CAPTER 1
POSTINGAN ANDIK
Hari ini Ilyas berangkat kerja diantar oleh
Andik lantaran kemarin laki-laki itu kena apes, motornya keserempet mobil box. Kebetulan
juga sekolah tempat Andik mengajar satu jalur namun lebih jauh jaraknya. Dan
sore itu tepat pukul tiga tiga puluh Andik keluar dari gedung sekolah, sekolah
dimana ia mengajar menerapkan system full day. Ia agak terburu-buru meninggalkan ruang guru, langkahnya juga cepat menyusuri lorong sekolah melewati lapangan untuk bisa
mencapai tempat parkir.
"Udah keluar belum ya itu anak?!" gumannya sambil naik ke motor. Kemudian segera
tancap gas meninggalkan sekolah, menerobos gerbang. Seperti biasa tangan
kirinya selalu terangkat manakala melewati pos keamanan.
Baru beberapa menit berkendara menyusuri
jalanan yang mulai padat ponsel Andik berdering namun ia abai, yakin jika dering
ponsel itu tak lain dari Ilyas yang memintanya dijemput. Benar juga setibanya ia di depan kantor pemerintah tepatnya kantor Pajak dan Retribusi Daerah Ilyas sudah nongol di luar. Berdiri tak sabar menunggu kedatangan Andik di depan tulisan instansi tersebut.
"Lama, Dik?!" cerca Ilyas, dan memasang helm segera.
"Lama apanya?! Orang langsung keluar habis ngajar! ... Tapi mampir dulu ke ruang guru buat absen...." ucapnya yang meninggi di awal namun rendah di akhir kalimat.
"Ya … sorry nggak usah ngegas!" balas Ilyas, ditepuknya pundak Andik supaya menjalankan motor secepatnya.
Sambil berkendara mereka tak hentinya bicara ini itu seputar pekerjaan mereka masing-masing. Namun ujung-ujungnya tema pembicaraan malah menjurus pada bisnis receh-receh yang digeluti Andik.
"Aku itu sampek hari ini nggak percaya kamu ini jadi guru, Dik!" seru Ilyas,
cukup beralasan mengingat karakter slengean Andik, tak bisa dibayangkan
bagaimana sosoknya di sekolah terutama saat berhadapan dengan murid-murid.
"Kenapa?! Kamu meragukan kemampuanku?!" cerca Andik, tidak terima dengan pendapat sentimen yang masih ditujukan padanya.
"Kalo soal akademik aku masih bisa kompromi, tapi ... Karaktermu itu! Nanti jadi stres semua murid mu Dik!" ujar Ilyas, meledek dan meremehkan Andik.
Andik yang tak terima dengan pernyataan Ilyas, dibukanya itu mulut untuk membuat
pembelaan diri. "Enak aja! Gini-gini aku ini guru idola tahu!" seru Andik, memamerkan dirinya sendiri.
"Idola?! Idola dari Hongkong?!" sahut Ilyas.
"Loh nggak percaya! Apalagi di kalangan guru terutama yang cowok beh! Bisa diibaratkan
aku ini dewa mereka! Dewa khusus percintaan!" kata Andik, terkekeh dengan
ucapannya sendiri.
Ilyas tak menggubris, tiba-tiba saja sesuatu
yang terlupakan muncul kembali di ingatannya. Tak sengaja tangan Ilyas merespon duluan, ditepuknya kencang pundak Andik bahkan laki-laki itu protes lantaran terasa sakit.
"Dik, aku lupa!" ujar Ilyas, tanggapan Andik berada di seberang lain. Kakinya spontan menginjak pedal rem sehingga nyaris saja mereka berdua salto.
Sialnya Andik, sudah hampir jatuh untung
kakinya yang satu sigap turun ke aspal malah kini mendapat omelan dari Ilyas.
Laki-laki itu menyalahkan Andik padahal secara tidak langsung ucapannya yang
ambigu diterima lain oleh Andik, dan itulah penyebabnya kaki Andik menginjak rem dadakan.
"Kok malah nyalahin aku?!" sentak Andik tidak terima.
"Lantas nyalahin siapa?! Orang Afrika sana?! Atau Ferguson yang nggak tahu apa-apa?!" balas Ilyas tak kalah meninggi.
"Itu tadi Kamu lupa apa?! Suara melengking gitu ngomongnya!" lanjut Andik masih belum turun level.
"Oh iya Dik, temanku lagi renggang sama
istrinya," ucap Ilyas, menyampaikan apa yang tadi tiba-tiba muncul diingatan.
Masih dengan nada tinggi belum turun level Andik menjawabnya, "Apa hubungannya
sama aku?!" tanyanya tak kalem.
Kepala Ilyas bergerak maju, mulutnya ia bimbing mendekat ke telinga Andik. Dengan nada rendah ia berbicara, "Katanya istrinya ngambek, mempermasalahkan dia yang
mainnya berasa kayak kedip mata udah selesai." Andik nyengir mendengar cerita Ilyas.
Ia tak langsung menjawab, santai saja menatap jalanan yang di depan sampai-sampai tangan Ilyas menepuknya lagi namun rendah. Menuntut laki-laki itu memberi kepastian jawaban.
"Nggak bisa langsung jamu itu Yas, aku lihat dulu ... Ok bilang ke temannya itu kapan
bisanya terus nanti janjian," kata Andik akhirnya bersuara.
"Ok, siap!" sahut Ilyas.
“Harap diingat ilmu itu mahal nggak gratis, Bung!” tambah Andik.
“Iya aku paham, harap diingat juga aku layak dapat komisi!” balas Ilyas tidak mau kalah.
“Kapan aku nggak ngasih komisi, Bung?!” lanjut Andik mengejar argument.
“Iya juga sih….” Ilyas nyengir saat menimpali ucapan Andik.
Ilyas tak lagi bicara hanya diam menikmati suasana sore jalan raya yang bising dan padat. Namun tak seberapa lama dari diamnya itu tak sengaja matanya menangkap sesuatu yang menyegarkan mata.
Untuk kesekian kalinya Ilyas menepuk pundak
Andik, menyuruh laki-laki itu menepi sekitar lima meter di depan. Lebih tepat lagi menepi di dekat pedagang yang sedang menjajakan buah mangga. Begitu Andik memarkir motor turun segera Ilyas yang tak sabar membeli, sembari menanyakan harga buah mangga itu tangannya sibuk memilih buah yang tidak terlalu matang.
"Ini masih segar, Mas! Saya beli langsung ke yang punya pohon!" kata pedagang itu menjelaskan padahal Ilyas tak menanyakan.
Andik datang di dekat Ilyas tapi tiba-tiba ia
bergeser menjauh, membuat jarak dengan Ilyas. Seiras dengan otak jahilnya yang
mulai bergerak tangannya juga resek mengeluarkan ponsel dari persembunyian.
Cekatan ia mengambil gambar Ilyas yang sedang fokus memilih buah mangga
kemudian memposting hasil jepretannya saat itu juga.
Ilyas belum juga menyadari jika Andik
mengambil foto dirinya dan memposting ke akunnya dengan caption ‘Hingga musim
mangga masih betah menjomblo’. Tak sadar Andik padahal dirinya juga sama, masih
betah menjomblo.
Sambil nyengir Andik berjalan kembali ke
motor, ia menunggu Ilyas yang masih tak beranjak dari lapak pedagang buah.
Terus ia nyengir menatap layar ponsel, sementara jari jemarinya cekatan membalas setiap komentar yang membanjiri beranda akun. Tak luput Ilham turut mengomentari postingan itu dengan mengetik penggalan lirik lagu dari Wali band namun sedikit improvisasi; timur ke barat selatan ke utara, tak juga aku berjumpa. Dari musim duren hingga musim mangga tak kunjung aku dapatkan tak juga aku temukan, Tuhan, inikah cobaan? Demikian yang ditulis Ilham di laman komentar yang diakhiri dengan imoji memakai kacamata hitam sebanyak tiga kali serta satu imoji menjulurkan lidah.
Tawa Andik pecah sampai lupa dimana ia saat itu membaca komentar yang ditulis Ilham. Mendapati temannya kumat, Ilyas
memutar kepala menyoroti Andik yang bahkan tak menoleh, sibuk menatap layar
ponsel sambil senam jari. Berhubung teguran saja tak akan mempan bola mata Ilyas melirik ke bawah, mencari kerikil kecil untuk dilemparkan ke Andik.
"Rasain ini ya!" gumam Ilyas, mengatupkan gigi kala bergumam. Dengan kekuatan maksimal ia melempar kerikil itu tepat mengenai paha Andik, memang sengaja diarahkan ke bagian itu.
Kaget, Andik menoleh ke datangnya kerikil. Mata Ilyas sudah siap melotot sewaktu Andik berpaling ke arahnya, mencekal ia yang hendak protes.
"Apa?! Benar-benar kamu ini, Dik!" ujar Ilyas memarahi sebelum dirinya dimarahi oleh Andik.
"Ayo buruan! Kayak cewek aja beli sesuatu kelamaan di nawarnya!" balas Andik,
agak kesal juga namun tak sampai terpancing. Masih ada hal lain yang menyita
fokusnya namun ia harus segera menutup layar ponsel dan mengembalikan ke tempat
persembunyian.
Ilyas sudah di boncengan dengan kresek
berisi buah mangga di tangan, ia menyuruh Andik segera menjalankan motor.
Mengingat matahari sudah tak sabar ingin beristirahat, lekas Andik membawa motor dengan kecepatan di atas normal.
Naura di rumah sedang duduk di rooftop
sambil mendesain gaun saat suara motor Andik terdengar, segera ia turun dari
lantai dua menggeletakkan semuanya di meja begitu saja hanya untuk berhambur menyambut keduanya yang melangkah memasuki rumah. Seolah tak kehabisan bahan pembicaraan mereka berdua masih saja bersilat lidah, Naura tak menegur karena
justru suara mereka tak ubahnya hiburan buat dirinya selagi berada di rumah tanpa kehadiran sang suami.
"Mba, pak Pegawai kita beli oleh-oleh nih!" seru Andik dengan ciri khas gaya bicaranya.
"Lantas pak Guru kita bawa apa?!" balas Naura, memancing tawa Ilyas. Ia merasa puas mendapati Naura membalas demikian, secara tidak langsung ia telah mewakili Ilyas.
Lekas Ilyas menyahut, membantu Naura mencemooh Andik yang memiliki mulut jahil. "Pak Guru kita bawa buku modul Mba!" kata Ilyas menyindir.
Tak mau jadi bulan-bulanan mereka berdua
yang sedang bersatu padu, tak kehilangan akal Andik melempar pertanyaan yang
melenceng. Menyudahi sahutan pedas mulut Ilyas dan Naura yang bergantian menyindir.
"Mba, itu ... cewek selusin udah balik belum?" tanya Andik dengan nada serius. Ya, dia selalu serius jika itu menyangkut adik sepupunya tersebut.
Naura tak berucap hanya mengangkat kedua
pundaknya, gerakan itu sudah cukup memancing emosi Andik yang tak ubahnya grafik semenjak kedatangan Hanis, naik turun. Agar tak semakin meletup-letup emosi laki-laki itu Naura menyeret Andik dan Ilyas ke ruang makan.
"Mending kita makan ini buah," ucap Naura, lalu menyambar kresek berisi buah mangga
dari tangan Ilyas. Sebelum beranjak ke dapur untuk mencuci buah mangga itu Naura menyuruh keduanya duduk tenang di meja makan.
Ia juga tak mengharapkan bantuan cukup duduk manis buatnya itu sudah membantu menenangkan hati dan pikiran. Setelah
mengambil beberapa buah dan mencuci bersih Naura datang lagi dengan piring
kosong serta pisau di atasnya dan juga garpu. Di tangan satunya wadah berisi
buah mangga yang sudah dibersihkan.
"Nah sekarang giliran kalian ini yang ngupas!" seru Naura, meletakkan apa yang dipegang tangan kanan dan kiri.
"Sini biar aku yang ngupas!" sahut Andik, segera menyeret wadah berisi buah ke hadapannya.
Dengan duduk berhadapan di meja makan ketiga orang itu menikmati buah yang dibeli Ilyas sambil berbincang santai. Tak diduga
suara Hanis menguluk salam sembari melangkah masuk terdengar, pecahlah obrolan mereka seketika. Ketiganya bersamaan memutar kepala, menatap kehadiran Hanis di ruang tengah walau tak bisa terlihat lantaran terhalang dinding.
Naura bangkit, ia menyusul Hanis dan
menariknya bergabung bersama dirinya, Andik dan Ilyas. Dengan langkah kaki
enggan Hanis mengikuti langkah Naura yang tak mau melepaskan genggaman tangan.
Hanis duduk di samping Naura dan berhadapan langsung dengan Andik, membuat mood Hanis rusak. Jelas ia tak menoleh ke Andik apalagi menyapa padahal laki-laki itu bukanlah orang asing; ia tak lain adalah saudaranya sendiri dan bahkan lebih tua darinya. Sebaliknya Ilyas yang tak
berhadapan ia sapa bahkan melempar senyum walau singkat.
Emosi Andik yang sudah leya-leya terbangun
seketika namun ia masih berusaha mengontrol setidaknya di depan Naura yang ia sungkani. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya, hanya fokus menikmati irisan buah mangga; saling mengabaikan keberadaan masing-masing.
Naura dan Ilyas menjadi pengamat, diliriknya
mereka berdua yang belum berdamai juga namun tak bisa berbuat banyak. Tak betah
berlama-lama berada di hadapan Andik lekas Hanis pamit, ia bangkit setelah berucap dua patah kata.
Andik menilai sikap yang ditunjukkan Hanis
tidaklah sopan, mulut bawelnya akhirnya mengakhiri masa cuti. Hanis saat itu juga mendapat teguran, ia tak terima terlebih setiap tindakannya tak pernah benar di mata Andik.
"Sebenarnya apa sih masalahmu?!" sentak Hanis, abai dengan kehadiran Naura dan Ilyas.
Dada Andik semakin memanas, matanya melotot bersamaan dengan mulutnya yang menganga. Nada keras Hanis menyentak dirinya, mukanya memerah saat berucap dengan nada sama keras.
"Apa? Manggil apa barusan Kamu?! Coba ulangi?!" sentak Andik, bangkit dari duduknya. Ia melangkah maju, mendekat ke Hanis yang juga sudah berdiri tegak.
Tak ada rasa takut yang terlihat, sebaliknya
ia berdiri tegap seolah menantang Andik. Sudah lupa siapa pria itu, dan bagaimana dirinya harus bersikap pada yang lebih tua.
"Duh ... Cina sama Amerika kembali memanas," gumam Ilyas, bangkitlah ia dari
duduknya sebagai penonton. Melangkah datang di antar keduanya yang sama-sama
siaga satu. Tangan Ilyas perlahan meraih lengan Andik, hendak membawanya pergi
namun segera ditepis.
Dan akhirnya pecahlah perdebatan diantara keduanya setelah tadi saling beradu tatapan, Ilyas dan Naura serasa tak ada lagi kehadiran mereka.
Hanis beranjak pergi, cukup sudah baginya
menghadapi sikap keras Andik. Ia melangkah cepat memasuki kamar meninggalkan
semuanya terlebih Andik yang masih berdiri. Siapa mengira Andik akan menyusul bukan membiarkan seperti sikapnya yang sudah-sudah; mengakhiri pertengkaran dengan membebaskan Hanis namun tidak kali ini. Langkah laki-laki itu cepat kala menyusul Hanis yang sudah memasuki kamar. Bahkan Naura dan Ilyas yang tak menyangka justru mematung di tempat mereka berdiri. Masih tertegun dengan apa yang mereka lihat sehingga batang otaknya koma sementara.
"Hanis, aku belum selesai bicara!" kata Andik, masih kesal namun nada suaranya
berhasil ia tekan agar tak meninggi seperti tadi.
"Sudahlah, aku nggak betah di sini! Sebaiknya aku keluar daripada tiap hari ribut nggak
ada hentinya!" balas Hanis, juga sama dengan nada suara yang merendah. Turun dua tingkat dari level yang sebelumnya berada di posisi kedua dari puncak.
Kaki Andik melangkah dengan sendirinya, maju mendekat ke Hanis yang menjatuhkan diri di tepi kasur. Kepalanya tertunduk,
menatap kedua kaki yang ia rapatkan bersama dengan duduknya. Andik ikutan duduk di samping wanita itu, kepalanya juga sama-sama tertunduk walau tak jelas apa
yang ia tatap.
Dalam kebisuan tiba-tiba tangan kanan Andik
bergerak ke samping, meraih tangan kiri Hanis. Mulanya hanya meraih saja namun
perlahan digenggamnya juga, mulutnya yang tadi terdiam mengatup kini bersuara.
"Maaf aku ... Aku hanya cemas, di sini tidak sama seperti tempat tinggal kita, kamu
harus pandai- pandai memilih teman dalam bergaul...." ucap Andik mulai
berbicara dengan hati .
Di luar Naura dan Ilyas yang tersadar segera
menyusul, mereka khawatir pertengkaran lebih sengit kembali pecah dan Andik tak
mampu mengontrol diri. Namun kekhawatiran itu terbantahkan, kaki mereka bahkan
terhenti tepat di depan pintu manakala mereka melihat pemandangan yang berbeda.
Secara naruliah baik kaki Naura ataupun Ilyas mundur dengan sendirinya, bergeser ke samping mencapai tembok lalu menjulurkan kepala mengintip ke dalam.
"Sebaiknya kita tinggalkan aja ya," ucap Naura, tak nyaman sendiri.
"Iya, Mba ... Ini sudah bisa dikendalikan, dan juga bukan wilayah kita lagi," sambung Ilyas.
Akhirnya berlalu mereka dari sana,
memberikan ruang penuh bagi adik kakak tersebut menyelesaikan kesalahpahaman
yang tak kunjung usai. Naura dan Ilyas memilih kembali ke meja makan, lanjut
menghabiskan irisan mangga di piring.
Sedangkan Andik di dalam kamar masih
berusaha memberikan penjelasan sekaligus menasehati Hanis yang ia nilai telah salah pergaulan, terkena demam gaya hidup bebas kota besar.
"Tapi aku nggak bisa tinggal di sini lagi," ucap Hanis, masih belum berubah keinginannya yang sudah membulat untuk pindah dari rumah Hasan dan Naura.
Ia memang tak betah berada di sana bahkan
sejak di awal ia datang. Bukan karena sikap pemilik rumah yang kurang baik melainkan
ia merasa tak bebas dan sungkan setiap kali bertindak. Ditambah sikap keras Andik menambah berat pikirannya.
"Pikirkan lagi, jujur aku nggak setuju!" kata Andik, jelas menolaknya.
Hanis memilih diam, tak mau bersuara yang
hanya akan memancing perdebatan saja. Baginya percuma berbicara mengenai hal
itu karena ia tahu jawabannya tetap penolakan dari Andik.
"Mandi sana! Bentar lagi sudah mau magrib!" perintah Andik, lalu bangkit dari tepi kasur dan melangkah keluar. Tak lupa ia menutup pintu kamar Hanis sebelum menghilang di balik pintu itu.
Hanis menjatuhkan separuh dirinya ke atas kasur sementara kedua kakinya masih dalam posisi yang sama. Pendangan matanya lurus ke atas, menatap langit-langit lamar sambil memikirkan sesuatu yang terlintas di benaknya.
Suasana di rumah Naura masih seperti
biasanya sehabis makan malam mereka akan berkumpul di ruang tengah. Mereka bertiga kecuali Hanis akan bermain karambol, supaya seru selalu mereka membuat kesepakatan siapa yang kalah akan dijepit telinganya dengan jepitan baju.
Sebenarnya Naura tak mengabaikan Hanis, ia
selalu berusaha mendekatinya tapi mungkin perbedaan usai membuat Hanis merasa
tak nyambung. Tapi bukan berarti mereka tak saling komunikasi, tetap saling bersua sapa namun sekadarnya saja. Seperti tadi Naura mengajak Hanis keluar, bergabung dengannya serta Andik dan Ilyas. Dengan alasan mengerjakan tugas kampus ia memilih menyendiri di kamar.
"Lama kelamaan Mba ini mulai jadi pemain ulung!" seru Andik, saat Naura berhasil
memasukkan bedak yang berada di posisi sulit yakni di tepi papan bedak sebelah
kiri darinya.
"Iya dong, jam terbang serta pengalaman mengajari aku!" sahut Naura, masih dalam giliran bermain.
Jepitan baju saat itu masih bertahan di
Ilyas, entah kenapa kelincahan laki-laki itu dalam bermain karambol sepertinya
semakin memburuk saja. Tapi walau tetap kalah ia tetap meneruskan permainan sampai tuntas.
Kebersamaan mereka usai lantaran Ilyas tak hentinya menguap, tampaknya ia sudah tak kuat menahan kantuk yang melanda.
"Aku ngantuk wes, nggak kuat!" seru Ilyas, lalu bangun.
"Yah, cepat banget!" seru Andik, merapikan bedak dan papan karambol.
Mereka bertiga kembali ke alam masing-masing, Naura melangkah ke lantai dua menuju kamar sedangkan Andik dan
Ilyas menyelinap cepat ke kamar mereka. Sebelum merangkak naik tak dipandu mata
Ilyas mencari keberadaan ponsel miliknya.
"Cari apa, Yas?!" tanya Andik tidak mengerti.
"Ponsel, aku taruh mana ya?!" jawab Ilyas sekaligus bertanya pada sendiri.
Andik turut membantu Ilyas mencari ponsel di dalam kamar. Hampir setiap bagian di kamar itu sudah dicari tapi ponsel itu belum juga ketemu.
"Bodoh! Kenapa nggak aku miscall ya?!" ujar Andik, mengatai kebodohannya sendiri.
Sambil duduk capek di pinggir kasur Andik mengeluarkan ponsel dari saku celana
pendek yang ia kenakan. Berikutnya membuat panggilan keluar ke nomor kontak Ilyas, kebodohan keduanya tercipta lagi namun kali ini bukan Andik melainkan Ilyas.
Ilyas nyengir begitu suara dering ponsel nyaring bunyinya dari balik saku celana yang ia kenakan. Andik memalingkan penglihatan, menoleh ke Ilyas yang senyum sendiri.
"Dasar pikun!" seru Andik mencemooh Ilyas.
"Sorry sorry, lawong seingatku aku nggak bawa hp pas keluar!" kata ilyas, tidak terima.
Setelah berhasil menemukan apa yang dicari Ilyas langsung menjatuhkan diri ke ranjang dengan kedua kaki tetap bergelantungan.
Jari jemarinya cekatan menyalakan ponsel, mengecek satu persatu notifikasi yang
masuk. Tiba-tiba saja mata Ilyas menyipit, bertemu di kedua sisi manakala mendapat grub mosmed kantornya lumayan ramai lebih dari tiga puluh chat tertera. Penasaran apa yang sedang dibahas oleh mereka jari jempol Ilyas bergerak tangkas, menekan logo grub untuk masuk ke beranda.
Mulanya ia tak mengerti apa yang dibahas
namun kenapa namanya terus disebut? Jari jempol Ilyas tak sabar menggulir chat
ke atas sampai pada cikal bakal pembahasan mereka. Sebuah foto yang masih kabur
terpajang, segera ia klik download ingin tahu kenapa foto itu menjadikan dirinya tema pembahasan.
"Hah!." Mata Ilyas seketika melotot, melihat foto dirinya yang lagi fokus memilih
mangga. Foto itu sepertinya diambil dari sebuah postingan sebuah akun, sangat
jelas milik siapa akun itu.
Mulut Ilyas masih menempel ketat saat
dadanya terasa panas, tangan kirinya segera menyambar bantal dan melemparnya ke
Andik yang sedang duduk di kursi, senyum-senyum sendiri menatap layar ponsel.
"Apa sih Yas?!" sentak Andik, kepalanya berputar menoleh ke Ilyas yang masih berada
di tempat tidur namun tak lagi rebahan.
Tidak ada kata yang keluar, sebaliknya Ilyas
menyambar bantal yang satu lagi dan kembali melemparkannya tepat ke arah Andik.
Posisi Andik sudah siap, dengan tangkas kedua tangannya menangkap bantal itu
dan melemparnya kembali ke kasur, ke tubuh Ilyas maksudnya.
"Apa sih Yas?! Orang lagi main hp kok malah dilempar bantal!" sentak Andik kedua kalinya.
"Apa ... apa! Habis posting apa kamu tadi sore hah?!." Suara Ilyas meninggi, ia tersulut emosi karena Andik malah seolah lupa apa yang telah diperbuat.
"Ohh itu!" seru Andik, santai saja dia menanggapi. Kepalanya berputar mengenyampingkan Ilyas yang belum reda amarahnya, seolah tak peduli Andik menatap layar ponsel lagi.
Merasa diabaikan bangkitlah Ilyas,
langkahnya lebar kala mendatangi Andik. Bantal yang tadi ia lempar dipungut
kembali dan sejurus kemudian laki-laki itu memukulkannya ke punggung Andik.
Perkelahian tak bisa dihindari lagi, keduanya
terus bergulat seperti anak kecil membuat kegaduhan. Hanis yang berada di kamar
sebelah bahkan terganggu dengan suara gaduh mereka, dengan malas ia melangkah
keluar dari kamar mendatangi kamar sebelah dan menyambar gagang pintu.
Bersamaan saat tangannya sudah meraih gagang pintu di dalam Andik berusaha
meloloskan diri dari bantaian Ilyas yang emosi penuh. Gimana tidak emosi jika
grub kantor Ilyas tengah dibuat petisi mencarikan dia pasangan.
"Aww!" teriak Hanis kesakitan dibentur badah Andik yang tak nyana wanita itu berada di luar pintu.
Langkah Ilyas terhenti dengan bantal di
tangan kirinya, apa yang membuatnya terhenti karena melihat darah keluar dari hidung Hanis. Ya, tadi saat Andik membenturnya tak sengaja siku lengan Andik menyenggol muka Hanis.
"Dik!" ucap Ilyas, tangan kanannya terangkat lalu menunjuk ke Hanis.
Kepala Andik berputar mengikuti arah yang
ditunjuk Ilyas, seketika matanya terbelalak melihat darah keluar dari salah satu hidung wanita itu. Cepat-cepat tangan Andik bergerak ke kepala Hanis, menengadahkan kepalanya untuk menghentikan darah keluar.
"Ayo aku obati!" ucapnya, menyeret Hanis memasuki kamarnya sendiri.
Bola mata Andik mencari keberadaan tisu di
meja rias, saat apa yang dicari tertangkap oleh matanya lekas ia mengambil
kotak tisu itu dan mengelap darah yang keluar. Syukurlah kini darah itu tak keluar lagi.
"Maaf ya..." Ucap Andik, merasa bersalah pada wanita itu.
Ilyas berjalan pelan keluar dari kamar, mengintip dari balik pintu yang terbuka. "Gimana Dik?! Masih keluar?" tanyanya ikut cemas juga.
"Nggak wes!" sahut Andik dari dalam kamar.
"Ohh...." seru Ilyas, lalu kembali ke kamar menunggu laki-laki itu di dalam sana.
Di kamar sebelah Andik masih mengurus Hanis yang ia dudukkan di tepi kasur. Wanita itu diam seribu bahasa dan menerima
perhatian Andik yang cukup langka.
"Hidungmu nggak sakit kan?!" tanya Andik.
"Gimana nggak sakit kena sikunya!" jawab Hanis mengakhiri kebisuan.
"Maaf nggak sengaja, kamu sih ngapain ada di luar pintu?!" kata Andik membuat pembelaan.
"Sadar nggak, kalian itu berisik!" sambung Hanis dengan nada ketus.
"Sorry, udah buruan tidur! Aku balik ke kamar ya!" kata Andik, lalu meninggalkan Hanis sendiri di kamarnya.
Begitu laki-laki itu muncul dari balik pintu
Ilyas sudah tak sabar menghujani pertanyaan namun Andik memberi isyarat dengan
menempelkan jari telunjuknya ke mulut, lalu menunjuk ke kamar sebelah memberi
kode supaya Ilyas tak bersuara. Alih-alih tak bersuara Ilyas berucap hanya dengan gerakan mulut saja, bertanya mengenai keadaan Hanis. Andik membalasnya dengan isyarat pula, melingkarkan jari telunjuk serta jari jempol sembari berjalan mendekat.
"Gimana?" tanya Ilyas lagi dengan berbisik.
"Sudah beres," jawab Andik, merangkak naik ke tempat tidur tak ingat lagi dengan ponsel miliknya yang berada di meja.
"Syukurlah ... Aku khawatir dia marah besar...." Ilyas ikutan merebahkan tubuhnya ke
atas kasur, bersiap tidur.
foto yang diposting Andik!
CAPTER 2
HANYA LEWAT SAMBUNGAN TELEPON
"Ribet banget sih aku ini," gumam Naura memarahi dirinya sendiri yang tak kunjung
selesai hingga pagi mulai merangkak naik.
Dengan penampilan sederhana ia turun segera khawatir Angga yang menunggu di bawah sudah tak sabar lagi. Selain itu ia sudah menetapkan janji dengan seorang klien pagi ini, sepasang kekasih yang berencana melangsungkan pernikahan dalam dua bulan lagi. Dan Naura sudah melewati waktu yang ia janjikan sendiri. Apa yang membuat Naura sangat rempong pagi ini? Jawabannya tak lain karena ia tak bisa tidur semalam. Walau sang suami sudah setia menepati janjinya untuk selalu menghubungi saat pagi dan juga malam sebelum Naura tidur tapi akhir-akhir ini yang susah lelap.
"Ayo buruan, khawatir mereka berdua sudah datang!" seru Naura, melempar kunci mobil ke Angga yang berdiri menempel di sisi pintu pengemudi.
"Kok kelihatannya nggak cerah gitu Nona?!" tanya Angga, setelah tadi mengamati
penampilan Naura sebelum masuk ke mobil.
"Buru-buru! Ribet sedari tadi pagi!" jawab Naura segera.
"Ohh ... Saya pikir kurang sehat!" ujar Angga, tak berucap lagi setelah itu.
Laki-laki itu hanya fokus menyetir dan Naura
mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Memperhatikan semua yang terlintas, entah kenapa tangannya tanpa instruksi menurunkan kaca mobil, membiarkan angin
menerpa wajahnya dengan riasan tipis. Memperlihatkan apa yang dirasakan jiwanya
saat ini.
"Kok anginnya agak kencang ya? Musim apa sekarang?!" tanya Naura asal.
Angga melempar senyum singkat, bola matanya kembali diarahkan ke spion memperhatikan Naura yang terlihat makin ramping saja pipinya. Ada rasa kasihan melihat perubahan fisik Naura, tapi di lain sisi ia juga merasakan hal sama. Yang menjadi perbedaan hanyalah bagaimana ia menyikapi
serta menghadapi tekanan batin yang ia rasakan. Mungkin karena Angga seorang
pria sehingga hatinya tak se rapuh wanita pada umumnya.
"Emang negara kita ini punya berapa musim, Nona?!" jawabnya malah balik bertanya.
"Iya juga," sahut Naura kembali menatap keluar, matanya memperhatikan dedaunan
yang berjatuhan dari pohon di pinggir jalan.
"Kalo musim buah banyak Nona!" tambah Angga kembali bersuara, alasannya lantaran
tak ingin Naura diam membisu.
Tak terasa mobil yang dikendarai Angga sudah tiba di depan butik, bersamaan keduanya keluar dari mobil. Lisa menyambut
kedatangan Naura begitu wanita itu sudah melewati pintu kaca namun memberikan
sambutan datar ke Angga yang bahkan tidak memperdulikannya.
"Orangnya sudah datang, Mba!" ucapnya memberitahu, tangan kanannya menunjuk ke arah pasangan muda yang sedang duduk di mini kafe.
"Ohh, ajak dia ke atas!" kata Naura, setelah menoleh ke mereka yang terlihat lengket. Timbul rasa iri melihat keintiman mereka, teringat dengan kehangatan perhatian Hasan yang tiap hari ia dapat.
Seusai berucap demikian Naura melangkah
kembali menaiki tangga dengan pandangan lurus ke depan, tak ingin hatinya terusik akan hal-hal yang hanya membuat iri saja. Angga menyusul berjalan tanpa suara menirukan tingkah Naura, apa yang ia rasakan juga sama teringat wajah sedih Lusi saat melepaskan diri dari pelukan. “Saat yang lain saling menatap, aku malah menatap kenangan….” Batinnya berucap sedih sambil terus menaiki
tangga.
Mereka berdua terlebih dulu naik ke lantai
tiga menuju ruang kerja masing-masing. Naura sudah di ruang kerjanya sedangkan
Angga ke ruang kerja bisnis online yang ia tangani.
"Pagi Mas!" sapa seorang karyawan IT bagian pemasaran sewaktu melihat Angga berjalan menuju meja.
"Pagi juga! Gimana awal respon pasar pagi ini?!" tanya Angga sambil melangkah ke
meja kerja laki-laki yang bernama Iwan.
"Alhamdulillah lumayan positif Mas, ini yang sudah berkunjung terus nanya-nanya sudah melebihi target terendah. Yang deal membeli juga sudah mencapai tujuh pemesanan!"
tuturnya namun tetap tak mengubah pandangan hanya menatap layar komputer.
"Kerja bagus! Nanti siang koleksi terbaru segera rilis nunggu hasil pemotretannya
masih diedit!" balas Angga sekaligus menginformasikan.
"Siap Mas!" ucap Iwan.
Angga berlalu dari meja Iwan, langkahnya
tenang menuju mejanya yang berada di paling ujung. Karena tak terlalu banyak pekerjaan baru sedangkan yang sebelumnya sudah rampung Angga mulai browsing hal lain. Laki-laki itu berencana membuka usaha kecil-kecilan sembari bekerja di butik. Tiap kali teringat dengan Lusi ada banyak rancangan masa depan yang ingin ia raih sebelum meminang wanita itu menjadi pendamping hidupnya.
Baru saja ia mulai berselancar mencari
informasi dan artikel mengenai peluang bisnis ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi
masuk, tangannya yang memegang mouse bergeser meraih ponsel yang ia letakkan di
meja. Matanya melirik ke bawah, mengintip layar ponsel yang sudah menyala. Senyum laki-laki itu mengembang manakala nama
sang pujaan hati yang terpajang.
"Dilarang mengganggu orang yang lagi sibuk kerja cari uang biar segera halalin kamu," isi balasan chat yang dikirim ke Lusi. Senyum terbingkai tatkala membaca balasan chat yang dikirim Angga.
Tak berselang lama masuk chat balasan dari
Lusi, ia memberitahu Angga jika bulan depan wanita itu memiliki masa libur panjang setelah menyelesaikan suatu pekerjaan besar. Angga hanya membalas dengan mengirim imoji hati saja, ia sengaja melakukan itu hanya untuk menggoda
Lusi.
Tak suka dengan balasan chat yang diterima
Lusi beralih cara, ia menghubungi Angga saat itu juga. Senyum Angga terjalin, jari jempolnya tertahan di depan layar ponsel antara mengangkat atau menolaknya. Cukup lama ia membiarkan ponsel bergetar, memancing kemarahan Lusi yang tak sabar mendengar suaranya. Namun perasaan lebih tinggi dari akal pikiran, Angga akhirnya menerima panggilan itu.
"Iya Lusi Sayang," ucap Angga memancing emosi. Ia bersuara dengan tenang seolah
tak ada pembicaraan sebelumnya.
"Kenapa chat ku nggak dijawab?!" cerca Lusi menuntut penjelasan.
"Loh bukannya seingat ku tadi dijawab?!" balas Angga, lanjut ia menggoda Lusi bermain dengan emosi wanita tersebut.
"Cuma imoji itu?! Terus tanggapan dari chat yang aku tulis apa?" kata Lusi terpancing amarah juga.
"Tanggapannya ya imoji itu," sahut Angga, semakin menyiram air panas ke hati Lusi.
"Ok kalo gitu, aku rasa kamu nggak suka aku datang!" kata Lusi, menumpahkan emosi lalu memutuskan panggilan. Ya, begitulah wanita saat apa yang diinginkan tak dituruti oleh kamu pria mereka akan merajuk dengan cepat. Bagaimana kaum lelaki menanggapinya? Silahkan temukan sendiri jawabannya dari pasangan masing-masing.
Bukannya cemas Angga malah senyum-senyum, diletakkannya lagi ponsel ke atas meja dan lanjut berselancar. Membiarkan Lusi dengan kemarahannya tanpa diperbaiki.
"Cewek itu emang ribet, masak gara-gara imoji doang udah marah!" gumannya,
menatap layar pc kembali.
Berpindah ke ruang kerja Naura, keromantisan yang dipertontonkan calon pengantin itu membuat Naura jengah. Tapi mau bagaimana lagi, rejekinya berada di mereka berdua. Suka tidak suka ia harus
tetap melayani dengan ramah, melempar senyum pada mereka.
Sedari tadi si cewek mutar-mutar dengan
pilihan tema gaun, pilihan warna juga demikian. Sungguh cocok bahkan keduanya
bisa dinobatkan sebagai pasangan paling lebay tahun ini. Mulai dari cara mereka
memanggil satu sama lain serta si cewek nempel manja membuat Naura mual.
“Aku pengen Beb cantikku terlihat seksi, bagian punggungnya harus terlihat!” ucap
yang cowok menyampaikan keinginannya.
“Ok saya paham keinginan Anda,” sahut Naura.
“Tapi saya mau gaun itu bisa disulap jadi lingerie cantik,” kata si cewek bersuara.
Naura melempar senyum, ini adalah permintaan pertama dari klien selama ia mendesain. Sebelumnya memang tak jarang permintaan yang hampir sama tapi tidak mengarah pada yang demikian.
“Ok saya mengerti, untuk pilihan warnanya?” tanya Naura.
“Saya ingin warna pink,” ucap si cewek.
“Pink? Lantas aku Beb Cantik?!” sahut si cowok dan bertanya pada kekasihnya.
Naura terdiam, dengan khusyuk ia mendengarkan perdebatan kecil keduanya demi memberikan waktu untuk mengetahui keinginan dari masing-masing. Setelah dirasa cukup ia pun bersuara, memberikan solusi tengah bagi pasangan tersebut yang belum mencapai kesepakatan.
“Saya punya opsi buat Anda, gimana jika dasar gaunnya warna putih powder sedangkan lapisan luar warna pink flamingo dengan aksen bordir renda bunga, maksud saya motif renda bunga itu yang warna pink flamingo, Saya ada contoh modelnya!”
tutur Naura lalu ia bangkit mengambil tablet yang ia taruh di meja kerja.
Naura datang lagi, menunjukkan beberapa
model gaun tema warna pink yang pernah dia garap. Sambil menjelaskan ide yang nyantol di otaknya tadi jemarinya mulai menggeser layar tablet.
“Saya rasa model gaun pengantin ball gown cocok untuk model tubuh pearl shape seperti
Anda, Nona! Nantinya saya akan buat kerah v-neck tanpa lengan dengan punggung
model victory. Biar nanti malam pengantinnya lebih membara akan saya buat gaya
punggung embroidery memakai tali pita sehingga pasangan Anda harus mengerahkan
kesabaran untuk melucutinya!” kata Naura berpendapat. Keduanya nampak antusias,
mereka menyetujuinya tanpa bertanya lebih.
“Dalam tiga sampai lima hari akan saya kirim detail contoh gaun pada Anda, silahkan
Anda yang menentukan!” imbuh Naura.
Setelah kepergian mereka berdua Naura
melanjutkan kembali pekerjaan, mendesain gaun pesta sebelum ia kirim pada seorang pemesan yang mendatanginya beberapa hari yang lalu.
Sampai siang menjemput kesibukan Naura
belumlah usai, selesai dengan pengukuran baju ia masih mempunyai garapan yang
harus segera diselesaikan. Untuk mengalihkan pikirannya pada sang suami sengaja ia bekerja dengan giat, lebih dari kata giat mungkin.
Saat ia dan Lisa dengan teliti memasang batu
Amethyst warna merah muda di bagian pinggul ponselnya berdering, Naura menoleh
sempat menaruh curiga pada suaminya, Hasan. Namun itu tidak mungkin, pikir
Naura. Untuk memastikan wanita itu terpaksa beranjak dari duduknya. Langkahnya
diseret untuk mencapai meja dimana ponsel itu masih tersimpan di dalam.
"Hanis!" gumannya manakala melihat nomor kontak Hanis memanggil.
Sangat jarang wanita itu menelfon sehingga
wajar jikalau Naura merasa aneh dan penasaran. Di sebrang sana Hanis masih
mempersiapkan diri untuk bersuara, menambah kecemasan Naura saja.
"Hallo, Hanis! Ada apa?!" tanya Naura, tak sabar lagi menunggu wanita itu bicara
terlebih ia masih memiliki pekerjaan yang menunggu.
"Hallo, Kak ... Saya, maaf saya mau pamit...." ucap Hanis ragu-ragu.
"Pamit? Apa maksudnya?" desak Naura meminta penjelasan yang lebih.
"Maaf Kak, saya nggak bisa tinggal di rumah Kakak!" lanjut Hanis tapi kurang jelas.
"Kenapa? Hanis ... Jangan diambil hati sikapnya Andik! Dia itu keras karena peduli sama kamu," kata Naura, beusaha menggagalkan rencana Hanis.
"Saya ngerti Kak, tapi saya nggak kerasan! Saya sudah dapat kost baru!" tambah
Hanis.
"Tunggulah sampai aku pulang ke rumah!" pinta Naura.
"Maaf Kak, barang saya sudah saya kemasi! Ini saya sudah di kost baru!" ungkap Hanis.
"Ohh ... Ok, tapi sering-sering ya main ke rumah!" seru Naura. Hanis hanya
menjawabnya dengan satu kata saja lalu lekas mengakhiri sambungan telepon yang ia
buat.
Naura tak langsung balik, ia masih menatap
layar ponsel. Pikirannya tertuju pada Andik, bagaimana ia nantinya menjelaskan
pada laki-laki itu mengenai kepindahan adik perempuannya tersebut. Ia menghela
nafas panjang, ponsel di tangan ia geletakkkan begitu saja lalu berjalan
kembali ke sisi Lisa.
Wajahnya tak lagi nampak tenang dan itu
jelas terlihat. Meski demikian Naura berusaha bersikap santai meneruskan apa
yang tadi tersendat.
"Siapa Mba?" tanya Lisa yang tadi menguping pembicaraan Naura di sambungan telepon.
"Ohh itu adik perempuannya Andik," jawab Naura singkat, ia enggan membicarakannya
lagi lebih lanjut.
Lisa tak mengejar berhubung ia sendiri tidak mengenal Andik hanya sebatas tahu saja. Dua wanita itu kembali melanjutkan pekerjaan, mengabaikan apa yang terjadi di sekitar mereka. Sampai sore datang Naura akhirnya bisa istirahat setelah menyelesaikan gaun warna biru langit bertema fantasi. Masih tak ada yang berubah, Angga datang hanya untuk mengingatkan Naura waktu pulang.
"Tunggu bentar ya!" pinta Naura, ia masih membereskan gaun yang tadi di pajang di manekin lalu berlanjut ke meja kerja. Setelah memastikan tak ada lagi yang berserakan
ia menyambar tas, melangkah terburu-buru meninggalkan ruang kerja.
"Semuanya saya duluan!" pamit Naura pada karyawan di lantai satu sebelum keluar
menyusul Angga yang sudah berada di dalam mobil.
"Jam berapa sekarang?!" tanya Naura, tak yakin waktu sudah sangat sore melihat
matahari masih terang.
"Ini sudah mau jam setelah lima, Nona! Tapi mataharinya masih terang!" jawab Angga.
Semenjak berjauhan dengan suaminya Naura
tidak pernah pulang ke rumah lebih awal dari jam empat. Ia tidak suka pulang dalam keadaan sepi sehingga menunggu Ilyas dan Andik sudah berada di rumah. Mereka berdua juga sangat perhatian, setidaknya tidak pernah telat pulang terkecuali ada kepentingan mendesak. Di akhir pekan mereka juga memilih menemani Naura, sabtu malam pun sama tak ada kencan. Kalaupun keluar pasti dengan Naura juga tak jarang mengajak Ilham dan Veny.
Mobil kuning sudah parkir di garasi, Naura
segera turun tapi tak ada tanda keberadaan Andik dan Ilyas di dalam rumah. Raut
wajahnya bermuram, ia duduk di teras di undakan paling atas. Tak kuasa melihat
pemandangan awan kelabu Angga mempercepat langkah kaki, ia duduk di samping Naura walau masih menjaga jarak. Laki-laki itu berencana menemani Naura
setidaknya sampai kedatangan Andik dan Ilyas.
"Tumben mereka belum datang?!" gumam Angga, menatap pagar rumah menunggu
kemunculan mereka berdua.
Andik dan Ilyas masih berada di luar, pagi
ini Ilyas masih berangkat dengan Andik dan pulangnya juga dijemput. Tapi sore ini mereka mampir ke bengkel untuk mengambil motor Ilyas yang sudah selesai diperbaiki.
"Coba dulu Mas, khawatir kurang pas! Tapi tadi sudah dicoba!" kata karyawan bengkel.
"Oh iya Mas," seru Ilyas, detik berikutnya ia mengambil motor yang tadi dipegang oleh karyawan bengkel itu.
Andik duduk tenang di kursi panjang sembari
mengamati Ilyas yang menurunkan motor ke jalan, ke halaman paving. Ia berputar-putar di sana mencoba motor yang sudah diperbaiki. Teringat dengan Naura yang biasanya sudah di rumah Andik menghubunginya.
"Assalamualaikum," ucap Andik saat tersambung.
"Waalaikumussalam, kok belum pulang Dik?" tanya Naura tak sabar bertanya.
"Iya mba, ini masih ngambil motornya Ilyas di bengkel!" jawab Andik segera menjelaskan.
"Ohh, gimana? Apa ada yang diganti?" lanjut mengajukan pertanyaan.
"Sudah kelar Mba, Alhamdulillah nggak ada yang diganti!" sambung Andik.
"Ok, ini aku sudah di rumah," kata Naura memberi kabar.
"Iya Mba bentar lagi kita sudah di rumah," sahit Andik.
Setelah dipastikan kondisi motornya kembali
stabil dan membayar ongkos perbaikan, Andik dan Ilyas segera minggat. Mereka
tak tega membuat Naura menunggu lama dan sendirian di rumah.
Senyum Naura kembali nampak begitu pintu
pagar rumah terbuka, dua motor tak lain Andik dan Ilyas muncul. Sontak ia berdiri, berhambur ke garasi menyambut keduanya. Angga yang tadi setia menemani juga ikutan bangkit, melangkah menyusul Naura ke garasi.
"Gimana motornya?" tanya Nuara mendatangi Andik dan Ilyas.
"Alhamdulillah Mba, bisa dipakai lagi!" sahut Ilyas.
"Kok bisa sampek keserempet Mas?" tanya Angga yang baru saja muncul dari belakang Naura.
"Pas lagi mau nepi Mas ada mobil box mau nyalip, syukur cuma motor aja!" balas Ilyas.
Mereka berempat berlalu dari garasi setelah
Andik dan Ilyas melepas helm dan menanggalkannya di spion motor. Angga tak ikut ke dalam hanya sampai di depan teras lalu pamit ke Naura.
"Makasih Angga udah nemani aku tadi," seru Naura, Angga hanya melempar senyum.
"Hati-hati Mas!" ucap Ilyas, Angga membalas dengan anggukan kepala.
Setelah laki-laki itu menghilang di balik
pagar pintu Naura, Andik dan Ilyas masuk ke dalam rumah. Tak bersuara lagi Naura langsung menaiki tangga, agak cepat ia karena tak sabar ingin segera mencapai kamar.
Sebelum masuk ke kamar mandi Naura menyempatkan diri menyiram bunga matahari big smile yang dihadiahkan Hasan dan memindahkan bunga itu ke dalam, dekat dengan jendela. Juga sengaja ia hadapkan ke sinar matahari.
"Suamiku, aku merindukanmu," gumam Naura kala menatap bunga matahari yang sudah
berganti pot. Andik dan Ilyas membantunya mengganti ke pot yang lebih besar, mereka juga membantu Naura memotong ranting bunga itu agar tumbuh yang baru sehingga bisa bertahan lebih lama.
Selesai mandi dan berganti pakaian ia duduk
di rooftop, menyaksikan matahari yang turun ke barat. Sinarnya yang kemerahan
membakar rindu dalam hati, seolah bayang tubuh suaminya terlukis di ufuk barat
Naura terhanyut dalam tatapan sendu. Untuk mengisi waktu luang Naura mencoba
menghibur dirinya dengan melukis. Semua lukisannya ia posting di sebuah blog
dengan nama lain bukan namanya. Lukisan yang hanya coretan tinta hitam
saja.
Saat kelarutan antara bayang sang suami dan
tangannya yang terus mencoret kanvas, melukis matahari yang mulai tenggelam
serta sosok seorang laki-laki duduk di hamparan pasir dari belakang tiba-tiba
Naura teringat dengan Hanis yang tadi siang menghubunginya. Tangannya bergerak
cepat menyelesaikan lukisan lalu setengah berlari memasuki kamar, menaruh semuanya di atas kasur dan turun segera menemui Andik.
"Andik!" panggil Naura, Andik sedang duduk bersama Ilyas sambil menonton televisi.
Laki-laki itu menoleh, Ilyas juga mengikuti.
Naura datang ke mereka dan duduk satu kursi, Ilyas bergeser dengan sendirinya
memberi tempat lebih ke Naura juga agar mereka tak terlalu dekat walau sebenarnya Naura juga tidak mempermasalahkan.
"Mau minta diantar kemana Mba?" tanya Andik tidak mengerti.
"Kamu ini kalo urusan keluar nomor satu benar!" jawab Naura dengan meledek Andik.
"Kita pikir Mba," sambung Ilyas menolong Andik.
"Bukan ... Tadi siang Hanis nelfon mba, dia pamitan!" tutur Naura mengungkapkan
dengan nada datar. Andik terdiam kaget, Ilyas pun sama tapi tak sekaget Andik.
Tanpa sepatah kata Andik bangkit dari duduk
santainya, mengambil langkah cepat menuju kamar Hanis yang bersebelahan dengan
kamar mereka. Didorongnya pintu yang tertutup rapat itu, sekedar memastikan
benarkah apa yang ia dengar barusan walau mustahil itu lelucon belaka. Naura dan Ilyas pun bangkit, cemas apa yang akan diperbuat Andik mereka datang menyusul.
Ternyata apa yang dikhawatirkan keduanya
salah, Andik mematung di tengah kamar Hanis, matanya memutar mengamati setiap
sudut kamar yang sudah rapi seperti tak berpenghuni. Amarah jelas memuncak tapi
tidak tahu bagaimana meluapkannya, apalagi ia yang telah menguji kesabarannya tak nampak di depan mata.
Langkah Naura pelan kala datang ke samping
Andik, diikuti Ilyas berdiri di sisi lain. Tangan kanan Naura bergerak ke atas, menyentuh punggung Andik dan mengusapnya pelan. Nada suaranya terdengar rendah kala berucap, menasehati Andik demi menurunkan kemarahannya yang bertengger di puncak.
"Sudahlah, kita sudah berusaha ... Biarkan dia memilih apa yang pengen dia lakukan...." ucap Naura, berusaha mengurangi kemarahan serta beban Andik.
"Tapi Mba, dia tidak bisa memilah mana teman yang berdampak positif mana yang
tidak," sahut Andik, jelas ia mencemaskan pergaulan Hanis.
"Mba ngerti tapi semakin kita kekang semakin dia memberontak," lanjut Naura.
"Benar Dik, dia sudah dewasa setidaknya biar dia bertanggungjawab sama hidupnya
sendiri," imbuh Ilyas membantu menasehati Andik agar tak terus terbebani sebagai saudara yang diamanahkan menjaga Hanis.
"Kita lihat gimana nantinya, Mba yakin sekalipun dia tak ingin kamu ikut campur jika
terjadi sesuatu tatap kamu yang bakal dia cari," tambah Naura.
Pada akhirnya Andik menerima nasehat dari kedua orang terdekat dia, membesarkan hatinya menerima keputusan Hanis walau amarah masih belum reda. Dengan langkah tak bertenaga ia keluar dari kamar itu, menutup rapat pintu kamar.
CAPTER 3
AKHIR PEKAN
Walau sudah seminggu kepergian Hanis rumah itu tak terasa perubahannya, mungkin karena Hanis yang memang memilih tak
mengakrabkan diri sehingga ketiadaannya tak dirasakan. Pagi ini aktivitas di akhir pekan masih sama, Andik dan Ilyas sibuk dengan halaman rumah sementara Naura berada di rooftop menyiram bunga setelah tadi ia keluarkan. Dari atas ia melambaikan tangan ke Andik dan Ilyas, memanggil keduanya supaya bergabung dengannya di atas. Naura sudah menyiapkan teh bunga dandelion yang ia sukai dan juga kue kering untuk menemani pagi santai mereka.
"Sini duduk, ada teh hangat ini," seru Naura begitu Andik dan Ilyas muncul, berjalan ke arahnya. Dua orang itu tak hanya sekedar teman baginya tapi ia sudah menganggap mereka seperti keluarga, bahkan Ilham yang tak serumah lagi rutin menyambanginya juga, mengajak mereka keluar menghabiskan waktu bersama. Semua itu mereka lakukan tak lain membalas kebaikan Hasan yang selama ini sudah menganggap ketiganya seperti keluarga sendiri dan tak pernah membeda-bedakan satu sama lain.
Duduklah keduanya berjejer di samping Naura
menatap cerahnya langit, menikmati udara pagi yang lumayan dingin disebabkan
angin berhembus lebih kencang dari biasanya.
"Ini kalo di desa biasanya musim panen tebu," seru Andik tiba-tiba bersuara.
"Iya benar, musimnya layangan!" sambung Ilyas.
"Benarkah?!" sahut Naura nimbrung.
"Gimana kalo kita buat layangan?!" ujar Andik mengusulkan.
"Buat? Kapan waktunya? Bambunya kita dapat darimana? Kertas layangannya juga?" sahut
Ilyas mencerca Andik, ia tak setuju dengan ide itu karena memang mereka sudah tak punya banyak waktu seperti dulu. Disamping itu dimana mereka akan mendapatkan bahan-bahan membuat layangan tersebut.
"Iya juga ya, mana lagi bahan-bahannya beli dimana kalo di sini! Ada pohon bambu
tapi bambu hias!" ujar Andik sejalan dengan pendapat Ilyas.
"Gimana kalo kita beli," ucap Naura memberikan solusi. Keduanya kembali
bersemangat mendengar usulan dari Naura.
"Cepat Dik, hubungi Ilham buat nyari info yang jual layangan!" perintah Ilyas tidak sabar.
"Sambil tanya ke Ilham aku post dulu, siapa tahu ada yang komen!" kata Andik mengusulkan jalan lain.
"Buruan!" perintah Naura, tak sabar ingin menerbangkan layangan. Maklum seumur hidupnya ia tak pernah bermain layangan, bahkan sewaktu kecil ia juga tak pernah
mendapati Andy mengajaknya menerbangkan layangan.
“Ada suamiku pasti tambah seru,” batinnya berucap. Berasa kurang lengkap tanpa
kehadiran lelaki itu.
Jemari tangan Andik baru mencari nomor
kontak Ilham di riwayat panggilan saat notifikasi masuk menghalangi, ada seorang teman yang sudah berkomentar. Beruntungnya lagi ia memberikan informasi
penjual layangan di depan pasar loak daerah pusar angin. Ketiganya girang mendapat informasi secepat itu, Naura menyuruh Andik menghubungi Ilham mengajak laki-laki itu ikut membeli layangan sekalian menghabiskan waktu berama.
"Tapi Mba...." Tiba-tiba Ilyas bersuara, nadanya rendah dan tak bersemangat
"Tapi apa?!" sahut Andik dan Naura bersamaan, tidak senang mendengar kata itu
terucap apalagi dengan nada seperti yang tadi.
"Itu kita mainnya dimana? Kayaknya halaman rumah ini kurang luas, masak kita kepinggiran kota cari persawahan?!" tutur Ilyas menyampaikan. Sontak Naura dan Andik terdiam, semangat mereka kendor seketika padahal Ilham sudah menyetujuinya dan ia juga antusias.
Disaat wajah murung ketiganya terpampang
jelas tiba-tiba Naura mendapat ide, wajahnya kembali cerah bahkan nada suaranya lebih bersemangat dibandingkan sebelumnya. Ia menepuk pundak Andik, menyadarkan
laki-laki itu dari kebisuan sesaat.
"Kalo main di rumahnya Papa, gimana? Aku rasa halamannya cukup luas! Kita bisa nerbangin di halaman belakang atau di depan!" kata Naura berpendapat.
Baik Andik ataupun Ilyas tidak segera
menjawab, mereka berdua terdiam beberapa detik lamanya hanya untuk memperkirakan seberapa luas halaman rumah pak Malik. Cukupkah nantinya jika dibuat pertunjukan antara mereka bertiga.
"Mba emang ukuran halaman rumah pak De berapa?!" tanya Andik tiba-tiba. Naura
mengangkat kedua pundak memberi isyarat akan ketidak tahuannya.
Tak mendapat dari Naura, Andik malah meminta wanita itu untuk menanyakan luas halaman rumahnya langsung ke pak Malik. Jelas Naura menolak tapi pada akhirnya ia menyerah demi bisa menerbangkan layangan,
ia pun menghubungi pak Malik. Syukurlah panggilan lekas dijawab, Naura menyapa
sang ayah sebelum masuk ke inti tujuan.
Ia sempat bingung hendak memulai pertanyaan sampai-sampai pak Malik dibuat khawatir. Ia bahkan tak kuasa menahan diri untuk tidak menghujani Naura pertanyaan karena kekhawatiran yang datang mendadak.
"Nggak kok Pa, Nana cuma mau tanya halaman rumah kita luasnya berapa meter?"
tanya Naura ragu-ragu. Pak Malik tersentak mendapat pertanyaan demikian, ia merasa ada yang aneh dengan putrinya saat itu. Pak Malik tak memberikan jawaban sebaliknya ia mendesak Naura dengan bertanya ini itu. Namun Naura juga tetap kekeh, ia hanya ingin pak Malik menjawab pertanyaan yang ia ajukan tadi.
"Entahlah, yang pasti luas tanahnya lebih dari tiga ribu meter persegi, kenapa Nana
tiba-tiba nanyain soal rumah ini?!" jawab pak Malik sekaligus bertanya. Ya, kediaman pak Malik berada di perumahan landed yang cukup dikenal sebagai kawasan elit. Penghuni di perumahan itu tak bayak, hanya terdiri dari tiga blok saja dengan jarak rumah saling berjauhan dikarenakan halaman rumah mereka tidak ada yang sempit. Untuk ukuran bangunan bervariasi, yang lebih luas dari kediaman pak Malik juga ada.
Bukannya menjawab Naura malah berbicara pada Andik dan Ilyas dengan nada rendah agar pak Malik tak mendengar dengan jelas.
Keduanya tak puas, mereka terutama Andik
mendesak Naura menanyakan luas halaman bukan tanah keseluruhan. Kembali Naura
mendekatkan mulutnya ke ponsel, mengulangi pertanyaan yang sama.
"Iya Nana kenapa nanya soal itu? Papa lupa berapa luasnya yang pasti tapi untuk
bangunannya sekitar seribu meter persegi! Nana hitung aja sisanya? Ada yang lain? Mungkin mau nanya habis berapa papa bangun rumah ini dulu?" kata pak Malik, memberi jawaban walau masih bertanya-tanya kenapa putrinya bertanya demikian sekaligus melempar pertanyaan.
“Ok Papa, makasih! Nana tutup dulu,” sahut Naura semakin menambah rasa penasaran
pak Malik.
"Kayaknya luas deh halamannya, kan ada tamannya juga!" seru Ilyas, masih dengan
mengingat kembali gambaran rumah pak Malik.
Lama ia berdebat soal halaman rumah
sampai-sampai Ilham menghubungi, ternyata ia sudah tiba di tempat penjual layangan. Bubarlah mereka bertiga, sisa minuman segera dihabiskan oleh Andik dan Ilyas. Sedangkan sisa kue ia bawa turun dan menyimpannya di rak dapur.
Naura sangat singkat bersiap-siap, ia hanya
mengganti baju dan mengambil kerudung instan. Setelah menyambar tas dan kontak
mobil ia bergegas menuruni tangga. Andik dan Ilyas sudah menunggu di teras rumah. Wanita itu melempar kunci mobil ke Andik, 'Kamu yang nyetir!" Perintahnya sambil berjalan menuruni undakan teras.
Andik begitu juga Ilyas bangun, menyusul
Naura yang berjalan duluan ke garasi. Secepat kilat Andik mengeluarkan mobil
kuning dari garasi, meluncur deras melewati pintu pagar. Kembali Ilham menghubungi
Andik, karena posisi dalam menyetir laki-laki itu melempar ponsel ke samping meminta Ilyas yang menerima.
"Iya ini masih di jalan!" ujar Ilyas lalu menutup panggilan segera.
"Baru bentar nunggu udah nggak betah itu anak!" seru Naura.
"Iya, apalagi disuruh nunggu lama kayak Mba? Apa nggak gila dia?!" sambung
Andik, tak sengaja melibatkan Naura. Naura terdiam namun hanya beberapa detik saja, ia kembali mengangkat kepala berucap sambil menebar senyum, "Itu karena ada kalian yang setia nemanin Mba, kalo nggak ada kalian mungkin mba juga sudah gila?!" ucapnya membuat Andik merasa bersalah.
"Itu sebabnya kita bertahan menjoblo, Mba!" sahut Andik segera.
"Cihh ... Alasan ya! Itu karena kalian memang nggak laku!" balas Naura.
"Ngomong-ngomong dulu sewaktu kuliah emang nggak ada yang naksir kalian?" tanya Naura penasaran.
Mereka berdua terdiam, menyadari jika memang begitu adanya tidak ada yang menyatakan cinta atau sekedar kirim salam apalagi desas desus ada yang naksir.
"Iya ya ... Kok nggak ada yang kirim salam gitu ke kita?" seru Ilyas, berpikir keras mengingat kembali mulai dari awal kuliah sampai selesai.
"Kamu Dik?" Ilyas melempar pertanyaan.
"Bukannya kita ini malah dibilang pasangan, Yas?!" seru Andik mengingatkan kembali.
"Itu gara-gara kamu nempel terus!" sahut Ilyas memancing tawa Andik sedangkan Naura hanya melempar senyum lebar.
Tak terasa rombongan Andik, Naura dan Ilyas
tiba di tempat tujuan dimana Ilhan sudah menunggu dari tadi. Mereka bertiga segera turun mendatangi Ilham dan Veny yang terlihat bingung memilih jenis layangan. Veny duluan menoleh, tangannya menepuk pundak Ilham untuk membuat suaminya menoleh ke arah kedatangan mereka bertiga.
"Sorry lama," ucap Naura dan berdiri di sisi Veny.
Andik dan Ilyas langsung bergabung, memilih
layangan sesuai selera mereka, awalnya mereka ingin membeli sendiri-sendiri tapi tak jadi setelah menemukan layangan favorit mereka di kampung juga dijual. Keberadaan Veny dan Naura otomatis tersingkir dengan sendiri. Sudah kadung di sana Naura tak ingin hanya berdiam diri menjadi penonton, ditariknya tangan Veny mendatangi ketiganya.
"Pak, ini harga layangannya aja segitu apa satu paket sama dinamo plus lampu?"
tanya Ilham.
"Layangannya saja Mas," jawabnya singkat.
"Ohh...." seru Andik.
"Kalo dinamo sama lampunya berapa?" tanya Ilyas.
"Dinamonya lima belas ribu kalo lampunya lima ribu perlampu, satu bungkus isi lima
lampu!" jawabnya menjelaskan.
"Ada ongkos pasangnya nggak, Pak?" tanya Andik tidak mau kalah.
"Ongkosnya dua puluh ribu aja Mas," jawabnya lagi.
Tangan Andik mencubit pinggang Ilham, ia
bergeser mendekat bahkan tak sadar melingkarkan tangannya ke pinggang laki-laki
itu. Sontak mata Naura dan Veny mendelik melihat pemandangan tak biasa di depan
mata mereka. Mereka saling menatap, ada banyak pertanyaan singgah di kepala mereka namun tertahan.
Tak peduli dengan tatapan Naura dan Veny, Andik malah semakin menempel ia berucap
sangat rendah ke telinga Ilham, "Kita pasang sendiri," ucapnya.
Tidak hanya Andik yang mengusulkan demikian Ilyas juga sama tapi tidak dengan berbisik. Laki-laki itu memilih jalur lain,
berucap terang-terangan. Berhubung dua pendapat sudah didapat Ilham pun mengikuti usulan mereka berdua.
Naura tak mau ketinggalan ia juga membeli
layangan yang rencananya ingin dia terbangkan bersama dengan pak Malik nanti.
Dua buah layangan dibeli, mereka bertiga membeli jenis layangan sawangan yang
berbunyi model burung satu dan layangan
biasa namun tak berukuran kecil berbentuk kupu-kupu. Lengkap dengan aksesoris penunjang seperti dinamo, lampu, kabel serta yang tidak kalah penting benang dan gulungannya.
"Muat nggak ini?!" seru Andik, tidak yakin jika layangan itu akan muat dimasukkan ke dalam mobil.
"Coba dulu," kata Naura, mereka bertiga mencoba memasukkan layangan sawangan
terlebih dulu tapi ternyata layangan itu tak muat sesuai dugaan Andik, maklum
diameter dari layangan itu hampir mencapai dua meter. Berikutnya layangan warna
pelangi berbentuk kupu-kupu milik Naura yang dimasukkan, cukup muat tapi kursi
penumpang harus ditekuk. Khawatir layangan itu nantinya rusak akhirnya Naura memutuskan menghubungi pak Said, ia meminta pak Said untuk datang ke sana
dengan membawa mobil off road bak terbuka, ia juga meminta pak Said untuk membawa tali.
Pak Said mengeluarkan mobil off road yang
diminta Naura dengan rasa penasaran dan penuh tanya, ditambah saat pak Malik
mencegatnya sebelum keluar dari garasi.
"Non minta saya bawa mobil ini, Tuan!" jawab pak Said.
"Buat apa katanya, pak Said?" lanjut bertanya.
"Kurang tahu Tuan, Non cuma bilangnya rahasia!" jawab pak Said lagi.
"Ohh ... Buruan sudah berangkat," seru pak Malik, mobil warna hitam itu segera
meluncur keluar, melewati halaman luas rumah pak Malik. Seperti biasa saat
mencapai pos keamanan pak Said menginjak rem, dibukanya kaca mobil dan meyapa pak
Martin di sana.
"Mau kemana kok bawa mobil ini?" tanya pak Martin ingin tahu, mengira akan jalan-jalan.
"Nggak tahu Non, ini juga disuruh bawa tali!" jawab pak Said.
Insting pak Martin mulai bergerak, berbisik ke hatinya dan menyuruh laki-laki tegap itu
bersuara, "Ikut Pak!" ucapnya.
Pak Said tak berani membuat keputusan ia
meminta pak Martin ijin terlebih dulu. Tak mau membuang kesempatan ia berlari
dari pos jaga ke rumah yang jaraknya lumayan menguras keringat. Pak Malik
berada di halaman samping bersantai disana saat pak Martin datang dengan nafas
ngos-ngosan.
"Ada apa pak Martin?!" tanya pak Malik cemas.
"Tuan, boleh saya ikut pak Said? Hitung-hitung bantuin dia soalnya disuruh bawa tali juga, Tuan!" kata pak Martin meminta ijin.
Pak Malik tak lekas menjawab, ia menoleh ke
mobil yang sudah berada di depan pos jaga walau tak bisa melihatnya penuh lalu kembali mengarahkan pandangannya ke pak Martin.
"Ya sudah sana, tapi jangan lama-lama!" ucap pak Malik, akhirnya mengijinkan pak Martin karena tak tega menatap tampang melas memohon.
Girangnya pak Martin, kembali ia berlari
mencapai mobil yang masih setia menunggu di tempatnya. Begitu masuk dan memasukkan sabuk pengaman, mobil hitam itu segera menerobos gerbang pintu.
Tak hentinya mereka berdua membahas mengenai permintaan Naura tersebut, keduanya sama-sama penasaran dan tak sabar ingin tahu. Saat sudah sampai terjawab sudah rasa penasaran keduanya, Naura dan tim hura-hura berdiri di depan lapak penjual layangan lebih tepatnya di samping mobil warna kuning.
"Ada apa Non?!" tanya pak Said, sementara bola matanya melirik ke layangan.
"Tolong bawakan ini," jawab Naura, menunjuk ke layangan di dekatnya.
"Siap Non!" balas pak Martin yang tiba-tiba nongol.
"Ohh ... Bawa ke rumah Papa ya! Kita duluan ke sana!" imbuh Naura.
"Siap, Non tinggal tunggu aja!" sahut pak Said. Lekas Naura dan tim hura-hura mereka masuk ke mobil, sedangkan Ilham dan Veny langsung naik motor.
Disaat dua rombongn itu sudah jauh pak Said
dan pak Martin yang tertarik untuk menerbangkan layangan turut membeli satu
buah layangan berukuran sedang.
"Nggak nambah lampunya sekalian?" tanya pedagang.
"Lampu?!" sahut keduannya.
"Iya, yang tadi beli sama lampunya Pak!" tambah pedagang tersebut memanas-manasi
pak Martin dan pak Said.
"Iya Pak, samakan kayak mereka!" ucap pak Martin terpancing bujuk rayu pedagang.
Namun pemandangan tak diduga terjadi saat
waktu membayar, pak Said yang dompetnya tertinggal di mobil satunya meraba-raba
kantong celana. Mata pak Martin waspada, ia mengikuti pergerakan tangan pak Said yang meraba seluruh kantong baju.
"Dompetku ketinggalan di mobil satunya!" ungkap pak Said akhirnya mengingat.
"Terus?" sahut pak Martin.
"Pakek uangnya pak Martin dulu, toh kita kan patungan!" jawab pak Said.
Sejurus kemudian tangan pak Martin dengan
berat mengeluarkan dompet dari persembunyian. Kembali ia bertanya berapa total yang harus dibayar pada pedagang yang berdiri di dekat mereka.
"Seratus enam puluh lima ribu," ucap pedagang.
Dengan hati-hati pak Martin mengintip ke dalam dompet, berharap isinya lebih dari angka yang disebutkan. Sambil mengintip jemar pak Martin menghitung uang yang ia miliki di dompet dengan sangat cepat, "Pak Said kurang sepuluh ribu, ada nggak?!" tanyanya setelah ternyata uang yang dimiliki kurang.
Cekatan pak Said mencari lagi seisi kantong
mulai dari kantong celana hingga baju sayangnya tak menemukan meski walau hanya selembar. Pak Said menggeleng lemah, "Terus gimana ini?!" seru pak Martin.
"Bayar besok juga nggak apa-apa Pak!" sahut penjual layangan.
“Bener Pak?” seru pak Martin memastikan, pedagang itu mengangguk.
"Inshallah besok Pak saya ke sini bayar kurangnya," kata pak Said berjanji.
Setelah membayar seadanya uang di dompet lekas mereka memuat semuanya ke mobil, agar tak terbang terbawa angin mereka mengikat layangan tersebut tapi tidak terlalu singset.
Naura yang lebih dulu berangkat sudah tiba
di rumah, pak Malik menoleh melihat mobil kuning memasuki halaman rumah lalu
disusul oleh motor Ilham. Ia bangkit dari duduk santainya seorang diri di halaman samping, bergegas ia menyambut mereka.
"Wah rame-rame datangnya, ada acara apakah ini?" tanya pak Malik yang penasaran.
"Ada deh ... Nanti Papa juga tahu!" jawab Naura semakin menambah penasaran pak
Malik.
Naura membawa tim hura-hura ke halaman
samping, duduk bersama di gazebo. Detik kemudian datanglah bik Siti dari dalam,
senyumnya mengembang sempurna melihat Naura dan yang lain berkumpul.
"Bik tolong buatkan minuman yang segar sama makanan cemilan ya!" pinta Naura.
"Siap Non, tapi ngomong-ngomong rame-rame gini ada acara apa?!" tanya bik Siti
yang juga penasaran.
"Ada deh! Nanti juga tahu, tunggu aja!" jawab Naura yang sama memberikan jawaban mengambang.
"Sih Non," seru bik Siti sebelum masuk lagi ke dalam melalui teras samping.
Sekitar lima belas menit setelahnya
datanglah pak Said dan pak Martin yang ditunggu-tunggu, saat deru mobil memasuki halaman rumah Naura bangun segera. Disusul tiga kunyuk yang sudah tidak sabar ingin menerbangkan layangan sedari tadi. Veny bersama dengan bik Siti menyusul kemudian.
"Kok lama pak Said?" cerca Naura yang sudah jenuh menunggu.
Kompak keduanya tersenyum tipis, sambil garuk-garuk kepala pak Martin mewakilinya
menjawab, "Kita tadi beli juga, Non!" ungkapnya.
“Iya Non, tapi kurang sepuluh ribu,” imbuh pak Said jujur, memancing tawa yang lain.
Layangan sudah di tangan saatnya bagi mereka menyelesaikan satu pekerjaan sebelum layangan itu terbang bebas di udara. Apa itu? Tentu memasang lampu yang sudah dibeli. Semuanya berjejer di teras samping
dekat kolam renang berkutit dengan layangan masing-masing. Pak Said yang tak mengerti sama sekali hanya bisa membantu sebisa mungkin. Pak Martin juga tak terlalu menguasai sehingga ia memilih berada di dekat kelompok Andik, Ilyas dan Ilham. Kelompok Naura terdiri dari dirinya sendiri, pak Malik dan bik Siti yang juga ikut bergabung.
Pak Malik juga sudah lupa sambil mengintip
kelompok sebelah ia mencoba memasang lampu yang dimulai dari pemasangan dinamo, dilanjutkan kabel dan yang terakhir tentu lampu neon. Naura dan bik Siti bertindak sebagai pengawas, bola matanya tak lepas dari dua pandangan sekaligus. Saat
pemasangan pak Malik tak sama, mereka berdua langsung menegur.
“Papa punya mereka nggak kayak gitu,” tegur Naura, menunjuk kelompok Ilham yang hampir selesai.
“Masak harus sama persis? Yang penting kan benar pemasangannya, masalah kabel
tergantung mau ditaruh di bagian mana lampunya,” kata pak Malik, tak terima disalahkan terus oleh sang putri.
“Ohh….” Sahut Naura, memanyunkan mulut lantaran tak terima.
“Tadi beli berapa bungkus lampunya?” tanya pak Malik lantaran kabel masih panjang.
“Beli tiga bungkus,” sahut Naura lekas.
“Itu terlalu sedikit, harusnya beli sepuluh bungkus!” kata pak Malik menyindir. Bik
Siti hanya jadi penonton, ia menahan tawa mendengar perdebatan kecil antar anak dan ayah.
“Sudah siap!” seru Andik, bangkitlah mereka disusul Veny.
Lupa dengan yang lain yang masih berkutit
urusan lampu ketiganya berjalan cepat menuju halaman belakang. Memastikan
apakah layangan berukuran besar namun tak jumbo itu bisa diterbangkan dari sana
atau tidak.
“Kayaknya harus manjat pagar ini nerbanginnya,” seru Andik.
Berlarilah ia kembali ke teras samping hanya
untuk meminta ijin memanjat dinding pagar. pak Malik kala itu sudah hampir selesai tinggal memasang dua buah lampu lagi sedangkan pak Martin dan pak Said sudah bangkit.
“Pak De, boleh nggak kita manjat dinding buat nerbangin layangannya?!” ujar Andik meminta ijin.
“Boleh tapi tunggu bentar,” sahut pak Malik, kemudian ia meminta pak Martin untuk
mematikan sementara sensor yang terpasang mengelilingi dinding pagar rumah.
“Syukur pamit dulu, kalo main manjat bisa terpental aku,” guman Andik sambil berjalan
ke belakang bergabung dengan dua temannya yang sedang mempersiapkan layangan.
“Gimana?” tanya Ilham tak sabar.
“Tunggu dulu masih dimatikan sensornya biar nggak kesetrum kita,” jawab Andik.
Akhirnya mereka menunggu kedatangan yang
lain untuk menerbangkan layangan mereka bersama-sama. Tim layangan belumlah
berubah, Ilham dengan empat anggota termasuk dirinya walau yang satu nyaris hanya menjadi penonton. Naura masih tiga anggota dan pak Said hanya berdua dengan pak Martin. Syukurlah layangan yang dibeli pak Martin dan pak Said berukuran sedang
dan jenis layangan biasa yang tak membutuhkan banyak tenaga seperti milik tim Ilham.
Demi bisa menerbangkan layangan Andik
memanjat pagar tembok dengan Ilyas, Ilham bertugas menarik benang dan Veny
diberi tugas menggulung benar agar tak terlilit. Sambil setengah berlari menuju
halaman samping Ilham menarik layangan, berusaha menaikkannya setelah
sebelumnya ia memberi aba-aba agar Andik dan Ilyas melepaskan layangan yang
mereka angkat. Lumayan menguras tenaga, saat layangan mulai merangkak naik Andik dan Ilyas berlari untuk membantu Ilham yang terlihat mulai kewalahan. Mereka bertiga berjibaku membuat layangan mengudara lebih tinggi dan memastikan pergerakannya stabil. Dan detik berikutnya layangan itu mengeluarkan bunyi yang dihasilkan dari gesekan udara.
Berikutnya Andik membantu pak Malik yang
anggotanya dua wanita, hampir sama dengan apa yang dilakukan Andik dan Ilyas tadi pak Malik meminta Naura berlari membawa layangan di tangan menjauh dari posisinya berdiri. Bahkan Naura dan bik Siti menirukan gaya Andik dan Ilyas, keduanya naik ke meja keramik setelah melepas alas kaki dan mengangkat layangan setinggi. Setelah ada aba-aba lepas dari pak Malik kedua wanita berbeda usia itu melepaskan layangan dan pak Malik mulai berusaha menaikkan layangan.
Percobaan pertama gagal, kembali Naura dan
bik Siti memungut layangan yang tak bisa mengudara. Berlari lagi mereka ke posisi yang tadi dengan metode yang sama. Kali ini Andik turun tangan sedangkan pak Malik diminta memegang gulungan benang. Naura dan bik Siti belum turun dari meja saat melihat layangan mulai merangkak naik dan melayang-layang di udara, mereka tersenyum lebar. Setelah posisi layangan stabil Andik menyerahkan kembali ke pak Malik.
Pak Martin dan pak Said tak menemukan
hambatan, layangan milik mereka berukuran paling kecil ditambah lagi pak Martin memiliki tenaga besar dan cukup pintar menerbangkan layangan.
“Kok nggak nyala lampunya?!” seru Naura yang sebenarnya tak sabar melihat
lampu-lampu di layangannya menyala.
“Bukan sekarang nyalanya tapi nanti malam,” sahut Ilyas.
“Nanti malam?!” seru Naura. Ia terdiam sesaat sebelum kembali bersuara dengan nada lantang dan mantap.
“Ok, kalo gitu untuk malam ini kita nginap di sini!” ucapnya. Dua orang itu menoleh
seketika tapi tak mampu menolak.
Semua tim sibuk dengan layangan
masing-masing, saat layangan mulai berdekatan Ilham meminta pak Martin
menjauhkannya mengingat layangan milik mereka berdua paling kecil sehingga
mudah digerakkan. Tidak hanya milik pak
Martin saja, milik Naura juga disuruh menjauh khawatir berbenturan. Dibantu Andik dan Ilyas pak Malik memindahkannya sampai jarak dirasa cukup.
Disaat keseruan itu tiba-tiba Naura menepi,
sambil memandang langit di halaman rumahnya ia menyebut nama sang suami. Rasa rindu hinggap mengusik kebahagiannya yang tak sempurna, menyisakan pilu di
dada. Bik Siti menangkap pemandangan sedih itu, bergeraklah kakinya mendekat ke
Naura yang menahan air mata.
“Non, yang kuat … bukannya beberapa bulan lagi Aden sudah selesai kuliahnya!” ucap
bik Siti.
“Iya Bik, kurang empat bulan lagi tapi rasanya lama banget….” Sahut Naura.
Agar tak bertambah sedih bik Siti mengajak
Naura serta Veny ke dapur mempersiapkan makan siang untuk semuanya. Cukup
berhasil setidaknya dengan kesibukan Naura tak punya jedah memikirkan suaminya
dan wajah murungnya menghilang.
Saat masakan sudah siap bik Siti
berinisiatif membawa semua masakan itu keluar, menata di gazebo panjang di
belakang rumah. Dibantu Naura dan Veny mereka bertiga mengeluarkan semua
masakan ke sana, mengambil piring dan lainnya.
“Ayo makan siang dulu!” teriak Naura.
Para kaum Adam segera menanggalkan benang dengan mengikatnya sementara waktu setelah menurunkan sedikit ketinggian. Di gazebo para wanita sudah duduk menunggu termasuk bik Siti yang juga diminta makan bersama.
“Berasa kayak kamping aja kita ini!” seru Ilham mengawali perbincangan.
“Anggaplah ini camping,” sahut pak Malik.
“Gimana kalo nanti kita camping beneran?!” usul Andik.
“Ok, kalian atur waktunya! Om ngikut aja!”seru pak malik menyetujui ide Andik.
Sewaktu kehangatan makan siang bersama terjalin lagi-lagi Naura teringat sosok sang suami, ketidak hadirannya diantara mereka
membuat air matanya kembali mengintip. Namun kali ini ia tak mampu menahannya
lagi. Dalam diam air mata itu turun sendiri, tangan Naura yang tadinya sudah terangkat dengan sendok di tangan kini malah terhenti, diturunkannya lagi.
“Nana….” Ucap pak Malik.
Naura mengusap air mata yang terlanjur jatuh membasahi pipi dengan tangan kirinya,
mulutnya berjuang untuk bisa berucap. “Semoga dia di sana nggak kesepian, punya
banyak teman.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!