NovelToon NovelToon

OBSESI Sang Presdir

Bab 1. Joseph Sebastian Abraham

Mentari pagi ini terlihat sangat cerah, panasnya terasa membakar ketika menyentuh kulit.

Pagi ini, Seorang gadis cantik bernama Marsha, tampak bahagia meskipun berdesakan saat naik bus.

Kulit putihnya yang terawat, rambutnya yang dicat blonde, kontras dengan pemandangan sekitar. Ini adalah pengalaman pertama gadis itu.

Marsha mengamati sekeliling, matanya mengedar membiak keramaian. Beberapa orang tampak berkeringat. Mulanya ia bisa menahan, tapi lama kelamaan pertahanannya tumbang juga.

'Bau,' pikirnya.

Ia mencoba menahan napas. Di waktu yang sama, tangannya refleks menutupi hidungnya.

Tampak beberapa orang memperhatikan sikapnya.

"Mbaknya gak terbiasa naik angkutan umum ya?" Seseorang mencoba menuduh dengan nada bertanya.

Seketika pertanyaan itu mengundang reaksi penumpang lainnya. Riuh, dan ricuh.

Air muka Marsha berubah takut. Takut dirinya disalahkan, dihakimi, lalu dikucilkan. Benar dugaannya.

"Kalau gak biasa turun aja Mbak!" seru penumpang lainnya, ikut memprovokasi.

Sontak seketika suasana menjadi riuh.

"Turun, turun, turun!" teriak penumpang lain bersamaan.

Mereka menyoraki Marsha.

Gadis itu hanya diam, sambil menundukkan kepalanya di tengah ramainya kerumunan orang-orang.

Tak lama kemudian salah seorang kondektur berjalan mendekati Marsha yang meski dengan mimik terkejut tetapi tetap diam.

"Mbaknya turun saja ya? Ketimbang ricuh, naik taksi saja," ujar kondektur bus memberi saran.

"Oke deh, Pak. Saya turun di sini," sahut Marsha, akhirnya ia pasrah.

Tentu saja ia pasrah, Marsha kalah suara. Sebenarnya tak heran jika ia bersikap seperti itu, sebab ini pertama kalinya ia jadi penumpang bus.

Marsha sedih, dan kecewa. Tetapi dengan begitu ia paham, jika ternyata di luar itu tak seramah di rumah nyamannya yang mewah. Dunia memang sekeras itu.

Beberapa saat kemudian setelah turun, Marsha menutupi wajahnya dari matahari siang yang mencoba membakar kulitnya. Silau? Mungkin.

"Sedang mencari tumpangan?" tanya sekaligus sapa seseorang yang membuat Marsha terkejut.

Suara itu, adalah suara yang biasa ia dengar setiap kali menonton live tiktok seseorang. Ya, itu suara yang sama. Sangat familiar.

"Pak Joseph ya, wah ... saya selalu nonton live Bapak loh, saya juga pakai semua produk Bapak," sahut Marsha yang tiba-tiba heboh, sok akrab lagi.

Joseph melongo mengamati.

Marsha biasanya gadis pendiam. Entah mengapa tiba-tiba bisa seramai itu seperti orang kerasukan saat berbicara dengan orang yang ia sukai.

Ya. Joseph Sebastian Abraham, serta pria tampan yang merupakan founder sekaligus CEO brand ternama. Ia terkenal lewat kanal media sosial ketika membantu anak buahnya menawarkan beberapa produk miliknya.

Wajah tampan dan kharismatiknya memang mampu menarik perhatian ibu-ibu muda dan para gadis kebanyakan. Siapa yang tidak jatuh hati, Joseph adalah seorang bos muda yang tersohor, terlebih ia diganrungi perempuan.

"Wah, penggemar saya rupanya. Masuk," sahut Joseph mempersilakan sembari membukakan pintu.

Ia memang lebih irit kata ketimbang Marsha, tetapi masih mengulas senyum yang melengkung indah di wajahnya. Membuat Marsha semakin canggung tentunya.

Senyuman Marsha yang semula lebar seketika pudar. Perlahan senyum itu hilang dari guratan wajah cantiknya. Ia sempat mengalihkan pandangannya ke sekeliling, ramai, dan semua orang sibuk. Tak seorangpun peduli.

Seolah membuatnya terpaksa menginjakkan kaki jenjangnya memasuki mobil sport berwarna hitam yang ditumpangi oleh Joseph kala itu.

Kini Marsha sudah duduk di sebelah Joseph. Mendadak, suasana menjadi hening. Marsha tak seriuh sebelumnya. Ia justru sering mengalihkan pandangan ke arah luar jendela.

Menghindari bertatapan, mungkin.

"Hey, aku harus manggil kamu apa? Kenalin, aku Joseph. Bukan sopir taksi, tapi aku mau antar kamu ke tempat tujuan kamu."

Lalu, setelah mendengar ditegur, Marsha memberanikan diri menoleh. Ya, meski jantungnya ingin melompat tak terkendali saat ini.

"Aku Marsha, mau ke hotel depan sana," sahut Marsha singkat.

Mendengar jawaban Marsha, kening Joseph berkerut. Entah apa yang ada di pikirannya kala itu.

"Hotel?" tanyanya mengulang, ragu mungkin.

"Ya, aku ada meet and greet dengan para pembacaku," jawabnya, kali ini rautnya terlihat serius meski nada suaranya terdengar rendah.

"Oke, maaf ya tadi sempat mikir aneh," ujar Joseph menimpali sambil tersenyum, sedangkan matanya tetap terfokus ke jalanan depan.

"Iya gak apa-apa."

"Kamu pakai parfum oud rouge ya? Gimana? Suka wanginya?" tanya Joseph dengan ekspresi mencari tahu.

Parfum itu memang diproduksi oleh perusahaan miliknya.

Marsha hanya menjawab dengan anggukan kepala saat itu. Entah mengapa, kini ia berubah menjadi seorang pendiam. Atau bahkan tersipu malu? Entah.

"Jam berapa meet and greetnya? Boleh saya datang?" tanyanya, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Marsha.

Seolah sedang ingin menerka, seperti apa sebenarnya kepribadian gadis itu.

Tak biasanya Marsha bersikap acak seperti hari ini, tiba-tiba jadi riuh, tiba-tiba juga ia senyap menjadi seorang pendiam sejati. Salah tingkah, mungkin.

"Jam setengah sepuluh sampai jam sebelas siang, Pak," tutur Marsha.

Lagi, ia memilih untuk menghindari tatapan Joseph. Ada debaran aneh yang ia rasakan. Sehingga untuk bicara saja, kalimat dari bibirnya seolah tertahan.

"Hei, jangan panggil Bapak. Saya masih muda," ujar Joseph sambil tersenyum menggoda.

Menit setelahnya ia menatap jam di pergelangan tangannya.

"Nah sudah sampai, waktunya sepuluh menit lagi berarti ya, nama kamu tadi siapa? Saya mau datang ke acara kamu."

"Marsha. Dan ... terimakasih."

Keduanya saling menatap, hanya beberapa detik, menit setelahnya Joseph mulai mendekat, berusaha mengikis jarak, membuat Marsha refleks memejamkan matanya.

Melihat sikap gadis itu, Joseph terkekeh dibuatnya. Napasnya bahkan terasa menghangat saat mengenai wajah Joseph. Ia pun, ikut membeku sesaat. Mengamati pahatan indah di hadapannya.

Klik!

"Aku hanya mau bantuin kamu buka seat belt." Joseph berbicara sambil membukakan pintu untuk gadis itu setelahnya.

Marsha masih mematung, wajahnya memerah karena menahan malu.

"Terimakasih tumpangannya. Wah, saya gak tahu nih harus bayar dengan cara apa. Karena mungkin kalau gak dikasih tumpangan saya bakal telat," ungkap Marsha berkata jujur.

***

Acara berlangsung lancar. Usai memberikan sambutan singkat, acara dilanjutkan dengan penandatanganan buku.

Beberapa orang mengantre untuk meminta tanda tangan setelah membeli novel karya Marsha.

Gadis itu benar-benar sibuk, ia meunduk dan serius, membubuhkan tanda tangan serta coretan kata untuk penggemarnya.

Antrean panjang membuat Marsha terfokus pada buku yang ia tanda tangani.

'Huft, masih banyak. Semangat,' batinnya, menyemangati dirinya sendiri.

Tiba-tiba, di antrean selanjutnya, aroma parfum yang sama dengan yang ia kenakan menguar mendominasi. Membuat bau keringat orang-orang menjadi tersamarkan.

Seketika, Marsha menghirup udara dalam-dalam sembari memejamkan matanya sejenak. Ya, ia memang suka parfum beraroma mawar itu.

"Kamu suka oud rouge ya, aku bawain buat kamu. Sekaligus minta tanda tangan ya, sekarang ... gantian, aku yang akan jadi penggemar kamu," cetus Joseph.

Marsha terkejut.

Suaranya membuat Marsha langsung membuka mata dan mendongak menatapnya.

"Wah, Pak Joseph. Kita ketemu lagi, ya. Terimakasih sudah mau datang." Marsha tersenyum.

Seperti memiliki magnet, Marsha rupanya membuat Joseph penasaran. Ingin bertemu lagi, dan lagi.

"Aku gak nyangka kamu penulis terkenal, boleh dong nonton filmnya bareng besok malam," tandasnya menawarkan diri.

Entah apa yang dilakukannya, sebenarnya ia tidak pernah melemparkan pujian untuk wanita manapun, entah ibu atau kakak perempuannya sekalipun. Tapi kali ini ia berbeda, seperti sedang berusaha.

Senyum Marsha memudar, wajahnya berubah tegang menatap Joseph sembari meraih buku dari tangan pria tampan itu.

"Boleh, anggap saja hadiah dari saya karena tadi sudah memberikan tumpangan." Marsha berbicara seraya menggoreskan penanya di atas kertas, di bagian akhir novel karya miliknya.

"Jangan lupa cantumkan nomor hp," sergah Joseph, membuat Marsha kembali menatap ke arahnya sambil tersenyum kecil.

Di waktu yang sama, seorang pria berseragam serba hitam, berlari mendekat ke arah Marsha dengan napas yang masih memburu.

"Mbak, Marsha. Saya disuruh jemput sama Bapak, katanya akan ada tamu spesial, Mbak Marsha harus tepat waktu. Nanti saya bisa dipecat," seloroh pria itu dengan ekspresi panik.

Marsha langsung menoleh ke arah sopir pribadi ayahnya sembari menghela napas berat. Pertanda ia frustrasi atas kedatangannya.

"Apa, Pak Jo? Saya masih sibuk, bilang saya masih sibuk! Tamu siapa sih sampai segitunya," cerocos Marsha.

Raut wajahnya berubah muram.

"Calon suaminya Mbak Marsha, orangnya ganteng, tinggi besar, sepertinya orang jepang!"

Marsha dan Joseph saling pandang. Entah apa yang mereka rasakan setelah mendengar kabar itu. Tapi yang jelas, Marsha menunjukkan ekspresi tidak sukanya. Berita itu, benar-benar ... mengejutkan.

Bersambung....

Bab 2. Sang Presdir yang Tampan

—Kediaman Marsha Widya Tama—

Sore ini, gadis itu berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Tampak kedua orang tuanya yang sedang sibuk mendekorasi ruang keluarga lalu mereka berpindah ke ruang makan. Dengan bantuan ART tentunya. Dan gadis itu melintas begitu saja.

Marsha dibesarkan dari kalangan pebisnis. Rumah mewah, pria kaya, bukan hal baru baginya.

Di usianya yang mulai menginjak dua puluh lima tahun, membuat sang ayah selalu resah dan mulai sering menjodoh-jodohkannya dengan para pria kaya, tentu saja sikap orang tuanya itu membuat gadis itu tak nyaman.

"Marsha, dari mana saja kamu? Sesore ini baru pulang! Mau Pak Jo saya pecat jadi sopir kamu?" Sang Ayah yang geram menegur dengan nada tinggi.

"Tadi ada meet and greet peluncuran novel aku, Pa," terang Marsha mencoba membuat ayahnya mengerti.

"Novel, novel lagi! Sekali-sekali mbok yo belajar bisnis. Belajar jualan, nulis itu gajinya receh! Gak ada masa depannya," cela Pak Tama tanpa ampun.

"Novel aku sudah difilmkan dan Papa masih gak mau mengakui? Oke gapapa, aku capek, mau mandi," sungut Marsha yang langsung berlalu begitu saja.

Ia bahkan tidak peduli meski ibu sambungnya sejak tadi memperhatikannya dengan tatapan tajam.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 19.00 wib.

Marsha masih berbaring manja di atas kasur empuknya. Kemudian, ia dikejutkan dengan ketukan pintu yang terus menggedor tanpa henti.

"Marsha, tamunya sudah datang. Ayo lekas turun. Nanti papamu mengomel lagi," panggil ibu Tiri Marsha.

Mendengar suara teriakan itu, Marsha mendengus lelah, malas, dan bosan.

"Ya, sebentar lagi," sahutnya berkilah.

Kemudian, Marsha langsung turun dari ranjang dan bersiap. Di work in closet miliknya, ada banyak gaun malam berjajar rapih. Tetapi ia justru memilih pakaian dengan desain sederhana.

Mungkin, tak banyak waktu baginya untuk memilih, ia hanya mengambil asal, memasang riasan tipis di wajahnya lalu sambil setengah berlari ia menuruni tangga.

Bukan karena penasaran dengan sang pangeran tampan korban perjodohan sang ayah, tetapi Marsha hanya malas dan takut diomeli lagi.

"Aduh, maaf ya, Pa. Aku kecapek'an. Dan ... lupa," tukasnya sambil memasang ekspresi memelas.

Namun ekspresinya berubah kaget ketika ia menabrak tubuh kekar seseorang. Ya, ia berjalan tanpa melihat ke arah depan.

Setelan jas rapi, membuat penampilan pria di hadapannya sangat menawan. Aroma parfumnya, begitu familiar. Tapi Marsha lupa, ia seperti memiliki koleksi parfum dengan aroma yang sama.

Perlahan, gadis itu mulai mengangkat wajahnya. Mengamati setiap pahatan indah yang terpampang di hadapannya.

Garis tegas, dengan aksen kebulean, tak lantas meluluhkan hati Marsha. Benar kata Pak Jo, dia memang keturunan Jepang. Sangat menawan, nyaris mirip Reino Barack suami artis maju mundur cantik.

Bedanya, tubuh pria di hadapannya lebih kekar dan berotot. Menggambarkan pria yang rajin berolahraga.

"Kamu tidak apa-apa?" Tatapan matanya, mungkin saja mampu membuat wanita lain meleleh, tapi tidak dengan Marsha.

"Enggak," gumam Marsha kemudian melangkah menuju kursi di ruang makan.

Marsha langsung menarik kursi yang akan dia duduki, tetapi pria itu ternyata mendahului. Ia membantu menariknya, seolah ingin memberikan kesan perhatian di depan keluarga Marsha.

"Kenalin, dia Giorgio. Biasa dipanggil Gio. Rekan kerja papa. Siapa tahu kalian cocok," tandas ayah Marsha.

Terus terang saja, air muka gadis itu berubah pasi setelah mendengar kalimat perjodohan dari bibir ayahnya.

"Tapi, Pa ... Marsha itu masih gak mau ...."

Kalimat Marsha terpotong karena Gio langsung menghentikannya.

"Tunggu, mungkin ada baiknya kita bicara dulu secara pribadi sebentar. Baru kamu boleh menolak saya," ungkapnya.

Ayah Marsha terpukau dengan usaha yang ditunjukkan oleh pria itu. Biasanya, setiap pria yang dijodohkan selalu berakhir dengan penolakan dari putrinya.

Tetapi sepertinya, Giorgio memang pria berbeda dari kebanyakan pria di luar sana.

Marsha menghela napas berat.

"Kita makan malam dulu, baru bicara. Jangan bicara dengan perut kosong. Takutnya, bisa memengaruhi keputusan yang Anda ambil," tandasnya.

Gio tersenyum simpul, kemudian ia memberikan anggukan kepala sebagai jawabannya. Sesekali ia mencuri pandang, tetapi tak sekalipun Marsha menoleh ke arahnya. Mereka duduk di kursi yang letaknya bersebelahan.

Kemudian, mereka akhirnya makan malam bersama. Tak ada suara percakapan selama mereka sedang santap malam. Bahkan, denting nyaring sendok dan garpu pun nyaris tak ada.

***

Marsha melangkah menaiki anak tangga, mengajak Gio menuju balkon kamarnya. Bukan untuk tujuan buruk, melainkan mereka ingin lebih privasi.

Menghindari telinga nakal yang berusaha ingin menguping pembicaraan. Ya, gadis itu memang sudah hafal bagaimana sifat beberapa penghuni rumahnya.

"Biarkan pintunya tetap terbuka," pinta Marsha terlihat tegang.

Gio hanya mengangguk menuruti saat itu. Ia juga menyunggingkan senyuman ramah, siapa duga jika ternyata kenyataan sikapnya sebaliknya.

Di balkon kamar Marsha, terdapat sepasang kursi dan meja berbentuk bulat. Tempat ternyaman, yang biasa ia gunakan mencari inspirasi ketika ingin menulis.

Di tempat itulah akhirnya keduanya berbicara.

"Siapa dulu yang mau ngomong? Aku atau ...?" tanya Marsha.

Matanya terlihat berkaca-kaca. Bulir bening di pelupuk matanya nyaris lolos seandainya ia tak mampu menahannya.

"Perempuan lebih dulu," ujar Gio.

Seperti biasa, Marsha selalu berusaha menjaga agar tidak bertatapan mata dengan pria mata manapun. Kendatipun jika ia merasa kurang nyaman.

Namun, buku jemari Giorgio gesit menangkup dagu Marsha hingga wajah cantik yang dihiasi bulu-bulu halus di pipinya itu kini menghadap ke arahnya.

Membuat tatapan mata keduanya saling bertautan. Ada degup tak biasa yang gadis itu rasakan. Degup cepat bercampur rasa takut luar biasa.

Takut ia akan dinikahkan, lalu mimpinya untuk tetap menulis sirna. Ia tak mau. Ia tetap berusaha menahannya.

"Bisa kalau ngomong natap orangnya, biar lebih sopan!" seru Gio, tangannya masih menangkup dagu Marsha.

Mata Marsha masih berembun, ia hanya mengangguk saja sebagai jawaban.

Setelah menghela napas, barulah ia mulai bisa berbicara.

"Pertama. Kenapa kamu mau dijodohkan dengan saya? Kedua, saya tidak mau menikah," ketus Marsha menolaknya.

Terus terang saja, Gio benar-benar terkejut mendengarnya. Gadis itu masih menatapnya, tetapi sorot mata teduhnya berubah berubah sayu. Seolah benar-benar menggambarkan kesedihan mendalam.

Kening Gio berkerut setengah tak percaya. Selama ini, tak seorangpun berani menolaknya. Tetapi perempuan di depannya, secara terang-terangan mengatakan tidak.

"Ok, sebelumnya aku minta maaf karena sudah mengusik ketenangan hidup kamu. Sama seperti kamu, aku pun tidak memiliki minat untuk menikah dengan wanita manapun."

Mendengar pengakuan Gio, entah mengapa Marsha seperti terguncang. Tubuhnya nyaris terjatuh jika saja Gio tidak menopang bahunya.

"Lalu kenapa kamu datang?" Marsha meluapkan rasa kecewanya.

Kini, perasaan kesal dan bosan karena sering dijodohkan kepada sang Ayah berubah menjadi rasa kasihan. Ia merasa ayahnya dipermainkan. Tangannya mengepal, menyembunyikan amarah yang nyaris tidak mampu ia kendalikan.

"Sama seperti kamu, aku tidak mau keluargaku kecewa jika aku pulang dengan tangan kosong. Menikah sajalah denganku, setidaknya dengan begitu mereka akan lega. Dan berhenti untuk menjodoh-jodohkan kita lagi. Aku sangat paham apa rasanya menjadi kamu, karena aku juga merasakan hal yang sama."

Marsha menggeleng cepat.

"Tidak, pernikahan itu adalah hal yang sakral. Jangan ada permainan di dalamnya," tolak Marsha.

"Hanya untuk dua tahun, setelahnya... mari kita hidup bebas masing-masing," cetus Giorgio setengah memohon.

Marsha menghela menghela napas berat. Ia belum selesai berdiskusi, tetapi seorang ART berteriak memanggil Marsha.

"Non, Pak Tama pingsan!"

Marsha dan Gio segera berlari. Keduanya bergegas menghampiri Pak Tama, yang ternyata tubuhnya sudah dibaringkan di atas ranjang pribadinya.

Raut wajah lelaki paruh baya yang masih tampan itu tampak lelah, hingga seorang dokter datang memeriksanya.

"Wah, Bapak jangan capek dulu, ya. Jangan banyak pikiran, tekanan darahnya sangat tinggi. Harus istirahat total. Kalau tidak, ya bisa fatal," ungkap seorang dokter keluarga memberikan nasihatnya.

Ada ketegangan di raut wajah Marsha dan Gio, keduanya saling beradu pandang.

Lalu, sebuah keputusan ini pun dibuat. Marsha menyetujui permintaan Gio. Menjalani pernikahan paksaan, dan juga kepura-puraan.

Keduanya mengangguk sebagai isyarat dalam diam. Persetujuan.

Bersambung ....

Bab 3. Seorang Anak yang Merindukan Ibu

Pagi itu, sinar mentari menembus tirai melalui kaca jendela kamar Marsha. Suasana yang tenang setelah semalaman sempat turun hujan, membuat gadis itu malas meninggalkan ranjang empuk miliknya.

Marsha menggeliat, mencoba mengurai otot-otot tubuhnya yang tegang sejak memikirkan ayahnya yang sakit.

"Pagi, Marsha." Suara bariton khas pak Tama terdengar di ambang pintu kamar.

Membuat Marsha terlonjak dan langsung duduk membenarkan posisi tubuhnya.

"Pagi, Pa. Loh kenapa ke sini? Bukannya Papa harus istirahat total? Jangan turun ranjang dong, Pa." Marsha berbicara sembari menarik lengan ayahnya agar duduk di kasur empuk miliknya.

"Papa masih penasaran," ujarnya sambil menghela napas berat.

Kening Marsha berkerut. Ia benar-benar dibuat bingung di oleh sikap Ayahnya.

"Tentang apa?"

"Tentang, bagaimana pembicaraan akhir kalian. Kamu paham 'kan maksud Papa itu apa? Tentang kamu dan Gio?" Wajah Pak Tama berubah pias.

Ketakutan rupanya benar-benar sudah menyelimuti pikiran lelaki setengah baya itu.

"Ok, aku setuju deh sama Papa. Tapi cepet sembuh ya," rayu Marsha.

"Bener? Kamu gak bohong 'kan sama Papa?" Pak Tama kembali mengamati ekspresi putrinya.

Seolah mencari tahu apakah benar Marsha menerimanya, atau sekedar ingin menyenangkan dan malah menutupinya dengan kebohongan lainnya.

"Bener, terserah Papa. Sekarang istirahat ya. Papa kembali ke kamar," bujuk Marsha sambil bangkit dari tempat tidurnya dan mendorong tubuh tua yang masih kekar itu.

Raut wajah Pak Tama seketika berubah riang. Senyuman indah pun melengkung indah menghiasi wajahnya.

"Kalau begitu kapan keluarga Giorgio boleh ke sini untuk meminang kamu?" tanya Pak Tama kembali memastikan.

Mata Marsha terbelalak. Ia tidak menduga ayahnya semenggebu itu ingin dia menikah.

"Kenapa harus buru-buru sih, Pa?" tanya Marsha yang mulai menunjukkan rasa tak suka.

Ya. Ia memang tidak suka diatur hidupnya. Bagi Marsha, ia ingin semuanya mengalir seperti air. Pun begitu dengan perihal jodoh, hidup, dan rezekinya.

Pak Tama kembali menghela napas sebelum akhirnya menjawab.

"Papa ini sudah tua, sakit-sakitan. Anak satu-satunya ya cuma kamu. Terus siapa yang melanjutkan bisnis Papa? Kakak tirimu? Dia sukanya kelayapan gak jelas setiap hari," ungkap pak Tama membuat Marsha benar-benar mendengarkan.

Kini gadis itu mulai mengerti tentang keresahan ayahnya. Ternyata ia sangat takut jika ia mati cepat dan tidak ada yang mengurus atau bahkan menjaga putrinya dengan baik.

Dulu, pertama pak Tama membawa Danu dan ibunya pulang, ia berpikir jika ayahnya akan lupa dan tidak sayang lagi padanya.

Dan kenyataan berkata sebaliknya. Marsha adalah prioritas pertama bagi pak Tama.

Akhirnya, meskipun dengan berat hati, Marsha merelakan hidupnya direnggut kebebasanhya oleh tali pernikahan.

***

Perdebatan singkat dengan pak Tama baru saja selesai, Marsha juga baru selesai melakukan ritual membersihkan diri.

Tetapi ia dibuat terkejut oleh suara dering ponsel miliknya, yang sejak kemarin masih teronggok di atas nakas sebelah ranjangnya.

Ponsel yang nyaris tidak ia sentuh sejak kemarin sore, selepas acara meet and greet bersama para penggemarnya.

Nama Joseph terpampang di layarnya, membuat perempuan berparas cantik itu terlonjak riang. Ya, mereka sempat bertukar nomor ketika acara selesai.

Dan meskipun sopir pribadinya menjemput, ternyata Marsha justru memilih diantar langsung oleh Joseph kala itu.

"Halo, Pak Joseph. Lagi gak sibuk kah?" tanya sekaligus sapa Marsha pada seseorang di seberang telepon.

"Loh 'kan kemarin sudah janji. Kalau saya mau ajak kamu kenalan sama seseorang," tandasnya, membuat kening Marsha berkerut jadinya.

"Seseorang? Siapa?" tanya Marsha mendesaknya.

"Nanti kamu pasti tahu sendiri, aku sudah di halaman rumah kamu. Cepat keluar ya," terang Joseph membuat Marsha terkejut, lalu menutup sambungan telepon itu secara sepihak.

Ia langsung meraih hand bag miliknya lalu berlari. Bagaimana tidak, Marsha baru saja berjanji pada sang ayah jika ia menerima pinangan Gio, bagaimana jadinya jika ayahnya tahu ada pria lain yang sedang menjemputnya dan menunggu di halaman.

Marsha benar-benar merutuki kesalahannya sendiri yang begitu ceroboh mengambil keputusan.

Beberapa menit kemudian, Marsha sudah sampai di halaman rumahnya. Halaman super luas dengan taman bunga dan beberapa gazebo di sana.

Ia baru saja menata napasnya yang masih terengah-engah karena berlari, tapi sudah harus masuk ke dalam mobil karena Joseph sudah membukakan pintu untuknya.

Sementara itu, Danu yang merupakan kakak tirinya melihat Marsha dengan tatapan tidak suka. Memperhatikan Joseph dari ujung rambut hingga ke kaki.

Tentu saja hal itu membuat pria berpostur tegap itu tak nyaman dibuatnya.

Marsha menghela napas berat.

"Ayo, cepat masuk. Dia kakak tiriku. Gak penting merhatiin dia, orangnya suka ngadu ke Papa," cetus Marsha.

Rasa penasaran seketika melintas di benak Joseph, tapi ... ya sudahlah. Akhirnya ia memilih untuk melajukan mobilnya meninggalkan tempat.

"Mau ke mana sih, Pak Joseph?" tanya Marsha penasaran.

Gadis itu bahkan terus memandangi raut waja Joseph yang pandangannya fokus memperhatikan lalu lalang jalanan yang ramai.

"Jadi gini, tapi kamu jangan kaget ya. Aku ini sebenarnya seorang duda, punya anak satu, usia lima tahun. Dan aku janji mau temuin dia sama mamanya," jelas Joseph membuat Marsha ternganga.

"Duda? Mau temuin si anak dengan mamanya? Lah kok ajak saya, Pak?" Marsha bertanya dengan raut terkejut sekaligus bingung.

"Panggil saya Ios aja bisa engga, atau Joseph. Jangan, Pak. Saya masih usia tiga puluh, belum tua banget loh Sya." Joseph berbicara sambil memasang ekspresi kesal di wajahnya.

"Iya, sebenarnya mau aku panggil Jo. Tapi takut sama dengan sopir saya," celetuknya sambil terkekeh.

Candanya sungguh membuat candu. Ekspresi yang apa adanya tanpa dibuat-buat semakin membuat Joseph menyukainya.

"Mama ankku sudah di surga. Dia meninggal sejak kelahiran Steven. Kamu gakpapa 'kan kalau sedikit akting?"

Mendengar pengakuan Joseph, senyuman yang sempat menghiasi wajah cantik itu langsung memudar, bahkan hilang.

"Sebenarnya saya paling gak suka dengan kebohongan, tapi berbohong demi kebaikan ... entah. Saya akan melakukan yang terbaik yang saya bisa," ungkap Marsha.

Akhirnya, setelah mendengar langsung dari bibir Marsha Joseph bisa sedikit lega.

Ia menghela napas dalam, lalu mengembuskannya. Berulang kali ia melakukan hal yang sama, ketika mobil yang ia tumpangi telah terparkir di halaman sekolah taman kanak-kanak.

Suasana di sana sangat ramai, banyak anak kecilnya yang sedang berlarian menghampiri orang tua mereka.

Joseph berjalan mengitar, lalu membukakan pintu mobil untuk Marsha.

Untuk pertama kalinya, hati gadis cantik itu diketuk oleh kehadiran seorang anak balita. Steven namanya.

Bocah yang nyaris tak pernah senyum, tapi hari ini ia berlari riang ke arah Marsha. Gadis itu terkejut ketika Steven langsung berlari ke arahnya dan memeluk kedua kaki jenjangnya.

Marsha langsung duduk berjongkok, dan merentangkan kedua tangannya membalas pelukan anak itu.

"Mama, benarkah kau mamaku. Kau sangat cantik, lebih cantik dari foto yang ditunjukkan oleh Papaku," cetusnya dengan raut polos.

Marsha bingung, bagaimana sekarang ia harus membagi waktu dan sikap antara untuk kehidupannya sendiri, dan juga untuk bocah kecil di hadapannya yang malang karena selalu merindukan sosok ibu.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!