*Seorang pria keluar dari Fashion House* Rose Marrie, butik ternama yang dikenal dengan koleksi mewah dan eksklusifnya. Langkahnya cepat dan penuh keyakinan. Di tangannya, sebuah cover clothes berisi gaun pengantin mewah nan indah tergenggam erat, sementara tangan kanannya memegang ponsel, membahas bisnis miliaran yang akan ia raih esok hari.
Pria itu adalah Ethan Ruan, pengusaha muda paling berpengaruh di seluruh pelosok Tianrong Nation—negara adidaya dengan ekonomi maju dan politik penuh intrik. Di usia 29 tahun, ia telah mencapai puncak kejayaan. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi menjulang dengan bahu lebar dan dada bidang yang terlihat jelas di balik kemeja putihnya. Aura maskulin dan karismatiknya terpancar kuat.
Dua minggu lagi, ia akan menikahi Susan Lin, seorang direktur cantik dan cakap di Neo Digital Bank, salah satu bank terbesar dan paling inovatif di negara itu. Untuk melamar gadis itu, Ethan telah menyiapkan kejutan luar biasa—gaun pengantin yang harganya setara dengan sebuah mobil Force keluaran terbaru.
Tik! Tik!
Tetesan hujan pertama jatuh ke aspal, kecil, hampir tak terasa. Namun dalam sekejap, langit yang semula cerah mendadak berubah kelam. Awan hitam tebal bergulung-gulung, menyelimuti kota dalam bayangan gelap. Udara yang tadi hangat perlahan berubah dingin, membawa serta angin yang berembus kencang. Hujan mulai turun dengan intensitas yang semakin deras, membasahi trotoar dan jalanan yang kini dipenuhi pantulan cahaya lampu kendaraan.
Ada sesuatu yang tidak beres.
Ethan mendongak sekilas ke langit yang kini gelap pekat. Ia mengerutkan kening. Kenapa cuaca tiba-tiba berubah seperti ini?
Tapi ia tak punya waktu untuk memikirkannya. Yang terpenting sekarang adalah gaun ini tidak boleh basah.
Ia menutup ponselnya dan mulai berlari, tanpa memperhatikan lampu penyebrangan berwarna merah menyala—peringatan jelas bahwa ia tak boleh menyeberang.
"Susan pasti akan menyukai gaun ini," pikirnya sambil mempercepat langkah. "Semuanya harus sempurna."
Di saat yang sama, sebuah mobil putih melaju menembus hujan deras.
Anna Li, seorang gadis muda berbakat, memegang kemudi dengan erat. Wiper mobilnya bergerak cepat, tapi derasnya hujan membuat dunia di depannya tampak buram. Kilatan petir membelah langit, menambah ketegangan yang menusuk dadanya.
"Aku harus cepat!" pikir Anna. "Ini debutku. Aku tidak boleh terlambat. Semua kerja kerasku akan sia-sia kalau aku tidak sampai tepat waktu."
Ia menggigit bibirnya. Tangannya semakin erat menggenggam kemudi.
"Bagaimana jika mereka menolakku? Bagaimana jika gaunku tidak cukup bagus?"
Ia menggelengkan kepalanya. Tidak! Tidak ada waktu untuk berpikir seperti itu. Ia harus percaya diri. Ini adalah langkah besar dalam kariernya.
Namun, perasaan aneh tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhnya. Ketegangan yang tak bisa dijelaskan.
Ethan semakin dekat ke jalan.
Anna semakin menekan pedal gas.
Siluet seseorang muncul di hadapannya.
"Apa itu?" pikir Anna, matanya membelalak.
BRAK!
Suara benturan keras mengguncang udara. Tubuh seseorang terlempar ke udara, berputar dalam kehampaan sebelum jatuh menghantam aspal dengan bunyi yang menggetarkan.
Jantung Anna serasa berhenti.
"TIDAK! APA YANG BARU SAJA AKU LAKUKAN?"
Tangannya gemetar di atas kemudi. Napasnya tercekat. Dunia di sekitarnya terasa hening, seolah waktu berhenti.
Di depannya, seseorang tergeletak tak bergerak di tengah jalan basah, diterangi pantulan lampu kendaraan yang mulai berhenti.
Gaun pengantin rancangan pertamanya…
Gaun yang selama ini ia impikan, yang seharusnya berjalan anggun di atas panggung debutnya, kini menghilang dari pikirannya.
Sebagai gantinya, bayangan lain muncul—gaun pengantin lain, tapi bukan miliknya.
Sebuah gaun putih… berlumuran darah.
Darah pria itu.
Pemandangan itu menghantam pikirannya seperti badai yang tak terelakkan. Seolah-olah nasib mempermainkannya, menggantikan debut impiannya dengan mimpi buruk yang tak akan pernah bisa ia hapus.
Anna terkejut. Dunia terasa berhenti berputar.
Tangannya yang masih menggenggam kemudi bergetar hebat. Napasnya memburu, dadanya naik turun, tapi udara seakan tak bisa mencapai paru-parunya. Keringat dingin merembes di pelipisnya, bercampur dengan ketakutan yang semakin menyesakkan.
Matanya perlahan bergerak ke depan, menembus hujan yang masih deras menghantam bumi. Sosok pria itu… tergeletak di atas aspal, tak bergerak.
Tidak… Tidak…
Anna menelan ludah, tapi tenggorokannya terasa kering. Dengan tangan gemetar, ia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Darah… Darah mulai menyebar, mengalir di atas aspal yang dingin.
Langkahnya terasa berat saat ia mendekat. Lututnya melemas, tubuhnya jatuh di sisi gaun pengantin yang kini berlumuran merah. Gaun yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan… kini ternoda oleh tragedi.
Tiiin! Tiiin!
Suara klakson mobil di sekitarnya meraung, bersaing keras dengan suara hujan yang terus menghantam jalanan. Pekak. Memekakkan telinga. Menikam hatinya dengan kepiluan.
Anna memejamkan mata sesaat, tubuhnya gemetar. Ini bukan mimpi. Ini nyata.
Dia telah menabrak seseorang.
Tangannya perlahan bergerak, ingin menyentuh gaun pengantin itu. Jarinya nyaris menyentuh kain yang dulu ia impikan sebagai mahakarya perdananya. Tapi di saat yang sama… darah pria itu merembes ke telapak tangannya.
Darah hangat itu terasa di kulitnya.
Anna menahan napas. Tidak. Ini bukan tentang gaun lagi.
Dengan gemetar, ia merangkak mendekat. Jantungnya berdetak begitu kencang, rasa panik menyergap seluruh tubuhnya. Dia harus bertindak!
Tangannya terulur, menyentuh bahu pria itu, mengguncangnya dengan lembut.
“Hei…” suaranya tercekat. “Hei! Bangun!”
Tak ada reaksi.
Panik melanda. Anna dengan putus asa menarik tubuh pria itu ke dalam rangkulannya, menggoyang-goyangkan bahunya dengan lebih kuat. Air matanya mulai menggenang.
“Kau tidak boleh mati!” teriaknya, suaranya serak, penuh ketakutan.
Ia mendekatkan telinganya ke dada pria itu, berharap… memohon…
Degup jantung.
Masih ada! Masih berdetak!
Anna terisak lega, tapi rasa takut belum pergi. Pria itu pucat. Bibirnya membiru. Matanya terpejam tanpa ekspresi.
Dia masih hidup, tapi sampai kapan?
Anna menoleh dengan panik, menatap siapa pun yang kini mulai berkerumun. Wajah-wajah asing memandangnya dengan tatapan cemas, beberapa hanya berbisik, beberapa mengeluarkan ponsel untuk merekam.
Tidak! Mereka tidak boleh hanya diam!
Air mata bercampur hujan membasahi wajahnya. Suaranya pecah saat ia memohon, “Tolong! Tolong aku! Seseorang bantu aku mengantarnya ke rumah sakit!”
Namun, tak ada yang langsung bergerak. Mereka semua hanya terpaku, seakan masih mencoba memahami situasi ini.
Anna putus asa.
Tangannya terus menggenggam erat pria itu, mendekapnya lebih erat seakan jika ia melepaskan, nyawa pria ini akan ikut pergi bersama rinai hujan yang jatuh tanpa henti.
Anna terisak, mengguncang bahunya lagi. “Hei! Kau dengar aku? Kau tidak boleh mati! Kumohon…”
Tepat saat kepanikan mencapai puncaknya, suara lain menggantikan bising klakson—sirene.
Woo—woo—woo!
Anna menoleh. Cahaya merah dan biru memantul di genangan air, menerangi jalanan yang masih diguyur hujan.
Tak lama, seorang petugas keamanan tampak berlari mendekat, diikuti beberapa orang paramedis dengan tandu. Langkah mereka cepat, tegas.
Untuk pertama kalinya, sedikit kelegaan menyusup ke hati Anna.
Namun, rasa takut belum benar-benar pergi.
Belum sampai pria ini selamat.
Tangannya masih menggenggam erat lengan pria itu saat paramedis mulai mendekat. Seorang di antaranya berjongkok di sampingnya, menyentuh lengannya dengan lembut.
“Kami akan menanganinya, Nona.”
Anna menatap wajah pria itu sekali lagi—pucat, dingin, tak bergerak.
Apakah ia masih punya waktu?
Matanya berkabut oleh air mata saat ia perlahan melepaskan genggamannya. Dan untuk pertama kalinya, ketakutan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam—ingin mati jika pria itu mati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anna termangu, menatap ambulans yang dengan tergesa memasukkan seorang pria—bersama tubuh dan mimpinya—ke dalamnya. Tatapannya jatuh pada gaun pengantin yang kini ternoda darah, renda putihnya berubah merah pekat. Warna itu, yang seharusnya melambangkan kebahagiaan, kini menenggelamkannya dalam rasa bersalah yang tak tertanggungkan.
Suara sirene membangunkannya dari lamunan panjang. Ia mencoba berdiri meski tubuhnya terasa lemah. Namun, baru satu langkah ia ambil, pandangannya kembali tertuju pada gaun itu—sebuah saksi bisu tragedi yang baru saja terjadi.
“Gaun ini pasti sangat berarti baginya,” gumam Anna lirih. Ia menatap kain itu dengan tatapan sendu, lalu perlahan berlutut untuk mengambilnya. Tanpa sadar, tangannya meremas gaun itu erat, seolah mencoba memahami beban yang kini menyertainya.
Dengan langkah ragu, ia naik ke dalam ambulans, membawa serta gaun itu bersamanya.
Di dalam, Anna duduk di sisi pria yang terbaring pucat. Selang oksigen terpasang di hidungnya, tetapi napasnya begitu lemah, nyaris tak terlihat.
Air mata menggenang di pelupuk mata Anna, jatuh perlahan membasahi gaun pengantin yang kini penuh darah. Jemarinya yang gemetar meremas kain itu erat, seakan berusaha meredam sesak yang menggulung dadanya. Dengan suara nyaris tak terdengar, ia berbisik,
“Aku… aku benar-benar minta maaf… Aku tidak pernah ingin ini terjadi. Seandainya aku bisa memutar waktu, aku lebih memilih terluka daripada membuatmu terbaring seperti ini…”
Suaranya bergetar, napasnya tersendat di antara isakan yang ia tahan. Perlahan, ia mengangkat wajah, menatap pria itu lebih dekat. Meskipun wajahnya pucat dan tubuhnya lemah, ketampanannya tetap terlihat jelas di mata Anna. Rahangnya yang tegas, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang sedikit terbuka seakan hendak mengucapkan sesuatu—semua membuatnya tampak begitu tenang, hampir seperti sedang tertidur dalam damai.
Anna menelan tangisnya, menahan dorongan untuk menyentuh wajah itu lebih lama. Ia membayangkan, seandainya kejadian ini tak pernah terjadi, pria ini pasti sedang berdiri gagah di altar, menanti kekasihnya datang dengan senyum penuh cinta. Seharusnya malam ini adalah malam yang paling indah dalam hidupnya. Namun, kini, semuanya telah hancur—dan itu karena dirinya.
Dengan hati-hati, Anna mengulurkan tangannya, ujung jarinya menyentuh pipi pria itu yang terasa dingin.
“Seharusnya aku tidak ada di sini…” suaranya nyaris tercekat. "Seharusnya ini bukan aku. Seharusnya ini adalah malam paling bahagia dalam hidupmu..."
Matanya menelusuri setiap lekuk wajah pria itu, menghafalkan setiap detailnya, seolah ingin mengukirnya dalam ingatan selamanya. Perasaan aneh menyelinap di hatinya—sebuah getaran yang tak ia pahami. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja ia temui bisa meninggalkan jejak begitu dalam dalam hatinya?
Dengan napas tertahan, ia menggenggam tangan pria itu dengan lembut, menautkan jemarinya di antara jemari yang terasa dingin.
“Aku rela kehilangan semua impianku… asalkan Tuhan tidak mengambil mimpimu malam ini.”
Rasa bersalah itu menghantam dada Anna seperti gelombang yang tak berhenti. Selama ini, ia bermimpi merancang gaun pengantin yang akan membawa kebahagiaan, membalut seseorang dalam cinta dan harapan. Namun, malam ini, bukan kebahagiaan yang ia ciptakan—melainkan luka. Gaun yang seharusnya menjadi saksi cinta kini justru menjadi saksi tragedi, ternoda darah dan air mata.
Jemarinya menyentuh lembut kain mewah itu, baru menyadari betapa mahal nilainya—setara dengan sebuah Mercedes-Benz S-Class terbaru, namun kini hanya menjadi saksi bisu tragedi.
Tatapannya beralih ke wajah pria itu, begitu tampan meski pucat. Dengan suara lirih, ia berbisik,
“Pasti kau sangat mencintainya…”
Kepalanya tertunduk, membiarkan air matanya mengalir tanpa persetujuannya.
Tak lama, Ambulans itu berhenti mendadak di depan Unit Gawat Darurat, sirinenya masih meraung sebelum akhirnya terhenti. Pintu belakang terbuka lebar, dan dalam hitungan detik, seorang pria—berlumuran darah, napasnya tersengal-sengal—segera didorong masuk ke ruang tindakan.
Anna berdiri terpaku, tubuhnya terasa kaku. Ia melihat para dokter dan perawat bergerak cepat, memasang alat-alat medis, memeriksa kondisi pria itu dengan ekspresi tegang.
Lalu, seorang perawat tua dengan wajah lelah mendekatinya, menyodorkan selembar kertas dan sebuah pena.
"Tanda tangani ini."
Anna mengerjap. "Apa ini?"
"Persetujuan operasi. Kami butuh izin keluarga."
Jantungnya berdegup semakin kencang. Ia menggeleng cepat. "Aku bukan keluarganya. Aku... aku hanya—"
"Kau istrinya, kan?" Perawat itu menatapnya tajam, suaranya mendesak. "Dokter tidak bisa melakukan operasi tanpa tanda tangan keluarga. Kau mau dia mati?!"
Dunia Anna berputar. Ia menatap pria yang terbaring di ranjang itu—wajahnya pucat, napasnya tersengal, darah masih mengalir dari pelipisnya. Jika ia tidak menandatangani kertas itu sekarang, pria itu mungkin tidak akan bertahan.
Tapi ia bukan istrinya.
Ia hanya orang asing.
Atau lebih tepatnya… orang yang menabraknya.
"Cepat! Waktu kita tidak banyak!"
Anna menatap pena di tangannya. Dalam kepalanya, semua skenario buruk berkelebat. Jika ia menulis namanya di sana, itu berarti ia berbohong. Itu berarti ia menempatkan dirinya dalam masalah yang lebih besar.
Tapi jika ia tidak menandatanganinya…
Tangannya gemetar saat pena menyentuh kertas. Dengan satu tarikan napas, ia menulis namanya. Huruf demi huruf terasa berat, tetapi ia tetap melakukannya.
Dan kemudian, dengan tangan yang masih gemetar, ia menuliskan statusnya.
Istri dari Ethan Ruan.
Begitu ia menyelesaikan tanda tangannya, perawat itu langsung menarik kertas dari tangannya dan bergegas pergi. Anna menatap kosong ke depan. Napasnya berat.
Saat itu juga, ia tahu—ia baru saja membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Dan harga yang harus ia bayar… mungkin jauh lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.
Anna melangkah mengikuti perawat di depannya, tapi setiap langkah terasa seperti beban yang semakin menjerat. Dada dan tenggorokannya terasa sesak, napasnya pendek-pendek. Ia berusaha tetap tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tapi ketakutan itu mulai menggerogoti pikirannya.
Bagaimana jika mereka tahu? Bagaimana jika seseorang bertanya tentang pernikahan mereka? Bagaimana jika ada keluarga pria itu yang datang dan mengungkap kebohongannya?
Pikirannya semakin kacau. Ia merasa ingin berlari. Meninggalkan semuanya. Berpura-pura tidak pernah ada di sini.
Tapi saat perawat tiba-tiba berbelok ke lorong lain, Anna spontan menghentikan langkahnya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, suaranya nyaris tak terdengar saat ia bertanya:
"Di… di mana suamiku akan dioperasi?"
Lidahnya terasa kelu saat mengucapkan kata suamiku. Seakan kata itu tidak pantas keluar dari mulutnya.
Perawat itu menoleh. Sejenak ia tidak langsung menjawab. Sepasang matanya yang teduh, di balik kacamata yang sedikit turun, menelusuri sosok Anna. Pandangannya jatuh pada gaun putih yang kusut, noda darah yang mengotori ujung kainnya.
Lalu, dengan suara pelan, ia bergumam, "Apakah ini cobaan pengantin baru?"
Jantung Anna mencelos. Ia merasakan tubuhnya melemah, seakan-akan lututnya tidak lagi sanggup menopang berat dosanya.
Jika ini memang cobaan… maka ia bukan pengantin baru yang sedang diuji. Tetapi, ialah setan bencana di balik gaun pengantin bernoda ini.
Ia adalah penyebab dari cobaan itu.
Senyum kecil muncul di wajahnya, tapi itu bukan senyum bahagia. Itu senyum getir. Senyum seseorang yang tahu ia baru saja menanam benih kehancurannya sendiri.
Sebuah dosa yang akan terus menghantuinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anna melangkah mengikuti instruksi perawat menuju ruang operasi. Setiap langkah terasa berat, seolah sesuatu menahannya untuk terus maju. Ia duduk diam, menatap kosong ke arah lampu darurat yang berpendar merah. Sinar itu menusuk matanya, tapi yang membuat dadanya sesak adalah bayangan kejadian yang terus berputar di kepalanya—momen saat ia menabrak seorang pria yang belakangan ia ketahui bernama Ethan.
Ethan. Nama itu kini bergema dalam benaknya, membawa rasa bersalah yang semakin menggunung. Tianrong Nation tak butuh waktu lama untuk menemukan identitas seseorang. Cukup satu sentuhan ibu jari pada pemindai sidik jari, dan segalanya terungkap. Tidak ada tempat untuk bersembunyi, tidak ada cara untuk menghindar.
Anna masih terpaku menatap sinar merah di atas kepalanya. Napasnya tersengal, pikirannya berantakan. Ia berbisik dalam hati, memohon agar pria itu tetap hidup. Jika sesuatu yang buruk terjadi padanya… tidak, ia tak sanggup membayangkannya.
Dring! Dring!
Ponselnya berdering, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. Tangannya bergetar saat meraihnya, tetapi sebelum sempat menjawab, panggilan itu berakhir. Nama Rina Wei tertera di layar.
Tak lama, sebuah pesan video masuk. Dengan ragu, Anna membukanya.
Di layar, panggung megah terlihat bersinar dalam gemerlap lampu-lampu sorot. Di antara tepuk tangan meriah, seorang model melangkah anggun, mengenakan gaun pengantin rancangannya. Anna terdiam. Ia hampir melupakan acara ini.
Namun, ada sesuatu yang terasa tidak beres. Alisnya terangkat. Rina tidak pernah meminta izin sebelumnya. Lalu, sebuah video lain masuk.
Di sana, Rina berdiri di tengah sorotan lampu, trofi kemenangan tergenggam erat di tangannya.
Sebelum Anna sempat mencerna semuanya, sebuah pesan muncul di layar:
"Anna, aku tidak punya pilihan! Kau tidak datang, dan aku hanya mencoba menyelamatkan kesempatan ini. Mereka pikir akulah desainernya, dan aku tidak mungkin mempermalukan diriku sendiri di depan semua orang. Lagipula, kau pasti mengerti kan? Aku melakukannya juga untukmu… Aku tidak mencuri milikmu, aku hanya menjaga agar namamu tetap ada di dunia fashion. Aku akan mengklarifikasi setelah ini, tapi tolong jangan marah… Aku juga tak ingin terlihat buruk di mata mereka…"
Anna membeku. Jemarinya mencengkeram ponsel, napasnya tercekat. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh.
Sungguh ironis. Seharusnya ini menjadi momen yang selama ini ia impikan—berdiri di atas panggung, menerima penghargaan untuk karyanya sendiri. Tapi kini, panggung itu bukan miliknya. Gaun yang ia rancang dengan sepenuh hati dikenakan orang lain, sementara dirinya hanya bisa duduk di ruangan dingin ini, memikirkan dua kesalahan besar dalam hidupnya.
Di satu sisi, ada pria yang mungkin tengah berjuang antara hidup dan mati karena kelalaiannya. Di sisi lain, ada sahabat yang tanpa ragu mengambil tempatnya, lalu meminta pengertiannya dengan alasan yang terdengar manis tapi beracun.
Dan yang lebih menyakitkan, Anna tak tahu mana yang lebih harus ia sesali.
Anna gemetar, bukan karena dinginnya ruangan, tetapi karena kemenangan yang seharusnya menjadi miliknya kini hanya bayangan samar di kejauhan. Namun, ia tak bisa terus larut dalam kekecewaannya. Perhatiannya teralihkan ketika langkah tergesa-gesa menggema di lorong rumah sakit.
Seorang wanita muda berlari, gaunnya berayun mengikuti langkah paniknya. Riasan natural di wajahnya tampak sempurna, tetapi air mata yang jatuh perlahan menambahkan kesan rapuh yang menyedihkan—atau mungkin hanya sekadar ilusi. Ia cantik, begitu anggun dengan sorot kedewasaan yang menenangkan. Namun, ada sesuatu dalam ekspresinya yang terasa terlalu terlatih, terlalu sempurna, seperti kesedihan yang sengaja dipertontonkan.
"Apakah Ethan ada di dalam?" tanyanya dengan suara lembut bergetar, berhenti tepat di depan pintu ruang operasi. Jemarinya yang gemetar menyentuh permukaan kayu, seolah berharap bisa menembusnya dan mencapai sosok di baliknya.
Seorang pria menyusul dari belakang. Dengan sigap, ia merangkul bahu wanita itu, menahannya dalam dekapan yang terlalu erat untuk sekadar penghiburan.
"Aku tidak kuat..." bisik wanita itu, tubuhnya bersandar semakin dalam ke dada pria itu. "Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Ethan? Aku tidak tahu harus bagaimana tanpanya..."
Pria itu tersenyum tipis, jarinya mengusap lengan wanita itu dengan lembut, nyaris seperti belaian. "Jangan sedih," suaranya rendah dan dalam, ada nada menggoda terselip di dalamnya. "Ada aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian..."
Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu dengan mata basah yang penuh kepasrahan. "Kau tidak akan meninggalkanku juga, kan?" suaranya hampir seperti bisikan yang menggantung di udara, menunggu jawaban yang diinginkannya.
Pria itu terkekeh kecil, lalu menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya. "Tentu saja tidak," katanya dengan suara lebih pelan. "Aku selalu ada untukmu… lebih dari siapa pun."
Wanita itu menggigit bibirnya, entah ragu atau justru menikmati kata-kata itu. Tapi kemudian, seolah baru tersadar, ia mengangkat wajahnya dan tiba-tiba menangis lebih keras, kali ini dengan raungan yang menggema di lorong rumah sakit.
"Ethan!"
Jeritan itu menusuk udara, membuat semua orang di sekitar menoleh.
Anna membeku.
Darahnya seperti berhenti mengalir, dan jantungnya mencengkeram dadanya dengan kuat.
Ia tahu siapa wanita itu.
Dan itu berarti, ia tahu siapa Ethan baginya.
Di depan matanya, sebuah kenyataan lain tersingkap. Tidak hanya tentang pria yang tengah berjuang antara hidup dan mati, tetapi juga tentang wanita yang menangis untuknya—dan pria lain yang diam-diam tersenyum dalam bayang-bayang kesempatan.
Anna meremas gaun pengantin yang ternoda darah, jemarinya mencengkeram erat kain yang seharusnya menjadi milik mempelai wanita itu. Tapi sekarang, gaun itu terasa seperti belenggu, seperti beban yang menghancurkannya perlahan.
Jantungnya berdegup liar, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Napasnya tercekat saat suara langkah mendekat—terlalu familiar, terlalu mengancam.
Lalu di sana, berdiri di bawah cahaya rumah sakit yang dingin dan kejam, sosok itu yang terlihat rapuh.
Sang mempelai wanita.
Wanita itu tampak begitu sempurna, begitu anggun dalam kesedihannya. Mata yang berkilat-kilat oleh air mata justru semakin mempertegas keindahannya. Gaun putih yang dikenakannya masih bersih, utuh—tidak seperti milik Anna, yang ternoda oleh darah dan dosa.
Anna menahan napas, tubuhnya mulai gemetar.
Ia seharusnya tidak ada di sini.
Ia seharusnya tidak pernah menyentuh gaun ini.
Ia seharusnya tidak pernah bertemu Ethan.
Ia seharusnya tidak pernah melaju dan menabrak Ethan.
Gaun berdarah itu kini terasa begitu berat dalam genggamannya, seolah menariknya ke dalam pusaran kesalahan yang tak bisa ia hindari. Tatapan mempelai wanita itu mengunci pandangannya, dan di balik keheningan yang menyakitkan, Anna menyadari satu hal.
Tidak ada tempat untuknya di sini. Tidak ada tempat untuk seseorang yang telah mencuri momen yang bukan miliknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!