Mahendra Aditya atau Mahen, begitu teman-temannya memanggil, sudah terbiasa dengan kesibukan yang nyaris tanpa jeda. Sejak kehilangan kedua orang tuanya dua tahun lalu, ia tahu hidupnya tidak akan pernah semudah dulu.
Pagi hari, ia adalah siswa kelas tiga di sebuah SMA negeri biasa. Sore hingga malam, ia berubah menjadi pegawai minimarket, mengenakan seragam merah dengan nama tokonya tertera di dada kiri. Hari-harinya selalu padat, penuh dengan jadwal yang nyaris tak memberinya ruang untuk bernapas santai.
Hari ini, seperti biasa, Mahen bergegas keluar dari sekolah begitu bel pulang berbunyi. Ia tidak seperti teman-temannya yang bisa mampir ke kantin untuk nongkrong dulu sebelum pulang. Begitu lonceng berbunyi, itu tandanya ia harus cepat-cepat menuju halte dan naik angkot ke minimarket tempatnya bekerja.
Saat sampai di toko, Mahen segera mengganti seragam sekolahnya dengan seragam pegawai. Ia menatap dirinya sebentar di cermin di ruang karyawan, seragamnya sedikit longgar, rambutnya agak berantakan, dan kantung matanya mulai terlihat karena sering tidur larut.
Begitulah hidupnya.
Tanpa banyak bicara, ia langsung turun ke lantai toko dan mulai bekerja. Sore itu, minimarket sedang cukup ramai. Beberapa pelanggan datang untuk membeli camilan, beberapa hanya melihat-lihat, sementara Mahen memastikan semua rak tetap rapi dan stok barang tidak berantakan.
Saat sedang merapikan rak mi instan, sebuah suara dari meja kasir terdengar memanggilnya.
"Mahen, bantu angkat stok dari gudang, ya!"
Mahen menoleh dan melihat Tyo, rekan kerjanya, yang sedang sibuk melayani pelanggan. Ia mengangguk dan segera berjalan ke gudang. Mengangkat kardus berisi botol minuman dingin dan memasangnya di lemari pendingin adalah hal yang sudah biasa ia lakukan. Meski badannya tidak terlalu besar, tenaga Mahen lebih kuat dari yang terlihat, mungkin karena terbiasa bekerja sejak lama.
Hari berlalu dengan cepat. Pergantian pelanggan tak ada habisnya, suara mesin kasir berbunyi setiap beberapa menit sekali, dan Mahen terus bergerak tanpa banyak berpikir. Pekerjaan ini mungkin tidak luar biasa, tapi bagi Mahen, ini adalah langkah kecilnya untuk bertahan hidup di dunia yang keras.
Ketika langit mulai gelap, Tyo, rekan kerja Mahen izin pulang terlebih dahulu karena dia ingin menjenguk orang tuanya yang sedang dirawat di rumah sakit. Akhirnya, Mahen lah yang mengerjakan semuanya, namun untung saja di jam segitu para pelanggan tidak terlalu ramai, jadinya Mahen bisa beristirahat terlebih dahulu.
Tidak berselang lama dari Mahen yang istirahat, tiba tiba terdengar suara dorongan pintu yang menandakan adanya pelanggan. Mahen langsung bergegas menyambut pelanggan di meja kasir.
"Selamat datang di toko kami, ada yang bisa saya bantu?"
"oh, ternyata wanita itu" gumam Mahen di dalam hati
Wanita itu menoleh ke arah Mahen dengan tatapan yang datar. Mahen pun membalasnya, namun wanita itu langsung membuang pandangannya.
Jam menunjuk ke arah 23.00 yang menandakan toko harus ditutup, karena toko ini tidak buka 24 jam. Mahen melakukannya seperti biasa, mulai dari melihat barang barang, mematikan lampu, dan menutup toko.
"huaa, akhirnya selesai juga" ucap Mahen dengan wajah yang tidak kuat menahan rasa kantuk.
Mahen pulang dengan berjalan kaki. Dia tidak memiliki kendaraan pribadi, juga kos tempat dia tinggal ngga terlalu jauh dari sini.
Udara dingin malam hari mulai menyelimuti tubuh Mahen.
"akhirnya sampai juga"
Mahen bergegas masuk kosnya yang penuh dengan kesunyian. Mahen terdiam sejenak saat baru mulai memasuki kos, sebelum akhirnya dia pergi menuju kasurnya tanpa mengganti pakaian.
Mahen meletakkan badannya pada sebuah kasur. Dia menatap ke atas.
"andai semuanya masih ada"
Kemudia, Mahen segera menutup matanya untuk tidur, karena hari esok akan sama seperti hari ini.
paginya pada hari sabtu, Mahen memulai harinya seperti biasa. Setelah bangun dari kasur tipis di kosannya yang sempit, dia langsung bersiap-siap untuk bekerja di minimarket tempatnya mencari nafkah. Rutinitasnya sudah terbentuk: bangun, mandi cepat, sarapan seadanya, lalu bergegas menuju tempat kerja dengan langkah yang pasti.
Di minimarket, Mahen dikenal sebagai pegawai yang rajin. Meski baru beberapa bulan bekerja di sana, ia sudah lebih cekatan dibanding beberapa pegawai lama. Supervisor-nya sering memuji ketekunannya, meski tetap memberikan tugas-tugas berat seperti menyusun stok barang atau menangani pelanggan yang rewel.
Sekitar pukul sembilan pagi, seorang pelanggan masuk ke minimarket. Wanita itu mengenakan pakaian elegan, rambutnya tertata rapi, dan aroma parfumnya begitu lembut namun mahal. Dia adalah Kanaya Anindya. Seorang wanita kaya yang cukup sering belanja di minimarket itu. Tidak ada yang tahu alasan sebenarnya, mengingat dia pasti bisa belanja di tempat yang lebih mewah.
Mahen yang sedang menyusun rak makanan ringan sekilas melirik ke arah pintu. Matanya sempat menangkap sosok Kanaya, tapi dia langsung kembali fokus ke pekerjaannya. Baginya, pelanggan ya pelanggan. Tidak peduli sekaya atau semewah apa pun mereka.
Namun, hari itu berbeda. Kanaya tidak langsung mengambil barang dan menuju kasir seperti biasanya. Ia terlihat berkeliling lebih lama, sesekali mencuri pandang ke arah Mahen yang sibuk dengan tugasnya. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang menarik perhatiannya. Mungkin karena ketekunan yang terpancar dari setiap gerakannya, atau mungkin karena ekspresi wajahnya yang selalu serius tapi tetap tenang.
"Maaf, bisa tolong ambilkan susu di rak atas?" tanya Kanaya tiba-tiba.
Mahen yang sedang membungkuk membereskan barang sedikit terkejut. Ia segera berdiri dan berjalan ke arah Kanaya, lalu mengambil satu kotak susu dari rak.
"Yang ini, Mbak?" tanyanya singkat.
Kanaya tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Iya, terima kasih."
Mahen menyerahkan susu itu tanpa banyak bicara, lalu kembali ke pekerjaannya. Tapi Kanaya tidak langsung pergi. Ia berdiri di sana beberapa detik, memperhatikannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke pesan orang tuanya yang selalu menekankan pentingnya mencari pasangan yang bekerja keras dari nol, bukan sekadar menikmati warisan.
Saat Kanaya berjalan menuju kasir, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang Mahen. Apa yang membuatnya begitu berbeda dari pria-pria kaya yang selama ini mencoba mendekatinya? Tanpa sadar, ia mulai merencanakan sesuatu.
Sementara itu, Mahen hanya menganggap kejadian tadi sebagai interaksi biasa. Dia tidak tahu bahwa hari itu adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
Siang bergulir dengan cepat. Mahen terus sibuk dengan pekerjaannya, sesekali menyusun ulang rak yang mulai kosong atau membantu pelanggan yang kebingungan mencari barang. Meski lelah, ia tetap melakukan pekerjaannya dengan tekun.
Sementara itu, Kanaya masih belum pergi. Setelah membayar belanjaannya, ia duduk di dalam mobilnya yang diparkir di depan minimarket. Entah kenapa, pikirannya terus tertuju pada Mahen.
“Kenapa aku jadi memperhatikannya seperti ini?” gumamnya pelan.
Kanaya menghela napas panjang. Ia mencoba mengabaikan pikirannya dan fokus pada kegiatannya yang lain. Namun, sebelum sempat pergi, ia melihat Mahen keluar dari minimarket, membawa kardus kosong ke tempat pembuangan. Ia memperhatikan cara Mahen bekerja—gerakannya cepat, tapi tetap rapi. Wajahnya tampak serius, seperti seseorang yang terbiasa bekerja keras tanpa mengeluh.
Kanaya tersenyum kecil. Ada sesuatu dalam dirinya yang tersentuh melihat pemandangan itu.
Malam harinya, Mahen menutup toko seperti biasa. Setelah memastikan semua barang di dalam minimarket sudah tertata dengan baik, ia merapikan seragamnya dan bersiap pulang. Namun, saat keluar dari minimarket, ia terkejut melihat sebuah mobil mewah masih terparkir di sana. Lampunya menyala, menandakan ada seseorang di dalamnya.
Dari dalam mobil, Kanaya memperhatikan Mahen. Ia ragu-ragu, tapi akhirnya menurunkan kaca jendela dan menyapa.
"Mahendra Aditya," ucapnya tiba-tiba.
Mahen yang baru saja mengunci pintu minimarket menoleh dengan bingung. “Iya, Mbak?”
Kanaya tersenyum. "Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh."
Mahen mengerutkan kening. "Maksudnya, Mbak?"
Kanaya tertawa kecil. “Aku penasaran dengan seseorang yang bekerja sekeras dirimu.”
Mahen masih bingung dengan maksud perkataan wanita itu, tapi ia hanya mengangguk pelan. “Saya cuma melakukan pekerjaan saya, Mbak.”
Kanaya menatap Mahen sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, sampai jumpa lagi.”
Ia menutup jendela mobilnya dan melajukan kendaraannya, meninggalkan Mahen yang masih berdiri dengan ekspresi bingung.
Di dalam mobil, Kanaya tersenyum kecil. Ia tahu, ini bukan terakhir kalinya mereka bertemu.
Di perjalanan pulang. Kanaya mengendarai mobilnya sendiri, dengan wajah serius dia mengemudikan mobilnya, tetapi sekali kali dia tersenyum dengan sendirinya karena mengingat interaksi yang terjadi tadi.
Mahen baru sampai rumahnya. Dengan wajah yang kusam dan badannya yang seperti mengangkat beban, dia langsung meletakkan badannya di kasur tempat kos nya. Dia menatap langit langit tembok dengan tatapan kosongnya, tanpa sadar mulutnya berbicara pelan "cantik sekali... "
Mahen menggelengkan kepala, merasa aneh dengan hal itu. Ia langsung beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi, mengambil handuk yang tergantung di pintu kamar mandi. Mahen mengambil handuk itu dan menaruhnya di pundaknya.
Pintu kamar mandi terbuka. Aroma wangi dari sabun tersebar ke seluruh kamar kos yang sempit itu. Mahen berjalan keluar dari kamar mandi, sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Udara malam yang dingin menyelimuti tubuh Mahen, tetapi ia tidak memedulikannya
Mahen selesai mengganti bajunya menggunakan celana pendek dan kaos oblong, tidak seperti anak muda lainnya yang ketika lelah langsung tidur. Mahen bukan orang yang memiliki sifat pemalas. Mahen berjalan menuju meja belajarnya sambil menyeret kursi yang ada di dalam meja. Terlihat tumpukan buku buku yang tertata rapi di atas meja. Ia mengambil salah satu buku yang telah lama ingin ia baca, lalu membuka halaman pertama dengan tenang.
Meskipun hidupnya penuh dengan kerja keras, Mahen selalu menyempatkan dirinya untuk membaca buku setiap hari, ia sadar bahwa satu satunya cara untuk keluar dari lingkaran kemiskinan adalah dengan terus mencari ilmu dan meningkatkan dirinya. Buku adalah tempat pelarian dia ketika lelah.
Di luar, suara kendaraan sesekali terdengar dari jalanan kecil tempat kosnya berada. Angin malam berhembus perlahan melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Mahen menarik napas dalam, menikmati momen-momen kecil yang hanya bisa ia rasakan seorang diri.
Di tempat lain, Kanaya juga tidak bisa berhenti memikirkan Mahen. Ia menepikan mobilnya sejenak di pinggir jalan, lalu menatap ke luar jendela sembari menghirup udara malam. Kota terlihat begitu hidup di malam hari, tapi pikirannya melayang ke satu orang.
"Mahendra Aditya..." ucapnya pelan dengan nada senang.
Ia tersenyum kecil, lalu kembali melajukan mobilnya. Ada sesuatu yang ingin ia lakukan besok—sesuatu yang akan membawanya lebih dekat pada pria itu.
Mentari pagi mulai bangun, menandakan hari telah berganti. Suara ayam berkokok terdengar nyaring, bersahut-sahutan dari kejauhan. Udara pagi yang masih sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela kos Mahen, menyentuh kulitnya yang masih terasa hangat di bawah selimut tipis.
"Masih libur, ya?" gumam Mahen sambil menguap. Matanya masih terasa berat, tapi ia tahu ia tak boleh bermalas-malasan.
Tak seperti kebanyakan orang yang masih terbaring di kasur saat hari libur, Mahen justru tetap menjalani aktivitas rutinnya. Ia melipat selimut, merapikan tempat tidur, lalu mengambil sepatu larinya yang sudah agak usang. Baginya, olahraga bukan sekadar kebiasaan, tetapi investasi untuk masa depan. Ia sadar, tak ada yang bisa menjamin kehidupannya nanti. Jika ia jatuh sakit di usia tua, siapa yang akan merawatnya? Maka, sebelum itu terjadi, ia harus menjaga tubuhnya tetap sehat.
Saat keluar dari kos, udara pagi menyambutnya dengan kesejukan yang khas. Ia menghirup dalam-dalam, membiarkan paru-parunya dipenuhi udara segar sebelum mulai melangkah. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, ditambah orang-orang yang mulai membuka lapak dagangan mereka di pinggir jalan.
Langkahnya mantap, ritmenya teratur. Setiap tarikan napas terasa segar, membantunya mengusir sisa kantuk yang masih menggelayuti pikirannya. Dari kejauhan, ia melihat seorang penjual bubur tengah merapikan gerobaknya, sementara seorang ibu-ibu menyapu halaman toko. Mahen tersenyum kecil. Ada ketenangan dalam kesederhanaan pagi ini, sesuatu yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk siang hari.
Saat melewati taman kecil di pinggir jalan, Mahen memperlambat langkahnya. Sekelompok anak kecil tampak sedang bermain bola, tertawa riang tanpa beban. Sesaat, Mahen teringat masa kecilnya—masa di mana hidupnya belum seberat sekarang. Tapi ia segera mengusir pikiran itu. Hidupnya memang sulit, tapi ia tak punya waktu untuk meratapi.
Setelah beberapa putaran, ia berhenti sejenak, mengatur napasnya. Keringat mulai membasahi pelipisnya, tapi tubuhnya terasa lebih segar. Ia melihat ke arah langit, matahari mulai naik sedikit demi sedikit, menandakan hari akan semakin sibuk.
Mahen menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Waktunya pulang dan bersiap untuk hari yang baru.
Saat perjalanan pulang, kendaraan sudah berlalu lalang. Mahen tidak terlalu menyukai keramaian tetapi juga tidak suka sendirian.
Langkah Mahen terhenti di depan sebuah toko kecil di pinggir jalan. Rak-rak kayu berjejer rapi disana, berbagai kebutuhan sehari hari terpampang rapi di dalamnya. Mahen memutuskan untuk masuk, berniat membeli sebotol air putih untuk melepas dahaganya setelah selesai joging pagi.
"permisi Bu. Air putihnya satu, yang dingin" ucap Mahen dengan nada lembut.
Seorang wanita paruh baya yang menjaga toko datang sambil tersenyum ramah "sebentar ya nak, ibu ambilkan".
Wanita itu berjalan ke dalam, membuka kulkas kecil yang ada di sudut ruangan. Mahen menunggu dengan sabar, sesekali dia menatap keluar dan melihat jalanan yang sudah dilewati banyak kendaraan.
Tak lama kemudian, wanita itu kembali sambil membawa botol air dingin yang dibeli Mahen. "ini, Nak. tiga ribu rupiah," ucapnya sambil menyerahkan botol dingin itu.
Mahen mengeluarkan dua lembar uang yang Ia ambil dari dompet, lalu menyerahkannya dengan sopan "ini, Bu. Terimakasih".
Mahen keluar dari toko, tangannya masih menggenggam botol air yang terasa dingin di kulitnya. Pandangannya tertuju pada bangku kayu di depan toko, terlihat nyaman dan sedikit terlindung dari sinar matahari yang mulai menghangat.
Ia berjalan ke sana dan duduk perlahan, merasakan semilir angin pagi yang masih menyisakan kesejukan. Dengan satu gerakan, ia membuka segel botol airnya.
Krekk!
Bunyi segel yang terbuka terdengar jelas di tengah kesibukan pagi. Tanpa pikir panjang, Mahen meneguk air itu perlahan. Rasanya begitu segar, membasahi tenggorokannya yang kering setelah berolahraga. Ia menutup matanya sejenak, menikmati sensasi dingin yang mengalir ke dalam tubuhnya.
Beberapa menit berlalu dalam ketenangan. Mahen menyandarkan punggungnya pada bangku, matanya memandang lalu lintas yang semakin ramai. Ada sesuatu yang menenangkan dalam momen sederhana ini. Hanya duduk, minum air, dan mengamati dunia bergerak tanpa henti.
Setelah merasa cukup beristirahat, Mahen berdiri, meregangkan tubuhnya sedikit. Hari masih panjang, dan ia harus segera kembali ke kos untuk bersiap menjalani aktivitas berikutnya.
Sesampainya dirumah. Mahen melepas sepatunya dan menaruhnya di rak depan kos nya. Mahen membuka pintu kos nya yang disambut dengan kesunyian dan kegelapan.
Mahen yang lelah, langsung membaringkan tubuhnya ke kasur tipis di kos nya yang berniat hanya untuk mengistirahatkan badannya yang lelah setelah selesai joging. Mata Mahen melihat ke langit-langit kamar, kelopak mata Mahen mulai menutup dengan sendirinya. Tanpa sadar, Mahen sudah tertidur karena kelelahan.
Waktu berlalu tanpa terasa. Suasana kamar yang sepi membuat tidurnya semakin lelap. Namun, ketika suara samar dari luar mulai terdengar—bunyi kendaraan melintas dan suara anak-anak bermain—Mahen menggeliat pelan. Matanya terbuka sedikit, tapi begitu melihat jam di dinding, ia langsung tersentak.
Pukul 14.00.
Mahen terkejut, matanya membelalak. Ia buru-buru bangkit dari kasur, menatap arah jarum jam yang dengan jelas menunjukkan angka dua. Jantungnya berdegup lebih cepat.
"Astaga, sudah jam dua!" gumamnya panik.
Padahal, jam tiga sore ia harus berangkat kerja. Itu berarti ia hanya punya waktu satu jam untuk mandi, makan, dan bersiap-siap. Tanpa pikir panjang, Mahen segera beranjak, meraih handuknya, lalu bergegas menuju kamar mandi dengan langkah tergesa-gesa. Untungnya, minimarket tempat Mahen bekerja tidak terlalu jauh dari tempat kos nya. Mahen segera berlari sekencang-kencangnya, berharap bahwa ia belum terlambat.
Mahen mulai masuk ke dalam minimarket dan bergegas menuju bagian gudang untuk mengambil barang yang perlu ia tata. Setelah menata barang, Mahen langsung mengambil alih meja kasir, karena Tyo dan dua rekan kerja Mahen yang lain masih mengangkut barang-barang yang baru saja dikirimkan truk.
Mahen terlihat begitu santai di meja kasir. Ia menata uang sambil bersiul, padahal di luar ruangan, teman teman Mahen sedang sibuk mengangkut barang.
"INI SAYA DULU YA MBAK YANG NGAMBIL!!!"
"ENAK AJA, INI SAYA DULU YANG NGAMBIL!!!"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang keras dari arah tempat mie instan. Mahen yang kaget langsung bergegas menuju ke sumber suara itu.
Benar saja, ternyata ada dua Ibu - ibu sedang berebut mie instan. Mahen segera menghampiri kedua Ibu - ibu itu.
"Permisi, Bu. Ada apa ya?" tanya Mahen dengan suara lembutnya.
"Ini loh, Mas. Padahal saya dulu yang ngambil mie nya, eh tiba tiba aja si Ibu ini narik mie nya" jawab salah satu Ibu itu dengan nada kesal.
"Tapi, Mas. Saya dulu yang liat mie nya" jawab Ibu lainnya yang tak terima.
Mahen bingung, bagaimana cara menghadapi dua Ibu-ibu yang sedang berebut makanan. Tapi, Mahen baru ingat kalau minimarket nya sedang melakukan re-stock.
"Ibu-ibu, jangan bertengkar dulu ya. Kita lagi re-stock kok, Ibu. Jadi, ngga perlu khawatir" ucapan yang lembut dan sopan itu keluar dari mulut Mahen, yang membuat kedua Ibu - ibu itu berhenti bertengkar dan memutuskan untuk saling mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Mahendra lega, karena bisa menenangkan kedua Ibu-ibu itu. Ia pun segera kembali ke meja kasirnya untuk melayani pelanggan lainnya.
Langit berubah menjadi gelap, bintang - bintang bertaburan di atas gelapnya malam, udara dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan udara dingin dari luar mulai menyelimuti sekujur tubuh Mahen. Malam itu, Mahendra izin pulang terlebih dahulu, karena ia merasa jika badannya terasa lemas dan tidak sanggup menahan dinginnya malam.
Sesampainya di kos, Mahen segera mengambil obat pusing yang tergeletak di atas meja. Ia meraih segelas air, lalu menelan obat tersebut dengan sekali teguk. Setelah itu, ia duduk di tepi kasurnya, merasakan kelelahan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Tangannya mengusap wajah, mencoba menghilangkan rasa pening yang masih tersisa.
Dari luar jendela, suara motor dan obrolan penghuni kos lain terdengar samar-samar. Mahen menoleh ke arah jam dinding—baru pukul sembilan malam. Ia menarik napas panjang, lalu merebahkan tubuhnya di kasur yang terasa dingin.
Tatapannya mengarah ke langit-langit kamar yang penuh bercak noda akibat kebocoran lama. Pikirannya melayang, mengingat kejadian hari ini, pertengkaran kecil antara Ibu-ibu, dan kelelahan yang semakin terasa.
"Dingin sekali malam ini..." gumamnya pelan.
Mahen menarik selimut tipisnya, mencoba menghangatkan tubuhnya. Perlahan, matanya mulai terasa berat, dan tanpa sadar, ia pun terlelap dalam keheningan malam.
Sementara itu, Kanaya sedang bermain ponsel di kamarnya. Kanaya tersenyum, sambil melihat lihat foto Mahendra Aditya yang Ia ambil diam diam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!