatku datang. Ayumi dan Hilda.
"Kamu udah ngerjain sketsa yang diminta pak Hadi belum?" tanya Ayumi. Aku mengangguk sementara Hilda terlihat terkejut.
"Kenapa pula?"
"Lupa. Aku lupa ada tugaaaaaas," ujarnya sambil berlari menuju kelas. Aku yakin dia akan mengajarkan tugas itu di sana. Beruntung pelajaran pak Hadi ada di jam terakhir nanti.
"Dasar pikun!" Ayumi teriak.
"Gimana keadaan ibu kamu, Mi? Udah baikan?"
"Hmmm, lumayan. Setelah operasi Minggu lalu, dia udah mendingan tinggal nunggu pemulihan. Untung kamu merekomendasikan ke rumah sakit Mitra Asih, selain fasilitasnya lengkap, dokternya juga baik dan ganteng." ucap Ayumi tersipu.
Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ya, selain baik dan ramah, Bryan memang sangat tampan. Ahhhh, senang rasanya memiliki kakak yang dikagumi banyak orang. Bangga aja gitu meski mereka tidak tahu hubungan ku dengan Bryan.
"Dia udah punya pacar belum ya?"
"kenapa memangnya? Ngarep? Ya kali dokter sekelas dia mau sama kita?" ujarku.
"Ya enggak, cuma penasaran aja nanti ceweknya bakalan kayak gimana?"
"Yaaa pastinya cantik sih."
"Bukan masalah cantiknya, dokter Bryan kan baik dan ramah, harus dapet istri yang sama juga gak sih? Kalau dapet istri yang kebalikan, kan bisa menjatuhkan pamor dokternya sendiri."
"Dahlah, ngapain kita bahas jodoh orang pagi-pagi gini. Tugas kita itu cuma belajar yang giat dan rajin. Jangan kayak si onoh yang selalu lupa sama tugas."
Aku dan Ayumi tertawa. Hingga tawa kami terhenti saat seseorang menghampiri.
"Permisi."
Langkah dan tawaku terhenti bersamaan.
"Ya, ada apa ya, Mas?"
"Maaf mau tanya, ruang guru sebelah mana ya?"
"Oh, ruang guru?"
Pria yang bertubuh tinggi tegap itu mengangguk.
"Mas lurus aja dari ini mengikuti lapangan volley, nanti mas belok kanan. Di situ ada ruang kelas 2F, habi itu mas belok kiri, ada toilet dan dari toilet mas lurus aja."
Pria itu menganggukkan kepalanya.
"Terimakasih ya."
"sama-sama."
Setelah orang itu pergi, aku mencubit pinggang sahabatku.
"Awwww! Geli tau!"
"Lo kenapa sih ngasih rute rumit banget? Orang dari sini tinggal ke kiri doang."
"Gak apa-apa lah, toh gak akan ketemu lagi ini. Udahlah, ayo buruan kira temui Hilda, siapa tau dia lagi kesusahan di kelas."
Kami kembali tertawa sambil berlari kecil menuju kelas karena bel sebentar lagi akan berbunyi.
"Kalian tau gak? Katanya ada guru baru di sekolah kita?" ucap salah satu siswa yang saat itu sedang makan di kantin bersama yang lainnya.
Aku bersama kedua sahabatku pun ada di sana. Kami hanya menyimak dari bangku sebrang sambil makan mie ayam.
"Iya, katanya guru olah raga pengganti pak Reza. Ganteng katanya sih, tapi entahlah."
Yah, begitulah obrolan anak-anak cewek kalau udah gosipin guru baru terutama jika guru itu pria.
"Udah selesai tugas Lo?" tanyaku pada Hilda. Dia hanya menjawab dengan nafas berat. Tanpa dijelaskan pun aku mengerti jika tugasnya belum selesai.
"Woiiiii, woiiii, gue punya tebakan nih. Siapa yang bisa nebak gue traktir selama seminggu!"
Nah, itu si biang onar di sekolah kami. Namanya Rahes. Dia anak paling kaya di sini, iya paling kaya jika tidak dibandingkan denganku. Aku? Iya, lupa, aku bahkan tidak punya orang tua. Meski tinggal dalam rumah mewah, itu bukan milikku sepenuhnya.
Tawaran itu selalu membuat semua orang terpikat. Mereka berkerumun untuk mendengarkan apa yang akan dilontarkan Rahes.
"Yang paling banyak menjawab dia yang akan gue traktir, ok!"
"siappp, siappp."
"Dengerin nih. Yang pertama ... Es es apa yang paling melelahkan?"
Mereka semua terlihat berpikir keras demi makan gratis selama sepekan. Ada yang mencoba menjawab namun semuanya ditolak oleh Rahes.
"Estafet dari Jogja ke Banten!" celetuk seseorang.
"Yah, itu gue terima. Lo dapet satu poin."
"Yeaayyy!" rona bahagia jelas terlihat di wajah anak itu. Sementara yang lain sibuk bertepuk tangan.
"Yang kedua. Bis, bis apa yang suka bertengger di atas pohon?"
Kembali suara hening tanda mereka sedang berpikir, beberapa detik kemudian banyak suara bermunculan mencoba mengeluarkan jawaban mereka. Tidak ada yang diterima.
"Muak gue. Balik kelas yuk!" Hilda yang kesal karena tugasnya belum selesai mengajak kami kembali ke kelas.
"Gue!" aku mengangkat tangan. Semua berbalik badan dan menatapku.
"Apa jawabannya?"
"Bisa monyet, bisa juga burung, bisa juga Lo kan temen nya monyet," ujarku sambil berlalu. Mereka tertawa terbahak-bahak, sementara wajah Rahes terlihat begitu kesal mendengar jawaban dariku.
Dia yang berdiri di atas meja langsung meloncat dan mengejarku yang sudah berjalan terlebih dahulu.
"Heh!" Rahes menarik tangan hingga menghentikan langkah kakiku. Hilda dan Ayumi pun terhenti karena kami memang saling bergandengan tangan. Saking kerasnya dia menarik tanganku hingga badanku berbalik, bahkan rambutku menutupi hampir sebagian wajah.
"ishhhh, apaan sih? sakit tau!"
"Lo yang apaan?" ujarnya sambil menunjuk wajahku dengan telunjuknya.
"Becandaan doang kali, serius amat hidup Lo!" Ayumi mencoba membelaku.
"Becanda ada tempatnya, Ra. Gue gak suka diketawain di depan banyak orang."
"Lo gak suka diketawain tapi Lo bersikap udah kek ronggeng monyet tau! Lo pikir dengan sikap Lo kayak tadi itu, keren? Kagak!" aku berusaha bersikap tenang.
"Tau apa Lo? buktinya mereka suka."
"Suka duit Lo maksudnya?"
"Sssttttt, Ra udah yuk ah."
"Dasar sodaku!" ledek Rahes dengan penuh percaya diri.
Aku dan kedua sahabatku saling melirik sebelum kami tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Rahes kebingungan sendiri.
"Napa Lo ketawa?" tanya nya masih belum sadar.
"Sodaku? Lo pikir gue fanta, ada sodanya?"
Aku menarik tangan Hilda dan Ayumi, kami bergegas kembali masuk ke kelas sebelum jam istirahat kedua ini habis.
Saat sekolah, pelajaran apa yang membuat kalian begitu bad mood? Bagiku, mata pelajaran sejarah adalah pelajaran yang sungguh sangat ingin aku hapus dari dunia ini.
"Baiklah, jika kalian tidak mengerti bisa tanyakan pada teman kalian. Bapak akhiri kelas sampai di sini, dan jangan lupa tugas Minggu depan harus sudah selesai."
"Baik, Pak." Kami menjawab kompak.
"Lo ngerti?" tanya Rahes pada Edo yang duduk sebangku dengannya. mereka duduk tepat di belakang bangkuku.
"Kagak." jawab Edo polos. Aku dan yang lain tertawa. Yah, itulah kenapa mereka berteman, keduanya sama-sama bodoh dan ya bisa dibilang memang kosong.
Jam berikutnya kami hanya mendapatkan tugas karena guru yang seharunya masuk berhalangan hadir. Meski begitu, bukan berati kelas boleh bubar. Kami tetap harus berada di dalam kelas sampai bel jam pulang berbunyi.
Tuing ... Tuing ... Kepalaku sedikit tertarik beberapa kali ke belakang. Aku tahu itu kerjaan Rahes yang menarik rambutku. Aku hanya bisa menghela nafas dalam dengan semua kelakuan dia selama ini. menyebalkan memang.
Semakin di diamkan, tingkahnya semakin menjadi.
Brakkkkkk!
"Diem gak Lo!" bentakku setelah menggebrak meja. Rahes dan sekutunya hanya tertawa. Semakin menyebalkan.
"Sodaku," ujarnya. Meski namaku Ara, aku tahu siapa yang dia maksud.
"Tebak-tebakan yuk."
"Ogah!"
"Kalau burung dan ikan saling jatuh cinta, di mana mereka akan tinggal?" tanyanya sedikit lantang.
"Di tukang pecel lele Lamongan!" bentakku. Lagi-lagi dia dan sekutunya tertawa puas.
"Lucu, lucu, lucu. Lagi ya. Kalau diujung laut, ada apa?"
"Huruf T."
"Hah?! Kok bisa?"
Aku memutar bola mata mendengar pernyataan konyol darinya, kok bisa sih dia nanya 'kok bisa?' astagaaaaa
"Ra, nengok dong."
Aku masih bergeming tidak mengindahkan ucapannya. Namun, bukan Rahes namanya jika tidak punya akal untuk membuatku terpaksa menuruti kemauan dia yang receh dan sangat gak penting itu. Dia menggoyang kursiku perlahan dan konstan.
"Apa sih, Lo?"
"Kalau di mata gue, ada apa?" tanyanya dengan wajah berseri dan berbinar.
"Kotoran!" ucapku seraya langsung kembali berbalik.
"Ra, seriusan!" tanyanya sambil menendang kursiku lagi.
"Tanya aja sama si bolot samping Lo itu."
"Eh, coba liat kata gue. Emang di mata gue ada kotoran?" tanyanya pada Edo.
"Iya, noh diujung mata kanan."
"Beneran?"
"Asli, kocak!"
Ayumi dan aku tertawa geli. Ada saja ulah yang dilakukan Rahes Mahendra Winata itu. Teman yang menyebalkan tapi dia selalu membuat aku tertawa dalam keadaan apapun.
Teman-teman di kelas tau jika aku dan dia memang seperti kucing dan anjing. Bukan lagi seperti Tom and Jerry. Mungkin aku Tom dan dia Spike kali ya.
Drrttttttt. Ponsellu bergetar. Satu pesan masuk.
"Abang tidak bisa jemput, Alan yang akan jemput kamu."
Deg!
Entahlah, jika sudah berhubungan dengan Kak Alan, jantungku selalu berdetak tidak seperti biasanya. Dia yang jarang, atau mungkin tidak pernah bicara denganku, dan selalu melihat dengan sinis membuatku sangat tidak nyaman.
Meski aku tahu kenapa dia begitu, dan aku bisa memaklumi, tapi tetap saja aku merasa sangat gugup dan takut padanya.
Aku membalas emot menangis deras pada Bryan.
Bel kepulangan yang seharusnya menjadi hal yang aku tunggu karena seharian diganggu Rahes, kini terasa seperti suara sirine kematian buatku.
"Kamu kenapa lemes banget sih? Kurang vitamin? Sini aku gibeng biar lebih semangat," ledek Rahes yang berjalan tepat di sampingku.
"Apa sih, Lo?" tanyaku sambil melayangkan tangan seolah akan menonjok dia. Rahes tertawa sambil menghindar.
Sementara di sebrang sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!