Byur. Aku terjatuh ke dalam air.
Gelap. Aku tak bisa membuka mataku. Rasanya dadaku sesak. Entah sudah berapa banyak air yang masuk ke dalam mulutku. Aku tak bisa berenang. Tanganku berusaha meraih ke berbagai arah, mencoba kembali ke permukaan. Sudah ku duga ini akan terjadi. Apakah memang tadi sebaiknya aku tak menolong anak itu? Jika tadi aku tak melompat ke dalam sungai apakah aku akan baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan nasib anak tadi jika tidak ku selamatkan?
Waktu terasa berjalan begitu cepat. Sungai ini, sungai di pinggiran kota tempat tinggalku. Sebenarnya apa yang ku pikirkan hingga langkah kakiku membawaku ke sini? Syukurnya gadis kecil berambut merah tadi sudah berhasil ku selamatkan dan ku angkat ke atas. Yang penting anak itu selamat.
Entah mengapa semua kejadian dalam hidupku selama dua puluh tahun aku hidup terus menerus berkelebat bagaikan kaset rusak di kepalaku. Mungkin ini karena otakku sedang mencari memori untuk menyelamatkanku dari kematian. Hari-hari kelam yang terlalu dan selalu menyedihkan. Entahlah, ku rasa aku sudah pasrah sekarang. Mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Hidup yang menyedihkan dan menyakitkan. Tak apa, takkan ada yang sedih atas kematian ku sama sekali. Takkan ada yang menangis karena si gadis pembawa sial sudah mati. Ku rasa ini akhir yang pantas untukku. Mati seperti ini sepertinya tidak buruk juga. Mungkin wanita itu akan gembira atas kematianku. Mati di malam gelap dengan hujan dan petir yang menggelegar, dan hanyut di sungai. Sungguh kematian menyedihkan yang membuatku bersyukur. Aku terbebas dari neraka ini.
Aku seorang anak haram yang tak pernah diinginkan. Ibu dan ayahku tak pernah menikah. Ibuku mengandungku dari salah satu pelanggannya yang lupa memakai alat kontrasepsi, maka lahirlah aku. Dengan melahirkanku bukan berarti ibuku menyayangiku. Wanita gila itu terlalu takut untuk melakukan aborsi karena tak siap nyawanya melayang, ia terlambat mengetahui kehamilannya yang sudah terlanjur besar untuk digugurkan. Aku bahkan tak tahu nama keluarganya. Ibuku nasibnya juga tak lebih baik dariku sebelum dia memutuskan untuk menjadi seorang wanita tuna susila. Dia lahir dan besar di panti asuhan. Jadi, dengan latar belakangnya yang seperti itu, aku bisa memaklumi semua kegilaannya yang selalu ia lakukan kepadaku di usiaku yang ke tiga belas tahun.
Kami tinggal di rumah sepetak di dekat daerah lokalisasi di pinggiran kota, tak jauh dari sungai tempatku menyelamatkan si gadis kecil. Lokasi kumuh sarang penyakit di pinggiran kota besar. Di rumah ini, hanya ada satu kamar, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Aku tidur di kamar seorang diri karena ibuku tak pernah tidur di rumah. Aku jijik dan marah atas pekerjaan yang ia pilih. Aku selalu berdoa agar dia tak pulang ke rumah, karena saat ia pulang yang ia lakukan selain mabuk adalah memukuliku. Itu adalah hobinya. Menjambak, menyundut rokok, menampar, bahkan menendangku, itu sudah biasa. Bahkan dia juga pernah menenggelamkan kepalaku di kamar mandi, sejak saat itu aku sangat takut kepada air. Membayangkan bagaimana rasanya saat semua air itu masuk ke dalam hidungku dan telinga benar-benar membuatku takut. Mungkin sekarang ia akan senang jika tahu akhirnya anak haram ini mati di dalam air seperti yang coba ia lakukan untuk berusaha membunuhku dulu. Aku juga tak tahu mengapa aku berani melompat ke air untuk menyelamatkan gadis kecil itu padahal aku sangat takut air.
Untuk urusan makan pun hanya bibi tetangga yang selalu memberikanku makanan. Wanita gila yang ku sebut ibu tak pernah mau tahu bagaimana anaknya. Tentu saja, aku adalah anak haram yang tak diharapkan. Aku pernah tak makan berhari-hari dan hampir mati. Mungkin memang itu tujuannya. Benar-benar neraka. Awalnya aku menangis memohon ampun agar ia berhenti menyiksaku setiap kali dia memukuliku, ku harap hatinya akan luluh. Namun nyatanya tidak, dia semakin menjadi-jadi. Selebihnya yang ku lakukan adalah melawannya, berlari menjauh. Aku lelah menjalani semua itu. Bukan itu yang seharusnya dilakukan seorang ibu kepada anaknya. Aku iri kepada induk kucing sahabatku yang terlihat sangat sayang kepada anak-anak kucingnya.
Aku bersekolah sampai SMA. Aku pintar. Murni karena beasiswa yang diberikan pemerintah. Bahkan si wanita gila itu tak mau mengizinkanku sekolah saat awal SD dulu. Pak RT dan Kepala Desa bahkan sampai perlu membujuk ke rumahku dulu. Aku ingat sekali. Ibuku berpura-pura baik kepadaku di depan mereka.
Bekerja sudah menjadi kebiasaanku dan dari sana aku bisa mendapatkan uang, meskipun terkadang si wanita gila mencurinya dariku ketika aku terlelap. Saat kelas 5 SD, aku mulai berani bekerja, sepulang sekolah aku tak langsung pulang ke rumah, aku ikut membantu di salah satu toko baju di pasar yang dekat dengan sekolahku, di tempat itu pula aku mengerjakan semua pekerjaan sekolah, karena jika ku kerjakan di rumah, si wanita gila akan merobek bukuku. Ku rasa dia punya ambisi untuk menjadikanku sebagai wanita tuna susila sepertinya juga. Menjijikkan. Neraka dunia.
Saat SMP, aku benar-benar jarang berada di rumah. Aku hanya pulang untuk tidur di malam hari, di pagi buta aku akan pergi dari sana. Saat SMA aku memutuskan untuk keluar dari sana dan tak pulang sama sekali. Siksaan dan pukulan wanita gila itu sama sekali tak pernah berkurang meskipun aku semakin tumbuh besar. Masih sama. Tatapan matanya yang selalu memandangku dengan jijik, ucapannya yang selalu mengatakan sumpah serapah kepadaku, semua itu tak ada yang berubah hingga tadi siang pun masih sama. Dan lucunya aku masih berharap wanita gila itu mencariku meskipun tentu saja kenyataannya tidak sama sekali.
Mengenai ayahku pun tak ada bedanya, dia sama bejatnya dengan ibuku. Dia hanya preman tua, sampah masyarakat yang hobi main judi dan wanita. Dia juga langsung mendamprat dan mengusirku saat aku menghampirinya untuk memberitahu jika aku anaknya. Dia bahkan meludahiku. Hahaha. Kejadian itu bahkan saat aku masih kelas tiga SD. Persetan dengan keluarga cemara yang tak pernah ku punya! Aku terlalu banyak bermimpi jika mengharapkan sesuatu seperti itu. Wanita gila dan pria penjudi itu takkan pernah mencintaiku yang hanya aib dan haram untuk mereka.
Siang tadi, bibi tetangga baik hati yang selalu membantu dan menyayangiku meninggal. Itu sebabnya aku kembali ke tempat terkutuk itu setelah sekian lama. Aku hanya ingin melihat bibi itu itu untuk terakhir kalinya. Aku duduk berjam-jam di rumah bibi, menemani anaknya yang seusiaku dan menangis meraung-raung, Rachel namanya, sahabatku. Bibi seorang janda tua yang merawat putri semata wayangnya seorang diri. Bibi bukan wanita tuna susila seperti ibuku. Beliau berjualan sayur mayur di pasar. Aku sangat menghormati dan menyayangi bibi. Setidaknya di neraka yang ku diami ini, masih ada sosok malaikat yang dikirimkan untukku.
Sejujurnya aku terus melirik ke arah rumah si wanita gila. Lampunya baru menyala di malam hari. Ah, di usianya yang sekarang bahkan dia masih menjajakan tubuhnya. Padahal anak haramnya ini sudah berusia dua puluh tahun. Dasar menjijikkan. Setelah berpamitan dengan Rachel, aku mau pulang namun langkah kakiku malah mengarah ke rumah si wanita gila. Ku buka pintu yang memang tak dikunci itu. Aroma alkohol langsung menyeruak menusuk hidung. Wanita itu ada di sana, tangannya menggenggam botol bir dan seketika ia lemparkan ke arahku. Aku berhasil menghindar. Dia langsung marah-marah dan mengataiku. Menghinaku dan terus mengatakan sumpah serapah.
"Dasar anak haram yang tak berguna!" Katanya.
Aku hanya diam mendengarkan semua umpatannya, telingaku sudah terbiasa dengan semua itu. Tentu saja dia meluapkan semua emosi dan kekesalannya atas kehadiranku dan ia bilang ia bersalah karena seharusnya ia tak pernah melahirkanku dan membunuhku saja dulu.
Aku lalu berteriak dengan kencang, "Aku juga lebih baik mati daripada dilahirkan pelacur sepertimu!"
Dia lalu kembali melemparkan botol bir itu ke arahku dan kali ini tepat sasaran, mengenai pelipis kananku. Menyedihkan sekali. Aku yang salah karena masih mengharapkan cinta dan kasih sayang dari orang ini. Padahal kehadiranku saja sangat ia sesali. Dia bahkan pernah mencoba membunuhku. Tak terasa mataku semakin panas, air mengalir dari mataku membasahi pipi. Sekali lagi, untuk jutaan kali, aku menangis di rumah itu. Aku berjalan pulang ke kostku dengan hati yang hancur. Aku tak peduli lagi tubuhku yang basah kuyup karena hujan turun dengan sangat lebat.
Di tengah perjalanan, saat mengalihkan pandanganku ke sungai, di sanalah aku melihat gadis kecil itu. Timbul dan masuk ke dalam air, ia tenggelam dan hanyut terbawa arus dan semakin menjauh dari tempatku berdiri. Aku segera berlari searah arus sungai. Berusaha menyamai aliran sungai yang membawa si gadis kecil.
"Tolong! Tolong!" Teriakku tanpa henti. Aku berpikir keras bagaimana cara menyelamatkannya. Mengapa gadis kecil ini hanyut terbawa arus? Aku memutar otak berkali-kali sementara dia semakin menjauh dariku. Aku terus berlari di pinggir sungai.
Lalu aku langsung melompat ke sungai, meraihnya dan memeluknya dengan erat. Gadis ini memiliki rambut yang bewarna merah, merah tua seperti warna senja. Warna rambut yang sangat jarang dan tak pernah ku temui secara langsung selama ini. Dia sangat cantik. Pupil matanya berwarna hijau seperti batu emerald. Dia memelukku erat sambil menangis. Aku berusaha memastikan kepala gadis kecil itu tetap berada di atas air, dia tak boleh kehabisan napas. Kami terus terbawa arus dan berteriak meminta tolong berulang kali. Sampai akhirnya beberapa orang berlari ke dekat sungai dan berusaha menolong kami. Mereka berjejer di sepanjang aliran sungai, berlari-lari mengikuti arah arus yang membawa kami. Sampai akhirnya mereka melempar tali ke arah kami yang berhasil ku pegang. Mereka beramai-ramai menarik kami ke tepian. Aku pastikan gadis itu selamat. Aku pastikan itu. Dia hanya gadis kecil, masa depannya masih panjang, kami akan selamat dari ini. Hingga akhirnya kami benar-benar berhasil ditarik warga naik ke daratan. Gadis kecil itu langsung ku serahkan kepada warga terlebih dahulu. Beberapa warga juga dengan panik dan cekatan mencoba memegangiku untuk mengangkatku dari sungai. Aku sungguh kelelahan. Jari-jemariku bahkan sudah tak sanggup berpegangan.
Hingga akhirnya, "Byur." Lagi. Aku kembali terjatuh ke sungai. Aku lelah sekali. Dengan segala sisa tenaga yang ku miliki, aku berusaha memastikan jika aku tak tenggelam namun tak berhasil. Teriakan para warga yang berada di pinggir sungai langsung menggema kemana-mana hingga perlahan menjadi sayup-sayup di telingaku. Aku pasrah. Aku tak sedih sama sekali, akhirnya aku terbebas dari neraka ini. Suara tangisan lalu terdengar, suara seorang gadis kecil yang menangis, suara gadis itu. Aku tak tahu berapa lama aku terombang-ambing terbawa arus sungai, namun lambat laun suara gadis itu semakin nyaring. Tangisan yang sangat menyayat hati, kesedihan yang menyakitkan. Aku ingin memeluknya dengan erat dan memberitahunya agar ia berhenti menangis. Aku sama sekali tak menyesal. Suara tangisan itu semakin nyaring hingga aku seperti tahu darimana asalnya, seperti dari dalam diriku sendiri. Dia pantas untuk hidup. Aku yakin hidupnya lebih baik dariku dan dia harus hidup. Perlahan aku mulai mati rasa dan gelap.
Aku pasrah, tanganku lelah dan tubuhku berat. Air masuk dari mata, hidung, telinga, dan mulutku. Aku bisa melihat helaian rambut hitamku bergerak kesana kemari terbawa arus yang menenggelamkan tubuhku. Aku tak punya tenaga lagi. Sejujurnya aku ingin ada keajaiban yang datang padaku di saat seperti ini. Namun aku tahu itu mustahil. Takut akan kematian? Ku rasa tidak. Walau harus ku akui aku sangat merasa ngeri. Namun tak ada yang benar-benar mencintaiku dan milikku seutuhnya selain kengerian itu. Apakah aku akan ditelan kengerian dengan simfoni berupa tangisan gadis kecil yang sangat menyayat hati itu? Entahlah! Aku memejamkan mataku. Aku harap kehidupan setelah kematian tak membuatku menderita lagi.
Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Aku tak mati ternyata. Perlahan-lahan aku bisa merasakan semua inderaku berfungsi lagi. Atau apakah ini adalah kehidupan setelah kematianku? Aku mencoba membuka mataku perlahan. Atau apakah ini mimpi? Saat aku membuka mata,seketika silau karena banyaknya cahaya yang masuk, rasanya seperti sudah tak membuka mata sekian lama. Siluet beberapa orang langsung nampak di hadapanku, mereka terlihat kabur dan seketika berteriak mengatakan jika aku sudah sadar. Perlahan namun pasti penglihatanku semakin jelas dan aku bisa melihat sosok mereka. Aku terbaring di atas kasur yang sangat lembut dan hangat, di tengah ruangan yang asing. Ini bukan rumahku atau kamar kostku, apalagi rumah sakit. Tempat ini sangat asing. Seperti kembali ke zaman kerajaan. Ada jendela yang terletak di samping kiri dan pintu yang terletak di samping kananku. Ruangan ini seperti bangunan zaman dulu, temboknya terbuat dari bebatuan yang ditata dengan sangat indah. Seperti pada abad pertengahan. Bentuk ruangan ini melingkar, bukan persegi seperti bangunan kebanyakan yang selama ini ku lihat. Temboknya tersusun dari batuan putih pucat yang bahkan tak ku ketahui namanya.
Aku berusaha duduk dengan bersusah payah. Orang-orang yang ada di hadapanku begitu asing. Ada tiga orang, seorang pria dan wanita berusia lima puluhan dan seorang nenek-nenek yang sudah bungkuk. Ku rasa pria dan wanita itu adalah pasangan kekasih atau suami istri. Mereka memakai kalung dengan Batu Delima di leher mereka, mereka menangis dan langsung memelukku erat. Sementara si nenek hanya diam dan memandangku. Mereka orang asing. Aku tak pernah mengenal mereka sama sekali. Pakaian yang mereka gunakan, itu bukan pakaian modern yang biasa ku lihat sebelumnya. Si wanita memakai gaun panjang berwarna merah kehitaman, si pria menggunakan setelan ala negeri dongeng dengan warna serupa. Yang biasa ku lihat di film fantasi. Mereka berpakaian dengan sangat indah dan menawan. Sementara si nenek menggunakan jubah. Ada Batu Delima juga di tusuk konde yang nenek itu pakai. Aku hanya diam mematung ketika mereka memelukku. Mereka menangis begitu kencang. Ku rasa mereka bukan orang jahat. Aku tak tahu bagaimana aku bisa mengetahuinya namun hatiku yakin sekali.
Lalu mereka berhenti memelukku, mereka masih menangis, mereka seakan-akan meneliti wajahku, memastikan jika aku benar-benar sadar. Aku tak tahu harus bagaimana. Apakah aku berada di dunia lain atau aku hanya sedang dijebak oleh suatu program televisi khusus acara mengerjai dan lelucon.
"Yrina akhirnya kau sudah sadar." Ucap si perempuan. "Ibu sangat merindukanmu." Ucap wanita itu lagi sebelum kembali memelukku.
Aku hanya menganga. Siapa Yrina? Itu bukan namaku. Hingga aku menengok ke samping kiriku dan menemukan cermin yang berada di sana. Pantulan bayangan di cermin itu adalah bayangan mereka yang sedang menangis dan memeluk seorang gadis dengan sangat erat, dan gadis itu bukan aku! Itu bukan wajahku! Aku tak terlihat seperti itu sama sekali. Baik dari fitur wajah, warna rambut, warna mata, dan warna kulit, sama sekali tak mirip denganku. Namun bayangan itu berkedip saat aku mengedipkan mataku, bahkan mulutnya juga menganga seperti yang ku lakukan, meniru semua yang ku lakukan dengan sangat persis. Jika itu benar aku? Mengapa aku terlihat seperti ini? Tubuh siapa ini? Aku masuk ke dalam tubuh siapa? Bagaimana bisa aku ada di sini dan terlihat seperti ini padahal tadinya aku sedang tenggelam dan hampir mati? Aku lalu oleng dan kembali kehilangan kesadaranku di detik selanjutnya.
Setelah beberapa waktu akhirnya aku kembali sadar. Kedua orang itu masih ada di sana dan mereka belum berhenti menangis. Aku benar-benar tak percaya pada apa yang terjadi. Rasanya seperti mimpi, dimana aku tiba-tiba bangun dan semuanya berubah, termasuk penampilanku, rasanya seperti terlempar ke dunia lain. Iya, dunia dongeng atau fantasi. Mereka terus bertanya apakah aku baik-baik saja dan bagaimana perasaanku. Aku sama sekali tak bisa menjawab semua itu karena aku masih sangat terkejut.
Lalu aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur meskipun sangat susah, rasanya seperti sudah tak bangun dari sana setelah sekian lama. Aku berjalan pelan menuju cermin dengan kaki gemetar. Aku tak tahu ini nyata atau mimpi, yang aku tahu rasanya begitu sakit ketika aku mencubit lenganku, bahkan tindakanku dihentikan langsung oleh wanita itu. Aku sedikit terhuyung ke belakang, kepalaku pening. Ku rasa aku sudah gila. Ada dua kemungkinan besar, antara aku yang gila atau tempat ini yang gila. Aku menoleh kepada pasangan itu. Mereka pasti tahu alasan mengapa aku bisa ada di sini. Dan pantulan bayanganku di cermin itu bukan diriku, bukan penampilanku. Sama sekali bukan. Aku terlihat begitu cantik. Kulitku putih merona, tinggiku semampai, iris mataku berwarna hijau seperti Batu Zamrud yang cantik, dan rambut merahku lurus panjang sepinggang. Raga yang ku tempati benar-benar indah.
Aku melirik ke arah pantulan pria itu di cermin, warna rambut dan iris matanya serupa denganku, gurat wajahnya juga. Ku rasa dia adalah ayah dari gadis yang raganya sedang ku tempati ini karena mereka sangat mirip sedangkan si wanita memang tak mirip. Aku teringat sesuatu, gadis kecil yang ku selamatkan malam itu, dia memiliki ciri-ciri fisik yang sama dengan raga yang ku tempati. Pandanganku lalu ku arahkan kepada si wanita. Wanita itu tak kalah cantik, kulitnya kecoklatan dengan rambut ikal yang berwarna hitam dan iris mata yang hitam. Sudah pasti dia adalah ibu gadis ini. Mereka adalah orang tuanya. Mereka berdua terus menatapku dan memerhatikan semua pergerakanku seakan takjub. Namun, aku bukan anak mereka meskipun aku masuk ke dalam raga ini.
Aku menoleh mereka berdua dan menatap mereka dengan sangat waspada. "Aku bukan Yrina. Dimana aku?" Tanyaku.
Mereka tak tampak terkejut sama sekali.
"Kau adalah Yrina, puteri kami. Jangan berkata seperti itu, cintaku." Ungkap si wanita, mendekat ke arahku dan langkahnya terhenti saat aku mundur selangkah.
Dia juga mundur, mencoba memberiku ruang. Ku rasa dia tak ingin membuatku tak nyaman.
"Aku bukan Yrina. Aku tak tahu mengapa aku ada di sini sekarang. Tapi aku tahu betul, aku bukan puteri kalian. Mengapa aku ada di sini? Mengapa aku bisa menempati tubuh ini? Dimana ini?" Kataku. Aku mengeraskan suaraku untuk membuktikan jika aku bersungguh-sungguh. Aku butuh penjelasan atas apa yang terjadi.
"Kamu adalah puteriku, cintaku. Darah dagingku. Jangan berkata seperti itu." Ucap wanita itu lagi.
"Banyak yang harus dijelaskan, nak. Duduklah dan kami akan jelaskan satu per satu kepadamu." Akhirnya si pria berbicara.
"Tolong katakan semua ini bohong dan aku sudah gila! Aku tadi sedang tenggelam di sungai dan saat bangun aku tiba-tiba ada di sini dengan tampilan yang bukan diriku." Kataku. Aku benar-benar merasa gila sekarang.
Aku tak semerta-merta mendekat. Aku harus berpikir logis dengan apa yang terjadi dan apa penyebab semua ini. Aku tak tahu bagaimana menyebutnya, reinkarnasi? Pertukaran jiwa? Atau apa? Aku bahkan tak tahu hal-hal semacam ini benar-benar ada. Seakan berada di dunia khayal.
"Yrina, duduklah, cintaku!" Ucap wanita itu lagi. Dia masih menangis, matanya bengkak, entah sudah berapa lama mereka menangis. Sedih melihat mereka seperti itu, namun, tetap saja aku bukan darah daging mereka.
"Aku bukan Yrina. Tolong berhentilah memanggilku begitu!" Ucapku. Rasanya seperti ingin menangis. Jadi nama gadis yang raganya sedang ku tempati ini Yrina. Yrina pasti sangat dicintai keluarganya. Cara ibunya memanggilnya, benar-benar membuatku tersentuh. Aku bisa merasakannya padahal ini bukan tubuhku.
"Duduklah dulu, kau masih lemah. Kau butuh beristirahat dan makan." Ucap si pria.
Mendengar ucapannya baru menyadarkan aku jika badanku gemetar kelaparan dari tadi dan aku langsung mendekat, duduk di kursi bersama mereka yang ada di tengah ruangan. Lalu si pria memanggil pelayan, seorang gadis yang kelihatannya seusiaku, ah tidak, seusia dengan Yrina, atau bahkan lebih muda? Pelayan itu terlihat menangis dan sedikit melirik ke arahku. Pria itu memerintahkannya untuk membawa makanan untukku dan si pelayan pun keluar ruangan. Tak lama si nenek juga keluar dari ruangan setelah sebelumnya membungkuk dengan anggun memberi hormat kepada pasangan ini. Ah dari tadi nenek itu ternyata juga masih ada di sini.
"Kami sangat bersyukur karena kau kembali sadar, nak. Kau membuat kami semua khawatir." Kata si pria.
"Kami terus memohon kepada bintang-bintang agar kau kembali siuman." Kata si wanita menimpali.
Lalu tiba-tiba jendela yang ada di ruangan ini tertutup sendiri dengan rapat, dan lilin-lilin menyala dengan sendirinya menerangi ruangan. Aku terkejut bukan kepalang atas apa yang terjadi. Suasana mendadak hening. Apa yang barusan terjadi ? Sihir? Yang seperti itu ada di tempat ini? Bahkan jika tadi tak melihat cahaya matahari terik yang masuk dari jendela, aku mungkin akan beranggapan jika hari sudah malam.
Seakan membaca ekspresi kebingunganku, si pria menjelaskan dengan suara yang pelan, "Kau adalah jiwa puteri kami yang ada di bintang lain."
"Apa maksudnya? Bintang apa?" Tanyaku kebingungan.
"Kau benar, sebelum berada di dalam raga ini, kau menempati raga yang lain. Namun ini ragamu di dunia ini. Bukan milik orang lain. Jiwamu dan jiwa Yrina adalah jiwa yang sama. Itu sebabnya kami berhasil memanggilmu ke sini. Kamu adalah Yrina."
Aku mengerti sekarang, pasangan ini gila. Jadi? Mereka memasukkan jiwa orang lain ke dalam tubuh anak mereka yang sudah mati begitu? Ini luar biasa gila! Ini benar-benar nyata, kan? Ini bukan khayalan semata kan? Mengapa? Mengapa mereka menyelematkanku? Aku butuh waktu untuk mencerna hal-hal tak masuk akal ini!
"Jadi? Maksudnya? Yrina sudah mati dan kalian menggantikannya dengan jiwaku begitu?" Tanyaku, entah mengapa aku merasa jengkel. Persetan! Aku tahu ini gila, kami semua gila dan dunia ini gila.
"Bukan seperti itu, bukan menggantikan, kami hanya memanggil jiwanya yang berada di bintang yang lain dan itu adalah jiwamu, jiwa kalian adalah jiwa yang sama, hanya saja kalian berada di bintang yang berbeda. Dari ribuan bintang, hanya kamulah jiwa yang sama dengan Yrina, cintaku." Jelas si wanita itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!