"Libur telah tiba!"
"Libur telah tiba!"
"Hore! Hore! Hooreee!!"
Seru tiga anak di dalam mobil, penuh keceriaan yang menggema di antara tawa mereka. Suasana tampak cerah, seolah tak ada yang bisa merusak hari ini.
Sebuah keluarga sedang bersenandung riang dalam perjalanan menuju pantai. Ayah mengemudi, Ibu duduk di sampingnya, sementara di kursi belakang ada Dalian, Kio dan Chelsey.
Libur kenaikan kelas memang lebih panjang dari libur semester ganjil, memberi ketiga anak sekolah itu kesempatan untuk menikmati waktu dengan bebas. Namun, ada sesuatu di udara yang membuat Dalian sedikit gelisah, meski ia berusaha menyembunyikannya.
"Dalian, kamu yakin nyaman di pantai? Ibu tahu kamu selalu takut dengan ombak dan malam hari di sana," sahut Ibu, matanya sekilas mencuri pandang ke arah putrinya.
"Ibu, please, aku udah besar sekarang. Mana mungkin takut sama hal-hal kayak gitu," balas Dalian dingin, meskipun ada nada yang terasa dipaksakan.
"Oo, jadi ini kali pertama kalian ke pantai? Pantesan aku diajak," sindir Chelsey, mengerutkan alisnya sedikit cemberut.
Ayah tertawa kecil. "Iya, Nak Chelsey. Kami memang berharap kamu bisa menemani dan menjaga Dalian kecil kita."
Alice Celestia Da Lian
Gadis SMA naik kelas 3 yang penakut tapi mudah tersentuh perasaannya untuk peduli kepada sesama. Cerewet dan pintar berargumentasi.
Hobi bermain basket. Warna kesukaan hitam. Tipe cowok, sedang tidak memikirkannya. Yang jelas, dia anti cowok.
Yukio Zacky Da Lian
Adik laki-laki Dalian masih SD kelas 4. Cowok pemberani. Suka mengejek kakaknya penakut dan perang argumen dengannya.
Lebih peka, bergaya keren dan pemikirannya lebih dewasa daripada kakak perempuannya yang cerewet.
Dessiana Chelsey
Keponakan sekaligus sahabat dekat Dalian. Lebih feminim dan berpenampilan anggun. Bisa menyesuaikan suasana dan sangat memahami Dalian.
Hobi bermain sosial media dan selfie. Menyukai banyak cowok. Mumpung masih sekolah, dia ingin memiliki pengalaman tentang cinta dari berbagai cowok yang dia suka.
Dalian sendiri adalah gabungan dari nama kedua orang tuanya, yaitu Damar Raharjo dan Liana Astuti.
Kenapa ingin dipanggil Dalian? Sebab, Dalian lebih ingin dipanggil dengan nama yang terdengar asing itu daripada nama depannya sendiri.
Dia merasa tidak cocok menggunakan nama Alice maupun Celestia yang bertolak belakang dengan karakternya yang tomboy dan menyukai warna hitam itu.
"Ayah! Stop menganggapku anak kecil! Aku sudah kelas 2 SMA dan naik kelas 3!" protes Dalian, nada kesal terdengar dalam suaranya.
Kio mengomentari, "Dalian penakut. Itu sama aja kayak anak kecil. Kebangun tiap malam pasti nyariin Mami. Lampu gelap aja langsung teriak-teriak. Takut sendirian lagi."
"Kio, bisa gak sih panggil gue ini Kakak. Dasar adik kecil sok dewasa."
"Mending Kio daripada Dalian. Muka serem tapi penakut. Coba nanti kita tinggal Dalian di pantai sendirian, pasti ketakutan. Huuu,"
"Astaga Kio, yang baik sama kakak kamu." Sahut Ibu dari kursi depan.
"Iya Mam." Kio patuh tapi tidak untuk kakaknya. Dia berganti memberikan ejekan kepada Dalian.
"Ibu, lihat tuh Kio."
"Kenapa lagi? Kio udah diam tuh."
"Diem tapi masih ngejekin aku."
Perjalanan berlanjut.
Mobil bergerak mantap, melewati jalanan gunung yang berliku dengan tebing di satu sisi dan jurang yang gelap di sisi lainnya. Meski cuaca cerah, ada ketegangan samar yang menyelimuti. Bayangan pepohonan terasa lebih pekat, dan angin yang berhembus sesekali terdengar lebih berat.
"Dalian," suara itu datang begitu tiba-tiba.
Dalian menjawab, "Iya?"
"Dalian"
"Ada yang manggil aku?" tanyanya, bingung.
"Enggak ada yang manggil kamu, Dal," sahut Chelsey tanpa mengangkat kepalanya dari ponsel. "Aku lagi sibuk main game."
"Kamu, Kio?" Dalian menoleh ke adiknya, yang hanya menggeleng.
"Kamu enggak denger apa-apa, Ibu? Ayah?" tanyanya lagi, kini suaranya mulai bergetar.
Ayah hanya mengernyitkan dahi. "Ada apa, Dalian?"
"Ah, mungkin cuma perasaanku aja," gumam Dalian, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia menyandarkan kepala ke kursi, memejamkan mata, mencoba tidur lagi.
Namun, suara itu kembali hadir. "Dalian."
Suaranya seperti berbisik di ujung telinganya, membuat bulu kuduk Dalian berdiri. Kali ini, ia tidak bisa lagi mengabaikannya.
"Gadis berambut hitam, lihatlah aku di langit," bisik suara itu, seakan-akan datang dari tempat yang jauh namun begitu dekat di telinganya.
Jantung Dalian berdegup cepat. "Si-siapa kamu?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Lihatlah ke langit."
Dengan ragu-ragu, Dalian mengangkat pandangannya keluar jendela. Langit yang tadinya cerah tiba-tiba gelap. Kilatan petir menyambar di kejauhan, "Duar!" Suara gemuruh itu begitu keras, membuat Ayah menginjak rem mendadak.
Mobil berhenti dengan sentakan, dan semua penumpang terkejut. "Kenapa cuacanya berubah secepat ini?" Ayah bergumam khawatir, menatap ke langit yang kini ditelan awan hitam.
"Ayah?" suara Dalian kini semakin lirih. Ada sesuatu yang tidak benar, dan perasaan itu semakin menguat di hatinya.
"Jangan khawatir, Dalian," Ayah mencoba tenang, tapi nada suaranya sudah berubah.
"Dalian mulai takut lagi," sindir Kio, tapi tak ada yang menertawakannya kali ini. Udara di dalam mobil terasa lebih berat.
Petir kembali menggelegar, kali ini lebih dekat. "Jedderr! Jedderr!" Sinar terang dari petir menyambar pepohonan di sisi jurang, menggetarkan tanah di bawah mereka.
Langit yang tadinya biru kini sepenuhnya berubah menjadi lautan hitam yang menakutkan. Hujan turun deras, dan kabut mulai menyelimuti pandangan.
"Ayah, kita harus berhenti," Ibu berkata dengan nada cemas. "Ini sudah terlalu berbahaya."
Namun, Ayah bersikeras. "Kita sudah terlalu jauh. Tidak mungkin kembali sekarang. Aku akan hati-hati."
Mobil kembali melaju perlahan, meski hujan dan kabut membuat jalanan hampir tak terlihat. Di dalam mobil, Dalian merasa semakin tercekik oleh ketakutan yang tak terjelaskan.
Suara-suara itu masih terngiang di kepalanya. "Jatuhkan mobilnya ke jurang." Tiba-tiba, suara itu datang lagi. Lebih keras dan lebih tegas.
Dalian tersentak."Apa? Siapa kamu?" Dalian meremas tangannya, berusaha melawan suara itu, tapi ia tidak bisa. Suara itu mendominasi pikirannya, memaksanya untuk tunduk.
"Jatuhkan mobilnya ke jurang."
Mata Dalian mulai kabur. Tatapannya kosong, dan tanpa sadar, ia mulai mengulang perintah itu dengan suara hampa.
"Ayah... jatuhkan mobilnya ke jurang."
"Apa?" Ibu dan Chelsey menatap Dalian dengan ngeri. "Dalian, apa yang kamu katakan?"
"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah, seakan dirasuki kekuatan asing.
Ayah, dalam kebingungannya, tiba-tiba kehilangan kendali atas mobil. Jalanan licin membuat mobil tergelincir. "Kyaaa!!!" Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar, memecah langit dan bumi di sekitar mereka, seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Semua penumpang pingsan, kecuali Dalian. Dia masih dalam keadaan yang aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merasukinya. Tatapannya kosong, pupilnya memudar, seperti sedang dihipnotis.
Mereka berada di tengah kegelapan yang pekat, di hamparan ruang tanpa batas. Tak ada secercah cahaya yang terlihat, seolah mereka terjebak di dalam kehampaan.
Beruntung, mobil hanya mengalami beberapa kerusakan ringan, dengan lecet dan penyok di beberapa bagian, tanpa ada tanda-tanda ledakan.
Dalian perlahan membuka pintu mobil. Saat satu kakinya menyentuh tanah, cahaya lembut menyebar sejauh tiga meter di sekelilingnya. Cahaya itu seakan mengusir kegelapan yang memeluk mereka.
"Hah? Di-dimana ini?" gumamnya, kesadarannya mulai kembali.
Setiap kali Dalian melangkah, cahaya terus terlukis di bawah kakinya. Namun, suasana tetap sunyi, mencekam. Kabut tipis melayang-layang di udara.
"Tempat apa ini?" Suaranya menggema dalam kehampaan. Takut.
"Miao!!"
Tiba-tiba, Dalian terlonjak kaget. "Apa itu?!" Dia melihat ke bawah dan menyadari dia baru saja menginjak ekor seekor kucing. "Ku-kucing? Apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini?"
Kucing itu menoleh, dan Dalian terkesiap. Mata kucing itu menatapnya tajam, wajahnya penuh teka-teki. Ketakutan menyeruak dalam dirinya, membuatnya mundur dan berlari kembali ke mobil.
Dia menutup pintu dengan cepat, dan cahaya yang tadi muncul mulai meredup, kembali menyerahkan mereka pada kegelapan.
"Chelsey, bangun! Kio, bangun!!" Suaranya mulai bergetar. "Ibu, ayah! Bangun!"
Perlahan, ibunya bergerak, mengerang pelan, diikuti oleh Chelsey yang mulai sadar. Ayah mereka tak sadarkan diri, dengan luka di dahinya.
"Aduh..." keluh ibu, mencoba duduk tegak.
"Ibu? Syukurlah, ibu sudah sadar!" Dalian merasa sedikit lega.
Chelsey mengeluh sambil memegangi dadanya. "Apa jantungku masih ada?"
"Ibu, Chelsey," panggil Dalian dengan nada cemas, "lihatlah! Kita sedang di mana sekarang?"
Ibu menatap keluar jendela, mengerutkan kening. "Gelap sekali... Aku tidak bisa melihat apa-apa." Lalu, beralih membangunkan ayah. "Ayah, ayah bangun." Pinta Ibu.
Dalian mengangguk sambil membangunkan adiknya seraya menjawab, "Aku juga tidak tahu, semuanya gelap. Kita seperti terjebak di dunia yang berbeda."
"Ayo Kio, bangun!!"
Ayah perlahan mulai sadar, menggerakkan tubuhnya yang kesakitan. "Apa kita selamat?" Dia menyentuh luka di dahinya.
"Iya, kita selamat," jawab ibu, "Ayah, coba nyalakan lampu mobilnya. Mungkin kita bisa melihat lebih jelas."
Ayah meraih kunci dan memutar. Cahaya lampu mobil menerangi kegelapan dengan terangnya. Namun, pemandangan yang tidak mereka harapkan muncul di hadapan mereka. Seketika, sepasang mata terbelalak.
"Uwaa!!" Dalian dan Chelsey berteriak serentak. Kaget dengan apa yang mereka lihat.
Seekor kucing aneh melayang di depan mereka, tubuhnya melayang di udara dengan bulu lebat yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ekor panjangnya menyerupai kemoceng, wajahnya terbagi menjadi dua warna. Separuh hitam dan separuh putih. Matanya juga tak biasa, mata kanan biru, sementara yang kiri merah darah.
"Kucing itu... menakutkan sekali..." Dalian bergidik, tubuhnya gemetaran.
"Iya, Dalian," suara yang halus dan menyeramkan menjawabnya. Dalian tersentak. Kucing itu berbicara, menyeringai aneh tepat di telinganya.
"W-waa?!"
Chelsey mengamati dengan ragu, "Eh? Kucing itu bisa berpindah tempat? Tadi dia di sana, sekarang di sini? Seperti Pesulap."
"Pergilah!" Dalian memerintahkan dengan suara penuh ketakutan. "Kau terlalu menyeramkan!"
Kucing itu hanya tersenyum lebih lebar, senyumnya nyaris tidak manusiawi.
Ayah kembali menghidupkan mobil, mencoba untuk maju perlahan, tapi di depan, bayangan-bayangan mulai tampak. Bentuk-bentuk kabur, makhluk berwarna putih yang melayang di udara, menunjukkan senyuman menyeramkan di wajah tak berwujud mereka.
"Kyaaa!!!" teriak seluruh penumpang.
Dalam sorotan lampu mobil, samar-samar terlihat makhluk-makhluk berwarna putih melayang di udara, sosok mereka hampir tak berbentuk, seperti kain usang yang ditiup angin.
Wajah mereka seakan tersembunyi di balik lipatan kain yang berkibar, tetapi dari celah-celahnya terlihat sekilas mata berkilau merah seperti bara api.
Gerakannya lamban, tetapi terus mendekat, dengan tubuh yang berayun-ayun di udara seolah terombang-ambing di lautan kegelapan.
Erangan mereka terdengar rendah, seperti suara rintihan yang berasal dari dasar jurang yang dalam.
"Rrrwww... ggrrr..." Suara itu menggelegar, diiringi bunyi gesekan kain yang seolah menyeret sesuatu di udara.
Sesekali mereka mengeluarkan bunyi mendesis, mirip bisikan dari alam lain. Semakin mendekat, semakin kuat erangan itu, membuat udara di sekitar mobil terasa semakin berat dan dingin, seakan mencekik napas.
Makhluk-makhluk itu tampak lebih menyeramkan saat cahaya dari lampu mobil semakin terang, memperlihatkan sosok wajah mereka yang kosong, hanya berupa rongga hitam tak berdasar.
Senyum tipis yang tak wajar terlihat di beberapa dari mereka, seakan sedang menikmati ketakutan yang mereka ciptakan.
Ketika mobil berhenti, suara gesekan kain semakin keras, dan makhluk-makhluk itu melayang makin dekat, seolah siap menerjang.
Detik itu, satu dari mereka menunduk lebih rendah, wajah tak berbentuknya mendekat ke jendela mobil, hanya berjarak beberapa inci dari kaca. "Rrrwww... ggrrr..." Suaranya bergema, membuat seisi mobil membeku dalam ketakutan yang mencekam.
"Ayaahhh!!" Teriak Dalian ketakutan.
"Ayah, hentikan mobilnya!!" teriak ibu. Mobil berhenti mendadak, membuat suasana semakin tegang.
Makhluk-makhluk itu mendekat, suara geraman mereka menggema di sekitar, membuat bulu kuduk meremang. Dalian yang masih takut, menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya, tidak berani menatap keluar.
"Matikan lampu dan mesin mobilnya, Ayah! Cepat!" perintah Dalian, tiba-tiba suaranya tegas. Tanpa ragu, ayah mematikan lampu dan mesin. Kegelapan pun kembali menyelimuti mereka.
"Fiuh..." desah mereka, sejenak merasa aman dalam kegelapan. Namun, suasana tetap mencekam. Cahaya dari ponsel Chelsey menjadi satu-satunya yang menerangi mereka, cukup untuk saling melihat wajah yang dipenuhi ketakutan.
"Dalian, sepertinya kita sedang berada di tempat yang sangat aneh. Jadi, berusahalah untuk bisa mengendalikan diri ya", pinta ayah.
"Ta-tapi ayah"
"Ibu.. ayah," sahut Kio sudah mulai sadarkan diri. "Apa Dalian takut lagi?", tanya Kio melihat Dalian menyembunyikan mukanya di kedua lutut dan tangannya.
"Iya", balas Ibu seraya tertawa kecil.
"Dasar! Dalian selalu saja takut"
"Diam kau bocil! Jika kau melihat hantu pasti kamu juga akan teriak dan ketakutan!", sahut Dalian kesal.
Suara yang tak terlihat terdengar lagi. "Dalian, keluar dan tunjukkan jalan untuk mereka," bisik kucing itu lagi, nadanya kini terdengar lebih memerintah.
"A-apa? Keluar? Kau bercanda?! Ada makhluk-makhluk mengerikan di luar sana!" Dalian menolak dengan keras.
"Kau tak punya pilihan. Aku akan melindungimu," kata si kucing dengan nada yang lebih serius.
Dalian tidak percaya. "Bagaimana mungkin kucing bisa melindungi manusia?"
"Patuhlah! Aku sudah memilihmu." Suara kucing itu lebih tajam, dan seketika mata Dalian terhipnotis lagi. Manik matanya berubah menjadi abu-abu keunguan. Tubuhnya mulai bergerak dengan sendirinya.
"Dalian?" panggil Chelsey, namun Dalian tidak merespons.
Dengan tatapan kosong, Dalian melangkah keluar dari mobil. Setiap langkahnya menciptakan cahaya tiga meter di sekelilingnya. Si kucing melayang di sisinya, mengawasi setiap gerakannya.
"Mulai sekarang, panggil aku Kaya," kata si kucing dengan senyum misterius.
Peristiwa Dalian dan keluarganya yang menyusuri jurang membawa mereka ke dunia aneh yang sama sekali tak mereka kenali.
Makhluk-makhluk asing mulai muncul sepanjang perjalanan mereka. Pada tahap pertama, mereka bertemu dengan hantu-hantu kain terbang yang disebut sebagai 'flying ghost' bayangan putih yang melayang seperti kain compang-camping ditiup angin.
Dalian tetap berjalan di depan, menuntun mobil ayahnya sambil berharap bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan ini.
"Sebenarnya aku harus terus berjalan ke mana?" gumam Dalian, menutup matanya sambil sedikit mengintip celah-celah jari.
"Aku akan menunjukkan jalan keluar, jadi teruslah berjalan, Dalian," sahut Kaya dengan suara lembut, kucing terbang kecil yang setia menemani Dalian di sisi kanannya.
"Tapi aku takut. Makhluk-makhluk terbang itu terus mengikuti kita," kata Dalian, suaranya gemetar, matanya melirik ke arah kain-kain putih yang bergelayutan di udara.
"Boooo... Swing... Swing..." Suara aneh dan erangan seram terdengar dari arah para 'flying ghost'.
Mereka menampilkan berbagai ekspresi yang ganjil, seram, konyol, bahkan menakutkan. Jumlahnya semakin bertambah, lima, tujuh, semakin banyak mengikuti jejak langkah Dalian.
"Dalian, kamu cukup berani," puji ayahnya dari dalam mobil yang perlahan mengikuti langkah Dalian.
"Kita ini sebenarnya ada di mana sih?" tanya Celsey dari dalam mobil. Ia melihat keluar jendela, namun yang terlihat hanya kegelapan yang seakan tak berujung.
"Aku ingin ikut Dalian," seru Kio, adik Dalian, dengan antusias.
"Bocil, tetaplah di tempatmu," tukas Celsey sinis, melirik ke arah Kio.
Kaya, yang sejak tadi terbang di samping Dalian, mengajak bicara lagi. "Dalian, 'flying ghost' itu hantu kain terbang. Pernah dengar?"
"Tidak!" jawab Dalian cepat dengan nada kesal.
"Dalian, aku akan tunjukkan sesuatu yang mungkin menyenangkan."
"Apa itu?" tanya Dalian curiga.
"Tersenyumlah. Tersenyumlah kepada mereka."
"Tersenyum? Apa kau gila? Kau minta aku tersenyum kepada hantu itu?! GILA LU, NDRO!" Dalian berteriak, membuat kucing kecil itu sedikit terkejut. "Kau ini BERISIK!!"
Gertakan Dalian membuat mata Kaya yang awalnya tenang langsung memutih. "Gadis macam apa ini? Gertakannya lebih menyeramkan dari para hantu itu."
Kaya perlahan membuka telapak tangan Dalian yang menutupi matanya, mencoba menunjukkan senyum bulan sabitnya yang khas. Namun, "Swatt!" Dalian segera menghempasnya dengan kuat hingga Kaya terlempar jauh ke udara.
"Apa-apaan kau, kucing jelek?! Gigi seperti ikan hiu itu kau pikir imut, hah? MENYEBALKAN!" teriak Dalian, frustasi.
Ayah Dalian akhirnya membuka pintu mobil dan mendekatinya. "Dalian?" Ia menyentuh pundak putrinya dengan lembut. "Kamu sudah berani menuntun perjalanan ini. Jangan bersedih. Kita ada di sini bersamamu."
"Ayah," jawab Dalian lirih, merasa sedikit terhibur. "Beranikan dirimu. Tunjukkan jalan keluar untuk kita semua," tambah ayahnya, memotivasi.
"Iya, Kakak. Ternyata Kakak yang paling berani di antara kita," sahut Kio sambil menggendong Kaya yang sudah kembali.
Dalian menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kembali keberaniannya. "Baiklah," gumamnya sambil berdiri.
Kaya kembali terbang di samping Dalian. "Dalian, tersenyumlah kepada mereka," pintanya lagi.
"Tidak mau!" jawab Dalian tegas.
"Sebenarnya 'flying ghost' itu makhluk yang ramah, meskipun wujud mereka menakutkan. Coba tersenyumlah kepada mereka," jelas Kaya dengan nada lebih lembut.
"Bagaimana aku bisa tersenyum jika perasaanku masih penuh ketakutan?!"
Tiba-tiba, "Boooo..." Suara mengerikan terdengar tepat di depan wajah Dalian, membuatnya melompat ketakutan.
"Boooo..." Suara lain menyusul dari samping.
"Ja- jangan..." desah Dalian.
Dari belakang, muncul lagi satu 'flying ghost' yang menyentuh lehernya dengan kain dingin. "Rrrwwwww..." erang makhluk itu, semakin mendekat.
"Tidaaak!! Aku takut! Aku gak mau lagi!! Pergi! Pergi!!" teriak Dalian, tubuhnya gemetar.
Kaya akhirnya melompat ke udara, berubah menjadi sepuluh kali lipat ukuran normalnya. "Aku terpaksa menggunakan kekuatanku," gumamnya serius.
Kaya melipatgandakan kekuatan cakarnya yang sekarang tampak berkilat dalam kegelapan. Tubuhnya yang besar menutupi pandangan Dalian, Kio, dan ayah mereka. Dan di balik punggung besarnya, hantu-hantu itu masih berkeliling dengan ekspresi seram, bercampur sedih.
“Aku tidak ingin melukai kalian,” gumam Kaya pelan, pandangannya tertuju pada flying ghost yang berputar semakin dekat. “Tapi aku harus melindungi mereka!”
Dengan satu lompatan, Kaya menerjang ke depan, cakarnya yang tajam mengarah ke salah satu flying ghost yang tiba-tiba berhenti di tengah udara. Kaya tertegun sejenak.
Matanya bertemu dengan mata hitam besar hantu itu, yang kini tampak menunduk penuh ketakutan. Namun, dalam kilatan waktu, cakarnya sudah terayun. “Sruinggg...” Dengan satu kibasan, hantu itu lenyap.
Di saat yang sama, terdengar suara rintihan panjang, “Booooo…”Kaya menarik napas dalam-dalam, melihat ke arah tempat hantu itu menghilang.
Dia merasakan sesuatu yang dingin menjalar di dadanya, perasaan bersalah yang tak bisa ia abaikan. Namun, sepasang flying ghost lainnya sudah melayang mendekat, menampakkan ekspresi seram mereka lagi.
“Sruingg...” Lagi, Kaya mengayunkan cakarnya. Satu per satu hantu itu lenyap, tapi yang tersisa bukan hanya kesunyian. Suara tangisan halus bergema di udara, suara rintihan penuh duka yang menghantam batin Kaya.
“Maafkan aku...,” bisik Kaya, suaranya hampir tenggelam oleh rintihan hantu-hantu itu. “Aku... aku tidak punya pilihan…”
Namun, tak ada jawaban. Hanya hening dan tatapan kosong dari hantu-hantu yang tersisa.
Dengan satu kibasan lagi, "Sruuing," satu 'flying ghost' menghilang. Kaya terus bergerak cepat, mengusir dua makhluk lagi yang berusaha menakuti Dalian yang masih menutup mata.
"Maafkan aku karena melukai kalian," ucap Kaya dengan penuh penyesalan.
"Booooo..." Suara lembut dan rintihan terdengar dari salah satu 'flying ghost' yang tampak terluka. Dalian menatap makhluk itu, perasaannya tiba-tiba berubah.
"Kaya, apa yang kau lakukan pada mereka?!" Dalian berteriak marah.
"Aku melindungimu!" balas Kaya dengan bingung.
"Tapi mereka... merintih... kau melukainya?!"
Dalian mendekati 'flying ghost' yang terluka, menyentuh ujung kain yang melayang-layang seperti tangan. "Aku tidak akan takut lagi pada kalian. Jadi, jangan takuti kami lagi, ya?" Dalian tersenyum lembut.
Makhluk itu langsung berubah. Ekspresinya yang tadinya seram menjadi penuh senyum, meskipun masih berwarna hitam. Kain putih mereka bergerak seperti tarian anggun di udara.
"Kakak!" seru Kio, keluar dari mobil, menghampiri Dalian. "Kamu hebat, Kakak."
"Kaya, kau harus minta maaf kepada mereka," perintah Dalian dengan tegas.
"Maaf? Tapi aku melindungimu!" Kaya membela diri.
"Namun kau membuat mereka terluka," tukas Dalian.
Akhirnya, Kaya menyerah. "Maafkan aku," katanya pada para 'flying ghost'.
Makhluk-makhluk itu melayang gembira, kain putih mereka terbuka lebar seperti tirai-tirai indah yang menari. Mereka memberi jalan bagi Dalian dan keluarganya untuk melanjutkan perjalanan.
Dalian tersenyum, lalu mulai berlari mengikuti 'flying ghost' yang menunjukkan jalan. Mobil ayahnya menyusul di belakang, dan di ujung kegelapan itu, perlahan muncul seberkas cahaya. Kegelapan mulai memudar, digantikan oleh pemandangan langit dan daratan di cakrawala.
"Kita... ada di mana lagi?" bisik Dalian, penuh rasa ingin tahu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!