Mei Yin menatap ke arah bayi mungil yang tengah digendong seorang wanita paruh baya. Bayi itu tampak tertidur lelap dalam balutan kain sutera yang membuat tubuhnya kembali hangat setelah merasakan kedinginan saat pertama kali menghirup udara luar dan menangis dengan kencang hingga membuat seorang pria tampan yang duduk di samping Mei Yin menitikkan air mata bahagia.
Pria yang tampan dan terlihat berwibawa itu perlahan menghapus peluh yang masih menempel di dahi Mei Yin dan mengecupnya dengan mesra. "Terima kasih karena sudah memberikanku seorang pangeran mungil yang sangat tampan," ucap pria itu sambil menggenggam tangan istrinya itu.
Mei Yin tersenyum dan mengangguk pelan. Wajahnya yang tampak pucat tak mengurangi kecantikan wajahnya. Matanya yang sendu tetap terlihat sangat mempesona.
Wanita paruh baya itu lantas menyerahkan bayi mungil itu ke gendongan Mei Yin. "Permaisuri, Pangeran kita ini sangat tampan," ucap wanita itu sambil tersenyum.
Mei Yin menatap wajah bayi mungil itu dengan seksama. Memang benar, wajah bayi itu sangat tampan dengan pipi yang terlihat sangat menggemaskan. Bibir mungil bayi itu terkadang menguap pelan hingga membuat Mei Yin tersenyum saat melihatnya.
Di gendongannya kini, tampak seraut wajah yang membuat dia merasa menjadi wanita seutuhnya, karena bisa memberikan kebahagiaan bagi suaminya yang juga seorang Raja di negeri itu.
"Istriku, lihatlah wajah anak kita. Dia sangat tampan dan menggemaskan," ucap pria itu yang tidak lain adalah Raja dari negeri itu, yaitu Pangeran Zhao Li atau yang sekarang disebut Raja Zhao Li.
Mei Yin mengangguk. Dia tidak menyangka kalau dirinya sekarang sudah menjadi seorang ibu dan lelaki yang duduk di sampingnya kini telah menjadi seorang ayah. "Suamiku, apa kamu bahagia?" tanya Mei Yin pada suaminya itu.
"Aku sangat bahagia, bahkan terlalu bahagia hingga aku tidak ingin pergi dari sini," jawab Raja Zhao Li sambil tersenyum.
Mei Yin membalas senyumnya dan kembali menatap wajah pangeran mungilnya yang sudah terlelap dalam gendongannya.
"Berikan dia padaku dan sebaiknya kamu beristirahat. Aku tahu kamu sangat lelah karena sudah mempertaruhkan nyawamu untuk melahirkan buah cinta kita. Tidurlah, biar aku yang akan menjaga bayi kita," ucap Raja Zhao Li lembut sambil mengambil bayi itu dari gendongan Mei Yin.
Walau tidak ingin, tapi Mei Yin tidak bisa membantah ucapan suaminya. Baginya, setiap ucapan Raja Zhao Li adalah perintah yang harus dia patuhi karena baginya Raja Zhao Li bukanlah hanya sebagai seorang suami, tapi juga sebagai seorang raja yang patut untuk dia patuhi.
Dia tidak ingin membantah ucapan suaminya karena dia ingin menjaga kewibawaan suaminya. Bagaimana mungkin seorang Raja bisa dipatuhi oleh rakyatnya kalau ternyata istrinya sendiri tidak mematuhinya.
Mei Yin menyerahkan bayi itu ke gendongan Raja Zhao Li yang tampak bahagia saat pertama kali menggendong buah hatinya itu. Dia menitikkan air mata saat melihat bayi itu dalam gendongannya.
"Suamiku, kenapa kamu menangis?" tanya Mei Yin yang juga ikut sedih.
"Ini adalah tangisan bahagia. Aku sangat bahagia hingga membuatku menangis," jawab Raja Zhao Li sambil tersenyum di antara air mata yang jatuh di sudut matanya.
"Tidurlah, biarkan aku menatap wajah putraku ini, karena sebentar lagi aku harus menghadiri pertemuan dengan menteri-menteri itu," ujar Raja Zhao Li yang membuat Mei Yin mengangguk.
Sambil tersenyum, Mei Yin terus memperhatikan Raja Zhao Li yang tengah asyik menimang buah hati mereka. Rasa sakit dan lelah pasca melahirkan tak membuatnya menjadi wanita yang lemah. Walau harus bertarung nyawa, tapi dia tetap bersemangat karena rasa cintanya pada Raja Zhao Li yang sudah menunggunya dengan perasaan cemas. Dan semua itu terbayar dengan hadirnya bayi mungil yang membuat hidup mereka lebih sempurna.
Karena kelelahan, Mei Yin akhirnya tertidur. Wajah cantiknya tampak pucat saat Raja Zhao Li mendekatinya. "Terima kasih karena sudah memberikan kabahagiaan untukku. Terima kasih karena sudah menghadirkan pangeran mungil yang akan membuat keluarga kita semakin sempurna. Terima kasih, istriku," ucap Raja Zhao Li sambil mengecup kening istrinya itu.
Kabar tentang kelahiran pangeran telah menjadi berita hangat di luar kerajaan. Rakyat yang selama ini sangat menyanjung rajanya itu sangat bergembira dengan kelahiran pangeran yang tentu saja akan menjadi penerus istana ke depannya.
Kebijakan Raja Zhao Li yang lebih mementingkan rakyat telah membuat rakyat sangat loyal padanya. Itu terbukti dengan diadakannya pesta di sebuah desa yang jauh dari istana.
Desa kecil itu tampak asri dengan aneka tanaman bunga dan tanaman obat yang mengelilingi desa itu. Tak hanya itu, desa yang tidak terlalu besar itu juga ditanami aneka sayur dan ubi yang akan segera dipanen.
"Tuan, hasil sayur dan ubi kita kali ini cukup banyak. Aku akan memerintahkan mereka untuk segera memanennya," ucap seorang pria yang terlihat sangat menghormati orang yang dipanggilnya tuan itu.
"Baiklah, perintahkan para lelaki untuk memanen dan perintahkan kepada para wanita untuk memasak makanan yang banyak."
"Baik, Tuan," ucap pria itu dan pergi menemui warga desanya yang sudah menunggu untuk mendapat perintah.
"Kakak, apakah Kakak sebahagia itu sampai-sampai menyuruh mereka memasak makanan yang banyak?" Tiba-tiba seorang wanita muda datang dan menghampirinya.
"Setidaknya, ini yang bisa aku lakukan untuk menyambut kehadiran pangeran kita," ucap pria itu.
"Apakah Kakak merindukan mereka?"
Pria itu tersenyum. Sudah hampir tiga tahun dia berpisah dengan orang-orang yang disayanginya itu. Dan selama itu pula, dia hanya bisa mendengar tentang mereka melalui tulisan-tulisan yang dipampang di tembok-tembok luar istana. "Mereka adalah sahabatku dan tentu saja aku merindukan mereka," jawab pria itu.
"Kalau Kakak merindukan mereka, kenapa Kakak tidak datang saja ke istana?"
Pria itu menatap adiknya dalam-dalam dan mendapati wajah seorang gadis muda yang baginya tidak pernah berubah, gadis yang selalu usil dan suka mencari tahu. "Sudahlah, daripada kamu terus bertanya lebih baik kamu pergi bantu mereka memasak," ucap pria itu yang membuat wajah gadis itu cemberut.
"Baiklah," jawabnya.
Pria itu tampak tersenyum melihat wajah adiknya itu yang cemberut. Adik semata wayang yang sangat disayanginya itu tidak pernah berubah. Sikapnya yang selalu manja membuatnya kembali teringat pada seorang gadis yang pernah membuatnya jatuh cinta.
Pria itu kembali mengingat masa-masa indah di saat dia bersama sahabat dan wanita yang sudah mengubah hidupnya. Masa-masa yang sulit untuk dia lupakan.
Raut wajah pria itu terlihat tersenyum. Wajahnya yang tampan tidak berubah sedikitpun. Tubuhnya yang kekar masih terlihat dari balik pakaian yang terlihat biasa saja. Kulitnya yang dulu putih mulai menghitam, walau begitu tidak mengurangi ketampanan dan kegagahannya hingga membuat setiap lelaki akan iri padanya.
Ya, pria gagah itu adalah Liang Yi. Dia kini adalah kepala desa di sebuah desa kecil yang terlihat damai dan tenteram. Dulunya, desa itu hanyalah sebuah lahan kosong yang terbengkalai yang ditumbuhi rumput-rumput liar dan pohon-pohon yang sudah mati kekeringan.
Sejak memilih untuk pergi dari kehidupan Mei Yin dan Zhao Li membuat Liang Yi dan Jiao Yi terpaksa hidup mengembara. Mereka tidak punya tempat tujuan hingga membuat mereka selalu hidup berpindah-pindah tempat dan akhirnya mereka memilih menetap di tempat itu.
Di lahan kosong itu dia mulai membangun sebuah rumah sederhana untuk mereka tinggal. Secara bertahap, Liang Yi mulai menggarap tanah di lahan kosong itu dan mulai menanam walau hasilnya mengecewakannya.
Tanah yang gersang dan keras membuat tanaman itu mati, tapi Liang Yi tidak putus asa. Dia kembali mengolah tanah itu dan kembali menanam, tapi hasilnya tetap sama, tanamannya kering dan akhirnya mati.
Walau begitu, Liang Yi tidak pernah menyerah. Berbekal ilmu dan pengalamannya, dia akhirnya berhasil membuat tanah itu menjadi subur dan menghasilkan sayuran dan buah-buahan yang bisa mencukupi kebutuhannya.
Tanah yang dianggapnya gersang ternyata tanah yang cukup subur. Apalagi sejak dia menemukan sumber mata air yang tidak jauh dari tempat itu yang membuatnya lebih mudah untuk mengurus tanamannya.
Sejak saat itu, Liang Yi mulai menghasilkan uang dari lahannya itu. Bagaimana tidak, setiap hasil panen dari kebunnya pasti akan laku terjual tanpa dia harus susah payah menjualnya ke pasar karena pedagang-pedagang itu yang langsung datang mengambil di kebunnya.
Keberhasilan Liang Yi tidak membuatnya menjadi orang yang lupa diri. Sejak kecil, dia sudah diajarkan untuk membantu sesama dan kini dia masih melakukannya. Setiap selesai menjual hasil kebunnya, Liang Yi selalu memasak dengan jumlah yang cukup banyak dan membagikannya pada orang-orang yang tidak mampu.
Karena kebaikannya itulah hingga membuat orang-orang mulai mendatanginya. Para pengemis yang tidak punya rumah, orang-orang miskin yang terusir dari rumah mereka, datang berbondong-bondong kepadanya untuk bisa bekerja di kebunnya itu walau tidak diupah, asalkan mereka diberi makan itu sudah cukup bagi mereka.
Dari situlah desa mereka ada. Orang-orang yang awalnya hanya bekerja untuknya, akhirnya mulai membangun rumah di lahan itu. Bukan itu saja, seorang pria yang tampak seperti preman pasar pun datang menemuinya setelah tiga tahun berkeliling mencari keberadaannya.
Pria berpenampilan seperti perampok itu adalah Zu Min, mantan preman pasar yang pernah takluk di tangan Liang Yi.
Bukan hanya dirinya, dia juga datang bersama semua pengikutnya yang dulu pernah membantu Liang Yi menghancurkan tambang ilegal milik perdana menteri Liu yang sudah dihukum pancung.
"Tuan, semua makanan sudah siap. Apa sekarang kita sudah bisa membagikannya?" tanya Zu Min yang sudah berdiri di depannya.
"Apa kalian sudah memberikan pada anak istri kalian?"
"Sudah, Tuan. Kami sudah membaginya di setiap rumah. Terima kasih karena Tuan, anak dan istri kami tidak akan kelaparan," ucap Zu Min sambil menunduk memberi hormat.
"Sudahlah, itu sudah kewajibanku sebagai kepala desa untuk menjaga warga desaku agar tetap aman dan nyaman. Sekarang, ayo kita pergi membagi makanan di tempat biasa," ucap Liang Yi yang kemudian pergi dan diikuti Zu Min dari belakang.
Kebiasaan keluarga Liang Yi yang selalu memberi makan orang miskin sebulan sekali ternyata masih dilakukannya hingga sekarang. Didikkan ayah dan ibunya untuk saling membantu sesama masih dia pegang teguh hingga saat ini. Selama dirinya mampu, dia akan berusaha memberi yang terbaik, karena itulah orang-orang sangat mengagumi dan menghargainya.
"Zu Min, bagikanlah mereka makanan itu. Aku akan pergi sebentar, ada sesuatu yang harus aku lakukan," ucap Liang Yi saat mereka sudah tiba di salah satu pasar untuk membagikan makanan itu.
Terlihat, orang-orang mulai berkumpul dan berbaris rapi. Mereka seakan sudah paham dan tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak bisa saling berebut atau berdesak-desakan karena mereka pasti tidak akan diberi makanan.
Dengan memacu kudanya, Liang Yi pergi meninggalkan kerumunan orang-orang itu dan menuju suatu tempat yang sudah lama tidak dikunjunginya. Tempat di mana dia pernah berjanji untuk membahagiakan wanita yang sangat dicintainya. Janji yang tidak mungkin lagi bisa dia tepati karena wanita itu telah bahagia bersama seseorang yang baginya lebih pantas daripada dirinya.
Liang Yi menghentikan laju kudanya di depan sebuah padang bunga yang cukup luas. Semerbak harum serbuk sari tercium dari tempatnya berdiri. Ditatapnya padang bunga itu yang hampir tiga tahun ini tidak dikunjunginya. Semua masih sama, tak ada yang berubah. Bunga putih yang tak pernah berhenti berbunga itu tampak indah bak gumpalan awan putih yang mengambang di atas tanah. Bunga sakura berwarna merah muda tak luput memberi kesan yang sangat menyejukkan mata. Bunga berwarna merah muda itu tampak berterbangan mengikuti desiran angin yang berembus perlahan. "Tempat ini tak pernah berubah, semua masih tetap sama. Aku harap kamu juga di sana selalu bahagia," ucap Liang Yi yang kemudian berjalan perlahan menuju sebuah gundukan tanah yang hampir tertutup rumput ilalang yang mulai meninggi.
Di depan gundukan tanah itu, Liang Yi berdiri. Ditatapnya kembali suasana di tempat itu yang membuatnya kembali teringat akan seorang wanita yang pernah berdiri di sampingnya di saat lalu. Di depan gundukan tanah itu, Liang Yi pernah berjanji untuk membahagiakan wanita itu dan membangun sebuah rumah untuk keluarga mereka nantinya. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan karena wanita itu telah bahagia bersama sahabatnya.
"Maafkan aku karena aku tidak bisa menepati janjiku untuk menjaga dan membahagiakan Mei Yin. Namun, kamu tak perlu khawatir, karena kini wanita yang sama-sama kita cintai itu telah bahagia dengan orang yang tepat. Apalagi saat ini mereka pasti sangat berbahagia karena kehadiran seorang putra yang tentu saja melengkapi kebahagiaan mereka."
Liang Yi duduk di depan gundukan tanah itu dan mencabuti rumput ilalang yang mulai meninggi. Semilir angin yang perlahan meniup, membuat Liang Yi kembali mengingat akan sosok Mei Yin yang menari di bawah pohon sakura dengan guguran bunga-bunga yang membuatnya terlihat bak seorang dewi.
Liang Yi tersenyum dengan air mata yang jatuh di sudut matanya. Sekuat apapun dia berusaha untuk melupakan Mei Yin, maka sekuat itu pula rasa cinta yang dia rasakan untuk wanita itu. Rasa yang sampai kini masih tersimpan hingga membuatnya tidak bisa menerima wanita manapun di dalam kehidupannya.
Sungguh, cinta yang dia rasakan untuk Mei Yin akan selamanya tersimpan dan tidak akan pernah terbagi untuk wanita manapun hingga semesta datang menjemputnya.
Sementara Liang Yi yang tengah larut dengan kenangan masa lalunya, di istana tampak ramai karena sedang diadakan pesta penyambutan dan pemberian nama untuk pangeran kecil yang terlihat sedang tertidur lelap dalam gendongan seorang wanita yang tampak cantik dengan balutan jubah seorang permaisuri.
Di sampingnya, berdiri seorang pria yang terlihat gagah dan tampan dengan mengenakan jubah Raja yang membuatnya terlihat sangat berwibawa. "Istriku, apa kamu sudah menemukan nama yang cocok untuk putra kita?" tanya Raja Zhao Li sambil membelai lembut pipi bayi mungil di dalam gendongan istrinya itu.
"Aku tidak ingin mendahuluimu, suamiku. Berilah nama untuk putra kita karena aku tahu kalau dirimu sudah menyiapkan nama untuknya," jawab Mei Yin yang membuat suaminya itu tersenyum.
"Aku pikir, kamu memang sangat mengenaliku hingga rahasia apapun tidak bisa aku sembunyikan darimu."
Sebagai seorang istri, Mei Yin sangat paham dengan sifat suaminya itu. Semalam, dia melihat suaminya tampak sibuk dengan sebuah buku yang selalu dibukanya seakan sedang membaca sesuatu hingga membuatnya tidak bisa tidur. Mei Yin hanya tersenyum ketika melihat tingkah suaminya itu.
"Aku tahu, semalam kamu sibuk mencari nama untuk putra kita, hingga aku sendiripun tidak kamu pedulikan. Jadi, apa kamu sudah mendapatkan nama yang cocok untuk putra kita?" tanya Mei Yin.
Raja Zhao Li tersenyum mendengar keluhan istrinya itu. Dia tidak menyangka kalau semalam istrinya itu memperhatikannya. "Apa kamu marah padaku? Ayolah istriku, jangan marah karena aku tak akan sanggup jika kamu marah padaku," ucap Raja Zhao Li yang tampak manja pada istrinya itu.
Mei Yin tersenyum dan menatap wajah suaminya itu yang selalu membuatmya merasa damai. "Apa aku terlihat marah? Suamiku, aku tidak akan pernah bisa marah padamu karena aku tahu kamu sangat mencintaiku," jawab Mei Yin hingga membuat Raja Zhao Li merangkulnya dengan mesra.
Melihat kemesraan Raja dan Permaisuri membuat semua orang yang ada di tempat itu ikut tersenyum. Itu bukanlah pemandangan yang baru bagi mereka, karena setiap Raja sedang bersama dengan Permaisuri, maka mereka bisa melihat sosok suami yang begitu mencintai dan menyayangi istrinya. Mereka begitu mengagumi kesetiaan dan rasa cinta Raja mereka pada istrinya itu.
"Aku ingin memberikannya sebuah nama yang kelak menjadikannya sosok yang kuat dan bersahaja. Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin memberikannya nama Chen Li yang berarti kekuatan dan kehebatan. Aku ingin saat dia dewasa nanti, dia bisa menjadi seorang raja yang hebat dan mempunyai kekuatan yang bisa melindungi negeri ini," jelas Raja Zhao Li dengan wajah yang penuh antusias.
"Kalau kamu suka, aku juga pasti akan suka. Semoga kelak, putra kita ini menjadi raja yang tangguh dan bijaksana sama sepertimu," ucap Mei Yin sambil memandangi wajah mungil putranya dengan senyum yang mengembang dari sudut bibirnya.
Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Apalagi saat beberapa orang penari mulai menari di depan mereka, sebuah tarian penyambutan yang penuh dengan kegembiraan.
"Kak Hua Feng, aku berterima kasih karena Kakak sudah datang mengunjungiku," ucap Mei Yin pada seorang wanita yang masih terlihat muda dan cantik.
"Permaisuri, maafkan aku karena baru datang mengunjungimu. Aku sangat bahagia saat mendengar kalau aku telah mempunyai seorang keponakan yang sangat lucu. Karena itu, aku memutuskan untuk datang dan melihat keponakanku itu dan juga dirimu," ucap Hua Feng yang membuat Mei Yin tersenyum.
Hua Feng, wanita cantik dan anggun pemilik wisma tari yang sudah sangat terkenal di negeri itu. Dari wisma tarinya, lahir penari-penari dengan bakat yang luar biasa. Penari-penari yang tak hanya cantik, tapi juga memiliki ikatan persaudaraan yang terjalin di antara mereka. Mereka tidak pernah merasa iri atau cemburu jika salah satu dari mereka mendapat pujian atau bahkan dipinang untuk dijadikan istri oleh orang-orang kaya atau bangsawan. Walau mereka sudah menikah, tapi mereka tetap menjalin hubungan baik dengan Hua Feng, bahkan tak jarang mereka datang dan memberikan bantuan kepada wisma tari untuk membantu adik-adik mereka yang masih ada di tempat itu.
"Kak Hua Feng, apakah Jiao Yi pernah datang mengunjungi Kakak?" tanya Mei Yin.
"Sejak hari itu, saat Liang Yi datang menjemputnya, Jiao Yi tidak pernah lagi mengunjungiku. Hingga kinipun, aku tidak mengetahui keberadaan mereka," jawab Hua Feng yang terlihat sedih.
Mendengar jawaban Hua Feng membuat Mei Yin menjadi sedih. Sudah tiga tahun dia tidak bertemu dengan adik angkatnya itu. Begitupun dengan Liang Yi yang tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya.
Mei Yin sangat merindukan kedua saudara angkatnya itu, karena dia sudah berjanji pada orang tua angkatnya untuk menjaga Jiao Yi, tapi kini di saat dia telah bahagia dan menjadi seorang Permaisuri di negeri itu, mereka tidak ada bersamanya. Mereka bagai hilang ditelan bumi.
"Istriku, aku akan berusaha mencari tahu keberadaan mereka. Aku juga sangat merindukan Liang Yi. Aku sangat ingin kita bertiga bisa bersama seperti dulu lagi," ucap Raja Zhao Li sambil memeluk istrinya itu.
Dalam pelukan suaminya, Mei Yin menangis mengingat keluarga angkatnya. Dia merasa bersalah karena dia tidak bisa bersama dengan mereka. Dia ingin agar kedua saudara angkatnya itu tinggal di istana bersamanya agar dia bisa memenuhi janjinya pada kedua orang tua angkatnya.
Di desa, tampak suasana begitu ramai. Anak-anak kecil berlarian dan tertawa bersama. Suasana terlihat berbeda karena hari itu adalah hari yang istimewa bagi Jiao Yi.
Di dalam kamarnya, dia terlihat cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna merah. Hari ini adalah hari di mana Jiao Yi akan melangsungkan pernikahannya.
"Jiao Yi, Kakak sangat bahagia karena hari ini Kakak bisa melihatmu menikah. Walau tanpa kehadiran ayah dan ibu, aku yakin di atas sana mereka pasti sedang tersenyum karena melihatmu akan menikah," ucap Liang Yi saat menemui adiknya itu.
Jiao Yi lantas memeluk Liang Yi dan menangis dalam pelukan kakaknya itu. Dia menangis karena kedua orang tuanya tidak lagi bersama mereka di saat hari bahagianya. Dia menangis karena kakak yang paling dia sayang harus melewati hidup dalam kesendirian. "Kak Liang Yi, setelah menikah aku akan meminta kepada suamiku untuk tetap tinggal di desa ini. Aku tidak ingin meninggalkan Kakak," ucap Jiao Yi sambil menangis.
"Jangan lakukan itu, karena seorang wanita yang sudah menikah harus tinggal dan ikut dengan suaminya. Jangan mengkhawatirkanku, aku akan baik-baik saja karena masih ada warga desa yang membutuhkanku," jawab Liang Yi.
Jiao Yi menatap kakaknya itu. Walau terlihat tegar, tapi dia tahu kalau kakaknya kini tengah bersedih. Dia sangat paham dengan sikap Liang Yi yang terlihat tegar, tapi sebenarnya rapuh.
"Kak Liang Yi, aku tahu Kakak sangat mencintai Kak Mei Yin, tapi Kakak tidak bisa terus seperti ini. Bagaimanapun juga, Kakak harus menikah agar ada seseorang yang bisa menjaga Kakak karena aku tidak bisa meninggalkan Kakak seperti ini. Bagaimana bisa aku meninggalkan Kakak, siapa yang akan menjaga Kakak?" Jiao Yi menangis sambil memeluk Liang Yi seakan tidak ingin pergi meninggalkannya.
"Jiao Yi, aku harap kamu bisa mengerti perasaanku. Tidak mudah bagiku untuk bisa menerima wanita lain karena hatiku sudah tertutup untuk itu. Apa kamu pikir, selama ini aku tidak berusaha untuk melupakannya? Kamu salah, sekuat apapun aku mencoba untuk melupakannya, tapi aku tidak bisa seakan hatiku telah terpaut untuknya walau aku tahu, aku tidak akan mungkin bisa bersamanya." Liang Yi menghapus air matanya. Sungguh, rasa yang selama ini ingin dia simpan, akhirnya harus dia ungkapakan kepada adiknya itu.
Jiao Yi menatap wajah Liang Yi yang memaksa untuk tersenyum di antara derai air mata. Sekeras apapun dia memohon, Liang Yi tetap kukuh dengan rasa yang sudah dia simpan di dasar hatinya. Rasa yang tak mungkin bisa digantikan oleh siapapun.
Jiao Yi lantas naik ke atas kereta yang akan membawanya ke rumah calon suaminya itu. Dari atas kereta, Jiao Yi menatap Liang Yi dengan air mata yang tak hentinya mengalir. Betapa dia tidak tega meninggalkan Liang Yi yang akan kesepian selepas kepergiannya kelak. Betapa dia akan merindukan kasih sayang kakaknya yang akan jarang untuk ditemuinya.
Dengan menahan air mata, Liang Yi melepas kepergian Jiao Yi dan melayangkan senyum untuknya. Melihat Liang Yi yang makin menjauh membuat Jiao Yi segera menghentikan laju kereta itu dan berlari memeluk Liang Yi dengan tangisan yang membuat semua orang menjadi terharu.
"Jiao Yi, aku akan selalu berdoa agar hidupmu selalu bahagia. Jangan khawatirkan aku karena aku tidak ingin kamu menderita hanya karena terlalu memikirkanku. Sekarang, sudah waktunya untuk kamu bahagia dan aku akan bahagia jika adikku ini juga bahagia. Kini, kamu sudah harus bertanggung jawab terhadap keluarga barumu dan patuhilah perintah suamimu dan jagalah nama baik keluarga kita," nasehat Liang Yi.
Jiao Yi mengangguk dalam pelukan kakaknya itu. Rasanya, kakinya begitu berat untuk pergi meninggalkan Liang Yi hingga membuat pemuda itu segera menggendong adiknya itu di atas punggungnya yang membuat mereka kembali mengingat masa kecil mereka.
Di saat Jiao Yi kecil menangis, maka Liang Yi akan menggendongnya dan membuatnya kembali tertawa. Masa-masa indah yang tidak mungkin lagi bisa mereka rasakan. Jiao Yi melingkarkan kedua tangannya di leher kakaknya itu dan menangis sesenggukkan.
"Naiklah dan jangan menangis lagi, wajahmu akan terlihat jelek kalau terus menangis," ucap Liang Yi sambil menaikkan adiknya itu ke atas kereta.
Mendengar ucapan Liang Yi membuat Jiao Yi tersenyum di antara air matanya. "Kakak, jaga dirimu. Aku janji akan datang mengunjungimu. Kakak harus menjaga kesehatan Kakak. Kalau aku mendengar Kakak sakit, jangan salahkan aku kalau aku akan datang dan menginap di sini," ucap Jiao Yi yang berusaha untuk tetap tegar.
"Kak Zu Min, tolong jaga Kakakku. Bantulah dia mengurusi desa ini, aku mohon," ucap Jiao Yi kepada Zu Min, pelayan setia Liang Yi.
"Jangan khawatir, Nona. Aku akan menjaga Tuan dengan baik," jawab Zu Min.
Kereta yang membawa rombongan pengantin mulai meninggalkan desa menuju rumah pengantin pria. Liang Yi menatap kepergian kereta itu dengan air mata yang tak bisa lagi dia tahan. Adik yang sangat disayanginya, kini tak lagi bersamanya. Adik yang tak pernah ditinggalkannya, kini meninggalkannya dan menempuh hidup baru dengan pujaan hatinya.
Sementara Jiao Yi masih menangis di dalam kereta. Dia tidak sanggup melihat Liang Yi yang menangis karena kepergiannya. Dia tidak sanggup melihat kakaknya itu meneteskan air mata untuknya. "Kakak, aku janji aku akan bahagia. Semoga kakak juga akan menemukan kebahagiaan agar hatiku bisa tenang meninggalkan kakak," ucap Jiao Yi yang perlahan menghapus air matanya.
Liang Yi menatap kepergian Jiao Yi yang perlahan menghilang.
"Tuan, Tuan tidak apa-apa?" tanya Zu Min yang mencoba memegang tubuh Liang Yi yang hampir saja terjatuh.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat sebentar," jawab Liang Yi yang perlahan menghapus air matanya.
Semenjak Jiao Yi menikah, Liang Yi selalu tampak murung. Dia tidak pernah merasa sedih seperti saat ini, di mana dia begitu merindukan tawa dan canda adiknya itu. Sikap Jiao Yi yang selalu manja padanya membuat dia semakin merindukannya. "Jiao Yi, apa di sana kamu baik-baik saja? Kakakmu ini sangat merindukanmu," ucap Liang Yi yang tanpa sadar sudah membuatnya menitikkan air mata.
Di dalam hidupnya, Liang Yi tidak pernah menangisi siapapun, selain tiga wanita yang selalu membuatnya menangis. Sang bunda yang sudah pergi untuk selamanya, adiknya yang kini telah meninggalkannya dan menempuh hidup baru bersama suaminya dan Mei Yin, wanita yang sangat dicintainya. Hanya mereka yang mampu membuat Liang Yi menitikkan air mata, walau kematian ayahnya pun, Liang Yi tidak sekalipun menitikkan air mata.
Liang Yi menghapus air mata yang perlahan jatuh. Dia terlihat rapuh karena kerinduannya itu. Sudah hampir enam bulan sejak pernikahan Jiao Yi, mereka belum juga bertemu. Jiao Yi tidak sekalipun datang mengunjunginya. Bahkan, dia ditolak saat datang mengunjungi adiknya itu dengan berbagai macam alasan.
"Aku harus mencari tahu apa yang mereka sembunyikan dariku," batin Liang Yi sambil keluar dari kamarnya dan menemui Zu Min yang sedang mengajar anak-anak berlatih kung fu.
"Apa ada tugas yang harus aku kerjakan, Tuan?" tanya Zu Min pada tuannya itu.
"Kumpulkan orang-orang terbaik dan selidiki kediaman di mana Jiao Yi tinggal dan suaminya. Sepertinya, mereka mencoba menyembunyikan sesuatu dariku," perintah Liang Yi.
Zu Min mengangguk dan bergegas menjalankan perintah. Lelaki bertubuh tegap itu kemudian mengumpulkan orang-orang terbaiknya dan memulai penyelidikan.
Gerbang rumah yang terlihat mewah itu perlahan terbuka. Dua kereta yang membawa kebutuhan rumah itu terlihat masuk ke pelataran halaman yang tampak luas.
Seorang wanita yang sudah mulai senja tampak berdiri di depan kereta itu dan memeriksa isi dalam kereta. "Apa semua barang yang aku pesan sudah kalian siapkan?" tanya wanita tua itu dengan wajah yang terlihat angkuh.
"Sudah, Nyonya. Kami sudah menyiapkan semua keperluan untuk acara nanti malam," jawab salah satu pria yang tadi mendorong kereta itu.
"Bagus, sekarang kalian boleh memasukkan barang-barang ini ke dalam gudang," perintahnya dan kemudian pergi.
Di salah satu kamar di rumah itu, tampak seorang wanita tengah berbaring. Wajahnya terlihat pucat dan tirus. Wajah cantik yang selalu tersenyum, kini diam tanpa ekspresi. Tatapannya kosong dan perlahan air mata jatuh di sudut matanya. Dia menangis karena mengingat kebersamaannya bersama sang kakak yang sangat dirindukannya.
"Nyonya, ibu mertua Anda meminta untuk menemuinya di ruangannya." Tiba-tiba saja gadis itu bangkit, walau tubuhnya begitu lelah dan lemah, tapi dia berusaha untuk tetap bisa berdiri. Dengan langkah yang dipercepat, gadis itu tiba di dalam sebuah ruangan yang terlihat luas dan mewah. Di depan seorang wanita tua, gadis itu duduk berlutut.
"Kamu tahu apa kesalahanmu?" tanya wanita tua itu dengan wajah angkuhnya.
"Maaf, Ibu mertua. Ampunkan saya, saya ... "
"Bukankah, dari awal aku sudah memberitahukanmu. Aku sudah memberikanmu waktu dan waktumu itu sudah habis. Enam bulan menikah sudah cukup untukmu bisa memberikan keturunan, tapi nyatanya hingga kini kamu belum bisa memberikan keturunan. Kamu tahukan, keluarga kami sangat menginginkan keturunan untuk penerus keluarga kami?" Wanita tua itu tampak marah dan memalingkan wajahnya seakan tidak ingin melihat wajah gadis di depanya itu.
"Malam nanti, kamu tidak boleh keluar dari kamarmu dan jangan coba-coba melanggar perintahku. Pergi kamu dari sini!!" usir wanita itu.
Gadis itu kemudian bangkit dan mencoba menahan tangis, tapi dia tidak mampu hingga tangisannya pecah saat masuk ke dalam kamarnya. Jiao Yi kini tampak lemah dan tak berdaya. Pernikahan yang diharapkannya bisa membuatnya bahagia, ternyata telah menjadi neraka untuknya. Selama enam bulan menikah, tak sekalipun dia diperlakukan seperti menantu di rumah itu. Dia tak lebih seperti objek yang digunakan untuk memberikan mereka keturunan.
Suami yang dulu baik padanya, akhirnya mulai berubah. Pemuda yang terlihat tampan dan terpelajar itu, hanya bersamanya selama dua bulan dan setelah itu dia sudah jarang menemui Jiao Yi dan termakan hasutan ibunya.
Jiao Yi menghapus air matanya. Di depan cermin, Jiao Yi menatap wajahnya dan mencoba tersenyum. "Kenapa wajahku bisa berubah seperti ini? Apa kata kakak nanti jika melihatku seperti ini?" ucapnya sambil memakaikan bedak dan pewarna bibir. Sekilas, wajahnya tampak cantik.
"Jiao Yi, istriku." Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Lelaki yang sudah dinikahinya selama enam bulan itu kini ada di depannya. Jiao Yi lantas bangkit dan mendekati suaminya itu. "Suamiku, kamu mabuk?"
Lelaki itu terlihat payah dengan tubuh yang sudah sempoyongan. Wajahnya yang tampan terlihat memerah karena pengaruh arak yang sudah dihabiskannya di rumah bordil.
Melihat wajah istrinya yang sudah terlihat cantik membuat pemuda itu meraih tubuh Jiao Yi dan menghempaskannya di tempat tidur. "Ibu ingin kamu memberikanku keturunan dan saat ini juga kamu harus melayaniku," ucap pria itu dengan tatapan penuh nafsu dan mulai mendekap tubuh Jiao Yi.
Dengan kasarnya, dia mulai melepaskan semua hasrat birahinya tanpa sedikitpun rasa kasihan. Jiao Yi tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Hanya tetesan air mata yang jatuh saat lelaki itu berhasil melepaskan hasratnya dan terkulai lemas di samping tubuh Jiao Yi yang sudah tidak berdaya.
Jiao Yi menghapus air matanya dan menutupi tubuhnya dengan selembar kain. Sudut bibirnya terasa perih dan mengeluarkan darah. Jiao Yi kembali menatap tubuh suaminya yang masih terkulai dengan sesekali memanggil namanya. "Tidak bisakah kamu memperlakukanku seperti layaknya seorang istri? Kenapa kamu memperlakukanku seperti wanita ****** yang hanya dijadikan pemuas nafsumu?" ucap Jiao Yi dengan air mata.
"Kakak, kalau bukan karena dirimu, aku sudah memilih untuk mati. Aku yang salah karena sudah memaksamu untuk menerima pinangan mereka. Aku bersalah karena menolak mendengar nasehatmu karena rasa cintaku padanya sudah terlalu besar. Maafkan aku, Kak Liang Yi." Jiao Yi kembali menangis, tapi tiba-tiba suaminya itu kemudian bangkit dan meraih tubuhnya. Melihat air mata di wajah Jiao Yi, membuat dia lebih beringas. Sifat kebinatangannya pun muncul dan kembali melampiaskan nafsu birahinya pada tubuh yang sudah tidak lagi berdaya.
Jiao Yi terbaring tanpa daya. Bibirnya kembali berdarah. Isak tangisnya bukan membuat suaminya mengasihaninya, tapi malah membuatnya semakin beringas hingga membuatnya tersenyum puas.
"Kamu adalah istri pertamaku, tapi kamu tidak bisa memberikanku seorang anak. Karena itu, diamlah kamu di sini karena sebentar lagi aku akan menikah dengan wanita yang lebih cantik darimu dan sudah mengandung anakku. Kamu sekarang tak lebih seperti selir yang hanya menjadi pemuas nafsuku, mengerti!!" Lelaki itu kemudian keluar meninggalkan Jiao Yi yang masih terbaring.
Jiao Yi menangis mendengar ucapan suaminya itu. Malam nanti, suaminya itu akan menikahi seorang wanita yang sudah mengandung anaknya. Jiao Yi menangis tanpa suara. Hatinya sakit dan terluka tanpa berdarah. "Apa aku masih pantas untuk hidup? Apa aku masih punya muka untuk bertemu denganmu?" Jiao Yi menangis mengingat sang kakak. Ingin rasanya dia keluar dari rumah itu dan menemui kakaknya, tapi dia tidak seberani itu karena rasa malu yang sudah terlanjur dia rasakan.
Sementara Liang Yi, kini sedang berusaha menahan rasa emosi. Penyelidikan Zu Min ternyata mampu membuat emosinya memuncak. Bagaimana tidak, adiknya yang paling dia sayangi kini sedang menderita. Dia merasa sangat bersalah karena berpikir adiknya itu telah bahagia.
"Siapkan rencana. Sebentar malam, kita pergi menjemput Jiao Yi," ucap Liang Yi geram. Zu Min kemudian pergi dan mulai menyiapkan rencana. Orang-orang terbaiknya, sudah dia siapkan.
Liang Yi bukan saja kepala desa di desa kecil itu, tapi dia adalah pemimpin dari satu kelompok rahasia yang sengaja dia bentuk untuk melindungi desa dan juga negerinya. Kelompok itu beranggotakan orang-orang terpilih yang sudah lulus dari seleksi ketat yang dilakukan oleh Liang Yi sendiri. Rasa peduli terhadap negerinya membuat dia membangun kelompok itu. Diam-diam, merekalah yang membantu memberantas para perampok dan penjarah yang tidak mampu dibasmi oleh istana. Merekalah yang berhasil menghadang sekelompok orang yang ingin melakukan pemberontakan kepada Raja. Dan semua itu dia lakukan karena rasa cinta pada seorang wanita yang memintanya untuk membantu Raja yang juga sahabatnya.
Di istana, Mei Yin sedang asyik bermain dengan pangeran kecil yang mulai aktif merangkak. Sesekali tangisan pangeran kecil terdengar saat melihat ibunya dipeluk sang ayah, seakan dia tidak rela jika ibunya dimiliki orang lain.
"Kamu lihat, kan? Pangeran kita ini sama sepertimu, dia tidak suka aku dekat denganmu karena kamu tidak suka aku dekat dengan lelaki lain selain dirimu," ucap Mei Yin sambil menggendong pangeran kecil yang mulai tertawa dalam pelukannya.
"Istriku, suami mana yang rela wajah cantik istrinya dinikmati lelaki lain. Kalau bukan karena status kita sebagai pemimpin negeri ini, maka aku akan memintamu untuk menutupi wajahmu seperti dulu agar hanya aku yang bisa menikmati kecantikanmu itu," ucap Raja Zhao Li sambil mengecup mesra kening istrinya itu.
Mei Yin tersenyum mendengar ucapan suaminya itu. Dengan mesra, Mei Yin mengecup pipi suaminya dan tersenyum padanya. "Suamiku, aku akan selalu ada untukmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu karena aku sangat mencintaimu. Apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama karena aku tidak mungkin bisa hidup tanpamu." Semua ucapan Mei Yin membuat Raja Zhao Li memeluk tubuh istrinya dan menatap wajah cantik yang tak pernah bosan dipandangnya itu. Sebuah kecupan mesra, mendarat di bibir ranum sang istri yang tampak tersenyum manja padanya.
"Cepatlah, tidurkan pangeran. Aku ingin dimanjakan olehmu," bisik Raja Zhao Li sambil meletakkan kepalanya di bahu sang istri. Sikap manja Raja Zhao Li membuat Mei Yin tersenyum.
"Kamu selalu berhasil membuatku menuruti semua ucapanmu. Padahal, pangeran kita ini baru saja bangun, masa aku harus menidurkannya lagi?"
Raja Zhao Li menatap buah hatinya dalam pelukan sang istri. "Ayah minta maaf, karena saat ini ayah lebih membutuhkan ibumu, kamu tidak marah, kan?" tanya Raja Zhao Li pada buah hatinya yang tersenyum saat melihatnya.
"Ayolah, istriku. Jangan membuat suamimu ini menunggu," ucap Raja Zhao Li yang terlihat sudah tidak sabar.
"Baiklah, suamiku." Mei Yin kembali tersenyum melihat sikap manja suaminya yang selalu membuatnya luluh. Dia tidak mampu untuk menolak permintaan suaminya itu, karena baginya ucapan suaminya bagaikan perintah dewa yang harus dia patuhi. Rasa sayang kepada suaminya, membuatnya tidak ingin menyakiti lelaki itu.
Raja Zhao Li akhirnya tersenyum puas saat istrinya itu menuruti permintaannya. Rasa sayang dan cinta yang terlalu besar untuk sang istri, membuat Raja Zhao Li selalu menginginkan perhatiannya. Hanya Mei Yin seorang yang mampu meredam amarah dan lelahnya setiap memikirkan negeri. Hanya Mei Yin tempat dia mencurahkan semua rasa sayang dan cintanya karena baginya, Mei Yin adalah wanita pertama dan terakhir di dalam hidupnya.
Matahari perlahan mulai meninggalkan peraduannya. Langit senja mulai berganti dengan warna hitam yang mulai nampak dengan cahaya bintang yang mulai terlihat.
Di rumah besar itu, tampak suasana mulai ramai. Terlihat, beberapa orang penari mulai menunjukkan kelihaian mereka. Beberapa orang pemuda, tampak sedang menikmati hidangan dan arak yang sudah disiapkan yang empunya rumah. Di depan mereka, terlihat sepasang pengantin yang memakai baju berwarna merah dan menunduk saat tamu-tamu itu berjabat tangan.
Suara musik yang menggema, terdengar di telinga Jiao Yi, hingga membuatnya menutupi telinga dengan kedua tangannya. Saat ini, hatinya sedang hancur. Kehidupannya sedang dipertaruhkan. Mereka tidak lagi menganggapnya ada dan memaksanya menerima perkawinan yang seharusnya tidak pantas mereka lakukan.
"Aku membencimu. Aku membenci kalian!!" teriak Jiao Yi dengan wajah memerah dan menahan amarah.
Sementara di luar sana, Liang Yi dan beberapa orang pasukannya sudah mulai bersiap-siap. Dengan pedang di punggungnya, Liang Yi mulai memberi aba-aba, hingga tangannya yang tadi diangkat perlahan dia turunkan.
Beberapa orang berpakaian hitam dengan wajah yang ditutupi, mulai menerobos masuk hingga membuat suasana di halaman rumah itu terlihat panik. Para penari dan tamu-tamu mulai berlari menyelamatkan diri.
Zu Min yang juga menutupi wajahnya berlari dan menyandera pengantin laki-laki dengan pedang yang diletakkan di lehernya.
Dari depan gerbang, Liang Yi muncul tanpa menutupi wajahnya. Dia tampak gagah dengan pedang yang menggantung di punggungnya.
"Kamu?" tanya wanita tua itu sambil menunjuk ke arah Liang Yi.
"Apa kalian tidak menghargai aku sebagai kakak Jiao Yi? Apa pantas kalian melangsungkan pernikahan padahal adikku masih hidup!!?" teriak Liang Yi yang membuat mereka terdiam.
"Kamu sebagai seorang suami apa pantas menikahi wanita lain padahal istrimu itu masih hidup!!?" tunjuk Liang Yi ke arah lelaki itu. Wajahnya pucat dengan tubuh yang mulai gemetar.
"Itu karena adikmu tidak bisa memberikan keturunan. Aku menikahkan anakku untuk mendapatkan keturunan. Masih bagus aku tidak menyuruh adikmu itu pulang dan masih menampungnya di rumah ini. Kalian harusnya bersyukur karena nama baik kalian tidak tercoreng karena adikmu yang mandul."
Liang Yi mengepalkan kedua tangannya. Dia marah saat mendengar ucapan wanita tua itu. "Mandul? Apa karena menginginkan keturunan kalian menghancurkan kehidupan adikku? Baiklah, aku ingin lihat, apakah wanita tua sepertimu masih bisa mendapatkan seorang cucu jika anak kesayanganmu itu tidak bisa lagi bersenang-senang," ucap Liang Yi dengan matanya yang mulai memerah karena menahan amarah.
Liang Yi kemudian meraih tubuh lelaki itu dan menjatuhkannya di atas tanah dan meraih pedang di punggungnya. Lelaki itu mulai meronta saat pedang di genggaman Liang Yi mulai di arahkan di atas perutnya.
"Tolong aku, jangan lakukan itu!!?" teriak lelaki itu mengiba.
Liang Yi tidak peduli. Wajahnya tersenyum sinis dengan air mata yang jatuh. Liang Yi kemudian mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan ingin menghujam pedangnya di alat vital lelaki itu, tapi suara seseorang berhasil menghentikan aksinya itu dan memaksanya menoleh ke arah suara itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!