"Pokoknya aku nggak mau tahu Mas! Kamu sudah janji untuk mengenal kan aku pada keluargamu dan istrimu setelah Rena berusia tiga atau empat tahun. Dan sekarang dia sudah empat tahun! Dia harus mendapatkan akte untuk kepentingan sekolahnya!" teriak wanita yang bernama Sinta dengan kedua tangan berada di pinggangnya.
"Tapi Sin, Al masih berada di ruangan operasi. Kamu tega memberinya kabar yang bisa saja membuatnya drop kembali. Kamu tahu 'kan dia dioperasi karena apa?" sanggah Iqbal dengan nada lebih rendah dari Sinta, istri keduanya yang telah dia sembunyikan selama lima tahun ini dari istri pertamanya dan juga keluarga besarnya.
Iqbal pusing tujuh keliling. Waktu yang di janjikannya tiba bertepatan dengan istri pertamanya yang dia duga mandul, tengah melahirkan putranya dengan jalan operasi caesar sebab tekanan darahnya yang meningkat tak terkendali.
Dokter mengatakan istri pertamanya itu stress akibat banyaknya tekanan dari lingkungan. Dan Iqbal menyadari itu memang benar. Mamanya yang terobsesi dengan seorang cucu sering menekan Almira karena tak kunjung memberikannya cucu. Sampai Almira hamil pun Mamanya tak berhenti merecoki rumah tangganya.
Sang mama terlalu cerewet dengan kehamilan Almira. Dia hampir selalu menginap di rumahnya dengan alasan menjaga Almira. Tetapi aturan-aturan ketat yang di terapkan sang Mama untuk Almira membebani istri pertamanya itu hingga akhirnya dia stress berat.
"Aku nggak mau tahu. Yang penting janji tetaplah janji. Kamu menjanjikan itu sendiri tanpa paksaan dari manapun. Mas kira bertahan jadi istri yang tidak diakui di depan umum selama lima tahun itu enak? Aku punya keluarga, aku punya lingkungan sosial, punya teman dan anakmu yang paling penting, dia butuh sekolah demi masa depannya." seru Sinta sembari membanting tubuhnya ke atas ranjang.
"Sin, please sekali ini saja. Tolong nurut dan Mas minta maaf karena belum bisa menunaikan janji Mas. Nanti kalau keadaan Al sudah stabil, Mas janji akan segera mengenalkan kamu pada keluarga besar kita."
Bukan hanya Sinta yang pusing, Iqbal pun tak kalah pusingnya di banding istri keduanya itu. Iqbal bahkan tak menduga ini bakal terjadi padanya.
Semula dia menyangka akan mudah merealisasikan janjinya pada Sinta. Sebab, Almira yang tak kunjung memberikannya keturunan. Namun, siapa sangka jika waktu yang dia janjikan pada Sinta Bertepatan dengan Almira yang melahirkan keturunannya. Alasan apa yang bisa dia sodorkan pada istri dan keluarganya, hingga dia menikah lagi?
Dulu, setelah pernikahannya dengan Almira memasuki usia yang kedua tahun, dia menikahi Istri keduanya, Sinta yang sebelumnya menjadi sekretaris nya di kantor. Iqbal menjabat direktur tehnik di perusahaan besar milik kerabat Sinta. Tepatnya Kakak sepupu dari Ibunya. Bosnya yang bernama Ardha Billy Perkasa adalah keponakan Ibu kandung Sinta, Marisa.
Iqbal bisa menjadi direktur pun atas rekomendasi dari Sinta yang waktu itu menjadi sekretaris direktur tehnik yang sudah pensiun. Ardha sendiri tidak tahu kalau Iqbal sudah beristri sebab laki-laki itu tidak pernah mencantumkan status pernikahannya pada profil CV yang diserahkan ke perusahaan enam tahun lalu. Kebetulan identitas dirinya juga belum di rubah seiring pernikahannya dengan Almira.
Nah, seandainya dia mengingkari janjinya, bukan hanya Sinta yang marah, tapi besar kemungkinan Sinta melancarkan aksinya dengan mengadu pada Ardha. Kalau hanya di turunkan jabatan masih mending, kalau sampai di depak dari perusahaan itu tamatlah riwayatnya.
Ardha adalah seorang pengusaha muda yang sangat berpengaruh di kota kecil tempat mereka tinggal. Jika tanpa rekomendasi positif dari perusahaan lama, bisa di bayangkan bagaimana susahnya mencari kerja di kota yang tidak terlalu banyak memiliki kesempatan kerja seperti di kota-kota besar ini.
"Minggu depan, atau tidak sama sekali! Satu minggu pasti kondisi istrimu itu sudah stabil Mas. Aku nggak akan menundanya lagi. Bulan depan Rena sudah harus daftar sekolah. Mas tahu sendiri di kota ini sekolah favorit hanya beberapa biji. Kalau tidak mendaftar di awal-awal pasti akan kehabisan quota." imbuh Sinta berapi-api.
"Sin, Mas mohon. Mengertilah. Kondisinya tidak memungkinkan. Ibuku pasti tidak akan menerima kamu dengan baik kalau harus mengorbankan Almira. Meskipun Ibuku pernah bersikap keras ke dia tapi setelah hamil, dia sangat menyayangi Almira. Mas takut kamu tidak di akui sebagai menantu meskipun Mas sudah kenalkan kamu ke beliau." ucap Iqbal berusaha meredam emosi dan ambisi Sinta.
"Mas! Kamu sadar nggak sih, Rena sudah berusia empat tahun. Dia juga cucu Ibu kamu. Aku kira tidak sulit untuk bersaing dengan anak Almira demi mendapatkan perhatian Ibu kamu. Rena jauh lebih cantik dan lucu. Sedangkan bayi itu pasti hanya bisa tidur aja bisanya."
"Sin, yang kamu sebut bayi itu juga anakku, darah dagingku!" geram Iqbal yang sudah mulai terpancing emosi sebab bayi yang belum dia ketahui wajahnya seperti apa itu ikut jadi bahan perdebatan mereka. Apalagi Sinta menyebutnya tidak bisa apa-apa selain tidur. Ya, memang kenyataannya begitu. Bayi yang masih baru lahir bisa apa selain tidur? Mau di suruh joget-joget?
"Alaah, dulu aja bilangnya hanya akan menyayangi Renata, tapi sekarang sudah berubah. Bahkan anak yang dilahirkan oleh Al belum berusia dua puluh empat jam. Dasar laki-laki plin-plan." teriak Sinta terlihat kesal.
Wanita itu tampak mengacak-acak sprei yang beberapa waktu lalu dia rapikan sendiri.
Iqbal juga tahu kebiasaan buruk Sinta jika sedang tantrum yang suka merusak barang atau mengacaukan rumah. Entah setan apa yang merasukinya dulu saat dia memilih menikahi Sinta dan berkhianat pada Almira.
"Itu karena Mas tidak menyangka program kehamilan yang di jalankan Al akan berhasil. Jadi, kepada siapa lagi kasih sayang Mas akan tercurah kan kalau tidak pada Renata. Tapi sekarang keadaannya berbeda Sin. Ada darah daging Mas lain yang lahir. Mas harap kamu juga akan jadi Ibu tiri yang baik untuknya. Siapa tahu Ibu akan menerima kamu dengan baik jika kamu juga bisa bersikap serupa."
Sinta tampak duduk termenung dengan rambut yang sudah acak-acakan karena ulahnya sendiri. Dia membenarkan kalimat Iqbal yang memintanya berbuat baik. Sinta, tersenyum licik di dalam hatinya.
"Iya Mas. Maaf ya, tadi aku hanya emosi saja. Baiklah aku tunggu kapan keadaan Almira membaik. Tapi Mas harus menepati janji ya." ucap Sinta melemah.
Wanita itu tentu saja tidak akan mudah menyerah begitu saja. Tindakan tiba-tiba nya yang seakan mematuhi titah Iqbal, hanyalah sandiwara belaka.
Ada rencana besar yang sudah tersusun rapi di otaknya untuk bisa menjadi satu-satunya istri Iqbal. Ya, Sinta tidak lagi mau menjadi istri yang kedua. Belum-belum Iqbal sudah terlihat menyayangi anak dari Al. Kalau Sinta tidak bisa menahan diri, bisa-bisa dia yang akan tersingkir nantinya.
"Iya Sayang, aku janji. Maaf ya harus kembali menundanya. Kamu memang istri Mas yang paling pengertian." ucap Iqbal dengan senyum lega luar biasa.
Laki-laki itu merengkuh tubuh seksi Sinta ke dalam pelukannya. Sinta yang sudah lihai memainkan peran, bukan hanya membalas pelukan Iqbal. Tapi, mencium suaminya dengan penuh gairah.
Iqbal, tentu saja terpancing dengan sikap agresif istri keduanya. Sikap yang membuatnya pernah lupa kalau Almira sedang menunggunya pulang kerja dengan setia.
Tak berselang lama desahan dan erangan bersahut-sahutan di kamar mewah tersebut. Iqbal memang membelikan rumah mewah untuk Sinta, sementara untuk Almira dia hanya merenovasi rumah peninggalan kedua orangtua Almira yang telah tiada.
Sinta tersenyum senang dan puas setelah berhasil membuat Iqbal kelelahan dan sekarang tertidur lelap.
Sinta mengambil gawainya tanpa perlu berpakaian terlebih dahulu. Dia hanya menutupi gunung kembarnya hingga setengah dengan selimut yang kini juga tengah membungkus tubuh suaminya.
Dengan gaya sensual dia memotret dirinya sendiri dan sang suami yang tengah lelap. Sekali tekan, foto tersebut telah selesai ia kirimkan ke seseorang yang sangat dia benci. Sinta tersenyum puas akan hasil karyanya.
"Ma, Mas Iqbal mana?" lirih Almira memecah keheningan malam
"Nak, kamu sudah siuman?" sapa suara seorang wanita pada Almira yang baru saja sadar akibat obat bius yang di suntikkan oleh dokter anastesi sesaat sebelum operasi caesar itu dilakukan.
"Mas Iqbal mana Ma?" pertanyaan itu terpaksa Almira ulang dengan susah payah sebab dirinya belum mendapatkan jawaban yang dia mau.
Bukannya tanpa alasan dia menanyakan keberadaan sang suami. Sebab dalam keadaan tidak sadar dia bermimpi laki-laki itu pergi dengan menggandeng seorang wanita seksi dan seorang anak kecil berjenis kelamin perempuan. Sedangkan berdasarkan hasil USG terakhir anak mereka berjenis kelamin laki-laki.
Hati Almira berdenyut nyeri ketika mengingat kembali mimpi buruknya yang seolah-olah seperti kenyataan tersebut.
"Suami kamu pamit pulang tadi sore. Dokter bilang kamu akan siuman tengah malam, jadi Iqbal merasa nggak perlu menginap di rumah sakit toh kamu juga belum sadar dan ada Mama di sini."
Deg! Seketika Almira terdiam. Iqbal, yang dia kenal selama ini tak akan tega meninggalkan dirinya walaupun sekejap mata jika dia sakit. Tapi, ada apa ini?
Bahkan dirinya yang belum siuman akibat obat bius, justru di tinggalkan hanya karena alasan ada Mama?
"Iya Ma. Oh ya Ma saya mual. Bisa ambilkan sesuatu untuk tempat muntahan saya? Maaf merepotkan." lirih Almira dengan mulut seperti menahan sesuatu yang hendak keluar.
Dengan cekatan, Siska mengambilkan kantong plastik bening untuk tempat muntah Almira.
"Masih pusing?" tanya Siska lembut sembari memijit tengkuk Almira.
"Nggak Ma. Maaf ngerepoti Mama." lirih Almira sekali lagi sebab merasa tak enak hati pada sang mertua.
Hal seperti inilah yang di khawatirkan oleh Almira saat dia sakit. Merepotkan suami jauh lebih baik dari pada merepotkan mertua atau orang lain. Almira sudah terbiasa dan nyaman saat Iqbal yang merawatnya ketika sakit. Apalagi ini sakit karena melahirkan. Almira ingin berbagi kebahagiaan dengan sang suami.
"Nggak apa-apa kamu sedang sakit Nak. Mama juga seneng banget bisa merawat kamu. Sudah susah payah kamu mengandung dan berhasil melahirkan cucu yang sempurna buat Mama. Terima kasih ya."
"Sama-sama Ma." sahut Almira sambil tersenyum haru.
Perasaan kecewa yang sesaat lalu dia rasakan, mendadak hilang dan berganti dengan rasa bahagia. Mertuanya yang dulu selalu sinis dan ketus, hari ini terlihat berbeda. Mama Siska terlihat begitu tulus menyayanginya. Sesaat Almira merasa dia kembali memiliki seorang ibu kandung. Ibu yang sudah lama meninggalkan dirinya sendirian di dunia ini.
Mama Siska yang dulu sinis dan ketus, bukan tanpa sebab. Iqbal dilahirkan sebagai anak tunggal, wajar jika Mama Mas Iqbal menuntut untuk segera memberikan momongan. Mertua yang awalnya sangat menyayanginya sempat menjadi dingin kepada Almira lantaran tak juga bisa memberinya cucu.
Tekanan itu tak berhenti begitu saja saat Almira dinyatakan hamil. Siska terus saja merongrong rumah tangganya dengan banyaknya aturan yang diterapkan untuk Almira demi kehamilannya aman dan selamat. Tetapi justru karena itulah Almira tertekan dan stress berat. Puncaknya kemarin pagi, Almira mengeluh sakit kepala hebat. Setelah di bawa ke dokter dan di periksa, darahnya naik tak terkontrol hingga mengharuskan Almira melahirkan saat itu juga.
Kenzo Putra Perkasa adalah nama yang rencananya Almira berikan pada putra tampannya. Almira berharap putranya menjadi seorang laki-laki yang perkasa untuk dirinya dan keluarganya kelak. Di pernikahannya yang memasuki usia ke tujuh tahun, akhirnya mereka di percaya untuk memiliki buah hati.
"Kalau sudah nggak mual lagi, kamu tidur lagi ya. Ini masih tengah malam." ucap Siska lembut.
"Iya Ma." jawab Almira yang sudah lebih dulu memejamkan matanya.
Rasa mual akibat efek dari proses operasi caesar tersebut semakin membuat Almira enggan membuka mata. Sampai pagi hari tiba, wanita itu baru terbangun dari tidurnya.
"Ma, Mas Iqbal belum sampai di sini juga?" tanya Almira dengan wajah yang lebih segar.
"Belum Al. Ini masih pagi, kamu tahu 'kan suami kamu harus bersiap-siap ke kantor. Mungkin sepulang kerja baru akan datang ke sini." hibur Siska dengan senyum tulus.
"Oh ya Ma. Ponsel aku mana ya? Dari kemarin nggak lihat. Aku mau telpon Mas Iqbal sebentar."
"Mama simpan di atas nakas ini Sayang. Nah ini dia. Battery nya juga sudah Mama isi penuh."
Sungguh Almira melihat Mama mertuanya berbeda sekali sejak dia melahirkan cucunya. Sampai-sampai mengisi daya battery ponselnya saja mau. Ini aneh tapi patut di syukuri oleh Almira. Sebab sebelumnya, jangankan mengisi daya ponsel, lihat Almira memegang ponsel dalam jangka waktu yang sedikit lama saja wanita itu sudah uring-uringan. Hingga pernah merebut paksa telpon pintar tersebut dari tangan Almira.
"Paket datanya masih ada?"
"Masih Ma. Mas Iqbal sudah isi sebelum aku ke dokter kemarin."
"Kamu tahu nggak Al? Cucu Mama ganteng banget loh. Sayangnya belum boleh di bawa ke sini. Dia masih di mandikan katanya. Di pijat juga. Oh ya, nanti kamu juga dapat pijat payudara secara gratis dari rumah sakit. Bonus, karena kia ambil paket yang premium kemarin."
"Terima kasih ya Ma."
"Kenapa berterima kasih ke Mama? Sama suami kamu dong."
"Dia 'kan lagi nggak ada Ma. Sama Mama sama saja. Karena tanpa adanya Mama Mas Iqbal juga nggak bakalan ada."
Keduanya terkekeh, tetapi Almira tiba-tiba meringis menahan sakit. Jahitan di perutnya terasa sedikit nyeri saat dia tertawa. Pengaruh anastesi itu rupanya sudah habis.
"Al, Mama ke ruang bayi dulu ya. Siapa tahu dia sudah siap di bawa ke sini. Mama sudah tidak sabar." ucap Siska dengan wajah berbinar.
"Iya Ma. Almira tunggu. Aku juga ingin cepat-cepat ketemu dia." sahut Almira tak kalah semangat.
Selepas kepergian Mama mertuanya, dengan cepat dia mengecek ponsel barangkali ada pesan atau telepon yang tidak terjawab dari suaminya. Almira ingin ada Iqbal saat ini di sisinya. Walaupun Almira tahu suaminya harus pergi ke kantor pagi ini, tapi apa salahnya mampir ke rumah sakit sebentar, toh searah dengan jalan menuju kantornya, pikirnya.
Ada notifikasi beberapa pesan yang masuk tapi tidak ada panggilan masuk. Almira mencoba membuka pesan yang tertulis nama 'My Hubby' di sana. Dengan tersenyum riang, wanita itu buru-buru menekan tombol aplikasi pesan berwarna hijau. Setelah menunggu beberapa saat terbukalah aplikasi chat dan dengan tidak sabar dia tekan satu kali lagi untuk masuk ke room chat suaminya.
Dahi Almira mengernyit saat dia dapati video dan foto yang memperlihatkan sosok laki-laki dan perempuan yang tidak terlalu jelas wajahnya. Lampu yang temaram menyebabkan penampakan muka orang tersebut kurang jelas. Tetapi, karena penasaran Almira lebih fokus lagi dan menajamkan penglihatannya. Tangannya juga bergerak tanpa sadar memperbesar tampilan foto tersebut.
Deg! Dunia Almira seakan runtuh bersamaan dengan semakin jelasnya gambar yang sedang di tampilkan oleh layar gawainya dengan mode 'zoom out' tersebut.
Di sana terlihat sang suami sedang tertidur pulas dengan tanpa mengenakan atasan. Hanya selimut yang melindungi dada Iqbal yang terbuka. Sementara yang perempuan justru tersenyum dengan memegangi selimut yang hampir melorot.
Almira tahu, bahwa sang perempuan lah yang sudah mengambil gambar tersebut.
Dengan dada bergemuruh hebat, Almira menekan tombol play untuk video yang belum sempat dia buka.
Almira sebenarnya mendadak pusing dan ber kunang-kunang. Tapi dia harus bisa menahannya sesaat lagi sebab ada video yang harus dia tonton untuk memastikan apa yang dia yakini adalah benar.
Mas Iqbal yang selama ini aku kenal sebagai laki-laki yang sangat bertanggung jawab, suami yang romantis dan selalu meratukan istrinya. Tidak mungkin melakukan sesuatu yang hina. Tidaaak!!!! Teriak Almira dalam hati bersamaan dengan suara benda jatuh di lantai.
Ya Allah, ya Tuhanku, kuatkan lah aku, doa Almira di dalam hati. Jangan sampai Almira tumbang sebelum melihat semuanya secara jelas.
Almira menekan tombol play dengan terburu-buru. Dia tak sabar ingin memaki dan membalas perbuatan orang yang sudah memfitnah suaminya. Almira tak akan membiarkan rumah tangganya hancur karena fitnah yang keji ini.
Duar!!! Mata Almira melotot dan melihat video singkat tersebut berulang-ulang. Suaranya, gerakannya, bahasa tubuhnya, dan juga suara erangan yang khas sangat dia hafal.
Dengan gerakan lambat Almira meremas dadanya sendiri untuk mengurangi sesak yang amat sangat yang tiba-tiba dia rasakan. Sebelumnya dia tidak memiliki riwayat penyakit paru dan sejenisnya. Tetapi sesak ini seakan benar-benar menghentikan nafasnya, hingga sakit itu menjalar ke seluruh dada dan punggungnya.
Gawai yang dia pegang dengan satu tangannya yang lain masih memutar video pendek tersebut tapi dia sudah tidak kuat menontonnya lagi. Matanya semakin berkunang-kunang dan semakin lama semakin gelap pandangannya. Hingga akhirnya ponsel tersebut terlepas begitu saja dari tangannya sementara kesadarannya sudah hilang kembali persis saat suntikan anastesi mulai bekerja pada tubuhnya.
Ruangan tempat Almira di rawat seketika hening. Tak ada suara atau pergerakan apapun selain detik jam dinding yang terus berputar tak kenal lelah.
Siska yang sedang berada di lorong rumah sakit menuju ruangan tempat sang menantu menunggu pemulihan kesehatan tubuhnya, tersenyum gembira sambil menggendong cucunya yang tampan.
"Waaah, cucu Eyang, ganteng banget sih. Sayangnya Eyang Kakung masih dalam perjalanan dinas. Kalau enggak, hmm... pasti dia seneng banget." ucap Siska pada cucunya yang masih merah. Bayi itu tetap diam tak bergeming meskipun sang nenek terus mengajaknya ngobrol tentang apa saja.
Kebahagiaan Siska mudah terlihat oleh siapapun yang berpapasan dengannya hingga terkadang ikut tersenyum melihat ulah nenek baru tersebut.
"Assalamu'alaikum Bunda. Ci ganteng datang nih." seru Siska sambil membuka pintu ruangan dan menutupnya kembali dengan kakinya.
Wanita tersebut cukup kesulitan membuka pintu dengan sang cucu yang berada dalam dekapannya. Namun, senyum bahagia yang tersungging di bibir Siska sontak menghilang berganti dengan raut muka yang bingung. Dengan perlahan dia menurunkan bayi mungil itu ke dalam boks yang sudah tersedia tak jauh dari ranjang Almira.
Pertama kali yang dilakukan Siska setelah berhasil meletakkan cucunya tanpa menimbulkan tangis, adalah memungut ponsel Almira yang tergeletak di lantai dengan kondisi layar yang sedikit retak.
Sementara itu matanya beralih pada lengan Almira yang menggantung di sisi ranjang. Mata sang menantu yang terpejam rapat menimbulkan banyak tanya di benak nenek baru tersebut.
Apakah Almira pingsan kembali? Tapi kenapa? Bukannya tadi sudah siuman? Seketika timbul inisiatif Siska untuk memencet tombol darurat di sisi atas tempat tidur Almira.
Siska masih bingung dengan keadaan ini. Jika tidur biasa Almira pasti akan mendengar seruan salam darinya ataupun pintu yang membuka dan menutup. Sepanjang mengenal Almira, Siska tidak pernah melihat tidur sang menantu yang seperti orang mati begini.
"Ada apa ya Bu?" belum juga tanda tanya di benaknya terjawab Suster rumah sakit sudah sampai di sana dengan tergopoh-gopoh.
"Anu Suster. Menantu saya sepertinya pingsan lagi. Padahal saya tinggal sebentar saja tadi. Cuma ambil bayi di ruangan, langsung balik lagi."
"Apakah tadi pagi sudah berbicara normal?" tanya perempuan berhijab itu sambil memeriksa tekanan darah dan nadi si Almira.
"Normal. Normal banget malah. Sudah nggak muntah juga seperti semalam. Malah tadi sempat ngecek ponselnya." jawab Siska gugup. Ada kekhawatiran tercetak jelas di wajah perempuan yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah setengah Abad tersebut.
"Hm. Ini pasien pingsan Bu. Memang ini jarang terjadi kecuali tekanan darahnya tidak normal. Tapi setelah saya cek semua normal. Apa ada keluhan lain dari pasien yang kami tidak tahu?"
"Nggak Sus. Dia tadi baik-baik saja. Bahkan tidak merasa pusing lagi katanya."
"Baiklah Bu. Saya koordinasi dulu dengan dokternya. Maaf dokter masih visite ke pasien lain. Sebentar lagi pasti juga ke sini. Saya permisi dulu. Kita sama-sama tunggu dokternya."
"Iya Sus. Terima kasih." sahut Siska lemah.
Siska masih terus berpikir kenapa sang menantu terlihat berbeda di lihat dari raut wajahnya. Apa karena suaminya belum datang menengok sehingga dia merasa begitu sedih?
Tak lama, Siska mengambil gawainya sendiri dan menghubungi putranya. Namun panggilan itu tak terjawab hingga dering di ponsel itu berhenti dengan sendirinya.
'Huh. Kebiasaan. Pasti bangun kesiangan karena nggak ada Almira yang mengurusnya. Lagian aneh banget Iqbal. Tahu istrinya sedang membutuhkan kehadirannya dia malah pamit pulang.' gerutu Siska kesal.
Entah datang dari mana ide itu hingga pikiran tersebut melintas begitu saja di benaknya. Tanpa banyak berpikir, wanita tersebut mengambil gawai Almira dan langsung memeriksa isinya.
Setelah beberapa saat memeriksa, dahinya berkerut melihat sebuah video yang masih berputar berulang-ulang di ponsel sang menantu. Karena ruangan tempat diambilnya video bercahaya remang-remang, Siska tak bisa melihat dengan jelas isi video tersebut.
Tetapi, suara mengerang panjang dan racauan tak jelas itu seketika membuat bulu kuduknya berdiri. Dia tahu persis itu suara apa. Tentu saja hal itu semakin membuat nenek cantik itu penasaran. Tak kehilangan akal, wanita itu langsung mengorek-ngorek isi tas kecilnya untuk mencari kacamata yang selalu di bawanya kemanapun dia pergi.
Sejak kemampuan penglihatannya menurun, Siska tak lupa membawa benda ajaib itu untuk menolongnya di beberapa kondisi darurat yang sering di alaminya yang berkaitan dengan penglihatan.
Setelah menemukan benda tersebut, Siska duduk dengan tenang, tepatnya berusaha tenang walaupun tangannya sudah gemetaran sendiri. Siska tahu itu adalah video asusila. Tapi siapakah pelaku dalam video tersebut. Apakah ada hubungannya dengan pingsannya Almira?
'Dasar anak kurang ajar. Ba**sat!' desis Siska tertahan dengan nafas memburu hingga dadanya terlihat turun naik dengan cepat akibat dirinya yang menahan marah yang amat sangat.
Dengan cepat, Siska mematikan video tersebut dan menutup layarnya. Siska ingin mengembalikan benda itu ke dalam laci, tapi sayangnya tenaga yang dia miliki tidak memadai dengan keinginan hatinya.
..Seandainya tidak mengingat kondisi menantu dan cucunya yang membutuhkan kehadirannya, pasti dia sudah pingsan dari tadi.
Pantesan Almira sampai pingsan lagi. Seandainya dia yang berada di posisi Almira, tak terbayangkan rasa sakit yang di alaminya. Siska tak sanggup membayangkannya.
Apalagi kondisi Almira belum pulih seperti semula. Sungguh biadab orang yang ada di dalam video tersebut terlebih yang sengaja mengirimkannya. Semoga Almira bisa cepat sadar dan selamat, kalau itu dirinya rasanya dia ingin mati saja.
Siska masih bingung dengan isi video berdurasi pendek tersebut. Iqbal tampak begitu menikmati kelakuan bejatnya di luar rumah saat istrinya berjuang melawan maut demi bisa memberikannya keturunan.
Siska berusaha untuk tidak menangis. Tapi apalah daya, dia hanya seorang manusia biasa. Isakan nya mulai terdengar dan semakin lama semakin keras tak terkendali.
Siska bingung harus menyikapi kejadian ini dengan cara apa. Tubuh wanita itu terguncang hebat sebelum akhirnya luruh ke sofa dalam posisi miring bertepatan dengan kedatangan seseorang yang langsung menangkap tubuh Siska.
"Bu, bangun. Ibu, tolong bangun. Ini ada apa?" seru wanita tersebut dengan wajah yang terlihat sangat khawatir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!