NovelToon NovelToon

Reinkarnasi Ke Dunia Shokugeki No Soma

kehidupan koki kecil

Distrik Minato, Tokyo.

Sebuah kawasan yang mencerminkan keseimbangan antara kemegahan masa lalu dan denyut modernitas masa kini. Di sini berdiri gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi bersama kuil-kuil tua yang tetap setia menjaga sejarah. Jalan-jalan lebarnya dipenuhi mobil-mobil mewah dan langkah kaki pejalan yang terburu waktu. Namun, di sela hiruk-pikuk kota metropolitan ini, masih ada sudut-sudut tenang yang menyimpan cerita keluarga turun-temurun.

Di salah satu area perumahan eksklusif distrik ini, tersembunyi di balik gerbang besi tempa dan dinding batu tua yang dipelihara dengan cermat, berdiri sebuah rumah besar yang tampak mencolok namun anggun.

Bangunannya memadukan gaya arsitektur klasik Jepang, dengan atap genteng melengkung dan taman batu yang rapi. Kemudian ada juga sentuhan modern berupa jendela kaca besar, garis-garis tegas minimalis, dan pencahayaan hangat dari lampu gantung kontemporer. Inilah kediaman keluarga Aoyama, keluarga terpandang yang dikenal di kalangan koki dan pemilik restoran bergengsi di Tokyo.

Dari dalam rumah luas itu, aroma harum tumisan bawang putih dan kecap asin menguar dari dapur yang bersih dan modern, namun masih mempertahankan sentuhan kayu gelap dan rak-rak bumbu tradisional yang mengingatkan pada zaman dahulu.

Tiba-tiba, terdengar langkah kecil berlari tergesa.

Seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun muncul dari balik pintu dapur sambil membawa sebuah piring besar berisi nasi goreng. Wajahnya cerah penuh semangat, mata cokelatnya berbinar, dan rambut hitamnya sedikit berantakan karena semangat yang menguap. Dengan langkah riang yang sedikit terseret karena beban piring, ia berteriak lantang sambil tersenyum lebar.

“Kakek! Coba ini! Aku masak sendiri!”

Nasi goreng di atas piring itu tampak sederhana, dengan potongan telur, irisan sosis kecil, dan sedikit daun bawang di atasnya. Namun, aroma hangat dan harum yang mengepul dari hidangan itu menandakan upaya tulus dari tangan kecil yang baru saja mengenal dunia masak-memasak.

Dari ruang tamu yang bergaya klasik dengan meja rendah dan lantai tatami, seorang pria tua berambut perak yang duduk membaca koran menoleh perlahan. Senyum tipis mengembang di wajahnya yang dipenuhi keriput, bukan karena lelah, melainkan karena penuh kenangan.

Ia meletakkan korannya, lalu menatap cucunya yang kini sudah berdiri di depannya dengan penuh harap.

“Kalau begitu,” ucap sang kakek, suaranya dalam dan tenang, “biar Kakek cicipi… nasi goreng buatan calon chef keluarga Aoyama.”

Anak itu kemudian memberikan piring nasi goreng tersebut kepada kakeknya. Sang kakek mengambil piring itu, kemudian mengangkat sendok perak kecil yang ada di sisi piring. Ia mengambil sesuap nasi goreng buatan cucunya, lalu perlahan menyuapkannya ke dalam mulut. Wajahnya tidak menunjukkan perubahan berarti. Ia tetap tenang, seperti sedang mencicipi hidangan seorang koki profesional, bukan masakan buatan anak kecil.

Anak itu menahan napas. Matanya melebar, menatap wajah sang kakek dengan harap-harap cemas. Kedua tangannya menggenggam celana pendeknya erat-erat, berdiri tegak seperti sedang diuji.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, sang kakek menelan suapan itu perlahan, meletakkan sendoknya ke samping piring dengan suara pelan, lalu memandang cucunya.

“Kenji,” ucapnya lembut namun mantap.

“Ya, Kek?”

“Ke sini sebentar.”

Kenji segera melangkah mendekat. Langkahnya cepat tapi tertahan, seperti takut tapi ingin tahu.

Begitu ia cukup dekat, kakek itu mengangkat tangannya dan menepuk kepala Kenji perlahan. Tepukan itu bukan hanya lembut, tapi juga dalam, penuh kasih sayang dan makna. Tangan keriput itu kemudian bergerak perlahan, mengelus rambut cucunya.

“Bagus,” katanya. “Kau sudah berani mencoba, dan itu hal terpenting. Rasa nasi gorengmu… belum sempurna, tapi ada potensi.”

Kenji menatap kakeknya dengan mata berbinar, meskipun sedikit kecewa karena belum mendapat pujian penuh.

“Pertama,” lanjut sang kakek, “nasi yang kamu pakai masih terlalu lembek. Untuk nasi goreng, sebaiknya pakai nasi yang sudah agak kering, minimal semalaman di kulkas. Kalau terlalu basah, bumbunya tidak akan meresap dan teksturnya jadi terlalu lengket.”

Tepuk pelan kembali jatuh ke kepala Kenji, membuat anak itu hanya bisa mengangguk pelan.

“Kedua… kamu perlu lebih percaya diri saat menumis bumbunya. Bawang putihmu belum cukup harum. Mungkin kamu terlalu takut gosong. Ingat, aroma itu yang menggoda selera.”

Kenji membuka mulutnya sedikit, ingin membalas, tapi hanya mengangguk lagi.

“Dan yang terakhir…” Kakek tersenyum tipis. “Sedikit kecap asin akan menyeimbangkan rasa. Sekarang masih terlalu netral.”

Setelah menuturkan kekurangan-kekurangan pada nasi goreng itu, sang kakek tetap mengelus kepala Kenji dengan lembut, seolah ingin menyeimbangkan teguran dengan kasih sayang yang tidak pernah berkurang.

“Bersemangatlah,” ucap kakeknya, kali ini dengan suara yang lebih hangat, “kau sudah berada di jalan yang benar, Kenji.”

Kenji tersenyum malu-malu, lalu membungkuk sedikit, sopan seperti yang diajarkan keluarganya sejak kecil.

“Terima kasih, Kek…”

Kenji pun mengambil kembali nasi goreng itu dan berbalik menuju dapur. Sekarang dia perlu menghabiskan nasi goreng ini dan membereskan dapur yang sudah digunakannya tadi. Namun sebelum ia melangkah jauh, suara kakeknya kembali terdengar, tenang namun cukup jelas.

“Kenji…”

Langkah anak itu terhenti. Ia menoleh.

“Nanti siang… akan ada tamu Kakek yang datang. Teman lama. Dia akan datang menginap beberapa hari di sini.”

Kenji mengangkat alisnya sedikit, lalu mengangguk patuh.

“Baik, Kek.”

Sang kakek menatap cucunya dengan tatapan yang dalam. Sejenak, seperti ada sesuatu yang tidak diucapkan. Tapi ia hanya membalas dengan anggukan pelan, lalu kembali meraih koran di pangkuannya.

Kenji pun melanjutkan langkahnya kembali ke dapur, namun kali ini dengan rasa ingin tahu yang baru. Siapa teman Kakek? Kenapa dia menginap? Dan seberapa dekat pertemanan mereka?

Sejauh yang Kenji tahu, karena status keluarga mereka, hanya sedikit orang yang dapat disebut teman oleh kakeknya.

Bagi banyak orang, nama Aoyama adalah simbol prestise, dedikasi, dan warisan dalam dunia kuliner Jepang. Di balik keanggunan rumah besar mereka di Minato, tersimpan sejarah panjang tentang generasi demi generasi yang mengabdikan hidupnya pada seni memasak.

Dan di puncak silsilah keluarga itu berdiri Aoyama Satoshi, kakek Kenji, sosok yang namanya dihormati sejajar dengan para legenda. Dijuluki sebagai “Pahlawan Makanan,” Aoyama Satoshi adalah koki yang tidak hanya memenangkan kompetisi bergengsi dan memimpin restoran bintang lima, tetapi juga menjadi pelopor dalam menjembatani teknik makanan tradisional Jepang dengan inovasi kuliner modern.

Keberaniannya menciptakan harmoni baru di piring makan membuatnya diakui sejajar dengan Raja Iblis Makanan, Nakiri Senzaemon, seorang tokoh yang dikenal karena ketegasan dan superioritas mutlaknya dalam dunia memasak.

Namun berbeda dari aura mengintimidasi milik Senzaemon, Aoyama Satoshi dikenal sebagai pribadi hangat dan bersahaja. Ia bukan hanya seorang ahli rasa, tapi juga seorang pendidik sejati yang meyakini bahwa setiap orang bisa menemukan makna hidup mereka melalui makanan, selama mereka mau mendengarkan bahan-bahan dan memasak dengan hati.

Tak heran jika cucunya, Kenji, sejak kecil telah menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada dapur. Bukan karena tekanan, bukan karena nama besar keluarga, tapi karena ia tumbuh di tengah aroma dashi yang lembut di pagi hari, bunyi wajan yang menari di atas api, dan cerita-cerita legendaris tentang pertarungan rasa yang diceritakan oleh kakeknya sebelum tidur.

Bagi Kenji, menjadi chef bukanlah tujuan… tapi panggilan. Dan walau tangannya masih kecil, dan bumbunya sering kali tak seimbang, semangatnya sudah menyala dengan terang.

Masa lalu Kenji

Kenji kembali ke dapur dengan langkah ringan, membawa piring berisi nasi goreng yang hanya berkurang satu suapan di sudutnya. Meskipun baru saja mendapat koreksi dari sang kakek, senyum kecil tetap terpancar di wajahnya. Ia meletakkan piring di meja dapur, lalu menarik kursi kecil dan duduk.

Uap nasi goreng masih mengepul tipis. Kenji menyendok satu suapan, mengunyah perlahan, lalu menatap makanannya sejenak.

“Memang agak lembek,” gumamnya, “tapi… ini tetap enak.”

Kenji terus makan perlahan, menikmati hasil karyanya sendiri dengan rasa puas. Baginya, membuang makanan adalah hal yang tidak boleh dilakukan; dia diajari untuk tidak pilih-pilih makanan dan harus menghabiskan makanannya.

Setelah menghabiskan nasi gorengnya, Kenji kembali ke kamarnya. Dia melompat ke atas ranjangnya, berguling sekali, lalu berbaring telentang, menatap langit-langit kamar yang terbuat dari kayu halus berwarna terang.

Sambil menghela napas pelan, ia bergumam, “Sudah enam tahun… ya?”

Enam tahun sejak ia membuka matanya sebagai seorang bayi bernama Aoyama Kenji. Namun jauh di dalam dirinya, tersimpan jiwa dan ingatan dari orang lain. Seseorang yang berasal dari dunia berbeda, kehidupan berbeda, dan nama yang berbeda, yaitu Adrian Wijaya.

Dalam ingatan itu, Adrian adalah seorang chef terkenal asal Indonesia. Dia bukan sekadar koki, tapi seorang pionir yang memperjuangkan eksistensi makanan Nusantara di panggung kuliner dunia. Lewat restorannya, Adrian menyuguhkan hidangan perpaduan luar biasa antara berbagai makanan Indonesia dengan makanan dari negeri lain. Dunia mengenalnya karena keberaniannya bermain rasa tanpa melupakan akar budayanya.

Namun sekarang… dia telah menjadi anak kecil di Jepang.

Dalam ingatannya, Adrian meninggal karena sebuah ledakan gas yang terjadi di restorannya, kemudian ingatan selanjutnya adalah dia telah menjadi bayi.

Awalnya, Kenji mengira ini hanya reinkarnasi biasa, atau mimpi yang terlalu panjang. Tapi seiring waktu, ia mulai mengenali nama-nama yang tidak asing:

Nakiri. Totsuki. Shokugeki.

Saat pertama kali mendengar nama keluarga Nakiri disebut kakeknya, jantung Kenji sempat berdetak lebih cepat. Ia tahu nama itu—nama keluarga yang terkenal di anime yang pernah ditonton dirinya waktu masih sebagai Adrian.

“Tidak mungkin…” pikirnya kala itu.

Tapi semakin lama, semakin banyak bukti yang tidak bisa ia abaikan. Dunia ini tidak seperti dunia lamanya. Ini adalah dunia yang lebih berfokus dengan makanan, yaitu dunia tempat anime Shokugeki no Soma.

Ini adalah dunia di mana makanan bisa membuat orang seperti melayang di dimensi lain. Dunia di mana pertarungan kuliner bisa lebih panas daripada duel pedang, dan makanan adalah tema utama dunia ini.

Yang lebih gila lagi, entah ini adalah cheat yang diberikan karena terlahir kembali atau apa, namun Kenji tiba-tiba terlahir di sebuah keluarga yang tidak pernah disebutkan di alur cerita aslinya. Sebuah keluarga kuliner besar yang sejajar dengan keluarga Nakiri. Bahkan kakeknya, Aoyama Satoshi, dijuluki “Pahlawan Makanan”, setara dengan julukan “Raja Iblis Makanan” milik Senzaemon.

Kenji menutup mata dan tersenyum kecil. “Ini gila… tapi juga luar biasa.”

Sebagai Adrian, dia sudah mencapai banyak hal. Tapi sekarang sebagai Kenji, dia berharap akan mencapai hal yang lebih jauh lagi. Di dunia kuliner yang ekstrem, absurd, tapi juga sangat menantang ini, Kenji ingin melihat sejauh mana dia bisa melangkah.

Setelah puas berbaring dan merenung, Kenji menggeser tubuhnya sedikit dan meraih sebuah manga shounen yang belum selesai dia baca kemarin.

Kenji menghabiskan waktu yang cukup lama untuk membaca manga tersebut. Saat dirinya selesai, hari sudah menjelang siang.

“Benar, kakek bilang ada tamu siang ini,” Kenji teringat perkataan kakeknya.

Tak ingin mengecewakan sang kakek, Kenji bangkit dan berjalan menuju lemari. Ia memilih pakaian yang paling sopan tapi tetap nyaman dari sana, yaitu kemeja putih polos lengan pendek dan celana kain biru tua yang sederhana namun rapi. Setelah itu, ia berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya yang agak berantakan karena tidur-tiduran tadi.

Setelah memastikan semuanya baik, Kenji tersenyum kecil, lalu keluar kamar menuju ke ruang tengah tempat kakeknya berada.

Di ruang tengah rumah keluarga Aoyama, dua orang—kakek dan cucu—duduk berdampingan menikmati teh yang diseduh oleh sang kakek. Di satu sisi, Aoyama Satoshi, dengan rambut putih panjang diikat rapi ke belakang, duduk santai mengenakan yukata biru tua dengan motif gelombang. Di sampingnya, Kenji duduk dengan rapi sambil memegang cangkir kecil berisi teh.

Mereka mengobrol ringan, sesekali diselingi tawa kecil, hingga akhirnya Kenji melirik ke arah pintu dan bertanya,

“Kakek… siapa tamu yang akan datang hari ini?”

Satoshi menyesap tehnya perlahan, lalu meletakkan cangkir ke atas meja dengan tenang. Ia tidak segera menjawab, malah menatap cucunya dengan senyum misterius.

“Kau akan tahu nanti.”

Kenji mengerucutkan bibir, sedikit kesal tapi juga penasaran. “Kakek selalu seperti itu kalau ada sesuatu yang penting…”

Satoshi tertawa pelan, suara khas seorang pria tua yang sudah melewati begitu banyak kompetisi, shokugeki, dan sejarah dapur.

Meskipun tidak mendapat jawaban dari kakeknya, rasa penasaran Kenji tidak bisa diredam begitu saja. Ia memandangi cangkir teh di tangannya, lalu melirik ke arah kakeknya yang kini asyik menyimak suara burung dari luar jendela, seolah tidak ingin membocorkan apa pun.

Kenji menghela napas. Ia tahu, jika sang kakek sudah memasang wajah seperti itu, maka tak akan ada satu kata pun yang bisa dipancing darinya. Namun di balik keheningan itu, pikiran Kenji bekerja lebih aktif.

“Teman lama… dan tinggal beberapa hari… kira-kira siapa ya?” Kenji bergumam pelan.

Ia mengingat lagi nada suara kakeknya saat menyebut kata “teman” tadi pagi. Ada nada penuh hormat tapi juga sedikit tantangan di dalamnya. Ini bukan cara bicara biasa. Bahkan saat menjamu rekan bisnis atau chef terkenal pun, Satoshi tidak pernah seperti itu.

Kenji menyipitkan mata, menggulir daftar nama di pikirannya.

“Jangan-jangan…” bisiknya lirih.

Ia mendekatkan cangkir teh ke bibirnya, namun alih-alih menyesap, ia justru bergumam dengan suara nyaris tak terdengar,

“... Nakiri Senzaemon?”

Namanya muncul begitu saja, seperti kilatan dari ingatan dan logika yang tersusun dengan cepat.

Meskipun gumaman Kenji sangat pelan, namun pendengaran Satoshi yang terasah dapat mendengarnya dengan jelas.

Satoshi menoleh perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.

“Kau menebak dengan benar, Kenji.”

Kenji langsung tersentak, refleks menegakkan posisi duduknya. “H-hah? Apa Kakek dengar?”

Satoshi terkekeh pelan. “Aku mungkin sudah tua, tapi bukan berarti pendengaranku sudah tumpul.”

Kenji tertawa canggung, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tahu tidak bisa mengelak lagi.

“Umm… aku cuma… menebak,” katanya akhirnya.

“Dan juga… tiba-tiba aku ingat waktu itu Kakek sempat bilang akan mengirim surat. Dan nama penerima di surat itu adalah Nakiri Senzaemon.”

Satoshi mengangkat alis, tampak agak terkesan.

“Lalu tiba-tiba Kakek bilang akan ada teman lama yang berkunjung dan menginap selama beberapa hari…” Kenji melanjutkannya, matanya menatap ke arah cangkir tehnya, “...jadi, kurasa satu-satunya kemungkinan masuk akal ya Nakiri Senzaemon itu.”

“Hahaha… kau memperhatikan hal-hal kecil rupanya. Bahkan nama di surat pun kau ingat.” Ia menepuk pundak cucunya perlahan, dengan ekspresi penuh kebanggaan.

Kenji tersenyum lebar, merasa sedikit bangga karena berhasil menebak.

Satoshi kemudian memandangi teh di depannya, suaranya menjadi sedikit lebih dalam namun tetap tenang.

“Ya… benar. Tamu kita kali ini memang Senzaemon. Sudah lama sekali sejak kami terakhir bertemu. Dulu kami sering bertukar tantangan di dapur… dan mungkin, saling membuat pusing satu sama lain.” Ia terkekeh kecil, penuh nostalgia.

Pertemuan dua keluarga

Beberapa hari sebelumnya, di kediaman keluarga Nakiri.

Udara pagi terasa sejuk dan segar di kediaman keluarga Nakiri. Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam ruangan bergaya Jepang klasik yang luas, menyatu dengan aroma teh hijau dan kayu tua. Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua berambut panjang berwarna putih keabu-abuan yang tergerai hingga punggung. Kumis dan jenggot lebat dengan warna senada menambah kesan bijaksana namun tangguh.

Di sisi kanan dahinya, terlihat luka panjang yang membentang melewati mata kanannya, memberi kesan mengancam namun penuh pengalaman.

Nakiri Senzaemon, sang Raja Iblis Makanan, tengah membaca sebuah surat. Setelah selesai membacanya, seulas senyum tipis muncul di wajahnya.

“Heh… kau masih seperti dulu, Satoshi,” gumamnya sambil terkekeh kecil.

Tanpa membuang waktu, ia melipat surat itu dengan rapi dan meletakkannya di atas meja, lalu memanggil pelayan yang berdiri di dekat pintu.

“Panggilkan Erina ke sini.”

Tak lama kemudian, seorang gadis kecil dengan rambut pirang terang dan mata ungu bening masuk ke dalam ruangan. Ia melangkah dengan anggun, seolah telah dilatih sejak lahir.

“Jii-sama, Anda memanggilku?”

Senzaemon menatap cucunya dengan ekspresi hangat—sesuatu yang sangat jarang terlihat di wajahnya.

“Erina, besok kita akan pergi liburan. Tempatnya cukup jauh, dan kita akan tinggal di sana beberapa hari.”

Mata Erina sedikit membesar. “Liburan?”

“Iya. Anggap saja ini kunjungan ke rumah seorang teman lama,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Kau akan bertemu seseorang yang… menarik.”

Erina mengangguk pelan, meskipun rasa penasaran terpancar jelas di wajahnya.

Kembali ke masa kini, di kediaman keluarga Aoyama.

Kenji menatap kakeknya dengan sedikit kerutan di dahi. Rasa penasaran masih menyelimuti pikirannya.

“Kakek…” tanyanya pelan. “Kenapa kakek mengundang Nakiri-sama ke rumah kita?”

Satoshi menghela napas pelan, menurunkan cangkir teh dari bibirnya lalu menatap keluar jendela sejenak, seolah menyusun jawabannya.

“Karena... keluarga Nakiri baru saja melewati masa yang sulit,” ucapnya lirih namun jelas.

“Jadi aku berpikir, mungkin mengajak Senzaemon untuk tinggal beberapa hari di sini bisa sedikit mengalihkan pikirannya. Bukan sebagai Raja Iblis Makanan, tapi… hanya sebagai teman lama yang butuh udara segar.”

Kenji terdiam. Matanya menatap lurus ke arah lantai tatami. Ia mengangguk perlahan, bisa merasakan ketulusan dari nada suara sang kakek.

“...Aku mengerti,” gumamnya.

Namun, di dalam kepalanya, roda pemikiran mulai berputar. Dunia tempatnya hidup saat ini adalah dunia Shokugeki no Soma, dan ia telah menyaksikan kisahnya hingga akhir di kehidupan sebelumnya.

“Masalah keluarga Nakiri... di usia Erina yang sekarang...” pikirnya. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat alur waktu. Erina masih kecil. Jika ia tidak salah, pada usia ini... ayahnya, Azami Nakiri, baru saja diusir dari keluarga.

“Jadi kemungkinan besar... hal itu sudah terjadi,” gumamnya dalam hati. “Azami sudah diasingkan. Dan itu membuat situasi keluarga Nakiri tak stabil. Terutama Erina... dia mungkin belum sepenuhnya mengerti, tapi sudah merasakan tekanannya.”

Kenji membuka mata perlahan. Wajahnya kini tampak lebih serius dari biasanya.

Menurut perhitungannya, bukan hanya Senzaemon yang akan datang, tapi juga Erina. Dan saat ini, Erina masih dalam masa sulit karena trauma yang ditinggalkan oleh ayahnya.

Tiba-tiba, rasa penasaran Kenji berubah menjadi tekad. Ia ingin menyambut mereka sebaik mungkin.

“Kalau begitu…” ucapnya pelan. “Aku akan menyiapkan sesuatu. Hanya makanan ringan, tapi semoga bisa membuat mereka merasa nyaman.”

Satoshi menoleh ke arahnya, satu alis terangkat. “Oh? Kau punya ide?”

Kenji tersenyum kecil, matanya berbinar.

“Mungkin… camilan yang cocok dinikmati bersama teh.”

Satoshi mengangguk puas, lalu kembali menatap keluar jendela. “Itu pilihan yang bijak.”

Baru saja Kenji hendak menuju dapur, terdengar suara mobil berhenti di depan kediaman mereka. Sesaat kemudian, suara ketukan ringan di pintu geser menyusul.

Seorang pelayan laki-laki berseragam tradisional membungkuk di ambang pintu.

“Maaf mengganggu, Aoyama-sama. Tamu Anda telah tiba. Kendaraannya baru saja berhenti di depan.”

Satoshi hanya mengangguk dan bangkit dari duduknya. “Baik. Mari kita sambut mereka.”

Kenji, yang tadinya berniat ke dapur, spontan membatalkan niatnya dan berbalik arah mengikuti sang kakek menuju pintu depan. Meski tak berkata apa-apa, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

Langkah kaki mereka menyusuri koridor kayu rumah yang bersih dan tenang. Suara lantai berderit lembut menyertai perjalanan. Rumah keluarga Aoyama yang memadukan arsitektur klasik Jepang dengan sentuhan modern terasa lebih hidup oleh kehadiran tamu besar.

Begitu sampai di bagian depan rumah, sebuah mobil hitam elegan terparkir rapi. Dari pintu belakang, seorang pria tua turun perlahan, mengenakan kimono hijau tua dan haori hitam bersulam lambang keluarga Nakiri.

Nakiri Senzaemon.

Di sampingnya, seorang gadis kecil menggenggam tangannya. Rambut pirang lembut dan mata ungu tajam miliknya menyiratkan ketenangan sekaligus jarak.

Nakiri Erina.

Satoshi melangkah maju sambil tersenyum, membuka kedua tangannya.

“Senzaemon. Sudah lama sekali.”

Nakiri Senzaemon membalas dengan senyum tipis dan anggukan hormat. “Satoshi. Bahkan sebelum turun dari mobil, aku sudah bisa mencium aroma teh khasmu.”

Keduanya tertawa ringan, saling membungkuk dan menepuk pundak satu sama lain seperti dua pendekar tua yang telah melewati banyak musim bersama.

Kenji menunduk sopan di sisi kakeknya. “Selamat datang di kediaman kami.”

Senzaemon memalingkan pandangan ke arah Kenji, mengamatinya dengan tenang. Senyum kecil muncul di wajahnya.

“Jadi ini cucumu? Wajahnya... mengingatkanku pada Satoshi muda.”

Ia mendekat selangkah, menatap mata Kenji dengan saksama. “Dan matamu... tajam. Seperti mata seorang koki.”

Kenji menahan gugup dan membalas dengan tenang, “Terima kasih banyak, Senzaemon-sama.”

Erina di sisi kakeknya hanya melirik sekilas ke arah Kenji. Tatapannya tenang dan dingin seperti yang digambarkan dalam cerita aslinya, namun kini ia hanyalah seorang anak kecil. Masih polos, tapi sudah terbiasa dengan tekanan dunia kuliner.

Aoyama Satoshi menepuk pelan bahu Kenji. “Ayo, antar tamu kita masuk.”

Dengan itu, dua garis keturunan besar dunia kuliner—Aoyama dan Nakiri—melangkah masuk ke dalam rumah.

Satoshi dan Senzaemon menuju ruang tengah. Di atas meja telah disiapkan satu set perlengkapan teh yang tampak jauh lebih mewah dari biasanya. Begitu mereka duduk, pelayan segera menuangkan teh dan menyajikan beberapa camilan tradisional.

Keduanya kemudian melirik ke arah dua anak kecil yang berdiri tak jauh dari mereka. Satoshi berkata, “Kenji, sepertinya Erina sedikit lelah. Ayo antar dia ke kamar tamu. Bantu dia jika ada keperluan.”

“Baik,” jawab Kenji cepat. Ia menoleh ke arah Erina sambil tersenyum ramah. “Ayo, Nakiri-san. Kamar tamunya ada di sisi timur.”

Erina mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, lalu mengikuti langkah Kenji menyusuri koridor. Keduanya berjalan dalam diam. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar menyusuri lantai kayu.

Kenji sesekali melirik ke belakang untuk memastikan Erina tidak tertinggal. Gadis itu berjalan dengan postur anggun dan tenang, meski jelas masih sangat muda.

Setelah beberapa belokan, mereka tiba di depan sebuah pintu geser dari kayu dan kertas shōji yang halus.

Kenji mendorong pintu itu perlahan, memperlihatkan kamar tamu yang rapi dengan tatami bersih, futon yang sudah disiapkan, dan jendela yang menghadap ke taman kecil dengan kolam koi.

“Ini kamarnya,” ucap Kenji sambil menoleh. “Kalau butuh sesuatu, kau bisa tanya ke aku.”

Ia menunjuk ke ruangan di seberang koridor, tepat di depan kamar tamu.

“Kamarku ada di sana. Jadi kalau kau butuh apa-apa… tinggal panggil saja.”

Erina menatap ruangan itu sekilas, lalu memandang Kenji dengan tatapan datarnya yang biasa. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Namun, ekspresinya lebih ke arah... waspada, bukan merendahkan.

Kenji tidak menanggapi sikap dingin itu. Ia sudah tahu seperti apa kepribadian Erina. Ia hanya tersenyum kecil dan membungkuk ringan.

“Kalau begitu, aku permisi dulu.”

Ia kemudian menutup pintu dengan pelan, membiarkan Erina sendiri di kamar yang tenang. Di balik pintu itu, Kenji menarik napas sebentar sebelum berbalik menuju ruang tengah.

Sementara itu, dari dalam kamar, Nakiri Erina berdiri sejenak memandangi jendela. Cahaya matahari siang menerobos masuk melalui kisi-kisi, menyinari siluet tubuh mungilnya. Ia menghela napas tipis.

Tempat ini... terasa asing. Tapi juga... tidak terlalu buruk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!