Pagi yang cerah menyelimuti rumah besar keluarga Bram. Seperti biasa, Jessy sudah sibuk di dapur sejak subuh, menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Tangannya lincah mengolah bahan makanan, aroma harum masakan menyebar ke seluruh rumah. Dengan telaten, ia memasak berbagai hidangan favorit keluarganya, memastikan semuanya sempurna.
Setelah selesai, ia menyajikan makanan di meja makan dengan penuh kasih. Melihat semua sudah rapi, Jessy melangkah menuju kamar untuk memanggil suaminya.
"Sayang..." panggilnya lembut dari balik pintu kamar.
Di dalam, Bram tampak sibuk dengan ponselnya. Saat mendengar suara Jessy, ia segera mematikan telepon dan menyimpan ponselnya di meja samping tempat tidur. Sudah beberapa hari terakhir, Bram sering terlihat sibuk dengan ponselnya.
"Siapa yang menelepon?" tanya Jessy penasaran.
Bram melirik sekilas ke arah istrinya, lalu tersenyum kecil. "Orang kantor. Mereka tanya soal kerjaan," jawabnya santai.
Jessy mengangguk pelan, meski hatinya mengatakan ada yang janggal. Namun, ia memilih diam dan tersenyum, kemudian berkata, "Ayo turun, sarapan sudah siap."
Bram bangkit, merapikan pakaiannya, lalu berjalan keluar kamar. Jessy, seperti kebiasaannya, dengan sigap mengambil tas kerja dan jas suaminya, lalu mengikutinya dari belakang.
Saat mereka tiba di ruang makan, ibu mertua Jessy, Ella, dengan wajah datar dan sinis. Sementara adik iparnya, Molly, sudah lebih dulu duduk di meja makan dan dengan santainya Molly menikmati hidangan tanpa memedulikan siapa yang telah memasaknya.
"Kalian sudah datang?" sapa Ella tanpa menoleh ke arah menantunya.
"Iya, ma." Bram membalas ucapan sang ibu.
Jessy hanya tersenyum tipis, kemudian duduk di samping Bram. Ia menyendokkan nasi dan lauk ke piring suaminya dengan penuh perhatian.
Namun, suasana damai itu segera terusik oleh suara sinis Ella. "Kalian ini kapan punya anak? Kenapa lama sekali? Mama ingin punya cucu laki-laki!"
Jessy terdiam, tangannya yang sedang menyendok nasi seketika berhenti. Ia menunduk, mencoba menahan perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak di hatinya.
Sementara itu, Bram, yang melihat perubahan ekspresi istrinya, mencoba menenangkan, dan tersenyum canggung. "Sabar, Ma. Ini juga lagi proses."
"Proses, proses! Proses terus! Jangan-jangan Jessy itu mandul!" tukas Ella tajam karena tak puas dengan jawaban Bram.
Jessy menundukkan kepala, hatinya mencelos. Ia sudah sering mendengar sindiran seperti ini, tetapi tetap saja menyakitkan. Jessy mencoba menahan air matanya dengan menggigit bibir bawahnya.
Bram yang melihat istrinya terdiam, menghela nafas panjang.
"Bu, sudahlah. Jangan bahas ini terus. Kita sarapan dulu," ujar Bram berusaha meredakan suasana, meski terdengar lebih seperti permintaan setengah hati.
Meskipun begitu, raut wajah Ella tetap masam. Jessy berusaha menahan perasaan dan melanjutkan makan, walaupun selera makannya sudah lenyap. Bagi Jessy, makanan yang tadi ia masak dengan penuh kasih kini terasa hambar di mulutnya.
Di sela-sela sarapan, Molly yang sibuk dengan ponselnya tiba-tiba menoleh ke arah Jessy. "Kak Jessy, sepatu mahal aku yang kemarin, sudah kakak cuci, kan?"
Jessy menelan ludah sebelum menjawab. "Sudah, ada di rak sepatu tempat biasanya."
"Baiklah," balas Molly singkat, lalu kembali menyantap sarapannya tanpa sepatah kata terima kasih pun.
Jessy hanya bisa tersenyum miris. Sudah lima tahun menikah dengan Bram, dan selama itu pula ia mengabdi pada keluarga ini tanpa sedikit pun dihargai.
Jessy sudah terbiasa dengan sikap mereka, ia hanyalah seorang pelayan bagi mereka, bukan menantu atau kakak ipar yang dihormati.
Ia menahan perasaan sakitnya, karena ia masih masih mencintai suami nya, ia harus lebih bersabar menghadapi keluarga Bram, mungkin suatu hari mereka akan berubah.
"Sabar Jessy, mereka hanya kecewa karena kamu belum memberikan cucu pada mereka. Kamu pasti kuat, kamu adalah wanita hebat." ucap Jessy dalam hati.
Setelah semua telah selesai sarapan, Jessy telah siap berangkat bersama Bram.
"Aku berangkat, Jes." ucap Bram berpamitan kepada Jessy.
"Iya, hati-hati." jawab Jessy dengan tersenyum dan memberikan tas kerja suaminya.
"Ma.. Bram berangkat." pamitnya kepada sang ibu, Ella.
"Iya, hati-hatilah." jawab Ella sambil tersenyum kepada sang anak.
Molly juga berpamitan kepada sang mama, tapi tidak kepada kakak iparnya. Begitulah sikap adik ipar Jessy, yang tak pernah menghargainya. Jessy hanya bisa menghela nafas.
Ella langsung pergi tanpa memperdulikan menantunya ini. Jessy hanya bisa menatap punggung ibu mertuanya yang telah jauh sama menghilang dibalik pintu kamarnya.
semua anggota keluarga sudah pergi—Bram ke kantor, Molly ke sekolah—Jessy mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah besar ini selalu bersih berkat dirinya, namun tak ada satu pun yang mengakui usahanya
Sore menjelang malam, Jessy duduk di ruang tamu, menunggu kepulangan suaminya. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Bram belum juga pulang. Ia menggigit bibirnya cemas. Sebenarnya, ni bukan pertama kalinya Bram pulang larut malam.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar di halaman. Jessy segera bangkit dan membuka pintu.
Bram masuk dengan wajah lelah. Ia melepas dasinya dengan asal sambil menghela napas panjang.
"Sayang, kenapa kau pulang sangat malam?" tanyanya dengan nada khawatir.
Bram meregangkan bahunya dan menjawab malas, "Aku lembur. Capek banget."
Jessy mengambil tas dan jas suaminya. Tak lupa, ia menyiapkan segelas air untuk Bram.
"Terima kasih, Sayang," ujar Bram sambil meneguk airnya.
Mereka berjalan menuju kamar. Di sana, Jessy duduk di tepi ranjang, memperhatikan suaminya dengan tatapan penuh selidik. Ada sesuatu yang berbeda. Matanya lelah, tapi bukan hanya karena pekerjaan.
Jessy menggigit bibirnya, mencoba menata kata-kata yang sejak lama mengganggu pikirannya.
"Sayang, akhir-akhir ini kau sering lembur. Jangan-jangan kau..." kalimatnya terhenti.
Bram langsung menatapnya tajam. "Jangan apa? Kamu jangan kebanyakan pikiran. Aku ini kerja! Jangan bikin aku bete. Aku capek pulang kerja, bukannya disambut malah dituduh-tuduh."
Jessy terkejut dengan reaksi suaminya. Ia hanya ingin bertanya, bukan menuduh.
"Aku hanya bertanya baik-baik, kenapa kamu berpikiran macam-macam?" Jessy berusaha tetap tenang.
Bram mendengus kesal. "Daripada kamu terus-terusan nuduh nggak jelas, lebih baik buatkan aku air hangat. Aku mau mandi. Pusing aku pulang kerja malah dituduh macam-macam."
Tanpa membantah, Jessy segera berjalan ke kamar mandi dan mulai mengisi bathtub dengan air hangat. Saat ia kembali ke kamar, Bram baru saja selesai menelpon seseorang.
Jessy menatapnya curiga.
"Siapa yang menelpon?" tanyanya pelan.
Bram terlihat sedikit gugup, tapi dengan cepat menjawab, "Orang kantor."
Jessy memiringkan kepalanya, matanya menyipit. "Kenapa setiap malam mereka menelpon? Padahal baru saja kau pulang dan bertemu mereka di kantor."
Bram mendengus kasar. "Sudahlah, jangan bahas ini terus. Aku capek. Jangan omeli aku!"
Setelah berkata begitu, Bram langsung berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Jessy yang masih berdiri di tempatnya.
Jessy menarik napas panjang. Ada yang tidak beres. Ia bisa merasakannya. Tapi seperti lima tahun terakhir, ia hanya bisa diam, menelan kecurigaan dan rasa sakitnya Seorang diri.
Namun, ia masih menepis keraguan itu. Ia masih ingin percaya pada suaminya.
Pagi itu, seperti biasa, Jessy sibuk dengan aktivitas rumah tangganya. Ia sudah terbiasa bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dapur dipenuhi aroma masakan yang lezat. Ia dengan cekatan menyiapkan sarapan, memastikan semuanya tersaji dengan rapi di meja makan sebelum akhirnya beralih ke pekerjaan rumah lainnya.
Setelah memastikan rumah dalam keadaan bersih dan rapi, ia kembali ke kamar untuk mempersiapkan suaminya yang hampir selesai berpakaian.
Saat melihat dasi Bram sedikit miring, Jessy tanpa berpikir panjang langsung mendekat dan merapikannya dengan lembut.
"Sayang, aku nanti mau pergi ke rumah Chika, boleh kan?" tanyanya sambil tersenyum penuh harap.
Bram, yang sedang merapikan jam tangannya, hanya melirik sekilas sebelum mengangguk.
"Boleh. Gak apa-apa, tapi bereskan rumah dulu. Nanti Mama ngomel," jawabnya tanpa benar-benar memperhatikan istrinya.
Jessy mengangguk, sudah bisa menebak jawaban itu. Bram memang selalu mengizinkannya, tapi tetap dengan syarat—dan biasanya syarat itu berkaitan dengan ibunya, Ella.
Setelah mengantar Bram keluar rumah dan memastikan ia berangkat ke kantor, Jessy kembali sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ia menyapu, mengepel, mencuci piring, merapikan kamar, hingga mencuci pakaian. Semua ia lakukan tanpa keluhan, meski tubuhnya lelah.
Setelah semua pekerjaan rumah beres, Jessy akhirnya bisa mengganti pakaiannya menjadi lebih santai. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana panjang yang nyaman. Rambutnya dikuncir kuda, tampak segar dan rapi. Ia tersenyum kecil di depan cermin, senang karena akhirnya bisa keluar rumah setelah sekian lama hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga.
Namun, saat ia melangkah ke ruang tamu, suara tegas ibu mertuanya membuat langkahnya terhenti.
"Kau mau ke mana?" suara Ella terdengar tajam, penuh interogasi.
Jessy berbalik dan menatap ibu mertuanya dengan sopan. "Mau ke rumah Chika, Ma."
Ella menyipitkan mata, seperti sedang menilai apakah menantunya berkata jujur atau tidak. "Apakah rumah sudah dibersihkan?" tanyanya tanpa basa-basi.
Jessy mengangguk cepat. "Sudah, Ma. Ini juga baru selesai dan mau pergi. Tadi pagi sudah minta izin ke Mas Bram."
Ella menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. "Baiklah, tapi jangan sampai sore. Makan siang tak ada yang memasak."
Jessy mengepalkan tangannya di balik tubuhnya, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
"Baik, Ma," jawabnya pelan, sebelum akhirnya melangkah keluar rumah.
Setelah itu, ia segera keluar rumah sebelum ada alasan lain yang bisa membuatnya tertahan lebih lama.
Baru saja beberapa menit lalu ia merasa senang karena akhirnya bisa keluar, tapi satu kalimat dari ibu mertuanya langsung membuatnya merasa bersalah. Seolah ia tak berhak menikmati waktu untuk dirinya sendiri.
Namun, ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu. Hari ini aku akan menikmati waktuku, walaupun hanya sebentar.
Dengan langkah cepat, ia pun berjalan menuju rumah sahabatnya, Chika, tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri.
Saat Jessy tiba di rumah Chika, sahabatnya, perasaan lega mulai menyelimuti hatinya. Rumah Chika kecil namun hangat, sangat berbeda dari rumah besar tempat Jessy tinggal yang dingin dan penuh tekanan.
Chika tersenyum lebar saat melihat sahabatnya. "Jessy! Akhirnya kamu bisa keluar juga! Aku kira kamu bakal dibatalkan lagi sama ibu mertua galakmu itu."
Jessy tertawa kecil, meski ada kesedihan di balik tawanya. "Nyaris. Aku hampir ditahan, tapi untungnya aku sudah beresin semuanya."
Chika menggeleng-geleng sambil menghela napas. "Aku masih heran, kenapa kamu masih bisa bertahan di rumah itu?"
Jessy hanya tersenyum tipis. "Sudahlah, aku sudah terbiasa."
Chika memegang tangan Jessy, menatapnya penuh perhatian. "Terbiasa bukan berarti harus bertahan dalam keadaan yang menyakitkan, Jessy. Kamu itu punya banyak kemampuan, kamu bisa hidup lebih baik kalau kamu mau."
Jessy mengalihkan pandangannya. Ia tahu Chika benar, tapi untuk saat ini, ia hanya bisa bertahan.
"Ayo kita ngobrol di dalam. Aku sudah buatkan teh favoritmu," ajak Chika, mencoba mencerahkan suasana.
Jessy mengangguk dan mengikuti sahabatnya masuk ke dalam rumah, menikmati momen langka di mana ia bisa merasa dihargai dan bebas, meski hanya untuk beberapa jam.
Saat duduk di ruang tamu rumah Chika, Jessy merasa lebih rileks. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa sambil menikmati secangkir teh hangat yang disajikan sahabatnya.
Chika duduk di sampingnya, menatapnya dengan serius. "Jessy, sampai kapan kamu terus mentolerir semua perlakuan keluarga suamimu? Aku tahu kamu sabar, tapi bukankah kesabaran juga ada batasnya?"
Jessy tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Chika."
Chika mendengus. "Baik-baik saja apanya? Aku tahu bagaimana keadaanmu. Kamu bekerja dari pagi sampai malam, tidak pernah benar-benar punya waktu untuk diri sendiri. Kamu bahkan harus meminta izin hanya untuk sekadar keluar sebentar. Itu bukan kehidupan yang seharusnya kamu jalani, Jess."
Jessy menunduk, memainkan ujung cangkirnya. Ia tahu Chika benar, tapi ia juga tahu tidak semudah itu mengubah keadaan.
Chika menghela napas sebelum melanjutkan, "Kapan kamu akan kembali bekerja? Banyak klien yang menunggu jasamu. Kamu berbakat, Jessy. Jangan sia-siakan itu."
Jessy terdiam sesaat sebelum menjawab pelan, "Tunggu beberapa tahun lagi, ya, Chika. Aku masih berusaha."
Chika menatapnya penuh rasa tidak percaya. "Beberapa tahun lagi? Jessy, kamu bisa mulai sekarang! Kamu tidak harus terjebak dalam peran ini seumur hidupmu."
Jessy menggeleng pelan. "Aku belum siap. Aku masih mencoba menyeimbangkan semuanya."
Chika menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tapi ia tahu sahabatnya butuh waktu. "Baiklah, tapi janji, suatu hari nanti kamu harus kembali pada dirimu yang dulu."
Jessy tersenyum kecil. "Aku janji."
Setelah berbicara selama beberapa jam, Jessy akhirnya melirik jam di dinding dan menyadari bahwa waktu sudah berlalu begitu cepat. Ia menghela napas pelan, enggan beranjak dari tempat yang membuatnya merasa nyaman, tapi ia tahu ia harus pulang sebelum Ella mulai mengomel.
"Aku harus pulang, Chika," ujar Jessy sambil meletakkan cangkir teh kosong di meja.
Chika menatapnya dengan khawatir. "Baru sebentar rasanya. Kamu yakin nggak mau tinggal lebih lama?"
Jessy tersenyum kecil. "Aku ingin, tapi kalau aku pulang terlambat, nanti Mama mertua akan marah lagi."
Chika mendecak kesal. "Kenapa sih kamu selalu takut dimarahi? Jess, kamu itu menantu, bukan pembantu."
Jessy hanya tersenyum, memilih tidak membalas. Ia sudah terlalu lelah untuk membahas hal itu lagi.
Chika mendekat dan menggenggam tangan Jessy erat. "Kapan pun kamu butuh tempat untuk lari sebentar dari semua tekanan itu, kamu tahu aku selalu ada buat kamu, kan?"
Jessy mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. "Terima kasih, Chika. Aku bersyukur punya sahabat sepertimu."
Setelah berpamitan, Jessy pun melangkah keluar rumah Chika. Udara sore yang sejuk menyambutnya, tapi hatinya terasa sedikit berat. Ia tahu begitu sampai di rumah, ia harus kembali menjalani rutinitas yang sama—menjadi istri yang patuh dan menantu yang selalu tunduk.
Namun, di dalam hatinya, kata-kata Chika terus terngiang. Terbiasa bukan berarti harus bertahan.
Mungkin, suatu hari nanti, ia akan punya keberanian untuk mengubah hidupnya.
Begitu Jessy membuka pintu rumah, suara tajam langsung menyambutnya.
"Kemana saja kau? Sudah jam berapa ini?! Aku sudah lapar, dan makan siang belum juga dimasak!" suara Ella menggema di ruang tamu.
Jessy menelan ludah, menundukkan kepalanya sambil melepas sepatu. "Maaf, Ma, tadi keasyikan ngobrol dengan Chika. Aku akan segera masak."
Ella mendengus kesal. "Selalu saja alasan! Kau pikir rumah ini tempat kau keluar masuk sesuka hati?! Aku ini sudah tua, tak bisa menahan lapar terlalu lama!"
Jessy mengangguk patuh. "Ma, aku langsung ke dapur sekarang," ujarnya lembut, mencoba menahan perasaan yang mulai berkecamuk.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung berjalan menuju dapur dan mulai menyiapkan makan siang dengan cepat. Tangannya bergerak lincah, tapi pikirannya masih tertinggal di rumah Chika. Kata-kata sahabatnya kembali terngiang di benaknya. Kenapa kamu selalu menoleransi semuanya? Kamu itu bukan pembantu!
Namun, apa yang bisa ia lakukan? Untuk saat ini, ia hanya bisa bertahan.
Setelah 30 menit memasak, Jessy akhirnya selesai menyiapkan makan siang. Ia membawa piring-piring berisi lauk ke meja makan, di mana Ella sudah duduk menunggu dengan wajah masam.
Tanpa berkata apa-apa, Jessy meletakkan makanan di hadapan ibu mertuanya, lalu menarik kursi hendak duduk. Namun, belum sempat ia benar-benar duduk, suara tajam kembali menghentikannya.
"Kau ini bagaimana sih, Jessy? Baru dari luar, terus masak, sekarang mau makan dalam keadaan bau bawang seperti itu? Jijik sekali! Sana mandi dulu!" suara Ella penuh ketidaksabaran.
Jessy terdiam sesaat, meremas rok yang ia kenakan. Kenapa selalu ada saja yang salah di matanya?
Tanpa membantah, ia berdiri kembali dan mengangguk. "Baik, Ma," jawabnya pelan, lalu beranjak menuju kamar mandi.
Saat air mulai mengalir membasahi tubuhnya, Jessy menutup matanya sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyergap dadanya.
Begitu Jessy sampai di kamar mandi, tangannya gemetar saat menutup pintu. Tanpa menunggu lebih lama, ia menyalakan keran, membiarkan air mengalir deras, menenggelamkan suara isak tangis yang selama ini ia tahan.
Air mata yang sejak tadi dipendam akhirnya jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Dadanya naik turun, napasnya tersengal di tengah rasa sakit yang terus menghimpit.
Kenapa... Kenapa aku harus hidup seperti ini?
Tangannya menekan dadanya yang terasa sesak. Ia menggigit bibirnya, mencoba meredam suara tangisnya, tapi sia-sia. Air mata semakin deras, bercampur dengan air yang mengalir di wajahnya.
"Kenapa aku selalu salah di matanya...?" suaranya lirih, bergetar, seolah tercekik oleh kesedihan yang semakin menumpuk.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Mata sembab, wajah pucat, bibir bergetar—ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.
"Dulu aku punya mimpi... Aku punya kebebasan... Aku punya harga diri... Sekarang? Aku bahkan tidak bisa makan dengan tenang di rumahku sendiri..."
Kakinya melemas, tubuhnya jatuh terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Ia mendekap tubuhnya sendiri, berusaha mencari kehangatan di tengah perasaan hampa yang semakin menelan dirinya.
"Aku lelah..." ucapnya hampir tanpa suara. "Aku ingin berhenti... Aku ingin pergi..."
Air masih terus mengalir dari keran, menciptakan suara gemuruh yang samar-samar menutupi tangisannya. Tapi di dalam hatinya, suara kesedihan dan keputusasaan itu justru semakin lantang.
Setelah tangisnya reda, Jessy berdiri dan mengusap wajahnya yang masih basah dengan telapak tangan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melepas pakaian yang sudah basah karena air mata dan mandi.
Air hangat yang mengalir dari pancuran sedikit membantu meredakan ketegangan di tubuhnya, tapi tidak dengan hatinya. Hatinya masih terasa sesak. Namun, ia tidak punya pilihan lain selain menahannya. Seperti biasa.
Setelah selesai mandi, ia mengenakan pakaian santai sederhana. Hanya kaos longgar dan celana kain yang sudah lama. Ia memang jarang membeli pakaian baru. Baginya, uang dari Bram lebih baik ditabung daripada digunakan untuk sesuatu yang tidak terlalu penting seperti baju.
Dengan langkah lelah, ia berjalan menuju meja makan, berharap bisa mengisi perutnya yang sudah sejak tadi kosong. Namun, saat ia baru hendak menarik kursi, suara tajam menghentikannya.
"Kak Jessy, kamu ngapain di sini?" suara itu berasal dari adik iparnya, Molly, yang duduk di meja makan bersama seorang temannya.
Jessy menatap mereka sejenak. "Aku mau makan," jawabnya pelan, berusaha tetap sopan.
Namun, Molly malah mendengus sinis. "Makan di sini? Jangan bikin selera makan kami hilang, deh."
Jessy tertegun, tapi ia tidak langsung menanggapi. Perutnya sudah terlalu lapar, dan ia hanya ingin makan dengan tenang.
Teman Molly, seorang gadis muda berambut panjang dan berpakaian modis, ikut berbicara. "Siapa sih dia? Berani banget mau makan di sini?" tanyanya dengan nada mengejek.
Molly tertawa kecil. "Dia itu kakak iparku."
Mata temannya membesar sebelum akhirnya ia ikut tertawa keras. "Serius? Kakak iparmu? Astaga, kenapa kakakmu punya istri seperti ini? Dekil banget!"
Jessy merasakan hatinya mencelos mendengar hinaan itu. Tangannya mengepal di bawah meja, tapi ia tetap diam. Ia tidak akan membiarkan mereka melihat dirinya lemah.
Selama ini, ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Sejak ayah mertuanya meninggal setahun setelah pernikahannya dengan Bram, rumah ini berubah menjadi tempat yang dingin dan penuh tekanan. Ibu mertuanya semakin galak, adik iparnya semakin semena-mena, dan posisinya di rumah ini semakin tidak dianggap.
Terlebih lagi, ia dan Bram belum dikaruniai seorang anak. Itu membuatnya semakin dipandang rendah oleh keluarga suaminya.
Namun, meski semua orang memperlakukannya seperti ini, Jessy tetap bertahan.
Selama Bram masih menyayanginya, ia akan bertahan.
Selama Bram masih ada di sisinya, ia percaya semuanya hanya masalah waktu. Suatu hari, mereka pasti akan menerimanya kembali.
Bukankah begitu...?
"Kak Jessy, kenapa masih di sini? Sana pergi!" bentak Molly, adik iparnya yang melihat Jessy bengong sendiri di depannya.
Jessy menunduk, menahan sakit di hatinya. Ia mengepalkan tangan di balik tubuhnya, mencoba menelan hinaan itu seperti yang selalu ia lakukan.
Namun, saat matanya melirik ke meja makan, ia tersentak.
Piring-piring sudah kosong. Makanan yang tadi ia masak dengan susah payah telah habis.
Tidak tersisa untuknya.
Napasnya tercekat, tapi ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan mereka. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan melangkah pergi.
Sesampainya di kamar, ia menutup pintu dan bersandar di belakangnya, menarik napas panjang untuk meredam emosinya.
Tangannya meraih ponsel di atas meja. Ia mengetik pesan untuk suaminya.
"Mas, kalau pulang nanti, bisa bawakan aku makan?"
Jessy menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk.
"Baik, sayang."
Itu saja balasan Bram. Singkat, tanpa pertanyaan lebih lanjut, tanpa menanyakan apakah ia baik-baik saja atau kenapa ia belum makan.
Jessy tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip kepasrahan daripada kebahagiaan.
Setidaknya Bram masih peduli… meskipun hanya sebatas membawakan makanan.
Ia meletakkan ponselnya di samping bantal dan menarik napas dalam-dalam. Perutnya yang kosong mulai perih, tapi ia sudah terbiasa dengan rasa lapar. Yang lebih menyakitkan adalah perasaan diabaikan di rumah ini.
Dengan lelah, ia merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!