Senandung rembulan. Nama yang indah, namun tidak ada yang bisa diharapkan dari gadis berusia tujuh belas tahun itu. Di anak tiri kan di keluarga sendiri sudah cukup membuat hidupnya menyedihkan, ditambah lagi harus mendapat bullying di sekolah.
Sungguh rasanya sena tak sanggup. Ayahnya lebih menyukai Bara, kakak sulungnya yang usianya satu tahun diatas Sena. Ibunya lebih menyukai Bella, adiknya yang satu tahun di bawahnya.
Orang tuanya masing-masing memiliki anak emas mereka. Mereka tidak satupun peduli pada anak tengahnya, membiarkan Sena mengalami berbagai macam kesulitan.
Sena, Bara dan Bella satu sekolah. Mereka bersekolah di sekolah elit milik orang terkaya di kota Limerick, Tiran bisnis kejam yang sudah menguasai Limerick selama satu dekade.
Bara dan Bella sepakat untuk menyembunyikan fakta tentang Sena yang masih memiliki hubungan darah dengan mereka. Bara dan Bella murid famous dengan circle yang tak main-main.
Sena? Jangan tanya. Ia hanya Upik abu yang sering ditindas. Bukan Sena tidak bisa melawan, ia sering mencoba membela diri yang berakhir dengan di skors.
Jika sudah di skors maka ayahnya akan marah besar dan memukulinya. Apapun yang sena lakukan tidak pernah berakhir baik.
Belakangan ini Sena memilih pasrah saat di bully. Lagipula jika ia berusaha membela diri, ia sendiri yang akan dirugikan. Sena memilih menerima segala macam perlakuan buruk tanpa seorangpun yang peduli.
"Bangun jalang! Merangkak ke kantin!"perintah siswi berdandan menor. Dia Nadine Alexandra, anak kepala sekolah sehingga bisa leluasa menindas murid lain.
Ratu bully adalah gelar yang tersemat pada Nadine, tidak ada yang berani melawannya, itu juga yang membuatnya semena-mena.
"Tapi-"wajah Sena berubah keruh, mengepalkan tangan dan ingin menolak. Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, ia merasakan punggungnya di tekan keras. Sena di paksa merangkak.
"Kalau aku perintahkan merangkak ya merangkak. Kau kan anjing, jadi turuti kata-kataku. Aku majikanmu, jika tidak aku akan minta ayahku untuk mendepakmu dari sekolah."kata Nadine bengis, ujung sepatunya menginjak punggung tangan Sena sampai memerah.
Terpaksa Sena menurut. Ia mulai merangkak seperti anjing, dari koridor kelas sepuluh sampai ke kantin.
Murid-murid yang melihat itu bukannya menolong dan berinisiatif menolong, mereka malah tertawa keras, mengejek dan melontarkan hinaan.
"Anjing baru Nadine!"
"Dia cukup cantik. Ah, aku penasaran bagaimana rasa tubuhnya."
"Cih, dia tidak selevel dengan mu."
"Ya, kau benar."
Mereka menertawakan Sena berserta beberapa kata-kata pelecehan yang menjijikan.
"Bara!"Nadine memanggil Bara yang datang bersama Bella, adiknya. Mereka akrab karena satu geng. Bukan rahasia lagi kalau Nadine dan Bara beberapa waktu lalu tengah menjalin hubungan, mereka pasangan yang serasi.
"Hei, nad. Apa yang kau lakukan?"Tanya Bara melirik Sena acuh tak acuh. Sena melihat pria itu tersenyum mengejeknya. Dia kakak yang buruk.
"Aku mendapatkan anjing baru."beritahu Nadine menunjuk Sena dengan kaki.
"Wah, aku boleh memberinya makan?"tanya Bella polos. Lebih tepatnya pura-pura polos.
"Tentu."
Sialan. Sena tidak bisa menerima lagi penghinaan ini. Ia mengepalkan tangan dan berdiri, persetan jika setelah ini ia akan di keluarkan dari sekolah. Sena sudah tidak peduli lagi.
"Kalian benar-benar tidak berperasaan. Kau lebih pantas menjadi anjing Bella!"Bentak Sena menarik keras rambut lurus terawat Bella.
"Aw! Apa yang kau lakukan sialan?"Bella berteriak kesakitan, "Abang, tolong aku!" Dia mulai menangis.
"Lepaskan Bella, sen."Bara mengepalkan tangannya, rahangnya mengetat, dia maju menarik tangan Sena kemudian menyentak keras agar terlepas dari kepala Bella.
"Aku juga adikmu, Bara. Kenapa kau hanya membela Bella, aku juga darah daging Lewis Avram. Aku juga anak keluarga Avram, kenapa kalian memperlakukan dengan berbeda?" Tanya Sena mendorong Bella ke depan. Suaranya keras hingga semua orang bisa mendengar.
Bisik-bisik mulai terdengar, mempertanyakan kebenaran kata-kata Sena. Tapi, tentu sebagian besar tidak percaya.
"Benarkah dia adikmu?"Tanya Nadine tidak percaya.
"Tidak! Dia bukan kakakku."teriak Bella histeris, dia hendak maju untuk menampar Sena namun ditahan oleh Bara.
"Kau sudah kelewatan Sena. Ikut aku!"Bara menarik tangan Sena dan menyeret gadis itu ke gudang sekolah.
Bella serta Nadine dan antek-anteknya mengikuti dari belakang.
Bara membawanya ke gudang sekolah, disana dia menendang Sena hingga tersungkur di lantai. Tak berhenti disana, Bara mengambil tongkat bisbol lalu menggunakannya untuk memukul Sena.
"Ampuunn...jangan pukul aku,"mohon Sena meletakkan tangannya diatas kepala demi melindungi kepalanya dari pukulan Bara.
"Maka tutup mulutmu! Aku tidak sudi punya adik seperti mu."desis Bara, dia berjongkok untuk menarik rambut Sena, memaksanya mendongak.
" Well, mainan kita hari ini,"ucap Nadine melipat tangannya di depan dada, dia memberi isyarat pada teman-temannya supaya mendekati Sena.
"Hahahaha..."
Sena mendengar suara tawa mengejek, berdengung di telinganya, ia ingin melawan tapi kalah jumlah. Dua orang teman Nadine memegangi tangannya.
"Kau pasti lapar, aku membawakan makanan untukmu."Bella bergabung, di tangannya membawa plastik yang berisi cairan hitam.
Apa itu?
Menyadari arah tatapan Sena membuat Bella tertawa ceria sambil mengangkat plastik yang dibawa, "ini comberan yang baru saja aku ambil. Cobalah."
Sena menggeleng, ia tidak akan mau mencicipi cairan mengerikan itu. Tidak!!!
Tapi Bella memaksa, ia membuka paksa mulut Sena dan memasukkan isi plastik itu kedalam mulutnya.
"Huk..huk.."Sena terbatuk-batuk, ia benci tidak bisa melakukan apa-apa.
Tuhan! Apa salah Sena? Kenapa orang-orang ini membully nya?
"Ayo pergi! Biarkan saja dia disini," kata Nadine. Sementara Bara sudah pergi sejak tadi, sejak Nadine dan teman-temannya datang.
Sekarang tinggal Sena sendirian, wajah dan tubuhnya penuh lebam, seragamnya basah oleh cairan hitam menjijikkan. Gadis itu perlahan berdiri, ia tertatih-tatih keluar dari gudang. Langkah kakinya membawanya ke atap sekolah. Ia bersyukur saat ini sedang jam pelajaran jadi hanya sedikit murid yang ada di luar kelas.
Tangannya yang terluka dipukuli Bara ia paksa untuk membuka pintu menuju atap. Sena berjalan menuju pembatas, merentangkan tangannya sambil menikmati angin yang berhembus dan menikmati rasa sakitnya.
Setetes air mata keluar dari sudut matanya, wajahnya saat ini sangat mengerikan, luka-luka di wajah dan bekas air comberan di bibirnya membuatnya mual.
"Hoek.."Sena memuntah isi perutnya. Matanya tertuju ke bawah, saat itu entah kenapa ia melihat dibawah sana sangat indah, ada dorongan kuat untuk terjun ke bawah sana.
Lompat saja, Sena! Tidak ada yang menginginkanmu.
Suara dalam kepala Sena memerintahkannya untuk melompat.
"Haruskah aku melakukannya sekarang?"gumam Sena, semakin ia melihat kebawah semakin kuat dorongan itu.
Semua orang membencimu, lompat! Bunuh dirimu!
Ya, benar. Tidak ada gunanya hidup. Sena tersenyum pahit, perlahan kedua kakinya sudah berdiri diatas pembatas.
Tanpa Sena ketahui seseorang berjalan mendekat, dia tersenyum sinis. Orang itu berdiri tepat di belakang Sena, mendorong tubuh gadis itu menggunakan kakinya. Lalu tanpa ada seorangpun yang bisa mencegah, tubuh Sena terjun bebas ke bawah sana.
Brak!
Sebagian badannya hancur kala mendarat di lapangan sekolah. Ia dapat merasakan rasa sakit luar biasa, hanya sebentar lalu kesadarannya hilang. Mati.
...***...
Sena mengerjapkan mata saat merasa begitu silau seolah ia sudah tidur lama. Pandangannya yang masih agak kabur, mengedar. Langit-langit berwarna putih dihiasi lampu kuning.
"Nyonya! Anda sudah bangun?"
Suara asing menggelitik telinganya. Apa itu suara malaikat di alam baka? Tetapi, kenapa dia memanggil sena dengan sebutan nyonya? Penasaran ia menoleh ke samping, dari arah datangnya suara.
" Apa ada yang sakit, Nya?"
Seorang perempuan dewasa memakai baju hitam putih berdiri di sisi tempat tidur, menatapnya dengan wajah cemas. Sena mengernyitkan dahi, merasa ada yang aneh. Malaikat kok...
"Ina, cepat beritahu Tuan kalau nyonya sudah sadar." Tiba-tiba wanita itu berseru keras pada wanita lain yang juga ada di ruangan itu. Sena baru menyadari keberadaannya.
"A-aku dimana?" Suaranya lebih halus daripada biasanya. Apa yang terjadi? Sena buru-buru duduk hendak turun, tapi kepalanya sangat pusing, sesaat benda-benda di sekitarnya berputar. Sena terduduk lemas di ranjang besar yang baru ia sadari sangat empuk.
"Nyonya belum sembuh betul. Sebaiknya tetap berbaring."kata wanita itu cemas, melarang Sena untuk turun.
"Aku dimana?"Sena kembali mengulang pertanyaannya. Eh, emangnya di alam baka ia boleh mengajukan pertanyaan? Bukannya hanya malaikat yang boleh bertanya dan tugas Sena hanya menjawab. Apakah ia baru saja bersikap lancang kepada malaikat?
"Nyonya ada dirumah sekarang. Tadi malam anda terjatuh ke dalam kolam renang setelah bertengkar dengan Tuan. Sekarang, Ina sedang pergi untuk mengabari Tuan kalau nyonya sudah sadar." Wanita itu menjelaskan dengan cepat.
"Hah? Jatuh ke kolam renang?" Sena berjengit kaget. Yang benar saja! Ia tidak akan pingsan hanya karena jatuh kedalam kolam renang. Lagipula seingatnya, ia hendak menerjunkan diri dari atap sekolah tetapi lebih dulu di dorong oleh seseorang dan mati mengenaskan.
Sena bahkan masih ingat rasa sakit saat badannya menyentuh beton lapangan sekolah. Sena merinding, ia ngeri sendiri mengingat nasib tragis yang menimpanya.
" Aku nggak jatuh ke kolam renang. Aku jatuh dari atap sekolah."Sena merasa malaikat ini salah informasi dan ia harus memberikan informasi yang sebenarnya.
"FRANS CEPAT PANGGILKAN DOKTER!" Wanita itu malah berteriak histeris memanggil seseorang. Sena semakin bingung, apa akan ada malaikat lainnya yang datang.
Berhenti memikirkan malaikat, bodoh! Satu suara asing terdengar dalam kepalanya. Gadis itu hendak bertanya-
Tidak lama kemudian seorang pria memakai pakaian dokter masuk. Dia langsung memeriksa Sena yang masih bengong.
Jadi aku belum mati? Ya, pasti begitu. Karena tidak mungkin ada dokter dia alam baka. Batin Sena
"Nona Siena syok berat yang menyebabkan dia melupakan beberapa hal. Istirahat yang cukup dan bantu dia untuk mengingat ingatan yang dia lupakan."kata dokter Ferdy.
Setelah memberikan diagnosa kondisi Sena, Ferdy pun pamit pergi.
"Nyo-"
"Kau pergilah, ambilkan beberapa makanan."potong Sena cepat. Ia harus memastikan sesuatu dan itu hanya bisa ia lakukan jika wanita ini meninggalkannya sendirian.
"Baik, nyonya." Wanita itu menunduk singkat lalu segera keluar seperti yang diperintahkan Sena.
"Apa sekarang papa menyesal dan membelikan aku rumah serta menyewakan pembantu?"Gumam Sena bangun dari tempat tidur. Agak pusing gadis itu berjalan ke nakas, ia mengambil sebuah pigura yang dipajang disana.
Foto pernikahan Erlan Dallin Harrison dan Siena Ariana Calliope, pasangan keluarga konglomerat Harrison dan Calliope. Pernikahan mereka pernah menjadi trending topik di kota Limerick selama satu Minggu. Tunggu...
Kalau foto pernikahan mereka ada di disini apa itu artinya Sena sedang berada di kamar-
BRAK!
Pintu terbuka dengan keras, sontak membuat Sena menoleh. Mata gadis itu membelalak lebar. Tidak mungkin! Erlan, si Tiran bisnis yang mewarisi perusahaan Harrison itu sedang berjalan kearahnya.
Postur tubuhnya tinggi, wajahnya tampan namun dingin, mata Hazelnya menyorot tajam pada Sena. Tanpa sadar gadis itu melangkah mundur.
Apa yang terjadi? Kenapa ia bisa ada disini?
Berpikirlah,sena. Pikirkan solusi sebelum singa galak itu menyerangmu atau lebih buruk mencincang tubuhmu.
Kabur! Ya, Sena harus kabur dan...tidak, tidak, Sena harus meminta maaf karena secara tidak sengaja sudah memasuki ruangan paling pribadi pria itu.
"Ma-maafkan saya, Tuan." Sena membungkuk sembilan puluh derajat ketika Erlan sudah ada depannya.
"Ada apa denganmu? Apa ini trik barumu?" Tanya Erlan berdecak kesal, merasa sangat terganggu dengan tingkah aneh Sena.
"Apa?" Sena mengangkat kepalanya hanya untuk melihat wajah bingung pria itu, melihat tatapan tajamnya Sena buru-buru menunduk. Menatap mata Erlan bukankah ia baru saja bersikap lancang?
Kenapa dia tidak marah?kenapa dia tidak mengusirku karena sudah lancang masuk ke kamarnya? Sena keheranan dan terus bertanya-tanya dalam hati.
"Baguslah kalau kau sudah sadar. Kau bisa mengurus dirimu sendiri, jangan menggangguku atau memikirkan cara licik untuk mencelakai Cindy."kata Erlan datar.
"Cindy?"Sena berpikir keras. Siapa Cindy? Seingatnya, ia tidak pernah mengganggu siapapun. Malahan selama ini ia yang sering di ganggu.
"Cih! Setelah melakukan berbagai upaya untuk melukai Cindy, sekarang kau berpura-pura tidak mengenalnya." Erlan maju ke depan hingga membuat Sena yang tidak bisa bergerak lebih jauh terjatuh keatas ranjang. Erlan menindihnya dan mencengkram kuat pipinya, "kau menjijikkan, Siena!"
Siena?
Siena?
Sepertinya Erlan sedang mabuk dan menganggap Sena sebagai Siena, ya walaupun nama mereka hanya beda satu huruf tetap saja beda kan.
"T-tuan, sepertinya ada-"
"Jangan mengganggu Cindy lagi, ini peringatan terakhir untukmu." Erlan menghempaskan tangannya dari pipi Sena lalu segera pergi keluar.
BRAK.
Dia menutup pintu kasar, membuat Sena terlonjak kaget dan langsung bangun. Saat itu tidak sengaja ia menoleh ke kanan-dimana ada sebuah cermin besar disana.
Sena buru-buru berdiri dan berjalan ke depan cermin. Wajahnya, tubuhnya dan bajunya, semuanya milik Siena, istri dari pria yang baru saja datang marah-marah.
"Jangan bilang, ini transmigrasi seperti yang ada dalam novel-novel yang dibaca Ayudia."
"Aaaaa...! Tidaaaaakkk!" Sena berteriak histeris. Ia tidak mau. Apalagi menempati tubuh Siena Ariana Calliope, yang dibenci oleh suaminya sendiri lalu juga sering melakukan hal-hal gila.
Hampir setiap hari ada berita buruk tentang Siena. Entah itu menarik simpati Erlan dengan trik sampahnya atau yang lebih annoying membuat geger seantero kota dengan berita hilangannya yang padahal Siena lakukan untuk menarik perhatian Erlan.
"Sialan! Setelah terbebas dari Bara dan Nadine sekarang aku harus terjebak di tubuh wanita problematik."keluh Sena meratapi nasibnya yang selalu buruk.
"It's ok, karena sekarang tubuh ini milikku. Mari perbaiki citra nya yang sudah terlanjur buruk. Sehingga aku punya kesempatan bertemu Bara, Bella, Nadine beserta dayang-dayangnya. Rasa sakit hari itu harus dibayar lunas."kata Sena penuh tekad setelah menenangkan diri cukup lama.
...***...
Saat ini sudah lewat tengah malam, di kediaman Harrison, Sena masih belum bisa tidur. Sejak tadi ia bergerak gelisah dalam kamarnya. Ia tidak tahu apakah akan berhasil bertahan hidup disini atau akan menyerah untuk kedua kalinya.
Siena adalah putri konglomerat terburuk yang pernah Sena ketahui. Wanita cantik dua puluh tujuh tahun itu jauh dari kata baik, etika dan perangai sungguh sangat buruk.
Dari Bi Hasnah, kepala pelayan dirumah ini, Sena mengetahui bagaimana istri Erlan itu selama ini. Dia manja, dia sering membuat masalah dan yang paling menyebalkan dia sangat egois.
"Apa aku mati saja?"Sena mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk, sedang menimbang apa yang sebaliknya harus ia lakukan. Tapi, kalau mati, ia tidak akan bisa membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah menyakiti nya.
Jika tetap bertahan dalam tubuh Siena, ia tidak yakin bisa mengatasi masalah yang telah wanita itu lakukan. Berdekatan dengan Erlan saja membuat Sena bergidik ngeri, apalagi harus tinggal satu atap dan satu kamar. Rasanya Sena ingin menyerah saja.
Tapi, kalau menyerah-
Selagi berpikir keras, pintu kamar terbuka dan Erlan masuk dengan wajah lelahnya. Pria itu nampaknya baru pulang dari kantor.
"Duh, sekarang apa? Apa yang harus aku lakukan? Menyapanya? Atau bertindak sebagai istri yang baik? Tapi, kan selama ini dia membenci istrinya." Sena pusing sendiri. Tangannya memukul pelan kepalanya sambil mengerucutkan bibirnya, ia pusing.
" Kau sudah gila atau bagaimana?" Pertanyaan bernada datar itu membawa kembali seluruh kesadaran Sena dari pikiran anehnya.
" Selamat malam Tu-eh, Erlan." Sena berdiri dengan cepat, menyapa pria yang berstatus sebagai suaminya kaku, jangan lupakan senyum terpaksa nya yang sangat kaku.
Oh, jangan salahkan Sena. Sebelumnya ia hanya anak tujuh belas tahun yang belum pernah menikah, ia tidak ingin bersikap kurang ajar tapi juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ada apa dengannya? Kemana panggilan sayangnya? Erlan heran dengan perubahan sikap istrinya. Karena sejak kapan Siena memanggilnya hanya dengan menyebut nama? Biasanya Siena selalu menggunakan kata sayang.
Sudahlah, bukan urusanku. Baguslah kalau dia sudah tidak bersikap murahan. Erlan mengabaikan Siena dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
"Huft... sekarang apa?" Monolog Sena kembali kebingungan. Matanya sesekali melirik pintu kamar mandi, cemas kalau sewaktu-waktu Erlan selesai mandi.
Tidak lagi terdengar suara air dari kamar mandi membuat Sena semakin panik. Erlan akan segera keluar. Sena melompat ke ranjang, membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut dan akan berpura-pura tidur.
Tidak lama kemudian Erlan keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk untuk menutupi bagian pinggang sampai atas lututnya. Ia memakai baju yang diambil secara asal dari walk in closet.
Dia sudah tidur? Erlan melirik ke ranjang dimana Siena sudah tidur membungkus dirinya dengan selimut. Hanya sebentar, setelahnya tidak peduli. Erlan keluar dan pergi ke ruang kerjanya, ia selalu tidur disana untuk menghindari Siena.
" Dia sudah keluar."Sena kembali bangun, ia mengambil ponsel milik Siena dan memasukkan tanggal pernikahan mereka sebagai password nya.
Ponsel itu langsung terbuka. Sena sudah menduga wanita bucin itu akan mengaitkan segala sesuatunya dengan Erlan. Sena mencibir lalu membuka semua aku sosmed Siena. Ia menghapus semua foto-foto Erlan dari Instagram nya juga menghapus foto profil dan membiarkan kosong untuk sementara waktu.
Setelah itu Sena berganti membuka akun aslinya. Sebuah senyum miring terpatri di wajah cantiknya. Ini saatnya membalas Bara dan orang-orang yang pernah menindas nya. Pertama-tama ia akan mengirimkan pesan pada Bara.
[Apa perasaanmu senang setelah membunuhku?]
Setelah mengirimkan pesan itu, Sena menyimpan ponselnya. Gadis itu merebahkan dirinya dan tertidur nyenyak untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
"Mama, Chiro diambil Belle. Mama, hiks..." Gadis kecil itu mendatangi wanita cantik yang sedang sibuk memasak di dapur, tangan kecilnya memegangi kaki wanita itu.
"Biarkan Bella memainkannya, kamu itu kakak harus bisa ngalah sama adek." Ucap si wanita tegas sembari terus melanjutkan pekerjaannya.
"SENA!! AMBILKAN AKU KUE!" Anak laki-laki kecil muncul diambang pintu dapur, memekik meminta Sena untuk mengambil kue yang sebenarnya bisa ia ambil sendiri.
"TIDAK MAU!" Sena balas berteriak, ia melipat tangannya di dada, kesal.
"Sena, cepat ambilkan kue untuk Bara."
"Tapi, ma-"
"Kamu adik harus nurut sama Abang."
Huft! Sena merenggut, terpaksa mengambil kue diatas meja dapur dengan tangan mungilnya. Tapi,
Prang!
Ia tak sengaja menjatuhkan toples kue yang terbuat dari kaca hingga isinya berhamburan di lantai dan pecahan kacanya mengenai kaki
"SENA! ANAK TIDAK TAHU DIRI, APA YANG KAMU LAKUKAN?"
PLAK!
"ma, sakit...hiks.."
PLAK!
Auh! Sena terbangun kala ia terjatuh dan wajahnya mencium lantai dingin. Ia meringis lalu berdiri sembari memegangi kepala.
"Mimpi itu lagi," Sena berjalan keluar kamar, ia akan ke dapur mengambil minum. Tenggorokannya terasa sangat kering. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya, ia sudah terlalu sering bermimpi kekerasan yang ia terima dari orang tuanya.
Saat melewati ruang kerja Erlan, pintunya sedikit terbuka, cahaya lampu dari dalam memantul keluar. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya, melainkan suara dua orang yang tengah bercakap-cakap.
"Er, kapan kau akan menceraikan dia?"
Sena berdiri di depan pintu mendengarkan dengan seksama. Suara itu? Apa itu Cindy? Sepertinya begitu. Sena hendak kembali melanjutkan langkahnya ketika ia mendengar balasan Erlan yang entah mengapa membuat hatinya sakit.
"Sabar sayang. Aku tidak bisa menceraikannya tapi aku bisa membuatnya menyerah dengan pernikahan ini."
Tidak sadar tangan Sena mengepal. Hatinya sakit sekali. Ia berusaha mengendalikan diri, tak seharusnya ia sakit hati karena sebelumnya tidak pernah mengenal mereka. Ia tidak mencintai Erlan, seharusnya ia tidak perlu sakit hati.
Apa ini reaksi alami dari pemilik asli raga ini? Tanya Sena kebingungan. Susah payah Sena kembali melangkah, ia menjauhi pintu itu dengan perasaan campur aduk. Kecewa, marah, sakit hati dan dendam.
"Tenang Sena. Dia bukan suamimu, kau hanya terjebak di tubuh ini. Kau harus tau diri dan jangan mencampuri urusan mereka jika ingin hidupmu tenang." Kata hati Sena mengingatkan, hatinya yang sebenarnya bukan hati milik Siena.
Sena mengambil minum di dapur, beberapa cemilan dan kembali ke kamar. Saat melewati ruang kerja Erlan, pintunya sudah tertutup rapat. Sena mencibir, barangkali kedua manusia itu sudah tidur. Tidak ingin ambil pusing Sena bergegas masuk ke kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!