NovelToon NovelToon

My Manager My Soulmate

Part 1

⭐️⭐️⭐️

Syaina Clara Kehl, seorang gadis berusia 25 tahun, lahir dan menetap di London bersama kedua orang tuanya dan seorang kakak laki-laki. Dia keturunan inggris sunda, ibunya yang asli sunda sedangkan ayahnya berdarah Inggris.

Saat ini, Syaina akan segera bertunangan dengan kekasihnya yaitu Harry. Seorang laki-laki yang amat teramat mencintai Syaina, namun tidak begitu halnya dengan Syaina.

Sudah ada seseorang di hati Syaina, namanya Bryan, sayangnya Bryan sudah meninggal dalam insiden kecelakaan tiga tahun yang lalu.

Syaina, Harry, dan Bryan, ketiganya kuliah di tempat yang sama yaitu Universitas Oxfort. Harry dan Bryan mereka berteman baik dan juga satu angkatan sedangkan Syaina merupakan adik angkatan mereka berdua.

Semenjak kematian sang kekasih, sikap Syaina berubah tiga ratus enam puluh derajat, senyuman diwajahnya menghilang terkubur bersama Bryan. Berbagai macam cara sudah dilakukan oleh keluarganya dan Harry, untuk membuat senyum Syaina kembali, namun usaha mereka selalu nihil.

Sebab ada kisah di hati Syaina yang belum selesai. Ada cinta yang belum berakhir. Ada rasa sayang yang belum pudar karena begitu kuatnya mengikat.

Kilas balik awal pertemuan Syaina dengan Bryan. Mereka bertemu saat festival musim semi di kampus. Bryan seolah menjadi pahlawan bagi Syaina karena Bryan yang telah menemukan kalung kesayangan Syaina.

“Apakah ini punyamu?” tanya Bryan.

Syaina yang didatangi pria tampan merasa gugup. Apalagi pria itu menyodorkan susuatu di atas telapak tangannya. Sebuah benda yang familiar bagi Syaina.

“Oh ini? Emm … iya, benar. Ini kalungku!” seru Syaina gembira dengan mata berbinar-binar.

“Ambillah,” ucap Bryan.

Syaina memungut kalung berharganya sambil melompat kegirangan dan tidak henti-hentinya bersyukur sambil memeluk kalungnya, kalung dengan liontin cincin.

“Kenapa reaksimu begitu? Itu hanya sebuah kalung perak biasa,” tanya Bryan heran.

Syaina memasang raut tak terima benda kesayangannya diejek. Ia lantas membela diri, “Ini bukan sembarang kalung, ini sudah seperti nyawaku dan kamu sudah menyelamatkan nyawaku,” papar Syaina sambil tersenyum. Dan senyuman itu ternyata membuat Bryan terpikat.

Syaina memukul keningnya. “Bagaimana aku ini, kenapa aku tidak mengucapkan terima kasih kepada penolongku. Tapi kalau aku boleh tahu, siapa namamu?” tanya Syaina sambil memindahkan kalung ke tangan kiri sementara tangan kanannya ia sodorkan kepada Bryan, Syaina mengajak Bryan berjabat tangan.

“Bryan,” jawab pria berpenampilan kasual itu singkat, dengan menyambut tangan Syaina dan matanya yang terus memandangi Syaina.

“Namaku, Syaina. Aku mahasiswa jurusan menejemen dan juga mahasiswa baru. Terima kasih Bryan atas bantuanmu, aku tidak tahu bagaimana jadinya jika bukan kamu yang menemukannya, bagaimana kamu bisa menemukannya? Padahal selama satu jam lebih aku sudah mencarinya ke mana-mana.”

“Aku hanya kebetulan menemukannya, anggap saja takdir dan keberuntunganmu.”

“Hah iya benar, kali ini aku bertemu dengan pahlawanku untuk kedua kalinya, mungkin karena takdir.”

Bryan yang memiliki manik hazel di dalam sepasang netranya itu menautkan alis. “Pahlawan? Aku?!” Ekspresi wajah Bryan seperti merasa sikap Syaina terlalu berlebihan. Hal tersebut bisa dimaklumi karena Bryan tidak tahu seberapa penting kalung itu bagi Syaina.

Satu bulan setelah pertemuan itu, mereka berduapun menjadi sepasang kekasih. Sampai mereka menjadi sepasang kekasih, Bryan tidak tahu apa alasan Syaina begitu menyayangi kalungnya bahkan sampai Bryan mengalami kecelakaan yang kemudian berujung terhadap kematian.

Dengan seketika senyuman Syaina pun ikut terenggut.

Hari ini ….

Suasana rumah Syaina tampak riweh, banyak orang asing, semua orang itu mempunyai satu kepentingan yang sama, yaitu mempersiapkan pesta pertunangan antara Harry dan Syaina. Setelah kepergian Bryan, ada seorang laki-laki yang dengan setia menghibur Syaina, yang memberikan berton-ton kebahagian pada Syaina, dialah Harry. Walau Harry tidak bisa masuk ke hati Syaina tapi Harry mampu membuat Syaina mau menerima lamaran darinya. Harry tahu kalau alasan Syaina menerimanya bukan lantara cinta namun karena kebaikan yang terus menerus diberikan Harry.

Akan tetapi Harry sangat yakin kalau suatu hari nanti Syaina akan mencintainya dengan sepenuh hati.

Syaina tampak menyendiri di kamar. Kamar seorang putri, semuanya serba pink dan ungu. Syaina duduk di sofa yang berada di depan tempat tidurnya. Syaina memeluk Teddy Bear pink, kado dari Bryan. Saat Syaina melamun tiba-tiba terdengar suara dari arah tangga memanggil manggil namanya.

“Syaina … Syaina … Syaina …!!!” Suara itu adalah milik Kate, sahabat Syaina sejak kecil dan juga merupakan tetangga Syaina. Mendengar suara Kate, Syaina sontak berdiri dan berlari ke arah pintu, disambutlah Kate di sana.

Syaina langsung memeluk Kate. Dan mengajaknya masuk ke kamar tidurnya.

“Baru tiga hari tidak bertemu betapa rindunya aku padamu, Kate,” ucap Syaina masih memeluk sahabatnya dengan erat.

“Aku juga Syaina,” balas Kate sambil mengurai pelukan dan menangkupkan  kedua tangannya ke pipi cabi Syaina, memencetnya dengan gemas.

Syaina membalas perlakuan sahabatnya. Lalu mereka terkekeh bersama.

“Bagaimana dengan desain yang kamu kerjakan di Jerman, sukses?” tanya Syaina yang mengajak Kate duduk di atas sofa yang ada di samping ranjang.

Kate melipat tangan di dada sambil menjawab dengan intonasi penuh percaya diri. “Kamu masih bertanya sukses pada sahabatmu ini?”

“Hah dasar!” Syaina mencebik. “Iya, aku tahu pasti kau akan bilang ‘di mana ada kerja keras pasti di situ ada celah keberhasilan’ dan kau juga akan bilang mana mungkin semua yang dikerjakan seorang Kate, tidak sukses, tentu sukses lah. Hhah … lagu lama,” sewotnya.

Kate tertawa lebar. “Syaina kamu memang yang paling mengerti,” sanjung Kate.

“Kate, sudahkah kau pulang ke rumahmu?”

Kate terdiam. Sebuah jawaban yang bisa diterawang apa artinya. “Hhah! Pasti belum, kan?” tebak Syaina.

Sang sahabat nyengir kuda. Lalu menganggukkan kepala. “Iya, dari bandara, aku langsung melesat ke sini dan mendarat ke rumahmu. Karena saking kangennya aku denganmu. Wah … ternyata aku sampai lupa dengan rumahku sendiri,” aku Kate.

Syaina geleng kepala. “Sudah kuduga, aku tidak mau bibi marah lagi padaku.” Ganti Syaina yang  melipat tangan di depan badan dengan tampang jutek.

Kate mengatupkan kedua tangan sambil berkata, “Hei, iya … iya, aku pulang. Sebentar … apa itu yang ada di atas kasurmu?” tanya Kate saat melihat ada seonggok Teddy Bear berwarna pink di atas ranjang. Sebenarnya Kate kenal baik dengan benda itu. Hanya saja ia ingin mendengar jawaban dari mulut sahabatnya.

Syaina melipat bibir. Bola matanya bergeser ke kanan ke kiri. Seolah sedang mencari jawaban yang sesuai. “Emm … itu ….” Syaina tidak bisa berkata apa-apa.

Kate menghela napas. Lalu menyentuh lengan tangan sahabatnya seraya berkata, “Besok adalah hari pertunanganmu dan sehari sebelumnya kau masih mengingat Bryan? Syaina, tolonglah jangan begini, sekarang yang perlu kamu lihat adalah masa depanmu, yaitu Harry.”

“Aku tahu.” Wajah Syaina beralih murung. Ia balik badan dan meraih boneka itu kemudian ia dipeluk erat. Matanya berkaca-kaca. Kate tidak tega melihat perubahan raut wajah Syaina dan juga tindak tanduknya yang terlihat sedih.

“Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu, nanti malam aku akan menginap disini, menemanimu. Okay?” pamit Kate sambil mengusap kepala sang sahabat. Saat telah sampai bibir tangga, Kate menoleh dan ia masih melihat Syaina mendekap erat Teddy Bear pinknya.

Dalam hati, Kate menduga jika Syaina sedang melakukan proses ucapan selamat tinggal pada masa lalunya. Sehingga ia tidak terlalu keras dengan mencoba mengambil Teddy Bear tersebut.

*

*

Malamnya, Kate sudah ada di kamar Syaina, mereka duduk di atas ranjang dengan posisi santai. Sudah memakai piyama masing-masing.

Part 2

Malam telah tiba. Kate sudah ada di kamar Syaina. Mereka kini sedang duduk di atas ranjang dengan posisi santai. Sudah memakai piyama masing-masing.

“Bagaimana bibi tadi, pasti marah ya?” tanya Syaina.

“Seperti tidak tahu ibuku saja. Ibuku tidak akan marah. Karena apa? karena kita sudah sering melakukannya,” kelakar Kate.

Syaina tersenyum. “Dulu waktu kamu sakit, malah aku yang terus menemanimu bahkan sampai tidur di rumahmu. Sampai kamu sembuh,” kenangnya.

“Padahal sudah dibujuk ice cream kesukaanmu, tetap tidak mau pulang,” imbuh Kate.

“Benar. Semua rayuan Kak Wema pun gak ada yang mempan untuk bisa membawaku pulang,” timpal Syaina.

Kedua teman karib itu pun tertawa kencang dan tiba-tiba Syaina menghentikan tawanya. “Kamu sudah bertemu kakakku?” tanyanya sembari menoleh ke arah sang sahabat.

Pertanyaan Syaina membuat Kate tampak kesal. Tapi tetap ia jawab dengan jawaban singkat. “Belum.”

“Bukannya tadi sore dia sudah pulang, apa dia belum ke rumahmu?” tanya Syaina heran.

“Tau tuh,” jawab Kate sekenanya.

“Ada apa?” selidik Syaina.

Kate hanya menggelengkan kepala.

“Hei … Jangan menyimpan masalah sendiri, tidak baik untuk kesehatan loh,” papar Syaina.

“Dia akhir-akhir ini berubah, jarang menghubungiku. Tadi sebelum ke kamarmu, sewaktu aku berpapasan dengannya, dia biasa saja, gak ada ekspresi kangen,” curhat Kate.

“Kalian bertengkar?”

“Bagaimana bisa bertengkar, berkomunikasi saja jarang,” suara Kate pelan, raut wajahnya pun berubah, melihat hal itu Syaina pun mencoba menghibur calon kakak iparnya.

“Ah … mungkin Kak Wema sedang sibuk, bukannya kemaren pembukaan cabang di Perancis?”

“Wema juga bilang seperti itu. Tapi ….” Kate menghentikan perkataannya.

“Katy cerry sweety … kamu mengenal Kak Wema kan tidak satu, dua tahun tapi sudah dua puluh lima tahun, bagaimana keseharian Kak Wema, sifatnya, semuanya, kamu pasti sudah tahu kan?”

“Na, tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat dimengerti secara utuh oleh siapapun, bahkan orangtua kita sendiri,” tukas Kate. Mendengar itu Syaina serta merta memeluk Kate, mencoba menenangkan sahabatnya. “Tenanglah, Kak Wema itu setia kok, kamu masih nomor empat dihatinya” goda Syaina kemudian.

Kate melepas pelukan secara paksa. Sebab ia hendak protes. “Hei, nomor empat? Terus siapa itu rangking satu sampai tiganya?” seru Kate.

Syaina bergeming. Bungkam. Tidak mau menjawab.

“Syaina ….” seru Kate gemas sambil mengguncang badan sang sahabat.

Karena penasaran, Kate sampai harus menggoyang-goyangkan tubuh Syaina terus menerus.

“Iya iya aku jawab, jelas yang pertama aku dong,” aku Syaina.

Kate mengangguk. Tangannya ikut menghitung. “Terus yang ke duanya?” ucap Kate makin penasaran.

“Aku lah.”

“Ketiganya?”

“Aku lagi pastinya,” jawab Syaina untuk ketiga kalinya.

“Dasar !” Kate pun memukuli Syaina dengan guling. Mereka pun perang bantal. Setelah capek, mereka berbaring. Kate kemudian ingat sesuatu lalu langsung bangun dengan gerak cepat.

“Bukannya aku ke sini untuk menghiburmu, kenapa malah kamu yang menghiburku?” protes Kate sambil bersedekap.

“Kate, sejak Kak Bryan tiada, kamu selalu menghiburku, mencoba membuatku tertawa, dan selalu meluangkan waktumu untuk mengajakku jalan-jalan dan itu hanya sekedar untuk menyibukkanku. Sekarang saatnya aku yang menghiburmu. Bukannya sebagai seorang sahabat kita harus saling mensuport? Benarkan? Lagi pula aku tidak mau menjadi sahabat yang egois.”

Kate tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya tersenyum mendengar perkataan Syaina. Bagi Kate, Syaina sudah seperti saudaranya. Kate adalah anak tunggal, sejak kecil Syaina lah teman bermainnya.

“Kamu sudah benar-benar yakin dengan Harry?” tanya Kate sambil peluk bantal.

Syaina tampak menghela napas sebelum menjawab. “

Entahlah, mungkin dia memang takdirku.” Ekspresi Syaina datar dan helaan nafasnya pun panjang.

“Baiknya Harry sama dengan perhatiannya Bryan, dan pertunangan ini juga harus terjadi agar perusahaan papa tidak mengalami kegoncangan lagi seperti dulu, jika waktu itu Harry tidak membeli saham di perusahaaan papa, aku tidak tahu apa yang terjadi terhadap papa dan mama,” papar Syaina lagi.

“Tidak ada laki-laki yang sebaik Harry. Syaina, dia tulus mencintaimu,” ingat Kate.

“Aku tahu.” Syaina mendesahkan kebimbangan.

“Hei, setelah tunangan, apa yang akan kau lakukan?” tanya Kate untuk mengalihkan pembicaraan yang sepertinya sudah membuat sahabatnya murung kembali.

“Yang jelas bukan menikah, karena harus kau dulu,” ejek Syaina.

Wajah Kate memerah.

“Sambil menunggu perkembangan dari kalian, aku akan ke Indonesia,” lanjut Syaina.

Kate tercengang mendengar pernyataan sahabatnya.

“Sssttttttt…….. jangan bilang siapa-siapa dulu ya, kamu orang pertama yang tahu,” ujar Syaina sekali lagi.

“Kenapa sejauh itu dan untuk apa ke sana?”

“Ada seorang artis Indonesia yang butuh bantuanku, lagi pula aku kangen kakek dan nenekku dan juga ada seseorang yang ingin kutemukan.”

“Aku bagaimana di sini, aku pasti kesepian. Btw … seseorang siapa? Apa aku kenal?”

Syaina menggelengkan kepala. “Seseorang itu … ah sudahlah. Dia bukan siapa siapa. Tapi entah kenapa aku ingin menemukannya. Tapi kenapa kamu bilang kesepian? Kan ada Kak Wema, kalau dia tidak mau menemanimu akan ku gunakan jurus bela diriku untuk menghajarnya,” ujar Syaina sambil mempraktikkan gerakan bela diri yang ia kuasai hanya bagian gerakan tangan saja.

“Seseorang siapa sih? Jangan bikin orang penasaran, ayo katakan,” Syaina hanya geleng kepala. Tanda dia tidak mau mengatakannya. Sementara itu Kate terus saja merajuk, Syaina pun menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

“Syaina…………..!!!!!” teriak Kate, tapi Syaina makin menutup rapat selimutnya. Kate pun menyerah. Tidak beberapa lama Kate sudah tertidur pulas. Namun Syaina sedikitpun tidak bisa memejamkan matanya. Bayangan hari-hari bersama Bryan terus saja terlintas dalam benaknya. Bagai ratusan slide-slide yang tidak bisa terremove, walaupun sudah di delete berkali-kali.

          Syaina menuju balkon, menepi memegang batas, menengadah melihat bintang di langit, suatu kebiasaan yang Syaina lakukan semenjak bertemu dengan seseorang. Kini hari lima belas, tampak bulan bundar memandang seorang gadis yg sedari tadi berdiri menerawang ke arahnya berada, seakan-akan sang gadis mengajaknya berbicara. Syaina tampak galau, rambut pirang nan panjang yang lurus, ia biarkan terurai terhempas angin malam yg juga menusuk tulang rusuk tubuh langsingnya itu. Sepertinya Syaina sedang memegangi sebuah cincin dengan manik-manik bintang yang saat ini dipandanginya namun bintang itu seperti tak utuh. Yap, ternyata bagian belahan lainnya berada pada orang yg memberikan cincin itu padanya.

Kenapa kamu lakukan ini padaku?

****

Pesta sudah berlangsung, semua kerabat dekat dari kedua belah pihak sudah datang. Syaina menjadi pusat perhatian saat menuruni satu persatu anak tangga, Syaina tampak anggun dan terlihat makin cantik dengan gaun merah muda serta rambut panjangnya yang sengaja di catok curly tertata apik, namun ada yg kurang dari semua itu yaitu senyuman. Sepertinya Syaina sadar dengan kekurangan itu, dia mencoba memasang senyuman senatural mungkin namun sayangnya Harry melihat itu.

Pertunangan pun berjalan lancar, cincin dari Harry sudah melingkar dijari manis Syaina. Walaupun sudah bertunangan hati Syaina masih milik oran lain, batin Harry dalam hati.

“Selamat untuk kalian berdua ya,” ucap Wema sambil menepuk bahu Harry.

“Terima kasih, Kak.” Harry dan Wema pun mengobrol basa-basi, sedang asyiknya ngobrol tiba-tiba Syaina datang mengampiri mereka.

“Kak, aku ingin bicara sebentar. Harry sebentar ya,” pinta Syaina. Kemudian Syaina mengajak Wema ke lantai dua tepatnya di ruangan kerja.

 “Ada apa?” tanya Wema heran.

“Apa yang kakak perbuat terhadap Kate?” tanya Syaina dan membuat Wema mengernyitkan dahinya.

“Aku tidak menghamilinya,” jawab Wema sekenanya.

“Jangan bercanda!” wajah Syaina tampak serius.

“Aku seperti bukan kakakmu saja, memangnya kenapa Kate?”

Part 3

“Bisa tidak lebih peka satu inchi saja!”

“Siapa? Aku? Dengan siapa? Kate?”

“Wema!!!!” teriak Syaina, jika sudah tidak memanggil sebutan kakak, itu pertanda Syaina benar-benar marah.

“Syaina aku bener-bener tidak mengerti, bisa tolong jelaskan saja, kalau kamu terus saja marah dengan kata-kata seperti itu percuma, kakak gak ngerti.” Wema memang tidak tahu duduk perkara dan hal yang dibahas oleh adiknya.

“Bisa tidak menyempatkan waktu sedikit saja untuk Kate, dia sudah merasa kalau kakak berubah, yah … walaupun dulu kakak orangnya memang sangat cuek sekali dan selalu mementingkan kepentingan diri sendiri tapi sekarang kakak ada Kate, calon isterimu!” papar Syaina.

“Dia tidak bilang apa-apa padaku?” jawab Wema polos.

“Kate itu orangnya baik, dia ingin kamu tahu sendiri kalau dia butuh kakak.”

“Kenapa kami kaum laki-laki yang harus selalu mengerti terhadap wanita, bukan sebaliknya,” protes Wema.

“Kakak!!!”

“Aku itu kerja, bukan main-main, lagipula perusahaan papa di pusat yang mengurus kan aku jadi wajar kalau sibuk,” seru Wema.

“Tolong setelah pertunanganku ini, kakak sempatkan dan luangkan waktu untuk Kate, perbaiki hubunganmu dengan Kate ya ...,” pinta Syaina tulus.

“Seperti anak kecil saja, bukankah dia juga bekerja.”

“Ya perlu dong, kakak mau kalau nanti Kate ada yang ngambil? Bukankah dia juga bertemu banyak orang dan mungkin salah satunya ada yang lebih perhatian dari pada kakak, who knows?” goda Syaina.

“Apa-apaan ucapanmu itu.” Walau terlihat biasa saja mendengar ledekan Syaina tapi dalam hati Wema sedang terjadi gejolak yang luar biasa.

****

Wema mencari Kate ke segala penjuru rumahnya sambil terus saja terngiang kata-kata adiknya yang terakhir. Akhirnya Wema menemukan Kate di tepi kolam ikan di taman belakang. Wema mendekati Kate pelan sengaja ingin membuat Kate terkejut sayangnya bayangan Wema terlihat jelas oleh Kate tapi Kate berpura-pura tidak sadar akan kehadiran Wema.

“Ehmm ....” Wema mencoba berdehem. Lalu batuk batuk yang disengaja. Kate hanya melirik sebentar dan sedikit menahan senyumnya. Wema pun sudah berada disampingnya.

“Ikannya berenang-renang ya?” tanya Wema yang sedang membuka percakapan namun ampun garing banget.

Kate menahan senyum. “Dari dulu kenapa untuk yang satu ini tidak ada kemajuannya?” ujar Kate menyindir sikap Wema yang payah jika berbasa basi dengan perempuan yang disukainya.

“Apanya?” tanya Wema bingung.

“Basa-basimu.” jawab Kate singkat.

“Bukankah kau juga seperti itu?” sahut Wema tak mau disalahkan.

“Hei ... kamu ingin memutar balikkan fakta?”  gugat Kate.

“Memang begitu.” Wema tidak mau kalah.

“Lantas? Ikannya berenang-renang ya ….” Kate mengulang kata-kata Wema dengan nada setengah mengejek.

Pria yang memakai setelah jas hitam itu mendesis. Kesal. “Hei ... itu karena aku selalu tidak bisa berbasa-basi dihadapanmu,” aku Wema.

“Benarkah? Kenapa?”

“Iya karena aku akan selalu tampak bodoh jika basa basi di depan orang yang aku cintai,” jawab Wema sembari merangkul bahu Kate, sengaja. Sebenarnya Kate sudah tahu akal bulusnya Wema, namun Kate membiarkannya, dia malah menyandarkan kepala ke bahu Wema.

“Kate bisakah kau memaafkan aku, aku salah telah membagi hati dengan pekerjaan, seharusnya kau nomor satu dihatiku.” Mendengar permintaan itu Kate memandang wajah Wema.

“Salah, ada seseorang yang bilang padaku bahwa aku ini nomor empat dihatimu,” ingat Kate.

“Benarkah? Bukankah ini adalah hatiku kenapa ada orang yang lebih tahu daripada aku,” sahut Wema bingung.

Sementara itu Kate hanya tersenyum, kemudian Wema bertanya, “Lantas siapa juaranya itu, aku ikut penasaran juga?”

“Katanya sih, nomor satu sampai tiga ditempati oleh adikmu tersayang.”

“Syaina yang bilang? Begitukah? Dasar! Aku beri tahu ya, sebenarnya kalian berdua adalah nomor satu dihatiku.”

“Dimana-mana tidak ada juara dua orang,” protes Kate.

“Aku yang memberlakukannya, ini kan hatiku, aku pemiliknya, aku berhak memenangkan siapa saja yang ku inginkan,” terang Wema sambil mendekap tubuh Kate. Saat Wema ingin mencium, Kate menghentikannya.

“Kenapa?”

“Aku tidak mau ikan-ikan yang sedang berenang-renang itu melihat.”

“Mereka sudah kusuap untuk tutup mata,” elak Wema. Kemudian Wema mencium kening Kate.

Sambil mendekap Kate, Wema berbicara lirih. “Aku tidak ingin siapapun mengambilmu dariku, aku tidak akan pernah rela karena kamu adalah milikku.” bisikan Wema membuat Kate tersenyum bahagia. Ditempat yang tidak begitu jauh sekitar empat meter dari arah adegan romantis itu ternyata ada seseorang yang sejak tadi mengawasi Kate dan Wema. Syaina tersenyum bahagia seperti Kate. Syaina senang bisa mengembalikan keharmonisan kakak dan calon kakak iparnya. Harry juga sudah lama berdiri disebelah Syaina.

“Bukankah mengintip itu tidak boleh?” tanya Harry.

“Jika yang diintip tidak tahu, itu diperbolehkan,” jawab Syaina nakal.

“Hukum apa itu?” timpal Harry, “Tidakkah sekarang kamu ingin seperti mereka?” lanjutnya.

“Itu sih keinginanmu, tergambar jelas diwajahmu, bagiku kita belum sampai ke level seperti mereka.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Syaina pergi meninggalkan Harry.

“Aku tahu” ucap Harry lirih, setelah Syaina sudah tidak bediri disampingnya.

****

Semua sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan, ada papa dan mama Syaina, Wema, serta Syaina. Saat sarapan berlangsung, suasana hening, tidak ada suara decapan mulut yang terdengar bahkan suara sendok garpu dan pisau yang menyentuh piring keramik itu pun seperti ada peredam suaranya, dalam senyap Syaina membuka pembicaraan.

“Pa, ma, Syaina mau ke luar negeri untuk beberapa bulan,” pamit Syaina.

“Ke mana sayang?” tanya mama.

“Indonesia,” jawab Syaina singkat. Sontak mama Syaina kaget.

“Bukankah negara itu sangat jauh?” tanya papa Syaina.

“Iya, aku memang sengaja memilihnya.”

“Kenapa harus ke sana?” tanya Wema.

“Kebetulan aku mendapat kontrak kerja disana, lagipula aku ingin ziarah ke makam kakek dan nenek, boleh kan ma … pa ...,” rengek Syaina.

“Indonesia ya, mama juga sebenarnya ingin ke sana.” Raut wajah mama Syaina jadi berubah murung. Mama Syaina juga sangat kangen dengan kampung halamannya. Melihat perubahan istrinya, papa Syaina berusaha menyemangati istrinya dengan menggenggam tangan istrinya yang duduk disebelahnya.

“Berapa lama kamu di sana?” tanya papa Syaina yang masih meletakkan tangannya di atas tangan mama Syaina.

“Kontraknya sih tiga bulan, tapi masih bisa diperpanjang,” papar Syaina datar tapi dalam hati dia amat teramat ingin pergi.

“Baiklah kalau itu keinginanmu, tapi jika tanggal pernikahanmu sudah ditentukan, kamu harus siap pulang,” ucap papa Syaina tegas.

“Iya, aku tahu. Terima kasih, pa,” jawab Syaina dengan seruan yang terdengar ada nada suka cita di dalamnya. Dan tampak raut kegembiraan dalam wajahnya, hal tersebut membuat semua keluarganya juga ikut gembira.

“Kapan kamu berangkat?” tanya Wema.

“Tiga hari lagi, untuk itu kalian semua mulai sekarang sampai keberangkatanku luangkan waktu untukku ya?” pinta Syaina dengan wajah memelas. Sehingga membuat semua langsung menyetujui permintaan Syaina.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!