NovelToon NovelToon

Bayang-bayang Rindu

Pesan dari Masa lalu

Arka berdiri di tepi jendela kamar hotelnya, menatap bulan penuh yang menggantung di langit. Kota di bawahnya berkilauan dengan cahaya, tapi hatinya terasa kosong. Sudah dua tahun sejak terakhir kali ia melihat Alya, dan meskipun ia berusaha melupakan, kenangan itu tetap membayanginya.
Malam itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Alya: "Arka... Apakah kau juga masih melihat bulan yang sama denganku?"
Jari-jarinya kaku. Nama yang selama ini ia coba hindari kembali muncul di layar ponselnya.
Arka: "Aku selalu melihatnya, Alya. Tapi kau tak lagi ada di sampingku."
Alya sedang mengetik...
_
_
_
_
_
_
Alya
Alya
"Aku tak pernah benar-benar pergi, Arka. Aku hanya menjauh, karena kau menginginkannya."
Arka menghela napas. Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan.
Arka
Arka
"Bukan itu yang kuinginkan."
Alya
Alya
"Lalu apa yang kau inginkan?"
Ia menatap layar lama. Jawaban apa yang harus ia berikan? Dulu, ia sendiri yang mengakhiri segalanya. Ia yang memilih pergi, berpikir itu adalah keputusan terbaik. Tapi kini, melihat Alya kembali, hatinya bergetar.
Arka
Arka
"Aku pikir aku bisa melupakanmu, tapi nyatanya aku masih terjebak di tempat yang sama."
Alya
Alya
"Kau bukan satu-satunya, Arka."
Dada Arka semakin sesak. Kenapa Alya mengatakan itu? Apakah ia juga masih merasakan hal yang sama?
Arka
Arka
"Di mana kau sekarang?"
Alya
Alya
"Di tempat terakhir kita bertemu."
Arka tercekat. Ia masih ingat hari itu. Hujan turun deras, suara Alya bergetar saat ia berkata, "Aku mencintaimu, Arka. Tapi aku lelah berjuang sendirian." Dan dengan bodohnya, ia memilih diam.
Tanpa pikir panjang, ia meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar. —
Setengah jam kemudian, Arka tiba di depan kafe itu. Napasnya memburu. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok yang sudah lama ia rindukan.
Dan saat akhirnya ia melihat Alya, dunia seakan berhenti berputar.
Ia masih sama seperti yang ia ingat—lembut, anggun, tapi ada sesuatu di matanya yang berbeda. Lebih dingin. Lebih jauh.
Tapi sebelum Arka bisa melangkah mendekat, seorang pria datang dari arah lain, langsung merangkul bahu Alya dengan akrab.
Arka tertegun. Dadanya terasa dihantam batu besar.
Alya menoleh, dan saat tatapan mereka bertemu, seutas senyum tipis terukir di bibirnya.
Bukan senyum yang hangat seperti dulu.
Bukan senyum yang menandakan rindu.
Tapi senyum yang seolah berkata, "Kau terlambat, Arka."
_
_
_
_
_
_
Bersambung....

Antara Kenangan dan Kenyataan

Arka berdiri membeku di tempatnya. Seolah dunia di sekitarnya menjadi hening, hanya tersisa denyut sakit di dadanya. Pria itu—siapa pun dia—dengan santai merangkul Alya, sementara wanita itu tetap menatapnya dengan sorot mata yang sulit ia baca.
Arka ingin melangkah maju, ingin bertanya, ingin memastikan bahwa Alya benar-benar ada di hadapannya dan bukan sekadar ilusi dari kerinduannya yang panjang. Namun, langkahnya terasa berat.
Alya akhirnya mengalihkan pandangan. Ia berbisik sesuatu pada pria di sampingnya, lalu pelan-pelan melangkah mendekat ke arah Arka.
Alya
Alya
"Kau datang."
Suara itu masih sama. Lembut, tenang, tapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ada jarak yang tak bisa lagi dijembatani.
Arka
Arka
"Kau yang memintaku datang."
Alya tersenyum tipis.
Alya
Alya
"Aku hanya ingin tahu apakah kau masih akan datang untukku
Arka mengernyit.
Arka
Arka
"Dan jika aku tidak datang?"
Alya menghela napas, lalu melirik ke arah pria yang masih berdiri di dekat pintu kafe.
Alya
Alya
"Mungkin itu akan lebih mudah bagiku."
Dada Arka kembali sesak
Arka
Arka
"Siapa dia?"
Alya terdiam sejenak sebelum menjawab.
Alya
Alya
"Namanya Rendra."
Nama itu asing di telinga Arka. Tapi cara Alya mengatakannya—dengan ketenangan yang sama seperti dulu saat menyebut namanya—membuat hatinya mencelos.
Arka
Arka
"Kekasihmu?"
Alya tidak langsung menjawab.
Alya
Alya
"Dia seseorang yang menemani hari-hariku belakangan ini."
Jawaban itu seharusnya cukup untuk membuat Arka mundur. Tapi ada sesuatu dalam sorot mata Alya yang membuatnya bertanya lagi.
Arka
Arka
"Apakah kau bahagia bersamanya?"
Alya menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum.
Alya
Alya
"Arka… jangan tanyakan sesuatu yang jawabannya mungkin tidak ingin kau dengar."
Arka mengepalkan tangannya.
Arka
Arka
"Aku hanya ingin tahu kebenaran."
Alya menatapnya, lalu berkata pelan,
Alya
Alya
"Kebenaran tidak selalu membuat segalanya lebih baik, kan?"
Arka terdiam. Dadanya bergemuruh dengan berbagai emosi—penyesalan, marah pada dirinya sendiri, dan rindu yang terus menggerogoti.
Tiba-tiba, ponsel Alya bergetar. Ia melirik layarnya, lalu menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Alya
Alya
"Aku harus pergi."
Arka ingin menahannya, ingin mengatakan sesuatu yang bisa mengubah keadaan. Tapi apa? Ia bahkan tidak tahu apa yang bisa diperjuangkan lagi.
Saat Alya berbalik dan berjalan ke arah Rendra, Arka hanya bisa menatap punggungnya. Kali ini, ia sadar… mungkin ia benar-benar terlambat.
Namun, sebelum Alya benar-benar pergi, ia sempat berhenti sejenak, menoleh, dan berkata dengan suara pelan,
Alya
Alya
"Ada hal yang ingin kukatakan padamu… tapi tidak di sini. Tidak sekarang."
Dan dengan itu, ia melangkah pergi.
Arka hanya bisa berdiri di tempatnya, menatap Alya yang semakin menjauh.
Di antara keramaian kota, ia kembali sendiri—ditemani bayang-bayang rindu yang tak pernah benar-benar pergi.
_
_
_
_
_
_
Bersambung......

Kata yang Tak Pernah Terucap

Arka duduk di bangku taman dengan kepala tertunduk. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, tapi semuanya terasa buram di matanya. Bayangan pertemuannya dengan Alya terus berulang di benaknya, seolah ada sesuatu yang tertinggal—sesuatu yang tak tersampaikan.
Ponselnya tergeletak di sampingnya. Beberapa kali ia tergoda untuk mengirim pesan, menanyakan apa yang sebenarnya ingin Alya katakan tadi. Tapi ia ragu.
Apakah ia masih memiliki hak untuk bertanya?
Tiba-tiba, layar ponselnya menyala. Sebuah pesan masuk.
Alya
Alya
Bisa bertemu besok? Aku ingin bicara.
Jantung Arka berdegup lebih kencang.
Tanpa berpikir lama, ia mengetik balasan
Arka
Arka
Di mana?
Alya
Alya
Tempat biasa. Pukul tujuh malam.
Tempat biasa. Itu berarti kafe kecil di pinggir kota, tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu berdua. Tempat yang dipenuhi kenangan.
Arka menggenggam ponselnya erat. Ia tahu besok akan menjadi malam yang penting. Namun, ia juga sadar… mungkin ia tidak akan siap mendengar apa pun yang Alya ingin katakan.
_
_
_
_
Keesokan harinya, Arka tiba lebih awal.
Ia memilih duduk di meja paling sudut, jauh dari pandangan orang-orang. Satu cangkir kopi tersaji di depannya, tapi ia bahkan belum menyentuhnya.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Lalu, suara langkah seseorang mendekat.
Alya
Wanita itu masih sama—anggun dalam kesederhanaannya. Tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak lagi sama.
Alya duduk di hadapannya, tersenyum tipis.
Alya
Alya
"Terima kasih sudah datang."
Arka mengangguk.
Arka
Arka
"Aku selalu datang untukmu."
Senyum Alya meredup, dan Arka menyadari kalimat itu membawa luka yang seharusnya tak diungkit lagi.
Mereka terdiam cukup lama, seolah keduanya mencari keberanian untuk memulai percakapan.
Alya akhirnya menarik napas panjang.
Alya
Alya
"Aku tidak ingin kita mengakhiri ini dengan tanda tanya."
Arka menatapnya dalam.
Arka
Arka
"Apa maksudmu?"
Alya menunduk, jemarinya menggenggam cangkirnya erat.
Alya
Alya
"Aku ingin menjelaskan semuanya… tentang Rendra, tentang keputusanku… tentang kita."
Arka menelan ludah. Hatinya berdegup kencang, tapi ia menunggu.
Alya mengangkat wajahnya, menatapnya penuh kesungguhan.
Alya
Alya
"Aku mencintaimu, Arka."
Kata-kata itu menusuknya dalam. Ia seharusnya merasa bahagia. Seharusnya. Tapi ada sesuatu dalam cara Alya mengatakannya yang membuatnya merasa sebaliknya.
Alya
Alya
"Aku mencintaimu… tapi aku lelah menunggu."
Arka terdiam.
Alya
Alya
"Aku menunggumu bertahun-tahun, berharap kau akan datang, berharap kita bisa memperbaiki semuanya. Tapi kau tak pernah kembali. Aku mencoba memahami alasanmu, mencoba mengabaikan luka yang terus bertambah setiap kali aku menunggu kabar darimu yang tak pernah datang."
Suara Alya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca
Alya
Alya
"Lalu aku bertemu Rendra. Dia tidak menggantikanmu, Arka. Dia hanya… ada. Saat aku butuh seseorang untuk tetap berdiri. Dia yang mengingatkanku bahwa aku masih berhak untuk bahagia, bahkan tanpa harus menunggu seseorang yang mungkin tidak akan pernah kembali."
Dada Arka terasa sesak. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa ia tidak pernah melupakan Alya. Tapi ia tahu, itu tidak cukup.
-
-
-
-
"Alya…"
Alya tersenyum pahit.
Alya
Alya
"Aku tidak membawamu ke sini untuk menyakiti atau menyalahkanmu. Aku hanya ingin kau tahu… aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Tapi kali ini, aku memilih untuk mencintai diriku sendiri lebih dulu."
Arka menatapnya lama.
Arka
Arka
Jadi, begini akhirnya?
Ia ingin memutar waktu, ingin menghapus semua kebodohannya. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain menerima kenyataan.
Alya berdiri.
Alya
Alya
"Aku harus pergi."
Arka ingin menahannya, tapi ia tahu itu tak ada gunanya.
Sebelum pergi, Alya menatapnya untuk terakhir kali.
Alya
Alya
"Jangan terlalu lama hidup dalam kenangan, Arka. Kau masih punya kesempatan untuk bahagia."
Lalu ia pergi.
Meninggalkan Arka dengan kata-kata yang tak pernah ia ucapkan… dan perasaan yang tak akan pernah benar-benar hilang.
_
_
_
_
_
_
....
...
..
.
Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!