"Damn!"
Akay mengumpat pelan saat tubuh renta itu tiba-tiba terhuyung ke depan mobilnya. Rem diinjak mendadak, tapi terlambat, tubuh kecil itu sudah jatuh ke jalan dengan suara gedebuk.
Seketika, teriakan warga pecah.
"Astaga! Nenek Ros ditabrak!"
"Lihat tuh, orang kota ugal-ugalan!"
Akay turun dengan jantung berdebar. Seorang nenek tua bersimpuh di tanah, meringis sambil memegang lututnya. Wajahnya pucat, tapi ada sorot licik yang nyaris tak terlihat dalam bening matanya.
"Astaga, Nek! Saya nggak sengaja!" Akay berlutut, memeriksa apakah ada luka.
"Tolong saya, bawa nenek ini ke rumah sakit," ujar Akay kepada kerumunan warga.
Tapi alih-alih mengiyakan, mereka hanya saling bertukar pandang. Seorang lelaki paruh baya mendekat, membantu Nenek Ros berdiri.
"Tidak perlu ke rumah sakit, Nak," suara nenek itu serak, tapi cukup lantang. "Aku baik-baik saja... asal kau mau menepati tanggung jawabmu."
Akay mengernyit. "Maksudnya?"
"Menikahi cucuku."
Seketika, suara-suara gaduh kembali terdengar. Beberapa warga mengangguk-angguk, seolah mendukung gagasan gila itu.
Akay melongo. "Apa?! Nenek, saya bisa bayar biaya pengobatan, tapi menikahi cucu Nenek? Nggak masuk akal!"
Nenek Ros tiba-tiba tersungkur lagi, kali ini lebih dramatis. Kedua tangannya bersimpuh di jalan berdebu. "Aku mohon, Nak... Umurku nggak panjang lagi. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku mati..."
Akay menggeleng cepat. "Nenek, ini gila! Saya bahkan nggak kenal cucu Nenek!"
Kerumunan warga mulai bergumam. Beberapa terlihat kasihan, yang lain tersenyum-senyum seolah sudah tahu akhir ceritanya.
"Nenek Ros sudah banyak membantu desa ini," seseorang berkata.
"Iya, dia yang membangun balai desa ini, menyekolahkan anak-anak kita…"
Yang lain berbisik pelan, "Kasihan banget pemuda itu, harus menikah dengan cucu nenek Ros yang terkenal badung."
Orang yang dibisiki menyahut, "Di desa ini aja nggak ada yang berani mendekatinya."
"Apalagi berharap bisa mengendalikan cucu nenek Ros yang satu itu."
Akay meremas rambutnya frustasi. "Nenek, saya bisa bayar berapa pun biaya pengobatan, tapi menikahi cucu Nenek? Itu gila!"
"Tidak, Nak," Nenek Ros bersimpuh lagi di jalan, suaranya bergetar penuh kepasrahan. "Aku ingin mati dengan tenang. Cucu perempuan satu-satunya belum menikah, sedangkan umurku sudah di ujung tanduk. Jika kau benar-benar pria baik, kau akan memenuhi permintaan terakhir seorang nenek tua sepertiku…"
Akay menatapnya dengan napas memburu. Otaknya masih berusaha menemukan celah keluar dari situasi sinting ini. "Mimpi apa aku semalam?" batinnya ingin berteriak.
"Kalau saya menolak?" tanyanya dengan nada menantang.
Sorot mata Nenek Ros berubah. Dari pasrah… menjadi tajam dan penuh perhitungan.
"Kalau kau menolak," katanya, suaranya kini dingin, "aku tidak akan melepaskan tanahku untuk proyekmu. Kau ingat lahan di dekat sungai? Itu milikku."
Akay sontak membeku. "Apa?"
Warga yang tadi sibuk berbisik-bisik kini terdiam, menyadari bahwa ini bukan sekadar drama nenek tua yang ingin melihat cucunya menikah.
Nenek Ros tersenyum kecil. "Kau mungkin tak tahu, Nak, tapi tanah yang kau butuhkan untuk proyek besarmu itu… tanahku. Dan aku tidak akan menandatangani satu pun dokumen pelepasan tanah jika kau tidak menikahi cucuku."
Akay merasakan tubuhnya menegang.
Tidak. Ini tidak mungkin terjadi.
Selama ini, ia selalu percaya diri bahwa proyek yang sedang ia tangani akan berjalan lancar. Ia sudah berjanji pada atasannya bahwa semuanya akan selesai sesuai rencana. Tidak ada hambatan. Tidak ada celah bagi kegagalan.
Tapi sekarang?
Jika Nenek Ros benar-benar tidak melepaskan tanah itu, proyeknya akan berhenti. Atasannya akan menderita kerugian besar. Kepercayaan yang sudah ia bangun selama ini akan hancur.
Dan Akay benci kegagalan.
Tangannya mengepal. "Ini pemerasan."
"Pemerasan? Tidak, ini hanya… negosiasi yang adil." Senyum Nenek Ros kembali lembut. "Aku hanya meminta kau menikahi cucuku. Toh, kau pria tampan dan bertanggung jawab, bukan? Jangan khawatir, cucuku sangat cantik."
Akay menggeram. Ia ingin menolak, ingin kabur dari situasi gila ini. Tapi ia juga tahu, ini bukan sekadar ancaman kosong.
Jika ia menolak, maka ia harus siap menghadapi proyek yang berantakan.
"Astaga…" Akay menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang bisa menyelamatkannya. Tapi para warga hanya tersenyum penuh harap, seolah-olah mereka sedang menyaksikan acara pernikahan tahun ini.
"Sekarang bagaimana, Nak?" suara Nenek Ros terdengar sabar. "Aku sudah menyiapkan semuanya. Bahkan memanggil cucuku ke sini. Kau hanya perlu mengucap akad."
Akay mengepalkan rahangnya begitu keras hingga nyaris retak.
Ia terjebak.
Dan tidak ada jalan keluar.
Akay sadar, ia sudah terperangkap.
Di tempat lain, Aylin menatap heran seorang lelaki yang berlari tergopoh-gopoh ke rumahnya.
"Aylin! Nenekmu tertabrak mobil!"
Jantungnya nyaris copot. "Apa?!"
"Dia ada di balai desa! Cepat ke sana!"
Panik, Aylin segera berlari.
Tapi saat tiba di balai desa, langkahnya langsung terhenti. Ia berdiri mematung di ambang pintu balai desa, matanya melebar melihat pemandangan di hadapannya.
Di hadapannya, bukan suasana genting khas kecelakaan. Bukan neneknya yang terbaring di atas tandu atau warga yang sibuk menolong.
Yang ada justru... pelaminan.
Tirai putih dan emas tergantung anggun, dihiasi bunga-bunga segar. Meja akad sudah tertata rapi, dengan buku nikah di atasnya. Para warga desa duduk rapi di kursi masing-masing, beberapa bahkan tersenyum penuh harap.
Ia menoleh ke kanan, melihat neneknya berdiri dengan mata berkaca-kaca. Di sebelahnya, seorang pemuda berwajah tampan, tapi sorot matanya penuh kejengkelan.
"Selamat datang, cucuku," ujar Nenek Ros dengan suara dramatis. "Inilah calon suamimu."
Aylin butuh beberapa detik untuk mencerna semua ini sebelum akhirnya menoleh tajam ke arah neneknya.
"Apa-apaan ini?!" suaranya nyaris memekik.
Akay menatap Aylin dengan ekspresi yang tak kalah syok, melihat gadis yang akan dinikahinya. "Jangan tanya aku! Aku juga korban!"
Tapi Nenek Ros hanya tersenyum puas, sementara warga desa bertepuk tangan, seolah menyaksikan awal dari kisah cinta luar biasa.
Atau mungkin… perang dunia ketiga.
Aylin tertawa sumbang. "Nenek pasti bercanda."
"Tidak," jawab Nenek Ros ringan. "Nenek sudah menyiapkan semuanya. Akay sudah setuju."
Aylin menoleh ke pria yang disebut Akay, yang balas menatapnya dengan sorot mata sebal.
"Tunggu, tunggu." Aylin mengangkat tangan, meminta semua ini berhenti. "Nenek tiba-tiba menabrakkan diri ke mobil orang, lalu menyuruh pria asing ini menikah denganku? Nenek sehat?"
Beberapa warga tersentak mendengar nada kasarnya, tapi Nenek Ros tetap tenang.
"Aylin, dengarkan Nenek baik-baik," katanya dengan nada lembut tapi menusuk. "Nenek tidak punya banyak waktu. Sebelum meninggal, Nenek hanya ingin melihatmu menikah."
Aylin mengerutkan kening. "Menikah? Dengan orang yang bahkan tidak aku kenal?"
"Kalian bisa saling mengenal setelah menikah," balas Nenek Ros enteng.
"Astaga, ini konyol!" Aylin mengusap wajahnya. "Aku tidak mau menikah dengan siapapun! Apalagi dengan pria ini!"
Akay mengangkat alis, sepertinya tersinggung juga. Namun sesaat kemudian ia tersenyum ketika melihat rambut Aylin yang acak-acakan, dipadukan dengan kaus oversize, celana pendek ripped jeans, dan sandal jepit. "Kau sangat cantik."
"Tentu!" Aylin mengibaskan rambutnya dengan gaya dramatis, penuh percaya diri.
Akay tersenyum miring. "Sayang, keanggunanmu ketutupan sama gaya kayak habis berantem sama ayam. Wajahmu sih, mendukung buat jadi putri, tapi kelakuanmu lebih cocok jadi Tarzan. Gue? Ogah kawin sama cewek macem lu."
Para warga menahan tawa.
Nenek Ros? Dia hanya tersenyum makin puas.
Aylin membelalakkan matanya, wajahnya memerah karena amarah. "Sialan! Siapa juga yang mau nikah sama kamu? Tampangmu sih lumayan, tapi mulutmu seperti cabai setan!"
Dia menatap Akay tajam sebelum beralih ke Nenek Ros. "Lihat? Kami berdua menolak! Nenek nggak bisa memaksa!"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Nenek Ros menghela napas panjang, lalu menatap Aylin dengan ekspresi penuh wibawa.
"Oh, tentu saja Nenek bisa."
Aylin merasakan hawa dingin di tengkuknya. "Maksud Nenek?"
"Aylin," suara Nenek Ros kini terdengar lebih dingin, lebih tajam. "Kalau kau menolak pernikahan ini, jangan harap kau akan mendapat sepeser pun dari warisan Nenek."
Ruangan langsung sunyi.
Aylin menegang. "Apa?"
Nenek Ros tersenyum kecil. "Iya, Sayang. Semua warisan Nenek, aset, tanah, rumah, uang... tidak akan menjadi milikmu kalau kau menolak menikah dengan Akay."
Aylin ternganga.
"Nenek bercanda."
"Nenek tidak pernah bercanda soal hal serius," balas Nenek Ros. "Dan kalau kau berani menuntut cerai, maka semua harta itu akan jatuh ke tangan Akay, bukan kepadamu."
Jantung Aylin berdegup kencang.
Gila.
Ini benar-benar gila!
Ia berusaha mencari celah, mencari argumen untuk melawan neneknya. Tapi dari ekspresi wajah wanita tua itu, ia tahu tidak ada yang bisa ia lakukan.
"Ini manipulasi," gumamnya.
"Ini untuk kebaikanmu," balas Nenek Ros.
Aylin mengepalkan tangan. "Aku tidak peduli harta!"
"Bagus," sahut Nenek Ros. "Kalau begitu, kau tidak akan keberatan jika Nenek tidak memberikanmu sepeserpun harta yang nenek miliki, 'bukan?"
Aylin mendengus kasar. "Aku tidak mau menikah dengan pria yang bahkan tidak aku kenal, yang mulutnya sepedas cabai rawit!"
"Terserah kau," Nenek Ros mengangkat bahu. "Tapi kalau kau tidak menikah dengannya, jangan harap kau bisa menyentuh warisan keluargamu."
Aylin ingin berteriak.
Ini tidak adil!
Tapi ia tahu, Nenek Ros selalu menepati kata-katanya. Jika ia menolak pernikahan ini, maka semua yang menjadi haknya akan hilang.
Ia menatap Akay dengan penuh kebencian, lalu kembali menatap neneknya.
"Nenek jahat," bisiknya.
Nenek Ros tersenyum tipis. "Nenek hanya ingin yang terbaik untukmu."
Aylin ingin membantah, ingin lari, ingin menghancurkan pelaminan sialan itu. Tapi tubuhnya terasa kaku.
Neneknya sudah menang.
Dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Beberapa Menit Kemudian
Balai desa masih ramai oleh warga yang penasaran. Aylin berdiri di depan meja kayu panjang, wajahnya penuh amarah saat membaca lembar perjanjian di tangannya. Sementara itu, Akay duduk di sampingnya, wajahnya datar seperti batu.
“Aku. Tidak. Mau!” Aylin menekankan setiap kata, melempar pena ke meja.
“Aylin…” Suara Nenek Ros terdengar pelan, tapi tegas. "Kalau kamu menolak, Nenek akan menarik kembali semua harta yang seharusnya jadi milikmu."
Mata Aylin menyipit, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Nenek nggak bisa begitu!"
"Oh, tentu bisa." Ros tersenyum tipis sambil mengangkat sebuah dokumen yang sudah ditempeli materai. "Harta itu milik Nenek, 'kan? Kalau kamu menolak menikah dengan Akay, Nenek akan menandatangani surat hibah seluruh harta ini kepada negara. Sekarang pilih mana, kau yang tanda tangan atau Nenek yang tanda tangan?"
Aylin merengut, menatap Akay yang tampak santai, seolah dia tidak terpengaruh sama sekali. Pemuda itu menyilangkan tangan di dadanya, seakan menunggu keputusan dengan malas.
“Kau juga tidak suka pernikahan ini, kan?” Aylin menatap Akay, berharap pemuda itu juga akan menolak.
Akay menghela napas panjang sebelum menatapnya santai. “Ya, aku juga nggak suka. Sayangnya, aku lebih nggak suka kehilangan proyekku. Jadi…” Ia mengambil pena, lalu dengan mudah membubuhkan tanda tangannya di atas kertas.
Aylin memekik marah. "Bajingan!"
"Wah, terharu aku, dapat panggilan mesra dari calon istriku. Calon istriku begitu cantik memesona… tapi sayang, kelakuannya kayak preman pasar." balas Akay santai. "Sekarang giliranmu."
Aylin benar-benar ingin menghajar pria itu. Tangannya gatal, kakinya siap menendang, tapi sayangnya, ada neneknya di sini. Matanya bergantian melirik ke arah sang nenek, lalu ke kertas di depannya, dan akhirnya ke Akay—pria brengsek yang duduk santai seolah ini hanya formalitas biasa.
"Bajingan tengil!" umpatnya dalam hati. Kalau bukan karena neneknya, ia sudah melemparkan kursi ke kepala pria itu.
Aylin mengepalkan tangan, berusaha meredam amarah yang mendidih di dadanya. Napasnya memburu, jemarinya mencengkeram pena begitu kuat hingga buku jarinya memutih.
"Dasar pria kurang ajar! Seenaknya memaksaku begini! Tunggu saja, Akay. Aku tidak akan tinggal diam!"
Dengan geram, ia menekan pena ke atas kertas, hampir merobeknya, lalu menyeret tanda tangannya dengan kasar seolah ingin menusuk nama sialan yang sekarang resmi menjadi suaminya.
"Bagus." Ros menyunggingkan senyum puas. "Mulai sekarang, kalian resmi menjadi suami istri di mata hukum."
Ros kemudian menoleh ke seorang wanita di dekatnya dan memberi perintah tegas. "Siapkan mereka. Kita akan melangsungkan pernikahan secara agama."
***
Kamar tempat mereka akan menghabiskan malam pertama adalah kamar Aylin. Bukan kamar mewah dengan ranjang king size bertabur bunga seperti di drama romantis, tapi kamar bergaya klasik dengan ranjang kayu yang... mungkin agak sempit jika untuk tidur berdua.
Aylin berdiri di dekat pintu, menatap Akay dengan curiga. "Kau tidur di lantai!"
Akay tertawa pendek, berjalan menuju ranjang. "Aku pikir itu ranjang milikku, mengingat aku yang lebih dewasa di sini."
Aylin mendengus. "Dewasa? Kau cuma pria menyebalkan yang dipaksa menikah denganku!"
Akay menatapnya malas. “Ya, dan kau gadis manja yang beruntung mendapatkan suami sepertiku.”
Aylin mendelik. “Siapa yang beruntung? Aku terpaksa menikah dengan pria kasar yang nggak punya sopan santun!”
Akay menyeringai. “Masa? Padahal kau cantik.”
Aylin terhenti sesaat, bibirnya hampir membentuk senyum puas. “Tentu saja. Aku memang—”
“Tapi sayangnya, bukan tipeku,” potong Akay sebelum Aylin bisa merayakan pujian itu.
Wajah Aylin langsung memerah, amarahnya meluap. "Bangsat kau!" umpatnya geram.
"Sialan! Kenapa aku selalu termakan pujiannya? Padahal sudah jelas, setiap kata manis yang keluar dari mulutnya cuma jebakan, umpan untuk menjatuhkannya di detik berikutnya."
Aylin mengepalkan tangan, giginya hampir bergemeletuk menahan kesal. "Kenapa aku sebodoh ini? Kenapa tiap kali dia memuji, aku langsung percaya diri, hanya untuk akhirnya dibanting begitu saja?"
Ia menggerutu dalam hati, menatap Akay dengan penuh kebencian. "Dasar brengsek, suatu hari aku akan membalikkan semua ini!"
Akay tertawa kecil. “Ups, tersinggung? Ya sudah, kalau gitu kau tidur di lantai saja.”
Aylin mengambil bantal dan melemparkannya ke Akay, tapi pria itu dengan mudah menangkisnya. “Aku tidur di ranjang, titik!”
“Terserah.” Akay mengangkat bahu lalu membaringkan tubuhnya dengan santai. “Aku nggak akan menyentuhmu. Kau terlalu bocah, bukan seleraku.”
Aylin mendecak kesal. Dia benar-benar ingin menghajar dan memutilasi pria ini!
Malam pertama mereka bukan malam penuh gairah seperti di novel-novel romansa, melainkan malam penuh perang mulut yang membuat kepala Aylin nyaris meledak.
Malam semakin larut, dan Aylin masih terjaga. Ia menggigil kedinginan di lantai beralaskan bedcover tipis, sementara Akay tidur nyenyak di ranjang. Matanya menatap tajam ke arah pria yang tengah terlelap, dadanya naik turun dengan tenang. Kesal setengah mati, Aylin ingin sekali menghajar wajah Akay yang tampak begitu nyaman.
"Sial! Kenapa dia bisa tidur nyenyak sementara aku menderita begini?" gerutunya pelan.
Aylin beringsut mendekat ke tempat tidur, menyeringai jail. Dengan perlahan, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Akay. Pria itu bergeming, hanya menggeliat sedikit.
"Hah! Rasakan ini!" Aylin menarik selimut lebih jauh hingga tubuh Akay hanya tertutup kaos tipis.
Namun, sebelum Aylin bisa kembali ke tempatnya, Akay tiba-tiba menggenggam tangannya, matanya masih setengah tertutup. "Mau ngapain, hah? Mencuri selimutku?"
Aylin terperanjat, tapi dengan cepat menyembunyikan rasa bersalahnya. "Aku? Mencuri? Ini selimutku, sejak kapan jadi selimutmu?"
Akay membuka matanya sepenuhnya, lalu menyeringai. "Sejak aku jadi suamimu. Kamu dingin? Kenapa nggak bilang dari tadi?"
Aylin mendengus. "Bilang pun percuma, kamu nggak bakal peduli."
Akay menghela napas panjang, lalu bergeser sedikit. "Sini tidur di ranjang, tapi ingat, jangan sampai nyentuh aku!"
Aylin mendelik. "Mimpi! Aku lebih baik beku di lantai daripada tidur di ranjang yang sama denganmu!"
"Ya, sudah!" sahut Akay acuh.
...🌟"Jangan menganggap remeh orang yang menjengkelkanmu. Bisa jadi, dia adalah guru kehidupan yang sedang menguji kesabaranmu, sebelum akhirnya memberi hadiah cinta yang tak terduga untukmu."🌟...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Pagi itu, aroma masakan khas desa memenuhi ruang makan. Aylin duduk di kursinya dengan wajah masam, sementara Akay menikmati sarapannya dengan tenang. Nenek Ros duduk di ujung meja, menatap keduanya dengan sorot mata penuh harapan.
"Aylin, ambilkan teh untuk suamimu," perintah Ros lembut.
Aylin melirik sekilas ke arah Akay sebelum menjawab datar, "Dia punya tangan sendiri."
Ros menghela napas panjang, menahan kesabarannya. "Aylin, Nak, tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini."
Aylin meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar, lalu menatap neneknya. "Nenek tahu pernikahan ini hanya paksaan. Dia bukan suamiku yang sebenarnya, jadi aku tidak perlu melayaninya."
Ros terdiam sesaat, lalu mengalihkan pandangannya ke Akay. "Maafkan cucuku, Akay. Dia memang keras kepala dan belum memahami arti pernikahan. Aku memohon padamu, bimbinglah dia, didiklah dia."
Akay yang sejak tadi hanya menyimak akhirnya bersuara, "Saya bisa mencoba, Nek. Tapi Aylin harus mau berubah."
Aylin mendengus dan bangkit dari kursinya. "Aku tidak mau mendengar ini lagi." Tanpa menoleh, ia melangkah keluar rumah, meninggalkan Ros dan Akay di meja makan.
Ros menghela napas berat, menatap cucunya yang semakin menjauh. "Maafkan Nenek, Aylin... Maaf karena terpaksa menyerahkanmu dalam pernikahan yang tidak kau inginkan. Tapi Nenek tak punya pilihan lain," batinnya. Ia kembali menghela napas yang terasa sesak, lalu beralih menatap Akay dengan penuh harap. "Akay, Nenek tahu pernikahan ini terjadi bukan atas kehendak kalian. Tapi ikatan yang telah kalian buat adalah sesuatu yang suci. Nenek memaksa kalian menikah, tapi bukan berarti Nenek ingin kalian menganggapnya permainan."
Akay menatap Ros dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa Nenek begitu percaya pada saya? Kita baru bertemu, tapi Nenek menyerahkan cucu Nenek dan segalanya pada saya."
Ros tersenyum tipis, matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Nenek tidak akan menikahkan cucu Nenek, satu-satunya pewaris keluarga kami, dengan pria sembarangan."
Akay terdiam, mencerna kata-kata Ros. Dalam hatinya, ia bergumam, "Dia berkata seperti itu berarti dia sudah mencari tahu tentang aku. Siapa sebenarnya nenek ini?"
Setelah beberapa saat hening, Akay akhirnya bersuara, "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Nek."
Ros tersenyum tipis, matanya menatap Akay dengan penuh keyakinan. "Nenek memang tidak salah menilaimu," katanya, lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Dengan gerakan pelan namun pasti, ia menyerahkannya kepada Akay. "Simpan baik-baik. Itu kontak orang kepercayaan Nenek. Jika suatu saat kamu butuh bantuan atau ingin tahu lebih jauh tentang keluarga kami, hubungi dia."
Akay menerima kartu itu, menatapnya sekilas. "Baik, Nek. Kalau begitu, saya pamit pergi bekerja."
Ros mengangguk, menatap punggung Akay yang menjauh dengan sorot mata penuh harapan. Ia tahu, meskipun pernikahan ini bukan pilihan Aylin, Akay adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga cucunya saat ia tiada.
Ros menghela napas pelan, matanya masih mengikuti punggung Akay yang menjauh. Ia ingin percaya bahwa semua ini adalah keputusan terbaik. Bahwa Akay bisa menjaga Aylin. Tapi benarkah?
"Aku tahu tubuhku semakin lemah. Setiap pagi, aku bangun dengan nyeri yang semakin tajam di perutku, dan aku harus menahan diri agar tidak menunjukkan betapa menyiksanya ini. Aku bahkan tak yakin bisa bertahan seminggu ke depan. Tapi aku tak bisa pergi dengan tenang jika Aylin masih sendirian. Dia keras kepala, liar, dan selalu menolak untuk tunduk. Aku hanya bisa berharap Akay bisa menjaganya…."
***
Aylin melangkah dengan gontai menuju danau tersembunyi di balik rimbunan pohon, tak jauh dari desa. Napasnya berat, bukan karena lelah, tapi karena amarah yang belum juga mereda. Sejak pagi ia memilih menghilang, enggan pulang ke rumah karena hatinya masih panas—bukan hanya pada neneknya, tapi terutama pada Akay.
Ia berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti langkah kakinya yang terasa ringan meski kepalanya penuh beban. Begitu sampai di tepi danau, ia menjatuhkan diri dengan kasar di atas rerumputan. Jemarinya mencelup ke dalam air dingin, tapi itu tidak cukup untuk mendinginkan amarah yang berkecamuk di dadanya. Dengan sebal, ia menendang kerikil kecil ke permukaan air, menciptakan riak yang langsung menghilang—seperti kesabarannya yang habis dalam sekejap.
"Aku benci mereka," gerutunya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Kenapa sih, hidupku harus begini? Kenapa harus ada dia?"
Ia meraup air dan membasuh wajahnya, berharap dinginnya bisa menyadarkan dirinya, tapi tetap saja, bayangan Akay dengan wajah menyebalkan itu kembali memenuhi pikirannya.
"Kenapa harus dia? Kenapa bukan pria lain?" gerutunya dengan nada frustrasi.
Akay, pria yang usianya jauh di atasnya, sekarang adalah suaminya. Bukan atas keinginannya, tapi karena paksaan sang nenek. Aylin menggeram, menggenggam sejumput rumput dan mencabutnya dengan kasar. "Aku tidak akan membiarkan ini terus berlangsung. Aku harus menemukan cara agar dia menceraikanku."
Senyum perlahan terbit di wajahnya, senyum yang bisa disebut lebar—atau mungkin lebih tepat disebut licik. Jika Akay menceraikannya, maka ia tak hanya bebas, tapi juga kaya raya. Sesuai perjanjian yang mereka tandatangani, Akay harus membayar denda yang jumlahnya tidak sedikit jika memilih berpisah dengannya.
"Bayangkan saja... janda kembang muda dan kaya raya. Hidupku akan jauh lebih menyenangkan tanpa pria menyebalkan itu," bisiknya, matanya berkilat penuh perhitungan.
Ia mulai merancang berbagai skenario dalam kepalanya. Skenario yang akan membuat Akay begitu muak dan menyerah hingga memilih untuk menceraikannya.
Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat. Langit telah berubah menjadi oranye keemasan, dan bayangan pohon di tepi danau semakin memanjang. Aylin menarik napas dalam, memeluk lututnya sendiri. Ia tak berniat pulang dulu. Tidak sampai ia benar-benar menemukan cara yang sempurna untuk melepaskan diri dari pernikahan yang menyebalkan ini.
***
Akay menghela napas panjang saat mobilnya memasuki pekarangan rumah Nenek Ros. Hari yang panjang dan melelahkan ini belum berakhir, karena di dalam rumah itu ada seorang gadis keras kepala yang bahkan enggan mengakui dirinya sebagai suami.
Ia mendesah, memijat pelipisnya. "Mungkin... sepertinya hidupku bakal lebih dramatis daripada sinetron azab subuh-subuh."
Namun, sebelum ia sempat memarkirkan mobilnya dengan benar, seorang wanita paruh baya, ART nenek Ros, bergegas keluar dari rumah dengan wajah panik. Ia berlari menghampiri mobil Akay dan mengetuk kaca jendela dengan napas memburu.
"Tuan Akay! Cepat masuk! Nenek Ros jatuh!" serunya dengan suara gemetar.
Jantung Akay mencelos. Tanpa pikir panjang, ia keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah, mengikuti wanita itu.
Di ruang tengah, ia melihat sosok nenek Ros tergeletak di lantai. Tubuh renta itu tampak lemah, napasnya tersengal, dan matanya setengah terpejam. Akay segera berlutut di sampingnya, tangannya hendak mengangkat tubuh wanita tua itu dengan hati-hati.
Namun, sebelum ia sempat berbuat lebih jauh, nenek Ros meraih tangannya dengan sisa tenaga yang ia miliki. Cengkramannya lemah, tetapi cukup untuk menghentikan gerakan Akay.
"Tolong... jaga Aylin..." suara nenek Ros lirih, terputus-putus. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti perjuangan.
Akay menelan ludah, hatinya mencelos. "Nenek, tahan dulu! Aku akan membawamu ke rumah sakit!"
Nenek Ros tersenyum samar, tatapannya mulai kosong. Napasnya tersengal, semakin melemah. Bibirnya sedikit bergerak, ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara tak lagi keluar. Matanya perlahan tertutup.
"Nenek? Nenek!" Akay mengguncang tubuh wanita itu dengan panik.
ART yang berdiri tak jauh dari mereka membekap mulutnya, tubuhnya gemetar menyaksikan kejadian di depan matanya.
Detik demi detik berlalu, dan kesunyian yang mencekam melingkupi ruangan. Tak ada lagi tarikan napas dari nenek Ros. Waktu seakan berhenti saat kenyataan menghantam Akay seperti badai yang tak terduga.
Nenek Ros... telah tiada.
Akay terdiam, menatap wajah tenang wanita tua itu yang baru saja pergi meninggalkan dunia ini. Ia menggertakkan giginya, menelan kesedihan yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. Dalam hatinya, ia tahu—janji yang barusan diucapkan oleh Nenek Ros adalah titah terakhirnya. Ia harus menjaganya.
Ia harus menjaga Aylin.
...🌟🌟🌟...
..."Saat kita muda, kita sering memberontak terhadap batasan orang tua. Saat kita dewasa, kita merindukan batasan itu sebagai bukti cinta dan perhatian mereka."...
..."Cinta orang tua adalah kompas yang mungkin terasa mengikat saat kita muda, tetapi akan selalu menuntun kita pulang saat kita tersesat."...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!