Suara tembakan terdengar di seluruh penjuru kota Nexus, pasukan militer memburu para anggota revolusi yang berusaha untuk kabur dari kota ini. Tahun 2125, kota Nexus yang awalnya adalah pusat dari garis perjalanan antar negara yang penuh dengan teknologi maju dan damai telah berubah menjadi sebuah kota yang dipimpin oleh tangan besi keluarga bangsawan Nexorian yang dikenal sebagai Warlord.
Sepuluh tahun yang lalu, terjadi perang antar bangsawan yang berkuasa di kota Nexus. Peperangan ditimbulkan karena para bangsawan telah termakan nafsu mereka pada Nexus Core, inti dari gerbang Nexus yang menjadi alat transportasi umat manusia. Namun setelah kebenaran dari Nexus Core terungkap bahwa benda tersebut tidak hanya bisa menjadi alat transportasi saja, tapi menjadi sebuah senjata yang dapat mengubah tatanan dunia. Karena kekuatan yang besar itulah yang menyebabkan para bangsawan ingin memiliki Nexus Core untuk kepentingan mereka masing-masing. Singkat cerita, keluarga Nexorian berhasil memenangkan perang penuh darah tersebut dan menguasai kota Nexus dengan cara pemerintahan yang kejam, karena sistem pemerintahan mereka yang tidak manusiawi membuat beberapa penduduk melakukan sebuah revolusi untuk menggulingkan pemerintahan tangan besi keluarga Nexorian.
Tetapi, semua yang mereka lakukan hanyalah sebuah kesia-siaan yang tidak ada ujungnya, mereka yang memberontak terhadap pemerintahan akan diburu dan dicap sebagai pengkhianat yang mengancam keamanan kota Nexus. Hingga pada akhirnya para penduduk menyerah dan tunduk pada pemerintahan, namun tak sedikit pula dari mereka yang masih bertahan dan berusaha untuk mengembalikan kota Nexus seperti sediakala, dan harapan mereka mungkin akan terjadi pada hari ini.
13 November, 2125 Distrik 13
Di sebuah gang sempit yang hening dan hanya ada suara tetesan air yang keluar dari pipa yang telah usang, seorang pria tua yang dirangkul oleh anaknya berjalan dengan terbata-bata. Anak itu menyenderkan pria tua itu di sebuah tembok yang bertuliskan Demokrasi Telah Lama Mati.
Anak itu duduk di atas sebuah tumpukan kardus yang telah disusun rapi, dia mengelap keringat di wajahnya dan berusaha mengatur kembali nafasnya yang tidak tidak beraturan.
"Yuki, waktu kita sudah tidak banyak. Kita harus melanjutkan perjalanan kita."
Kalimat pria tua itu membuat sang anak yang bernama Yuki itupun terkejut dan menatap ayahnya dengan tidak senang.
"Dengar pak tua, aku mempertaruhkan nyawa ku untuk membawa mu kabur dari para bajingan itu, tidak bisa kah kita beristirahat sejenak?."
"Apa kamu bodoh? Tentu saja tidak bisa dasar anak kurang ajar. Jika kita terus disini tak lama lagi mereka akan menemukan kita!."
Ayah dan anak itupun beradu mulut di tengah hening nya gang yang sempit itu, disela perdebatan mereka terdengar suara bising langkah kaki yang perlahan berjalan ke arah mereka.
"Mereka disini, aku bisa mendengar mereka bertengkar!."
Teriakan itu membuat Yuki dan ayahnya bangun dari duduknya dan bersiap untuk kabur, Yuki merangkul ayahnya dan mulai berlari dengan sekuat tenaga untuk kabur dari kejaran pasukan militer yang memburu mereka berdua.
"Sialan pak tua, ini semua salahmu karena berteriak."
"Apa maksudmu? Kaulah yang mulai lebih dahulu bocah."
Yuki berhenti di depan sebuah drainase yang lebar dan dengan arus yang kuat. Yuki menatap drainase tersebut lalu memalingkan pandangannya pada ayahnya dengan wajah penuh harapan.
"Jangan bilang kita akan melompat ke sini? Aku tidak mau! Aku tidak mau pakaian ku menjadi bau kotoran."
"Berisik sekali pak tua, pakaian mu tidak sebanding dengan nyawa kita."
Pasukan militer tersebut akhirnya tiba di belakang mereka, dengan senjata di tangan mereka sungguh mustahil bagi Yuki untuk melawan mereka semua.
"Kau duluan pak tua!."
Yuki melempar ayahnya ke dalam arus air drainase tersebut kemudian dia menyusul ayahnya dan melompat ke dalam.
Di tengah derasnya arus air itu, Yuki berusaha berenang sembari mencari ayahnya yang dia lempar tadi ke arus. Kepala ayahnya muncul ke permukaan dan itu sedikit membuat Yuki tenang, perlahan mereka berenang ke tepian dan naik ke permukaan.
"Rencana yang benar-benar gila, aku bisa mati."
Yuki hanya diam dan terus berusaha mengeringkan pakaian miliknya yang benar-benar basah kuyup. Ayah Yuki berusaha menyalakan api dari tumpukan ranting yang berserakan di sekitarnya, dengan kekuatan sihir api miliknya dia berhasil membuat sebuah api unggun untuk menghangatkan dirinya. Yuki mendekat ke arah api unggun tersebut agar membuat dirinya tetap hangat dan terhindar dari demam, keduanya tidak saling bicara, mereka hanya memandang ke arah api unggun yang menyala terang di saluran pembuangan bawah tanah ini.
"Yuki aku memiliki sesuatu untukmu."
Kalimat itu memecah kecanggungan di antara mereka berdua, Yuki melihat benda yang diulurkan oleh ayahnya itu. Dia mengambilnya dan memperhatikan dengan baik benda yang diberikan oleh ayahnya itu.
"Untuk apa benda bulat ini?."
Ayahnya menarik nafas panjang lalu menatap ke arah langit-langit drainase tersebut, dengan tatapan sendu dia berusaha terlihat kuat di depan anaknya sendiri dan kemudian mulai bicara.
"Apa kau bahagia dengan hidupmu sekarang ini?."
Yuki terkejut dengan pertanyaan bodoh ayahnya itu, tentu saja Yuki menjawab tidak. Kehidupan mereka saat ini benar-benar jauh dari kata damai, mereka adalah buronan yang dicari oleh keluarga Nexorian dan harus hidup dalam persembunyian, tentu saja sangat tidak membahagiakan.
"Pak tua, aku hanya ingin tau fungsi benda ini bukan menjawab pertanyaan bodoh mu."
"Jawabanmu itulah fungsi dari benda itu."
Yuki tercengang dengan perkataan ayahnya itu, bagaimana bisa sebuah jawaban dapat menjadi fungsi suatu benda.
"Jujur saja aku benci hidup seperti ini, harus terus menerus bersembunyi selama 10 tahun, ini sungguh tidak menyenangkan."
Mendengar percakapan anaknya itu, ayah Yuki bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari terowongan drainase tersebut dan memandang langit malam yang gelap dengan hujan yang sangat lebat.
"Kalau begitu ubahlah masa lalu."
Yuki benar-benar sudah habis pikir dengan semua ucapan ayahnya, dia mungkin berpikir bahwa melempar ayahnya ke dalam arus yang kuat telah membuat ayahnya menjadi gila.
"Jangan konyol, mesin waktu adalah sebuah omong kosong belaka."
Ayah Yuki hanya tersenyum kepadanya kemudian berbalik menatap Yuki.
"Itu bukan mesin waktu, itu adalah sihir--"
Sebuah peluru menembus dada ayahnya, Yuki berlari menghampiri ayahnya yang tersungkur di tanah, dia tidak menyangka bahwa sebenarnya mereka telah dikepung oleh pasukan militer, ratusan peluru ditembakkan pada Yuki yang berusaha membawa ayahnya kembali masuk ke terowongan.
"Menyerahlah pemberontak, sudah tidak ada lagi jalan untuk kabur."
Suara komandan pasukan itu bergema di dalam terowongan, pasukan lainnya mulai turun ke bawah dan berjalan menghampiri mereka dengan perlahan sambil menodongkan senjata mereka.
"Yuki, jika kau ingin menggunakannya inilah saat yang tepat."
Yuki tak kuasa menahan air matanya yang jatuh membasahi wajahnya, dia menggenggam erat bahu ayahnya itu. Dengan terbatuk-batuk ayahnya seperti ingin mengucapkan kalimat terakhirnya pada Yuki.
"Yuki, meski... meskipun kau anak pungut yang kutemukan di distrik 28 aku....aku...aku tetap... menyayangimu seperti anakku...sendiri karena itulah....hiduplah....hiduplah dengan bahagia...di masa depan yang akan kau....ubah."
Ayahnya telah kehilangan banyak darah dan akhirnya tewas di tangannya sendiri, dengan air mata di wajahnya, Yuki berusaha untuk bangkit dengan senyum di wajahnya yang penuh air mata.
"Sialan kau pak tua, bahkan disaat terakhirmu kau masih bisa menghina ku...itu benar-benar tidak keren pak tua."
Yuki menekan sebuah tombol yang ada di benda bulat itu, sebuah kilatan cahaya biru muncul di sekitarnya dan membuat pasukan militer itu mundur menjauh dari Yuki. Yuki tercengang dengan apa yang terjadi di sekitarnya, setelah beberapa saat dia menyadari satu hal yang ingin dikatakan oleh ayahnya, ini bukan mesin waktu, tapi alat sihir untuk mengubah masa lalu. Kilatan besar menyambar drainase tersebut dan menghancurkan apa yang ada disekitarnya, setelah itu kilat itu hilang bersamaan dengan Yuki, tetapi sebuah kertas melayang disekitar area kilat tadi menyambar dan jatuh ke tanah, kertas itu menunjukkan sebuah foto Yuki dengan ayahnya.
"Hey bocah dimana orang tua mu?."
"Mereka tewas, pasukan militer membunuh ayah dan ibu. Karena mereka membantu para revolusioner untuk bersembunyi di basement."
Pria paruh baya itu menatap iba sang anak laki-laki itu, perlahan dia mendekatinya dan melihat apa yang sedang dilakukan sang anak. Anak itu menggambar menggunakan darah dari mayat tentara militer itu dengan tangannya, di atas sebuah kertas dia menggambar dirinya bersama kedua orang tua nya, namun itu hanya bisa menjadi angan-angan nya saja.
"Bocah, apa kau ingin pergi denganku?."
Anak itu menatap penasaran dengan kalimat yang dilontarkan oleh pria itu.
"Kemana?."
Tanya sang anak. Pria itu hanya tersenyum dan mengelus kepala anak itu dengan lembut.
"Sebuah tempat yang bisa kau sebut keluarga."
Yuki terbangun dari tidurnya, seluruh badannya terasa pegal. Dia memegang dahi nya dan seperti berusaha untuk mengingat sesuatu, namun dia lupa apa yang terjadi. Mungkin dia pikir itu hanya mimpi, atau mungkin sebuah ingatan.
Yuki bangkit dari tidurnya dan berusaha untuk berdiri, dia melihat semua hal disekitarnya. Tampak familier dengan tempat ini, dia berjalan perlahan keluar dari gang sempit itu, dia terpana dengan pemandangan yang dilihatnya. Bangunan-bangunan yang baginya terlihat kuno justru tampak terlihat sangat indah, menyusuri jalan setapak, Yuki menyadari bahwa tempat ini sangat damai dan tidak seperti yang terjadi padanya sebelumnya.
"Tunggu dulu, apa ini artinya aku berhasil kembali ke masa lalu?."
Dengan penuh rasa penasaran, Yuki berlari kecil menghampiri sebuah kedai yang dijaga oleh seorang pria yang nampak tidak ramah yang sedang membaca koran.
"Permisi tuan, jika boleh tahu aku sekarang berada di mana?."
Penjaga kedai itu melirik Yuki dengan tatapan tidak acuh, dan melanjutkan baca koran nya. Namun pria itu menunjukkan ibu jarinya ke arah sebuah papan yang bertuliskan Distrik 6, melihat itu Yuki pun berterimakasih pada sang penjaga kedai kemudian berlari meninggalkannya.
"Anak yang aneh."
Yuki berlarian di jalanan yang tidak terlalu ramai itu dengan mata yang berbinar, dia tidak menyangka bahwa Distrik 6 yang dikenal sebagai tempat transaksi barang ilegal adalah sebuah tempat yang damai dan tentram. Ditengah kesenangan nya itu dia sadar bahwa dia tidak tahu ke tahun berapa alat yang diberikan oleh ayahnya itu membawanya.
"Kurasa aku harus mencari tahu ini tahun berapa, tetapi jika aku langsung bertanya kepada orang-orang mungkin itu akan membuatku dicurigai."
Dengan waspada Yuki memperhatikan sekelilingnya, dia tidak melihat hal yang aneh dan hanya ada para penduduk yang sedang melakukan jual beli di sekitarnya. Dia berjalan melalui sebuah gang gelap tanpa ragu, ditengah dia berjalan, sekelompok orang menghadang nya. Yuki berusaha tenang dan bersiap untuk menyerang. Tetapi sebelum dapat melakukan serangan apapun dia disetrum dari belakang menggunakan sebuah alat dan jatuh pingsan.
"Kita mendapatkan sesuatu yang dapat kita jual di pelelangan, ayo pergi."
Sekelompok orang itu memasukkan Yuki ke dalam sebuah kurungan dan membawanya ke sebuah tempat yang disebut sebagai pelelangan. Dan sepertinya Yuki akan dilelang sebagai budak dan dibeli oleh para orang kaya.
Yuki tersadar dan bangkit dari posisinya, kepalanya menghantam atap kurungan yang memenjarakan dirinya. Dia terlihat kebingungan mengapa dia dipenjara, tak lama kemudian terdengar sebuah suara sorakan banyak orang dari belakang tirai.
"Baiklah semuanya mari kita buka acara lelang di awal tahun baru yang indah ini, acara lelang Montery House tahun 2099 resmi dibuka pada hari ini!."
Suara sorak sorai tepuk tangan semakin meriah saat sang pembawa acara membuka acara pelelangan ini. Akhirnya Yuki menyadari semua hal yang terjadi di tahun ini, Sistem lelang dan budak sudah ada dari jaman ini, dan juga dia menyadari bahwa kini dia berada di tahun 2099, dia berada di 26 tahun yang lalu sejak 2125.
"2099 ya."
Tirai yang menutup para budak yang akan dilelang pun terbuka, gemerlap lampu yang menyilaukan mata membuat Yuki merasa tidak nyaman dan berusaha untuk kabur, namun Yuki sadar bahwa sejak tadi tangannya telah diborgol.
"Sial sepertinya aku harus berperan sebagai seorang budak sekarang."
"Baiklah kita mulai lelangnya dimulai dari anak ini."
Wajah Yuki terlihat panik disaat pembawa acara menunjuk kurungannya, dia terlihat memberontak dan berusaha untuk melepas borgolnya, sang pembawa acara pun mendekat dan berbisik kepadanya.
"Berhenti memberontak nak, tidak ada gunanya jika kau sudah tertangkap oleh kami."
Sang pembawa acara pun melanjutkan bicara nya dan mulai menawarkan harga yang akan dilelang. Beberapa orang mulai menawarkan harga yang beragam mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, orang-orang yang hadir pun saling beradu hingga pada akhirnya seorang wanita dengan penampilan cantik dan anggun pun berdiri mengangkat tangan dan berteriak.
"500 juta Credit dan aku akan mengambil anak itu."
Semua orang yang hadir pun tercengang dengan harga yang ditawarkan wanita itu, bagaimana mungkin dia rela mengeluarkan 500 juta Credit hanya untuk seorang bocah yang terlihat tak berdaya itu. Suasana menjadi hening, tampaknya tidak ada yang berani menawarkan harga yang lebih tinggi dari wanita itu.
"Ehem baiklah, karena tidak ada lagi penawar lain maka nona cantik akan mendapatkan bocah ini."
Wanita itu naik ke atas panggung dan mendekati Yuki dengan senyuman yang lembut, Yuki dengan wajah pasrah hanya bisa diam dan merelakan dirinya menjadi seorang budak oleh seorang wanita cantik yang nampaknya adalah seorang bangsawan.
"Sepertinya aku akan dipekerjakan secara paksa dan tidak manusiawi, sadarlah Yuki lihat senyumannya, itu bisa menipu segalanya."
Para pekerja lainnya muncul dan membuka kurungan serta melepaskan borgol yang menahan Yuki, dengan wajah yang pasrah, Yuki tidak bisa menatap wajah wanita itu. Wanita itu menepuk pundaknya.
"Jangan khawatir, aku tidak akan menyakitimu kok."
Senyuman wanita itu hampir membuat Yuki tergoda dengan perkataannya, namun dengan cepat dia menepuk wajahnya agar sadar dari tipu daya wanita ini.
"Fufufu kamu lucu sekali, sekarang ayo kita pergi."
Wanita itupun pergi keluar dari tempat pelelangan itu disusul oleh Yuki yang mengikutinya dari belakang. Yuki mencoba untuk kabur namun di sekelilingnya dia melihat banyak sekali penjaga, nampaknya wanita ini adalah seorang bangsawan.
"Apa kau seorang bangsawan?."
Wanita itu terkejut dan berbalik menghadap Yuki sambil menggaruk kepalanya dengan wajah seperti orang ceroboh. Terlihat seperti orang bodoh, namun Yuki tidak bisa menyangkal bahwa wanita ini adalah orang yang kaya, dia bahkan tidak segan mengeluarkan 500 juta Credit hanya untuk membelinya. Wanita itu memegang dada nya dan mulai memperkenalkan dirinya.
"Maaf kalau aku lupa memperkenalkan diri, namaku Theresa Clorish. Putri pertama dari keluarga Clorish, salam kenal."
Senyuman Theresa membuat wajah Yuki memerah, Yuki berusaha untuk tetap tenang dan memperkenalkan dirinya dengan nada yang dingin.
"Nama ku Nagu-- bukan, namaku adalah Yuki."
"Hanya Yuki? Apa kamu tidak memiliki nama keluarga?."
"Sayang sekali sepertinya tidak. Aku hanya seorang anak yatim piatu, orang-orang memanggil ku Yuki karena aku ditemukan di dalam tumpukan salju dan hampir mati."
Theresa merasa iba dan terlihat ingin menangis, namun dia berusaha menahan air matanya. Yuki terkejut bahwa dia tidak menyangka cerita palsu nya berhasil meyakinkan hati Theresa bahwa dia anak yang malang.
"Dasar bodoh, bagaimana bisa kau percaya dengan cerita yang aku buat itu."
Theresa tiba-tiba memeluk Yuki dengan erat, Yuki tidak bisa bernafas karena dihimpit oleh dada milik Theresa dan dia berusaha untuk melepaskan diri dari pelukannya.
"Huaaa cerita mu benar-benar menyedihkan Yuki."
"Nona Theresa tolong lepaskan aku, aku tidak bisa bernafas."
"Untung saja aku membeli mu, lalu kamu bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga."
Yuki terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Theresa, sebuah keluarga, sama seperti perkataan seorang pria di mimpi nya saat dia pingsan sebelumnya. Theresa melepaskan pelukannya kemudian menyuruh Yuki untuk masuk ke dalam mobil.
"Masuklah Yuki, kita akan pulang ke sebuah tempat yang kita sebut sebagai rumah."
Theresa menyuruh para penjaga nya untuk kembali, mobil pun mulai berjalan dengan tidak begitu cepat. Dari pengamatannya Yuki dapat memastikan sifat dari Theresa adalah orang yang sangat ceria dan bersemangat, dia terlihat sangat baik namun sangat mudah untuk dimanfaatkan.
Setelah perjalanan yang cukup memakan waktu, akhirnya mereka tiba di sebuah mansion besar dengan halaman yang sangat luas, hamparan rumput hijau yang segar membuat siapapun yang melihatnya ingin berbaring disana, termasuk Yuki.
"Selamat datang di rumah keluarga Clorish."
"Ini terlalu besar untuk disebut rumah."
Mereka keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu depan mansion, disaat mereka berjalan, terlihat seorang gadis dengan wajah marah dan tangan dilipat menunggu di depan pintu. Theresa pun berlari dan menghampiri gadis itu kemudian memeluknya.
"Woahhh Noelle, kamu tidak sabar untuk bertemu penjaga mu ya?."
"apa maksud kakak? Aku tidak perlu seorang penjaga! Kakak sendiri yang repot-repot mencarinya untuk ku!."
Yuki menghampiri kakak beradik itu dengan santai, Noelle dengan sikap waspada memandang Yuki dengan tatapan tajam. Noelle memperhatikan Yuki dari kepala hingga kaki, hingga dia menyadari sesuatu.
"Kamu, apa kamu seorang gelandangan?."
"Benar."
Dengan marah Noelle mencengkram pundak kakaknya dan berteriak kepadanya membuat Yuki tidak berani berkata sepatah kata pun.
"Kakak kenapa membawa gelandangan ke rumah kita? Kita ini bangsawan tidak perlu orang seperti dia."
Theresa hanya tertawa mendengar ocehan adiknya itu kemudian mengusap kepala Noelle untuk menenangkannya. Benar saja, Noelle yang awalnya dikuasai amarah perlahan menjadi tenang berkat usapan itu, sepertinya Theresa adalah seorang penyihir begitu juga keluarga ini.
"Tenang saja kedepannya pasti kalian akan menjadi teman, atau mungkin lebih dari itu."
Perkataan Theresa membuat Yuki dan Noelle bertatapan dan wajah keduanya pun memerah. Yuki dengan sigap menutup wajahnya menggunakan tangan namun tidak bagi Noelle, justru dia kembali berteriak dan mengoceh kepada kakaknya.
Ditengah perdebatan itu muncul seorang pria muda yang rupawan dengan postur tubuh yang kekar dan tinggi dari belakang mereka.
"Ada ribut-ribut apa ini?."
"Wahh Nero!!!."
Theresa berlari dan memeluk Nero hingga membuat mereka berdua jatuh ke tanah, Yuki melihat tingkah mereka memasang wajah terkejut seakan tidak percaya tingkah laku para keluarga bangsawan ini. Theresa akhirnya bangkit dari tubuh Nero dan membantu nya untuk berdiri, Theresa kemudian menjelaskan hal terjadi pada Nero. Nero mengangguk paham dan kemudian berjalan ke arah Yuki kemudian memperkenalkan dirinya.
"Jadi kamu adalah pengawal nona Noelle, perkenalkan namaku adalah Nero Vermilion, putra kedua dari keluarga Vermilion sekaligus tunangan nona Theresa."
"Siapa yang kau sebut pengawalku!?!."
Noelle membantah pernyataan Nero dengan kesal, akhirnya dia pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam mansion tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
"Maaf ya Yuki, sifat adikku memang seperti itu. Tapi nanti juga sifatnya itu perlahan menjadi lembut jika kalian sudah saling mengenal."
"Baiklah aku paham, omong-omong alasan mu membeli ku itu supaya aku dipekerjakan sebagai penjaga nona Noelle?."
"Dibilang sebagai penjaga juga tidak salah, sebenarnya aku membeli mu agar kamu menjadi temannya."
Yuki terlihat heran dengan maksud Theresa, menjadi seorang teman dari gadis yang terlihat tidak ramah itu kelihatan mustahil baginya.
"Nona Noelle adalah orang yang tertutup, dia tidak memiliki satupun teman selain Theresa dan para pembantu. Mungkin karena itulah Theresa membeli mu untuk menjadi teman nona Noelle."
"Untuk menjadi temannya aku akan berusaha semaksimal mungkin, tapi untuk menjadi seorang penjaganya kurasa itu agak sulit karena aku tidak bisa bertarung."
Nero dan Theresa tersenyum mendengar ucapan Yuki, Nero menepuk pundak Yuki dan membisikkan sesuatu padanya, Yuki tampak terkejut dengan hal yang diucapkan Nero dan terlihat bersemangat mendengarnya, Nero kemudian melihat jam di tangannya dan terlihat panik.
"Baiklah karena ini sudah waktunya jam makan siang aku pulang dulu, sampai jumpa kalian berdua."
Nero pun berjalan pergi meninggalkan kediaman keluarga Clorish. Theresa pun mengajak Yuki untuk masuk ke dalam untuk ikut makan siang keluarga Clorish, awalnya Yuki menolak namun akhirnya dia harus setuju karena paksaan dari Theresa. Perjalan Yuki di masa lalu sebagai anggota keluarga Clorish pun dimulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!