Seorang lelaki berambut ikal nampak tengah melambai ke arah bangku penonton, memasang seringai sok tampan yang entah kenapa membuat gadis-gadis yang melihatnya menjerit tak karuan. Ditambah lagi dengan gaya narsis laki-laki tersebut saat menyeka keringat, bangku penonton yang mayoritas berisi siswi dari kedua sekolah yang tengah bertanding terasa nyaris roboh karena jeritan dan pekikan yang menggila.
Ialah Roka. Laki-laki paling populer di SMA Tunas Kelapa. Sifatnya yang tengil, jenaka, centil dan manis pada semua wanita benar-benar menjadikannya bintang remaja. Followers instagram yang nyaris menyentuh ratusan ribu, roomchat yang tak pernah sepi, serta sahabat kaya raya yang tak pernah meninggalkannya benar-benar nyaris menyempurnakan hidupnya.
Usai menyalami rekan setimnya dan memeluk pelatihnya, Roka lantas berlari ke arah bangku penonton yang sekaligus membuat kehebohan semakin menjadi-jadi. Kumpulan gadis-gadis halu pun tak henti-hentinya berteriak histeris karena tak kuat menahan histeria yang timbul akibat laki-laki berbadan atletis dengan senyum menawan tersebut.
"Woi woi woi, ah gue kecium bau keteknya!"
"Mukanya mulus banget sih. Pasti skincarenya air wudhu deh."
"Hiiii sumpah-sumpah keringet dia netes di pipi gue coba nih liat, kyaaaa!"
"Eh dodol, itu mah ludah gue tadi nemplok."
Sementara suasana semakin riuh, Roka justru semakin memperlambat langkahnya. Entah kenapa tapi sensasi seperti ini selalu menjadi favoritnya, mendengar dirinya di eluh-eluhkan seperti itu benar-benar membuat dirinya merasa berharga dan dihargai. Roka memejamkan mata seraya melintasi anak tangga yang membelah kursi penonton dengan perlahan. Ia membuka matanya sesaat setelah sorak-sorai untuknya mulai mereda, kesenangan serta kegembiraan yang sebelumnya ia rasakan mendadak kacau sesaat setelah ia melihat seseorang yang tengah duduk sendirian di bangku penonton paling belakang dengan wajah tertutup masker panda.
"Hadeh si anak bujang emang kebiasaan, gak bisa lihat orang bahagia dikit apa ya. Padahal tinggal dikit lagi nih udah beneran mirip adegan di drama korea."
Di sanalah lelaki itu duduk, sahabat Roka sejak kecil yang tak pernah absen menghadiri setiap pertandingan basket laki-laki tengil dan populer tersebut.
Roka menarik masker panda yang dikenakan sahabatnya itu hingga terlepas. Laki-laki yang berada di balik masker tersebut nampak amat terkejut hingga nyaris terjatuh dari kursi penonton tempatnya tertidur sejak setengah jam yang lalu, "Susah emang kalo ama kebo nih, stadion segini berisiknya malah enak-enakan nangkring sambil molor. Ngerusak mood gue aja dah lo sableng!"
Kiran, sahabat Roka yang terkenal karena wajah tampan dan sifatnya yang cuek pada perempuan. Sejujurnya, jika masalah wajah Kiran jauh lebih rupawan dari Roka, namun kemampuan merayu dan sifat tengil yang dimiliki Roka lah yang menjadikannya most wanted meski gosip yang beredar mengatakan bahwa Roka adalah playboy kelas kakap.
Nyaris seluruh orang yang mengenal Roka pasti mengenal Kiran. Hal ini tidak lain karena persahabatan keduanya yang dianggap friendship goals. Meski sifat keduanya bertolak belakang namun pertemanan yang mereka jalin sejak kanak-kanak rupanya banyak memberikan inspirasi pada remaja seusia mereka, khususnya sikap saling dukung dan ada untuk satu sama lain tiap kali salah satu dari mereka mengalami kesulitan.
"Gue cabut," Kiran membenahi pakaiannya kemudian berjalan mendahului Roka untuk meninggalkan stadion.
Roka mendecak kesal karena alih-alih menonton pertandingannya, Kiran justru datang ke stadion untuk tidur siang. Sejujurnya Roka tahu betul alasan Kiran tertidur. Hampir setiap hari, sahabatnya itu selalu menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku-buku tebal yang -bagi Roka- tidak menarik sama sekali hingga larut malam. Oleh karenanya Roka tidak bisa marah ataupun kecewa dengan sikap menjengkelkan Kiran barusan.
Setibanya di tempat parkir, Kiran dengan cekatan mengenakan beberapa perlengkapan berkendaranya lantas menunggangi motor Kawasaki hitam miliknya. Ia melirik Roka yang menatapnya seraya berdiri dengan kedua tangan bersedekap di depan dada, "Ngapain lo?" Kiran membuka kaca helmnya seraya menatap Roka penuh rasa heran.
"Kemarin bilangnya lagi diterpa kemiskinan tapi sekarang pakek motor baru. Racun sekali itu mulutmu ya."
Kiran tersenyum tipis lantas memacu motornya meninggalkan Roka yang masih berdiri di parkiran stadion dengan wajah masamnya. Sejujurnya Kiran tidak mengharapkan motor baru ataupun barang-barang berlebihan lainnya. Ia tidak suka terlihat mencolok di mata orang lain. Ia menginginkan kehidupan yang tenang dan jauh dari kebisingan komentar orang. Namun apa mau dikata, ia justru bersahabat dengan siswa trouble maker yang paling di kenal oleh seantero sekolah bahkan juga oleh siswa dari sekolah lain di kota mereka.
Kiran memacu motornya dengan kecepatan sedang, ia terburu-buru meninggalkan Roka bukan tanpa sebab. Ia ingin pergi ke toko buku terlebih dahulu karena stok bacaannya sudah nyaris habis. Setiap bulannnya, Kiran memang secara rutin membeli buku dari toko buku langganan yang terletak tak kurang dua puluh kilometer dari tempat tingggalnya. Bagi Kiran, hal paling tepat untuk menghabiskan waktu luang adalah dengan membaca. Tak ada lagi hal yang bisa ia lakukan selain melakukan olahraga atau membaca buku tiap kali ia memiliki waktu luang.
Kiran menghentikan motornya saat dari kejauhan ia melihat sebuah kertas bertuliskan informasi mengenai tutupnya toko buku selama beberapa hari ke depan yang ditempel di pintu masuk toko buku langganannya itu. Kiran mengerling, hal ini tentu saja membuatnya merasa bingung harus pergi ke toko buku mana lagi sebab toko buku langganannya ini adalah yang paling lengkap di kota, ditambah lagi tak banyak toko yang menjual buku-buku kegemarannya.
Setelah berpikir cukup lama, Kiran memutuskan untuk putar balik dan kembali ke rumah. Saat itu ia berpikir mungkin untuk sementara waktu ia bisa meminjam buku di perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum sampai toko tersebut kembali di buka.
---
Setelah memarkirkan motornya di garasi, Kiran bergegas masuk ke dalam rumah. Ia berjalan pelan menyusuri ruang tamau, ruang tengah, hingga akhirnya berhenti di ruang keluarga. Dilihatnya sang adik tengah menyantap sekotak kue beserta sang ibunda yang nampak tengah duduk di samping adiknya sembari menonton televisi.
"Waw, enak nih." Kiran menyambar sepotong roti sembari merebahkan tubuhnya di pangkuan sang ibunda.
"Tadi dikasih sama kak Roka, bang." ujar Arda, adik Kiran satu-satunya.
Kiran mengangguk usai mendengar ucapan Arda, mulutnya masih terus mengunyah roti coklat pemberian Roka. Sang ibunda nampak tersenyum kecil sembari membelai kepala Kiran, sesekali melirik ke arah putra kecilnya yang malang.
"Arda, habis makan Mama anterin cuci tangan ya," suara lembut wanita berusia empat puluh tahun itu terdengar halus di telinga Arda, membuatnya mengangguk kecil seraya menjilati krim yang menempel di jari-jari mungilnya.
Kiran melirik adiknya, tatapannya mendadak sayu dan sendu. Sejak tiga tahun terakhir ia selalu merasa sedih tiap kali melihat si bungsu. Arda yang kini masih berusia 5 tahun harus kehilangan penglihatannya karena ulah salah seorang pekerja mereka. Kedua kornea mata Arda mengalami luka yang cukup parah sehingga tak lagi dapat melihat secara normal.
Hal ini lah yang disesalkan oleh kedua orang tua Kiran sebab di usia yang masih sangat muda mereka harus melihat putra bungsunya mengalami peristiwa semacam itu. Sejujurnya bukan hanya kedua orang tuanya, Kiran pun turut merasa bersalah sebab lalai dalam menjaga adiknya. Jika saja ia bisa memutar waktu, maka ia tidak akan pergi siang itu. Kiran akan berada di rumah dan mencegah semua ini terjadi, mencegah Arda kehilangan pengelihatan, mencegah timbulnya rasa bersalah yang amat mendalam di hatinya.
---
Kiran bergidik saat melihat aksi Roka yang tengah mencoba mencari traktiran dengan mendekati beberapa gadis yang nampak tertarik padanya. Walaupun berasal dari keluarga berada, nyatanya aksi jail Roka pada gadis-gadis yang menyukainya tak pernah jauh-jauh dari meminta traktiran makan atau sekedar dibelikan minuman tiap istirahat ataupun seusai latihan basket.
Sejujurnya niat Roka tidak buruk, ia hanya ingin membuat gadis-gadis itu belajar agar tidak mudah termakan omongan laki-laki seperti dirinya. Meski mendapatkan label playboy dan tukang main perempuan, nyatanya Roka belum pernah sekalipun berpacaran. Ia memang gemar bersikap manis pada perempuan, tapi tidak ada yang benar-benar pernah berpacaran dengannya. Roka juga tidak pernah mengumbar janji-janji dan menyatakan cinta pada perempuan manapun sebab Roka menganggap bahwa mempercayai perempuan adalah hal yang salah.
"Kiran, si Roka mana?" Kiran masih melamun sembari mengunyah makanannya saat seseorang tiba-tiba saja duduk tepat di sebelahnya.
Kiran nyaris tersedak karena terkejut, beruntung sebab ia dengan cekatan meraih segelas air putih yang berada di hadapannya sebelum somay yang ia makan menyangkut di kerongkongan. Dari sudut matanya, Kiran mengetahui bahwa orang yang baru saja mengejutkannya adalah Naya. Teman basket Roka yang juga menjadi satu-satunya perempuan di seantero sekolah yang sama sekali tidak terpengaruh dengan kepopuleran duo tersebut. Naya pula lah satu-satunya perempuan yang bisa berbicara secara normal dengan Kiran -selain ibunya- dalam kurun lima tahun terakhir karena sejak duduk di bangku SMP, Kiran dikenal sangat anti dengan perempuan.
Kiran memang sengaja tidak menghindari Naya karena ia paham bahwa gadis tersebut sama sekali tidak tertarik padanya. Oleh sebab itu Kiran merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Itu di belakang." Kiran menjawab singkat tanpa menghiraukan Naya yang nampak naik pitam setelah menyaksikan aksi bejad Roka. Dilihatnya pria itu tengah merayu beberapa siswi untuk mendapatkan traktiran cuma-cuma.
Dengan langkah pasti, gadis itu melangkah ke arah Roka, mencubit pinggangnya hingga laki-laki bertubuh tinggi tersebut mengernyit kesakitan. Beberapa siswa laki-laki yang melihat adegan mengasyikkan itu pun nampak tersenyum mengejek.
Disukai banyak perempuan tidak lantas membuat Roka dan Kiran disukai pula oleh laki-laki sebayanya. Meskipun pada nyatanya mereka berdua sangat ramah dan baik, rasa enggan dan hanya menilai dari luar saja membuat banyak orang tak menyukai mereka. Kiran si cowok sok dingin yang sombong, serta Roka si playboy yang tak tahu malu. Bagi kebanyakan orang yang tak mengenal mereka, Kiran dan Roka hanyalah dua orang yang kebetulan beruntung terlahir dengan wajah rupawan serta keluarga kaya. Hanya teman sekelas, teman ekskul, dan orang-orang yang benar-benar mengenal mereka lah yang tahu bagaimana kebenarannya.
"Aduuuuhhh. Naya, ngapain sih ah. Ini gue berasa adegan sinetron suami-suami takut istri nih kalo kamu mainnya cubit-cubitan." ujar Roka yang sontak membuat Naya bergidik. Bukan hanya itu, aksi mengerikan dua orang ini pun nampaknya memancing rasa jengkel gadis-gadis yang sejak beberapa waktu lalu dirayu oleh Roka.
Tanpa menghiraukan gumaman gadis-gadis tersebut, Roka mencoba melepaskan tangan Naya dari pinggangnya. Ia berhasil melepas cubitan yang Naya berikan padanya, namun ternyata ia tidak berhenti disitu, alih-alih melepaskan tangan Naya, ia justru menggenggamnya dengan erat, menarik Naya menjauhi meja gadis-gadis yang barusan dijahili olehnya untuk kembali ke meja tempat Kiran berada.
"Heh! Apaan sih pegang-pegang, dasar bajul!" Naya buru-buru menarik tangannya dari genggaman Roka, membuat laki-laki itu meringis minta maaf.
"Lagian lo ngapain sih main cubit-cubit, gue lagi melancarkan aksi tau nggak. Itu tadi udah nyaris dapet traktiran loh." Roka merampas piring berisi somay yang tengah Kiran santap.
"Lagian, elo sih, bayar nih uang iuran basket. Mentang-mentang si Melly yang jadi bendahara, lo rayu mulu tiap nagih. Buruan bayar, lo udah nunggak tiga minggu nih." Naya menyodorkan sebuah buku berisi catatan keuangan.
Roka menghela napas berat kemudian meletakkan kembali piring somay yang ia ambil dari Kiran. Dikeluarkannya sebuah dompet kulit dari saku seragamnya beserta lima lembar uang seratus ribuan.
"Yaudah nih, buat beberapa bulan kedepan." Roka menyodorkan uang tersebut kepada Naya, alih-alih merasa lega Naya justru nampak heran karena biasanya Roka tidak sepasrah ini.
"Tumben nurut?"
Roka hendak menjawab pertanyaan Naya saat tiba-tiba Kiran beranjak dari kursi. "Gue duluan, mau ke perpustakaan. Nungguin lo berdua menyelesaikan kisruh rumah tangga ga cukup satu jam istirahat."
"Cwih, kisruh rumah tangga, anggun sekali bahasamu. Btw somaynya gue abisin ya?" ujar Roka sedikit lantang, sebab jaraknya dengan Kiran yang kian menjauh.
"Oke imut. Bayarin sekalian sama baksonya ya."
"Hah? Heh bangsul, imut-imut pala lo marmut!"
.
.
.
.
Kiran berjalan menyusuri koridor-koridor kelas, ruang praktek, beserta beberapa ruangan lain guna pergi ke perpustakaan. Terhitung ini adalah kali pertama ia meminjam buku di tempat tersebut -tentu saja selain buku paket pelajaran-.
Meski cukup populer di kalangan siswa seangkatan, kakak kelas, maupun adik kelas, Kiran selalu enggan beramah-tamah terlebih lagi dengan perempuan. Setiap kali seseorang menyapanya atau tersenyum padanya, Kiran selalu bersikap acuh tak acuh dalam menanggapi hal tersebut. Hal ini pula lah yang membuat Kiran mendapat label sebagai orang yang sombong dan angkuh. Namun tentu saja sikap Kiran yang seperti itu bukannya tanpa alasan, orang-orang yang mengenal Kiran tentu akan memahami alasan dari sikapnya yang seperti itu.
Sementara itu, dibalik sifat slengean dan tengilnya, Roka adalah pribadi yang mandiri, dewasa, dan dapat diandalkan. Hanya saja traumatis yang ditimbulkan akibat perselingkuhan ibunya dengan pria lain beberapa tahun yang lalu membuat Roka terkesan 'sulit' melihat sisi baik dari seorang perempuan. Ia memukul rata semua perempuan, bahwa mereka adalah makhluk yang akan dengan mudahnya berpindah hati hanya dengan sedikit rayuan dan gombalan, menganggap hampir semua perempuan itu sama-sama tak berpendirian.
Keyakinan Roka itu nampaknya didukung oleh fakta yang ia dapatkan di lapangan, dimana hanya dengan modal wajah dan ucapan, banyak perempuan yang jatuh hati padanya. Meskipun faktanya Roka tak pernah sekalipun berpacaran dan benar-benar dekat dengan seorang perempuan, image playboy rupanya terkadung melekat padanya sebab sifatnya yang kerap memberi gombalan dan perhatian cuma-cuma.
Walaupun Kiran sudah seringkali meengingatkan, rupanya Roka tak kunjung berubah. Rasa sakit hati yang ditimbulkan oleh penghianatan ibunya begitu membekas bagi sahabatnya tersebut. Satu-satunya yang bisa Kiran lakukan adalah mendoakan sahabatnya itu agar segera menemukan seseorang yang bisa membuka matanya, seseorang yang bisa membuatnya mampu memaafkan apa yang dulu telah dilakukan sang ibu kepadanya serta ayahnya.
Setelah menghabiskan waktu hampir tujuh menit lamanya, Kiran akhirnya tiba di perpustakaan. Tidak seperti bayangannya, rupanya siswa di sekolah ini cukup gemar membaca. Terlihat dari kondisi perpustakaan yang cukup ramai pengunjung.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Kiran bergegas mencari buku yang ingin ia pinjam. Sejak beberapa waktu lalu ia ingin sekali membeli buku karangan Fyodor Dostoyevsky, Catatan dari Bawah Tanah, namun ia selalu kehabisan stok tiap kali ingin membelinya karena buku tersebut belum juga dicetak ulang. Ia amat sangat berharap dapat menemukan buku tersebut di perpustakaan sekolah.
Dengan teliti, Kiran menyusuri rak-rak yang berjajar rapi berisikan buku-buku tebal yang beberapa diantaranya sudah berdebu. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Kiran untuk akhirnya dapat menemukan buku yang sedang dicarinya. Setelah mendapatkan buku tersebut, Kiran bergegas kembali ke kelas.
Ia berjalan cepat agar tidak terlambat masuk ke kelas. Ia yakin benar bahwa beberapa menit lagi bel masuk akan segera berbunyi, oleh karena itu ia harus bergegas sebelum guru Fisika mereka yang terkenal killer itu masuk ke dalam kelas sebelum dirinya. Tepat sesaat setelah Kiran duduk di kursinya, bel masuk yang menandakan bahwa pelajaran akan kembali dimulai berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah. Ia menghela napas lega kemudian menjatuhkan kepalanya di atas meja.
---
"Hadeeeh, ngantuk banget gue. Sejarah tuh emang musingin banget, heran." keluh Roka yang sontak membuat Kiran menjitak kepalanya.
"Gimana ga pusing orang daritadi yang lo liat muka lo sendiri. Centil banget foto doang pakek segala di edit-edit." balas Kiran seraya membereskan alat tulis serta buku-buku yang berserakan di atas mejanya.
"Ya elah, kampung amat. Ini tuh biar estetik tau nggak, muka tampan ini kalo nggak di sokong sama ke estetikan alam mana bisa menggaet follower-follower diluar sana." Roka menyelipkan sedikit sindiran pada Kiran yang jarang sekali memposting foto dirinya, melainkan hanya hasil jepretan random yang entah mengapa sangat indah untuk di pandang.
"Banyak cakap. Gue mau ke perpustakaan umum nih, ikut nggak?" Kiran beranjak dari kursinya, bersiap untuk keluar dari kelas.
"Sudah tidak waras anda rupanya. Lo duluan aja sono, bisa mabok gue nyium bau buku. Ntar malem gue ke rumah lo. Gue ada latihan hari ini," karena tak ada yang harus di bereskan, Roka langsung mengambil tasnya kemudian berjalan mendahului Kiran.
Keduanya berpisah di depan pintu kelas karena berbeda arah tujuan. Kiran mengambil arah kanan untuk pergi menuju tempat parkir sementara Roka pergi ke arah sebaliknya untuk menuju ke lapangan basket.
Suasana sekolah nampak masih ramai, begitu juga parkiran yang terlihat sesak oleh siswa yang berbondong-bondong ingin pulang. Enggan berdesakan, Kiran memutuskan untuk duduk di bawah pohon jambu dekat parkiran sembari menunggu kepadatan mengurai.
Di sekolahnya, sudah tak banyak pohon yang masih berdiri kokoh. Kebanyakan telah habis di tebang untuk membangun gedung baru. Namun suhu udara siang itu tak terasa panas sama sekali sebab cuaca yang terbilang mendung dan berawan. Sembari sesekali mengamati langit, Kiran melirik ke arah tempat parkir, berharap siswa-siswa itu segera pergi agar ia tak harus menunggu terlalu lama.
Belasan menit berlalu, tempat parkir sudah mulai terlihat sepi. Kiran hendak beranjak dari tempatnya saat tanpa sengaja melihat seorang gadis menjatuhkan sebuah sepeda di parkiran. Dari kejauhan, Kiran mengernyit keheranan karena bukannya mengembalikan sepeda yang ia jatuhkan pada posisi semula, gadis tersebut justru nampak menendang sepeda yang dijatuhkannya hingga terdengar suara berderik yang lumayan nyaring. Ia lantas mengenakan helm kemudian memacu motornya meninggalkan sepeda tersebut dalam keadaan roboh.
Kiran benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh si gadis. Ia berjalan menuju parkiran, tepatnya menuju sepeda yang roboh tersebut. Dengan hati-hati Kiran mencoba mengembalikan sepeda tersebut pada posisi semula, namun gagal karena ternyata pelek ban sepeda tersebut bengkok, ia asumsikan hal ini terjadi karena gadis tadi yang melindasnya dengan motor.
"Ya ampun parah banget manusia yang begini nih. Kasian banget ini yang punya sepeda. Gimana ya, masa iya gue tinggalin begini aja?" Kiran mencoba mengecek kondisi sepeda tersebut. Nampaknya bukan hanya pelek yang rusak, beberapa bagian sepeda juga terlihat baret dan lecet.
"Apa gue bawa ke bengkel ya? Tapi kalo yang punya nyari gimana?" Kiran berulangkali bertanya pada dirinya sendiri mengenai apa yang harus ia lakukan. Setelah berpikir cukup lama, ia pun memutuskan untuk menunggu si pemilik sepeda. Kiran meminggirkan sepeda tersebut ke tepi kemudian menyandarkannya pada motor miliknya agar tidak roboh dan terlindas motor yang lain.
Selama kurang lebih tiga jam lamanya Kiran menunggu, tidak ada sama sekali tanda-tanda kehadiran si pemilik. Bahkan parkiran pun sudah benar-benar sepi. Hanya segelintir sepeda motor yang masih terparkir, kemungkinan besar milik anak-anak yang sedang mengikuti ekskul serta anak-anak osis yang memang terbiasa pulang malam.
Kiran memutuskan untuk meminggirkan sepeda tersebut dan menyandarkannya di pohon. Ia menuliskan beberapa kalimat pada secarik kertas beserta beberapa lembar uang yang ia letakkan di keranjang sepeda tersebut lengkap dengan sebuah batu untuk menindihnya agar tidak terbang saat tertiup angin.
Setelah memastikan kembali bahwa tidak ada orang sama sekali, Kiran menghidupkan motornya kemudian pergi meninggalkan area sekolah. Ia memacu motornya dengan kecepatan tinggi, berharap agar perpustakaan umum masih buka sehingga tak perlu menunggu esok hari untuk meminjam buku.
Butuh waktu seperempat jam bagi Kiran untuk sampai di perpustakaan umum. Berbeda dengan perpustakaan sekolahnya pagi tadi, suasana perpustakaan umum nampak sedikit lebih sepi. Tak banyak kendaraan yang terparkir di luar, hanya beberapa motor dan tiga buah mobil.
Ia bergegas masuk ke dalam. Suasana hening, sunyi, dan tenang seketika ia rasakan saat ia menginjakkan kaki di dalam perpustakaan tersebut. Puluhan bahkan mungkin ratusan rak-rak berukuran besar terjajar rapi secara berurutan.
Seorang pustakawan muda yang berdiri tidak jauh dari Kiran nampak menyadari kehadirannya. Gadis muda itu menegur Kiran dengan sapaan selamat sore. "Selamat sore, Masnya, mau membaca, atau pinjam buku?"
Kiran yang pada awalnya terkejut pun langsung berusaha santai. "Mau pinjam buku, Kak."
"Ohh, baik. Silahkan dicari bukunya, perpustakaan mau tutup soalnya." tanpa kehilangan senyum, pustakawan tersebut kembali menyusun buku-buku yang ia bawa dari troli ke beberapa space kosong pada rak-rak buku yang ada.
Kiran bergegas mencari buku yang ia inginkan. Dengan tergesa-gesa, ia memeriksa satu-persatu rak yang ada. Dengan teliti ia melihat judul demi judul yang tertera pada sampul bagian samping buku-buku yang berjajar rapi di rak kayu tua yang berada tepat di hadapannya. Setelah belasan menit mencari, Kiran berhasil menemukan buku tersebut. Dengan perasaan lega karena telah menemukan dua bacaan yang akan menemaninya beberapa hari ke depan, Kiran dengan semangat menuju meja yang ada di dekat pintu masuk untuk menyelesaikan prosedur peminjaman buku. Setelah semuanya selesai, ia memutuskan untuk bergegas kembali ke rumah sebelum hari semakin malam.
---
"Heh, kecilin kali itu suaranya! Lo nonton film apaansi berisik banget!" pekik Kiran dari dalam kamar mandi.
Beginilah jadinya jika Roka menginap di rumah Kiran, suasana tenang yang selama ini Kiran damba-dambakan setiap kali berada di rumah berujung mengerikan. Mulai dari sifat berisik Roka, pola tingkahnya ketika tidur, hingga kebiasaannya mengigau sembari berteriak-teriak dan mencakar apapun yang berada di sekitarnya.
Kiran mengeringkan rambutnya dengan handuk, kemudian mengambil kaos polos yang nyaman. Ia melirik Roka yang nampak fokus dengan film peperangan yang terputar di layar komputer miliknya. Tanpa berusaha menganggu konsentrasi Roka, Kiran mengambil buku yang sebelumnya sempat ia pinjam di perpustakaan sekolah.
Setelah sempat mencari-cari tempat yang tepat untuk membaca tanpa terganggu dengan kebisingan yang ditimbulkan oleh Roka dan kegiatannya, Kiran memutuskan untuk duduk di kursi santai yang terletak di balkon kamarnya meski sebelumnya sempat merasa ragu karena takut akan serangan nyamuk. Ia baru saja membuka halaman pertama buku tersebut saat selembar kertas berwarna biru terjatuh tepat di kakinya. Dengan ragu, ia mengambil kertas tersebut. Dilihat dan dibacanya baik-baik, rupanya kertas tersebut adalah kertas peminjaman dan pengembalian buku.
Bila dilihat dari warnanya yang nyaris pudar, kertas tersebut kemungkinan besar telah ada sejak sebelum Kiran menjadi siswa di SMA Tunas Kelapa, namun yang membuat Kiran sedikit terkejut adalah jumlah peminjam sebelum dirinya yang ternyata hanya satu orang, lebih terkejut lagi ketika melihat tanggal pengembalian yang ternyata hanya terpaut satu hari dari tanggal ia meminjam buku tersebut.
Memang diakuinya tak banyak orang yang menyukai buku filsafat, terlebih kalangan pelajar SMA. Novel atau bacaan-bacaan ringan lainnya mungkin jauh lebih diminati oleh remaja zaman sekarang, terlebih para remaja perempuan yang sangat menggandrungi buku bacaan dengan genre percintaan. Ia cukup terkesan bahwa ternyata ada seseorang yang gemar membaca buku filsafat seperti dirinya.
Kiran mengamati kertas tersebut, ia membaca satu-satunya nama peminjam yang tertera di sana. "Chandana?"
.
.
.
.
.
.
Roka mengusap air liurnya dengan kasar. Matanya mengerjap beberapa kali, rupanya ia ketiduran. Dengan malas ia mematikan layar komputer beserta cpu yang ternyata masih menyala. Ia memutar tubuhnya untuk merebahkan diri di kasur, namun melihat ranjang Kiran yang tak berpenghuni membuatnya terkejut bukan main. Ia berteriak memanggil nama Kiran, menggeledah setiap jengkal isi kamar sahabatnya tersebut sampai pada akhirnya sesuatu yang keras menghantam punggungnya.
"Heh gila, lo pikir ini hutan rimba? Udah jam 1 malem jejeritan. Mau gue usir lo?" suara emas Roka nampaknya membuat kemarahan Kiran tak terbendung, ia memukulkan buku pinjaman perpustakaan kepada Roka sebagai balasan atas ulah mulut sialnya.
"Ya kan gue kira elo ngilang. Apa salah kalo gue khawatir sama elo?" Roka mengelus punggungnya sembari memberikan pembelaan.
"Alay banget sih lo gila. Rumah juga rumah gue, ilang kemana coba." Kiran meletakkan bukunya di meja belajar kemudian pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah, kaki, dan tangan sebelum tidur.
Roka yang merasa jengkel dengan kebiasaan Kiran membaca buku hingga larut malam pun tak kuasa menahan diri untuk tidak menghujat Kiran. "Baca buku doang sampek jam segini, emang bener-bener lo. Kaga pusing apa tuh pala baca buku segini tebelnya. Mana tulisan semua isinya. Cwih."
"Berisik lo. Sikat gigi sono, besok kalo gigi lo di lalerin bukan urusan gue." ujar Kiran sembari merebahkan dirinya di atas ranjang.
Kiran melirik Roka yang berhambur menuju kamar mandi setelah mendengar perkataannya. "Jangan pakek sikat gigi gue, awas aja kalo besok gue menemukan bekas-bekas jigong lo bersarang di sana."
"Bacot."
---
"Silahkan dibaca sendiri sampai halaman 56, setelah selesai membaca, dikerjakan soal latihannya." ujar Ibu Mirna sebelum meninggalkan kelas untuk mengikuti rapat dinas bersama dewan guru lainnya di kantor guru.
Tentunya seluruh siswa paham, bahwa rapat dinas artinya seharian ini takkan ada pelajaran. Beberapa siswa laki-laki maupun siswi perempuan berhambur keluar kelas, beberapa memilih untuk kabur, sedangkan sisanya menetap di kelas untuk bermain gadget atau sekedar berbincang-bincang.
Tidak seperti biasanya, kali ini Kiran bergabung bersama teman-teman sekelasnya untuk bermain bola di lapangan. Entah kenapa pagi itu Kiran tidak sedang bersemangat untuk membaca buku ataupun mengerjakan tugas seperti yang biasa ia lakukan.
Beberapa siswi dari kelas lain nampak bersemangat melihat Kiran, Roka, dan beberapa siswa tampan lainnya dari kelas 11 Ipa 3. Meski jarang bermain bola, Kiran merupakan salah satu siswa yang pandai dalam hal olahraga. Dalam beberapa acara sekolah, ia selalu berhasil menorehkan namanya sebagai top skor dari setiap ajang turnamen sepak bola antar kelas.
Pagi itu, ia bermain dengan sangat lepas dan bersenang-senang bersama kawan-kawannya yang lain. Beberapa kali ia sempat tersandung karena kehilangan fokus. Sejak pagi tadi ia tidak bisa berhenti memikirkan seperti apa gadis bernama Chandana itu. Bagaimana sifatnya, seperti apa rupanya, dan tentu saja bagaimana bisa ia menyukai buku-buku filsafat yang sering kali dinilai membosankan oleh kebanyakan remaja seusia mereka.
Sejujurnya, saat melihat nama Chandana pada kertas peminjaman buku perpustakaan sekolah ia tak terlalu memikirkannya. Namun entah karena kebetulan atau bagaimana, ia menemukan nama yang sama pada buku yang dipinjamnya dari perpustakaan umum. Berbeda dari sebelumnya, ia menemukan nama Chandana pada pojok kanan sampul buku tersebut.
Sepertinya gadis itu menyumbangkan bukunya ke perpustakaan umum yang juga kebetulan dipinjam oleh Kiran. Namun Kiran berpikir bahwa hal tersebut bukanlah sekedar kebetulan biasa, ini adalah kebetulan yang aneh. Ia mungkin tidak bisa memastikan bahwa Chandana si peminjam buku di perpustakaan sekolah adalah orang yang sama dengan si penyumbang buku di perpustakaan umum. Namun setidaknya, ia ingin memastikan.
Setelah satu jam lebih bermain sepak bola di lapangan, Kiran dan teman-temannya pergi menuju kantin sekolah. Sempat terpikir oleh Kiran untuk bertanya pada teman sekelasnya, mungkin saja ada satu diantara mereka yang mungkin mengenal Chandana. Namun niatannya itu urung ia lakukan sebab tidak adanya keberanian. Ia juga takut teman-temannya akan bertindak gegabah seperti menggodanya atau melakukan hal-hal yang tidak Kiran inginkan.
Sudah bertahun-tahun Kiran tak pernah lagi terlibat hubungan pada seorang perempuan. Bila bukan hal yang mendesak, ia tidak akan berbicara ataupun berkirim pesan pada teman perempuannya. Meski tidak terhitung jumlah lawan jenis yang berusaha mendekatinya, Kiran tetap teguh dan tak berminat sama sekali. Oleh sebab itu ia takut jika perubahan yang terjadi pada dirinya ini akan membuat orang lain merasa heboh yang kemungkinan berujung dengan melakukan hal-hal yang tidak perlu.
"Bro."
"Hah?"
"Lo- Lo mau bantuin gue nggak?" Setelah cukup lama tak bersuara, Kiran akhirnya memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang sejak tadi mengganggu pikirannya.
Roka yang memang sudah menyadari keanehan Kiran sejak awal masuk kelas pagi tadi pun buru-buru menanyakan apa yang bisa ia lakukan untuk Kiran. "Gegayaan bener lo sok-sok an minta tolong. Tapi emang lo jarang banget minta tolong ama gue. Tolongin apa nih?"
Kiran melirik Roka dengan tatapan sinis, mulut pedas Roka memang benar-benar tak ada tandingannya. Selama beberapa waktu Kiran terdiam, tak langsung menjawab. Entah kenapa begitu sulit baginya mengungkapkan maksud hatinya. Mungkin ini terdengar berlebihan, namun sejujurnya baik Kiran maupun Roka tak pernah sekalipun membicarakan soal wanita sejak beberapa tahun yang lalu. Ia sendiri tidak pernah mau tahu apa yang Roka rasakan pada gadis-gadis yang selama ini berada di sekelilingnya, begitu juga sebaliknya, meski kerap mendesak Kiran untuk mulai membuka diri pada gadis-gadis, Roka tak pernah benar-benar mengungkitnya secara personal dan serius, hanya sekedar candaan yang Kiran tangkap sebagai sesuatu yang tidak benar-benar Roka ingin ia lakukan.
"Ngapa malah diem sih, jangan bikin gue penasaran dah," Roka menyambar sepotong roti yang hendak Kiran makan, membuat laki-laki itu akhirnya tersadar dari lamunan.
"Gue mau minta tolong,""
"Lo, cari tahu soal...." suara Kiran mendadak ciut, beberapa kali ucapannya terhenti karena ragu.
"Kenapa sih ***** sok misterius banget lo, mana mendadak gagu segala. Lo abis bunuh orang apa gimana?" Roka yang mulai geram dengan Kiran yang terus berputar-putar pun semakin penasaran dengan apa yang hendak dikatakan sahabatnya itu.
"Bantu gue cari tau soal cewek yang namanya Chandana." ucap Kiran seraya menundukkan wajahnya ke arah lantai. Entah kenapa sulit sekali baginya menyampaikan hal tersebut. Bahkan sulit pula baginya untuk memepercayai bahwa ia mulai menaruh sedikit ketertarikan pada perempuan.
Setelah Kiran menyelesaikan kalimatnya, ekspresi Roka benar-benar sesuai dengan apa yang sebelumnya telah Kiran bayangkan. Sahabatnya itu menganga dan nyaris melompat dari kursi kantin. Roka berusaha mati-matian untuk tidak berteriak karena perasaan terkejut sekaligus bahagia yang ia rasakan.
Selama 6 tahun terakhir, Roka tidak pernah sekalipun melihat Kiran menaruh ketertarikan pada perempuan, bahkan Kiran sangat amat enggan berurusan dengan perempuan manapun. Dan juga, beberapa bulan yang lalu sempat beredar gosip murahan di kalangan siswa SMA Tunas Kelapa yang mengatakan bahwa Kiran adalah seorang homoseksual. Tentu saja gosip ini bukanlah sesuatu yang benar. Gosip sampah ini bermula ketika Ratih, siswa paling cantik di sekolah yang rela memutuskan pacarnya -kapten basket sekolah- hanya untuk mendapatkan Kiran, ditolak mentah-mentah di hadapan umum dengan dalih Kiran tidak menyukainya.
Pada awalnya semua baik-baik saja, sampai beberapa siswa mulai menghubung-hubungkan penolakan Kiran pada Ratih dengan keseharian Kiran yang tak pernah mau dekat-dekat dengan perempuan. Bahkan salah seorang teman SMP mereka juga membocorkan bahwa Kiran tidak pernah sekalipun berpacaran. Tentu saja Roka marah besar menanggapi isu tersebut. Ia tahu benar alasan Kiran tak pernah mau dekat-dekat dengan perempuan yang mana bermula ketika mereka masih kanak-kanak.
Kiran yang sejak kecil memiliki wajah rupawan memang sudah banyak disukai banyak perempuan bahkan sejak masih SD. Sifatnya yang murah senyum dan ramah pada semua orang membuat ia memiliki banyak teman, namun rupanya itu pula yang dengan mudah di salah artikan oleh lawan jenis.
Kiran yang selalu memberikan perhatian pada semua orang, ternyata disalah artikan sebagai perasaan suka oleh beberapa teman gadis mereka. Saat duduk di bangku kelas 5 SD, tercatat ada lebih dari lima perempuan yang mengaku pacar Kiran. Namun tentu saja tak satupun diantaranya benar. Awalnya Kiran tak terlalu menghiraukan mereka, sebab wajar saja jika anak-anak bertingkah demikian. Namun mimpi buruk Kiran datang ketika mereka berlima bertengkar memperebutkan Kiran dihadapan siswa lain hingga salah satu diantaranya mengalami cedera tulang saat tanpa sengaja terdorong jatuh.
Saat itu, alih-alih si pelaku yang mendorong si gadis, Kiran yang tidak tau apa-apa justru menjadi sasaran bulan-bulanan semua temannya atas kelumpuhan gadis tersebut. Ia tidak tau apa yang telah ia lakukan sehingga diperlakukan layaknya seorang kriminal. Seiring dengan berjalannya waktu, ia mulai berpikir bahwa menjadi baik dan ramah pada semua orang teryata dapat menjadi suatu kejahatan. Rasa bersalah yang mendalam serta perlakuan tidak baik teman-temannya membuat Kiran mulai membatasi diri, bukan hanya pada perempuan namun juga pada laki-laki. Oleh sebab itu ia kerap disebut sombong dan angkuh oleh teman-teman sebayanya saat duduk di bangku SMP.
Diam, tak pernah menjawab jika diajak berbicara, selalu menghindar jika di dekati orang lain, menjadi salah satu bentuk pertahanan Kiran agar terhindar dari peristiwa yang pernah dialaminya saat berada di sekolah dasar. Bukan hanya orang lain, Kiran juga bersikap dingin pada Roka. Namun meski begitu, Roka tak pernah menyerah dan terus berada di sekitar Kiran. Pertemanan mereka yang sudah terjalin sejak kecil justru lebih mirip dengan hubungan persaudaraan daripada persahabatan. Kebaikan yang Kiran lakukan selama ini membuat Roka tak bisa tinggal diam begitu saja melihat sahabatnya terpuruk. Meski begitu, sejujurnya Kiran tak pernah benar-benar kehilangan jati dirinya. Ia masih kerap membantu orang lain yang kesulitan, meski dengan sembunyi-sembunyi (tsundere).
Roka tahu betul bagaimana sulitnya Kiran saat itu, ditambah lagi dengan tragedi yang menimpa Arda, adiknya. Kiran terus menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi, jika bukan karena kedua orang tuanya yang luar biasa serta Roka yang selalu berada di sampingnya, Kiran mungkin bisa saja semakin terpuruk dan benar-benar kehilangan semangat hidup.
Namun untungnya, keajaiban datang saat hampir setengah tahun mereka menjadi siswa SMA. Kiran yang sebelumnya pemurung mulai menunjukkan perubahan. Perlahan-lahan mulai kembali sebagaimana dirinya yang dulu usai membaca buku-buku sejarah, filsafat, serta berbagai macam buku motivasi.
Ya walaupun seiring dengan berjalannya waktu Kiran mulai menunjukkan sifat rese dan tengil seperti halnya Roka, namun itu semua jauh lebih baik daripada melihat Kiran yang selalu diam dan murung seperti saat berada di bangku SMP. Dan kini, melihat Kiran yang pada akhirnya mulai membuka kembali hatinya untuk perempuan, sungguh menjadi keajaiban yang nyata bagi Roka.
"Heh gila, kok lo nangis sih?" Kiran yang melihat Roka berkaca-kaca lantas merasa terheran-heran.
Mendengar pernyataan Kiran membuat teman-teman Roka yang lain tak kalah terkejutnya. Namun begitulah laki-laki, bukannya menenangkan justru menertawakan dan menghina habis-habisan.
"Biasa aja kali gak usah pada kesenengan liat air mata berlian gue." Roka menenggak segelas es teh yang ada di depannya sebelum pamit undur diri pada teman-teman sekelasnya.
Ia menarik Kiran untuk pergi ke tempat yang sedikit lebih sepi. "Abis kesambet apaan lo? Seriusan mau cari tahu soal cewek?"
Kiran mengangguk ragu. "Gue cuma penasaran aja sih sebenernya. Cuma pengen kenal aja. Bukannya suka atau apa, orang pernah ketemu juga enggak."
"Ya walaupun gitu seenggaknya lo ada sedikit kemajuan, seenggaknya salah satu diantara gue sama lo harus bener dong ah masalah percintaannya." Roka berusaha meyakinkan Kiran bahwa langkah yang akan ia ambil ini adalah suatu kemajuan yang perlu dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
"Gue semaleman juga mikir, gue udah gede, gak mungkin terus-terusan apatis dan berlarut-larut sama sesuatu yang udah selesai. Cuma mungkin gue kudu ati-ati aja kali ya, biar kejadian yang kaya dulu nggak terulang." Kiran mencoba memberikan semangat pada dirinya bahwa keputusan yang diambilnya kini adalah yang terbaik.
Keputusan untuk kembali membuka diri dan bersosialisasi secara normal dengan lawan jenis. Saat itu Kiran berpikir, siapapun gadis bernama Chandana itu, ia harus bisa menjadi teman perempuan pertama Kiran.
Dia sama-sama suka buku sejarah, buku filsafat. Banyak topik yang mungkin bisa dibicarain. Ya seenggaknya kita punya satu kesamaan.
"Tapi kok gue deg-degan sih?"
"Alay bener lo, jablay."
.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!