Aku berlari masuk kedalam rumah, berharap semua penghuni rumah sudah tertidur. Sahabatku Rangga mengantarku dengan motornya ditengah hujan lebat dikota ini. Aku mengendap masuk rumah setelah sebelumnya pintu rumah kubuka dengan kunci cadangan yang ada ditanganku.
"Dari mana kamu" suara laki-laki itu menggelegar persis seperti bunyi petir diluar, jam sudah mendekati angka sebelas dan ini sudah malam. Aku yang basah kuyup menggigil menahan rasa takut.
"Kau anggap apa aku ha?" aku masih diam, sungguh aku semakin takut padanya
"Apa pantas seorang istri pulang jam segini dan diantar laki-laki? Jawab"
Akupun masih tetap diam, aku belum ingin bicara padanya. Yang aku inginkan sekarang masuk ke kamarku ganti baju dan istirahat
"Jawab" kali ini dengan mata merah menyala dia kembali memaksaku untuk berbicara
"Maaf, adek capek"
"Ooo capek? bagian mana yang capek? apa yang tadi kalian lakukan hah? dasar jalang, apa ini didikan orangtua mu?"
aku terkejut mendengar omongannya, hatiku sakit. Ini sudah keterlaluan apalagi dia bawa-bawa-bawa orang tuaku. Sabar, aku masih mencoba untuk sabar
"Maaf mas hati-hati kalau bicara" aku memutar tubuh hendak masuk kekamarku
"Dasar prempuan jalang !" Plak tanpa sengaja aku telah menamparnya, menampar lelaki yang sudah menghina harga diriku serta orang tuaku
"Terus kenapa kalau aku JALANG??cih " entah keberanian darimana aku bisa berkata seperti ini.
Dia menarik paksa tanganku, menyeretnya melewati tangga menuju lantai atas
"Aden jangan den, bibik mohon jangan. Jangan sakiti nona den...kasihan" Bi ijum pembantu rumah ini meraung memeluk kaki majikannya
"Bibik diam dan jangan ikut campur. Sijalang ini pantas untuk mendapatkannya" Aku pasrah dan tidak membantah sama sekali
"Den, bibik mohon den,, jangannnn den. Sebelum aden menyesal den" BI Ijum masih meraung kali ini dia memelukku dan sepertinya laki-laki ini memang tidak punya hati.
Laki-laki ini terus menyeretku menuju kamarnya dilantai atas. Sampai dikamar dia membuka paksa jilbabku, melepas paksa semua pakaian yang melekat diubuhku. Tubuhnya yang kekar membopongku ke kamar mandi kamar ini.
Dia menghempaskan tubuhku ke dalam buthup kamar mandi, rasanya sakit sekali. Aku melingkarkan kedua tanganku, memeluk lutut ku, aku menahan tangisku tanpa sehelai benangpun melekat pada tubuhku.
"Bagian mana yang dia sentuh ha?" dia mengguyur semua tubuhku, menyiramnya dengan air dalam jumlah banyak. Aku mulai menggigil, rasanya tubuhku mulai melemah.
Setelah puas menyiram tubuhku kali ini dia melemparku keatas tempat tidur. Aku masih sadar ketika ku melihat dia membuka semua pakainnya, dan aku mulai takut ketika dia mulai mendekatiku.
"Jangan mas ku mohon" aku berkata disisa kekuatanku
"Diam, jangan sok suci dihadapanku. Tiga bulan pernikahan kita tapi kau belum mau ku sentuh. Sebelumnya aku masih menghargaimu, kau bilang belum siap tidur denganku tapi kau malah menyerahkan dirimu kepada kekasihmu. Dasar jalang" Dia mulai menindih tubuhku, aku melawan tapi tiada berguna, tubuhnya yang kekar mulai menyerangku.
"Arghh sakit..." dia tidak memperdulikan teriakanku, dia semakin beringas terhadapku. Inikah malam pertama yang indah? inikah surga dunia? tidak. Ini adalah neraka. Neraka yang akan membakar ku secara perlahan.
Kali ini aku kembali meraung, aku tidak terima diperlakukan seperti ini, aku mulai untuk bangkit setelah dia mencapai hasratnya. Aku kumpulkan semua sisa kekuatan ku, aku terpikir mengambil gunting yang ada ditasku. Kulihat dia juga terkejut melihat reaksiku, sebelum gunting itu ku raih aku tumbang dan tidak ingat apa-apa lagi.
.....................
FLASHBACK
"Ciiss...." kami berselfie ria ditaman kampus, derai tawa kami tidak terbendung. Kami tidak peduli beberapa pasang mata menatap kami. Hari ini kami sangat bahagia, aku REA ANANDA LUBER, dengan dua orang sahabatku Putri Utari dan Rangga Pratama lulus ujian tertulis,ujian OSCE di fakultas kedokteran ternama di kota ini. Tentu kami sangat bahagia karena setelah melewati masa ujian ini dengan nilai yang sangat memuaskan, sebentar lagi kami akan bergelar sarjana kedokteran(S.Ked).
"Re...keren deh, nilai kamu lagi lho yang tertinggi" kata Putri memujiku. Aku tersenyum
"Bagaimana kalau kita makan-makan?" Rangga melirik sambil tersenyum padaku, wajahnya yang tampan semakin membuat ku terpesona
"Boleh, tapi kamu ya yang traktir" ucapku dengan nada lembut, sebab aku tau selama lima tahun kami kuliah dikampus yang sama, Ranggalah yang selalu mentraktir makan siang ku. Tanpa ku pinta Ranggalah yang selalu baik dan selalu ada untukku.
"Oke Tuan Putri, yuk" Rangga mengenggam tanganku, aku membiarkannya saja. Rangga berdiri dengan tangan yang masih mengggenggam tanganku, dan aku pun berdiri mengikutinya
"Heii..heii...aku dianggurin gitu? tiba-tiba Putri merentangkan tangannya kearah kami
"Hahaha sorry ya, aku kira kamu dah pulang" Rangga mengaca-acak rambut Putri dan aku hanya tersenyum melihatnya.
"Bussett deh, selaluuu aja, arghhh" ku lihat Putri kesal, tapi ku tau dia tidak marah. Kami bersahabat sudah lima tahun, sejak kami mulai sama-sama masuk Fakultas Kedokteran ini. Jadi kami sudah paham karakter serta sifat masing-masing.
Kami menuju parkiran, disini berjejer mobil-mobil mewah. Rata-rata semua anak kedokteran membawa kendaraan roda empat, termasuk Rangga dan Putri. Hampir seluruh mahasiswa dikampus ini dari kalangan menengah keatas. Rangga punya orang tua yang kaya raya, Papinya seorang Bisnismen dan punya beberapa Perusahaan dibidang otomotif sedangkan Maminya seorang wanita karir yang memimpin beberapa anak cabang perusahaan Papinya. Wajar saja Rangga bisa gonta-ganti mobil mewah kapan saja dia mau, kedua orangtuanya sangat memanjakannya. Rangga anak kedua dari dua bersaudara, Rangga punya satu saudara laki-laki. Kalau kakak laki-lakinya itu mengikuti jejak Papi nya tapi Rangga beda, dia lebih tertarik menjadi seorang dokter.
Kalau Putri lain lagi, Papanya seorang abdi negara dengan pangkat Jendral. Tapi Putri jarang bertemu dengan Papanya, Putri anak tunggal dari istri kedua Papanya. Putri terlahir cantik seperti Mamanya, walaupun sering dimanja mamanya tapi Putri anak yang mandiri dan pintar bahkan terkesan tomboy. Putri paling anti bicara tentang Papanya, mungkin dia kurang dekat dengan Papanya sedari kecil sebab mereka sangat jarang bertemu. Tapi Putri anak yang baik, meski kadang sering bersikap kekanakan tapi hatinya lembut dan tulus.
"Ngga kita mau kemana nih? tanya Putri
"Mau makan dong, trus ngapain lagi?" jawab Rangga
"Kirain pergi pacaran dan aku jadi obat nyamuk" Putri berkata cuek sambil mengunyah permen karet dalam mulutnya. Ku lihat wajah Rangga sedikit berubah, mungkin Rangga merasa itu adalah kalimat sindiran untuknya sebab Putri tau kalau Rangga dari dulu punya perasaan khusus padaku.
"Dah deh ah, bacot mulu. Ntar gue traktir lu sampai puas gimana? ucap Rangga untuk menyembunyikan perubahan mimik wajahnya
"Nah gitu donk' Putri merangkul ku, melepaskan genggaman tangan Rangga dari tanganku, dan aku hanya nurut saja.
Kami masuk mobil Rangga, seperti biasa aku selalu duduk di depan. Dan Putri selalu duduk dibelakang, duduk dibelakang adalah pavoritnya Putri sebab dia bisa tiduran disana sambil memainkan game kesayangannya.
"Re..kalau dilihat dari tadi kamu kurang bersemangat dan lebih banyak diam. Kenapa? ada masalah?" Rangga selalu peka terhadap ku, aku selalu tidak bisa menyimpan rahasia ku darinya. Rangga terlalu cerdas untuk aku bohongi.
"Gak ada ngga, aku cuma capek" aku menjawab pertanyaan Rangga dengan pandangan mata lurus kedepan. Aku takut dia kembali mengetahui tentang masalahku, aku tidak bisa selalu merepotkannya.
"Re, jujur deh...kita sahabatan udah lama.Aku tau kamu menyembunyikan sesuatu dariku" Rangga benar, aku telah menyembunyikan sesuatu padanya. Tapi sepertinya aku tidak mungkin bercerita padanya.
"Re, gimana kabar ayah mu?" Aku terkejut tiba-tiba Putri bertanya dari belakang.
"Alhamdulillah Ayah sudah mulai membaik" Putri tau ayahku sebelumnya dirawat dirumah sakit Medika Jakarta karna kecelakaan yang dialaminya, ayah ditabrak lari di jalan. Setelah selesai shalat subuh tadi aku video call dengan Ibu, dan Ibu bilang ayah sudah mulai bisa berjalan.
Tidak berapa lama kami sampai di Mall, setelah parkir kami keluar dari mobil. Rangga menggenggam tanganku, dan Putri memegang bahu Rangga. Ini adalah formasi jalan kami bertiga, sudah kebiasaan dari lima tahun yang lalu.
"Put, makan apa?" tanya Rangga ke Putri yang lagi clingak clinguk
"Terserah deh, lagi fokus nih gue. Incar CEO mana tau ada yang nyangkut" Ku lihat Rangga mencibir ke Putri dan seperti biasa Putri cuek saja
"Put KFC aja yuk, kayaknya ga ramai" aku menawarkan menu makan siangnya pertama kali ke Putri, sebab aku tau Putri pecinta ayam.
"Oke...pilihan tepat cintaaa" Putri tersenyum sambil mencubit pipiku. Kami mulai berjalan memasuki Restoran cepat saji tersebut, ku lihat beberapa pasang mata melihat kedatangan kami. Para wanita menatap ke arah Rangga yang tampan, siapa pun pasti terpesona melihat ketampanannya. Yang laki-laki tentu menatap ke arah Putri yang cantik, berpakaian tomboy tapi sexy.
Setelah pesan menu kami lanjut makan, rasanya aku kurang bersemangat makannya. Perkataan Laki-laki tersebut masih terngiang ditelingaku. Dia laki-laki yang telah menolong Ayah ketika Ayah ditabrak lari pada waktu itu. "Sebagai gantinya kau harus menikah denganku". kalimatnya itu seperti jarum yang menusuk hatiku, aku terdiam dan langsung terduduk lemas mendengar omongannya.
'Re..Re..hei kog ngelamun?"Rangga mendekatkan wajahnya didepanku, aku terkejut.
"Gak kog, aku gak melamun" aku menjawab sekenanya dan ku lihat Putri serta Rangga menatap tajam kearah ku. Pasti mereka gak percaya
Aku mengunyah makanan ku, memperlihatkan seolah-olah tidak ada masalah.
Kring...kring... kring
"Put, tuh ponsel lu bunyi" Rangga memperingatkan Putri bahwa ternyata ponselnya dari tadi sudah berbunyi. Kami semua tau nada dering "Kring" adalah kode bunyi panggilan Mamanya Putri. Putri mengangkat ponselnya lalu berbicara dengan Mamanya.
"Guys kayaknya gue harus pulang deh, Mama bilang Eyang lagi dirumah. Taukan Eyang gue, cerewetnya minta ampun" Putri memasukkan ponselnya kedalam ransel kecilnya dan pamit pada kami.
"Siapa yang jemput?" tanya Rangga
"Mau tau aja lo, lanjutin tuh pacaran" Putri bicara pada kami sambil tersenyum dan tak lupa dia selalu mencubit pipiku
"Hati-hati" ucapku dan Rangga barengan
Sekarang hanya tinggal aku dan Rangga dan entah kenapa kali ini aku agak grogi berdekatan dengannya, biasanya aku tidak pernah merasa seperti ini. Apakah aku sudah mulai ada rasa pada Rangga? aku belum bisa memastikan.
Rangga kembali menggenggam tanganku, perlahan mengangkat daguku.
'Aku tidak ingin kamu terluka, bicaralah "
"Rangga maaf aku ga ada masalah, yuk kita pulang" Aku menegaskan ucapanku, berdiri dan mengambil tas ku kemudian mulai berjalan keluar dari Mall ini. Rangga dengan heran mengikuti ku, dia kembali meraih tanganku dan aku tetap membiarkannya saja.
Rangga memacu kendaraannya dengan pelan, mengantarku pulang dan aku duduk disampingnya dengan tenang. Inilah kelebihanku, ketika ada masalah apapun aku hanya diam bahkan sangat tenang seperti tanpa ada beban padahal hatiku lagi berkecamuk hebat. Sipat ini sepertinya turunan dari kedua orangtua ku.
Aku tau Rangga sesekali melirikku, tatapan cinta ada dimatanya.Bahkan tatapan itu ada ketika kami mulai sama-sama memulai aktivitas kuliah sekitar 5 tahun yang lalu.
"Re,langsung pulang atau mampir dulu beli sesuatu untuk orang rumah?" Rangga memecah keheningan diantara kami
"Gak ngga, aku pengen langsung pulang aja. Ini sudah hampir maghrib dan aku takut kedua orang tuaku khawatir" Aku menatap Rangga sedikit ada kecewa diwajahnya.Rangga sudah terbiasa main kerumahku dan cukup dekat dengan Ayah.
"Hmmm oke deh tapi malam minggu aku kerumah ya"
"Biasanyakan malam minggu kamu selalu main kerumahku?"
"Iya sih, tapikan kita ngumpul bertiga. Tapi kali ini aku pengen kita berdua aja. Ada sesuatu hal penting yang pengen aku omongin"
"Omongin sekarang aja, bikin penasaran deh" kataku sambil tersenyum
"Sabar yah" Kulihat Rangga sangat yakin mengucapkannya. Ada apa ya? pikirku
Lebih satu jam perjalanan kami baru sampai rumah. Hari sudah gelap, azan maghrib sudah cukup lama dikumandangkan. Aku cepat-cepat turun dari mobil Rangga.
"Rangga terimakasih ya" ucapku sambil melambaikan tangn
"Iya salam untuk Ayah Ibu"
"Oke" Aku melingkarkan jariku membentuk huruf o setelah itu Rangga memacu mobilnya meninggalkan ku.
Aku mengucapkan salam dijawab Ibu yang masih memakai mukenah.
"Cepat mandi dan shalat maghrib ya nak" Kata ibu sambil mengusap kepalaku. Hal yang selalu Ibu lakukan kalau aku baru pulang dari manapun.
"Ayah mana Bu?"
"Lagi ngaji dikamar"
"Oo, Bu adek mandi dulu ya" Ibu hanya mengangguk sambil tersenyum. Dirumah aku selalu dipanggil adek. Seluruh keluarga besarku juga memanggil seperti itu, sebab aku si bungsu serta anak perempuan satu-satunya dikeluargaku. Aku sangat senang dipanggil adek sejak kecil, meski kami bukan berasal dari keluarga kaya tapi keluarga kami hidup bahagia. Ayah pensiunan karyawan bank swasta di kota Jakarta ini, dari hasil mengumpulkan duit ayah bisa membeli sebuah rumah dipinggir kota Jakarta. Ibu seorang ASN dengan profesi seorang guru. Kami hanya tiga bersaudara, abang tertuaku baru diterima menjadi tenaga dosen di Universitas Negri Syarif Kasim Riau. Namanya Muhammad Arfa lulusan Master Hadist dari Universitas Kairo Mesir. Alhamdulillah karna kecerdasannya bang Arfa kuliah dengan bantuan beasiswa, jadi tidak merepotkan kedua orang tuaku.
Kakakku yang kedua Muhammad Arsya, sekarang lagi menempuh master di IPB jurusan Animal Sains. Bang Arsya juga kuliah dengan bantuan beasiswa. Alhamdulillah orangtua kami sangat terbantu.
Setelah selesai mandi, aku cepat-cepat shalat maghrib takut kehabisan waktu. Setelah selesai shalat aku keluar kamar untuk makan malam. Dirumah cuma tinggal kami bertiga, bang Arfa tinggal di Pekanbaru sedangkan Bang Arsya di Bogor. Ayah sudah duduk dimeja makan, alhamdulillah sudah mulai bisa berjalan meski kadang tertatih. Setelah peristiwa tabrak lari itu ayah seperti kehilangan semangat, untung Ibu selalu sabar menghadapi ayah yang kadang emosi gak jelas.
"Yah, adek dapat nilai tertinggi lagi waktu ujian komprei tadi"
"Alhamdulillah, anak Ayah pintar-pintar semua" Ayah tersenyum melihatku, ayah selalu bangga dengan kami anak-anaknya.
"Jangan lupa ya, semuanya bukan anak ayah saja tapi juga anak ibu" sahut ibu menimpali omongan ayah. Dan kami semua tertawa mendengarnaya.
Makan malam kami lalui dengan nikmat dan hangat, apalagi bang Arfa dan Bang Arsya dirumah pasti lebih seru lagi.
Setelah selesai makan malam kami semua duduk diruangan keluarga, aku membantu ayah berjalan menuju sofa. Ibu masuk ke kamarnya kemudian keluar dengan sebuah kotak cantik ditangannya. Ku lihat ayah dan ibuku saling pandang satu sama lain, sepertinya pandangan mereka ada suatu makna tersembunyi. Dan aku belum bisa menebaknya.
"Dek ga lama lagi adek dah jadi dokter ya nak" ibu berbicara sambil memandang ayah
"Insyaallah bu, do'akan saja"
"Ini ada hadiah untuk adek" sambil menyodorkan sebuah bingkisan yang ibu bawa tadi untukku.
"Hadiah apa bu?"
"Bukalah nak"
"iPhone? ini kan mahal bu" ini adalah jenis iPhone model terbaru dengan harga yang sangat mahal pula. Dari mana Ibu punya duit sebanyak ini pikirku.
"Itu dari nak Rayhan Mandala, dia menitipkannya untukmu" iPhone cantik itu langsung terjatuh dari tanganku, aku terkejut bukan main. Aku langsung membayangkan wajahnya yang sombong, bahkan dengan angkuh dia pernah memintaku untuk menikah dengannya.
"Tidak bu, adek gak mau" tentu saja aku menolak, dia bukan tipeku. Aku langsung berdiri didepan ayah ibu hendak masuk kekamarku, bukan bermaksud tidak sopan pada orang tuaku tapi aku lagi kurang bersemangat untuk sekedar mendengar namanya saja.
"Mau kemana?" kali ini ayah bertanya padaku
"Adek kekamar dulu ya yah Ibu, adek mau shalat isya' setelah itu istirahat". Tidak ada jawaban dari ayah dan ibu tapi ya sudahlah yang penting kedua orangtuaku tidak memaksaku untuk menerimanya.
Setelah selesai shalat isya aku menghempaskan tubuhku ketempat tidur, kesal ingat kejadian tadi. Dari luar ku dengar ketokan pintu kamarku dan ibu masuk ke kamarku.
"Dek, kamu marah nak?"
"Gak bu, mana mungkin adek marah hanya karena iPhone tapi adek lagi gak semangat aja"
"Dek kelurga kita sudah banyak berhutang budi pada Rayhan nak, kalau bukan karena Rayhan kita bisa kehilangan ayah untuk selamanya. Dan kalau bukan karena Rayhan yang menyelamatkan ayah dan membawanya berobat mana mungkin ayah bisa pulih secepat ini? Rayhan banyak menghabiskan harta serta waktunya demi keluarga kita"
"Buu apa maksud Ibu memuji laki-laki itu?"
"Cobalah mengerti, hutang budi mestinya kita balas dengan budi juga" dengan pelan ibu bicara padaku
"Bu apakah ini perjodohan?" airmataku hampir menetes mengatakannya. Ibu memelukku, kami berdua menangis tersedu.
"Ibu gak punya pilihan lain sayang, tapi Ibu rasa Rayhan anak yang baik dan bertanggungjawab" bujuk ibu meyakinkanku
"Apakah tadi laki-laki itu kesini?" setengah terisak ku bertanya pada ibu
"Iya tapi cuma sebentar, katanya dia sibuk. Nak Rayhan titip salam untukmu".
Aku terdiam ketika Ibu bilang laki-laki itu titip salam. Aku tau maksudnya apa, apalagi dia menitip sebuah benda mahal untukku.
"Ibu bolehkah adek menolaknya? maksudnya menolak iPhone mahal itu. Adek masih nyaman memakai Handphone Android adek yang lama, lagian handphone adek masih bagus Bu"
"Gak papa nak, nanti adek bicara dengan nak Rayhan ya, malam minggu katanya mau datang kesini bawa keluarganya"
"Apa Bu? Laki-laki itu datang kesini bawa keluarga? secepat itukah?" Aku terkejut bukan main, mengingat ini terlalu cepat. Ya ampun bukankah malam minggu juga Rangga mau datang kerumah menemuiku.
"Namanya Rayhan dek, ingat ya Rayhan Mandala" tiba-tiba hatiku begitu sesak. Tanpa terasa airmataku menetes membentuk anak sungai, rasanya aku tidak rela secepat ini akan dijodohkan dengan seseorang yang tidak aku kenal sama sekali.
"Ibu apakah kalian menjualku?" dengan terisak aku bertanya pada Ibu. Ibu langsung memelukku dan kurasa Ibu juga menangis tersedu sama sepertiku.
"Demi Allah kami tidak menjualmu atau menjadikanmu sebagai penebus apapun nak, tapi kita sudah berhutang nyawa, sudah berhutang budi. Kami tidak sanggup menolaknya nak ketika dengan sungguh-sungguh dia mengatakan pada kami kalau dia ingin menjadi imam mu" dengan masih terisak Ibu berkata padaku
"Tapi adek belum mengenalnya Bu, kami pernah bertemu sekali dan kelihatannya dia begitu angkuh" dengan melap air mata aku menjelaskan pertemuan pertama kami pada Ibu
"Coba buka hatimu nak, apalagi kalian baru bertemu sekali kan?" dengan sangat jelas Ibu mengatakannya padaku. Sebenarnya betul yang dikatakan Ibu kalau kami baru bertemu sekali dan itupun tidak lama.
Aku melepaskan pelukan Ibu, kembali menghapus airmataku yang mulai berhenti mengalir. Ingin juga aku bertanya pada Ayah tapi ku rasa pikiran ayah tentu sama dengan ibu. Aku perlu mencobanya meski sebenarnya hatiku belum begitu rela.
Bersambung
Hari ini adalah hari wisudaku, tidak ada yang paling pesial dalam hidupku selain nilai cumlaude serta kebanggaan dan kehormatan yang aku hadiahkan untuk kedua orang tuaku. Perjalanan serta perjuangan pendidikanku masih panjang, selanjutnya yang akan kuberikan adalah kebahagian lain nantinya yang lebih spesial yaitu "jadi dokter sesungguhnya'.
Au dan sahabat serta kawan seperjuangan lainnya tersenyum bangga dan bahagia hari ini. Momen ini tidak akan kulupakan dalam hidupku.
Azan subuh berkumandang dengan lantang di masjid samping rumah, dari luar kamar ku dengar beberapa langkah kaki berjalan tergesa. Pasti itu suara langkah kaki ayah dan ibu yang tergesa menuju masjid. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, pasti sebentar lagi pintu kamarku di ketok ibu untuk mengingatkan agar aku jangan telat shalat subuh.
Tok..tok..tok
"Dek, shalat ya nak" benar dugaan ku
"Iya bu" jawabku. Tidak lama kemudian aku dengar pintu depan dibuka serta di tutup kembali oleh kedua orang tuaku.
Aku bergegas ke kamar mandi,bersuci serta berwudu'. Setelah selesai di kamar mandi aku menunaikan shalat subuh, setelah selesai shalat aku berdo'a untuk diriku, kedua orang tuaku serta kelurgaku.
Setelah selesai shalat aku berbaring malas diatas tempat tidur, pikiranku menerawang kemana-mana. Aku ingat abang-abangku, ingat Rangga yang malam minggu akan bertamu ke rumah, dan yang membuat darahku berdesir aku ingat 'manusia' itu. Duh, kog ingat dia ya?
Tanpa sengaja aku melihat iPhone yang kemarin malam diberi ibu untukku, pasti ibu sudah meletakkannya di meja belajarku. Dan aku enggan menyentuhnya.
Aku mendengar pintu depan sudah dibuka, sepertinya kedua orang tuaku sudah pulang dari shalat berjamaah. Perlahan aku keluar kamar mau menemui ayah. Aku akan mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada ayah tentang 'manusia ' itu.
Aku melihat ayah meletakkan sajadahnya di rak tempat khusus sajadah serta pakaian shalat lainnya, perlahan aku mendekat dan berdiri disamping ayah. Ayah melihat ke arahku, sepertinya ayah tau aku ingin bicara dengannya.
"Ada apa dek?" ayah memulai percakapan ini duluan
"Hmm yah ada yang mau adek omongin?" aku melihat ekspresi ayah, sepertinya dia tidak begitu penasaran dengan hal yang ingin aku bicarakan.
"Ayok duduk dulu, ada apa ?" Ayah berjalan kearah sofa ruangan keluarga, dan aku mengekor dibelakangnya.
"Ayo bicara" ayah menyambung lagi kalimatnya. Jujur aku jadi agak sedikit ragu dan takut.
"Yah kenapa adek mesti dijodohkan?" ayah menatapku
"yah tolong dijawab" pintaku memelas
"Rea, kita ini manusia biasa yang butuh orang lain dalam kehidupan kita.Kalau kita dibantu orang seharusnya kita mesti berterimakasih.
Nak, hutang emas bisa dibayar, hutang budi dibawa mati.
Dia hanya memintamu menjadi istrinya, artinya dia akan menjadi imam mu serta bertanggungjawab penuh atas dirimu dunia dan akhirat. Ayah sudah memikirkannya, bahkan ayah sudah jauh hari menyelidikinya" Ayah menjelaskannya secara panjang lebar padaku, bahkan ayah memanggil nama asliku, sepertinya ayah sangat serius.
"Tapi yah.."
"Rea haruskah kami sebagai orangtua harus memohon padamu? ini demi kebaikan kita bersama nak" kali ini ayah menatapku dengan mata sendu.
"Iya yah" jawabku pelan
"Sebenarnya ayah tidak sampai hati memaksamu begini, tapi ini demi kebaikan kita bersama nak" ayah mendekat kearahku kemudian memelukku. Dan aku tidak lagi bisa membendung air mataku, aku menangius kencang dipelukan ayah, ayah mengusap punggungku.
"Kamu harus kuat dan sabar ya nak" kali ini aku mendengar suara ibu dan dia ikut memeluk kami berdua. Aku sayang ayah dan ibu.
Setelah adegan tangisan dengan kedua orang tua ku, aku mulai menerima perjodohan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka aku akan menerimanya.
Aku kembali masuk kemarku, mata ku masih terasa sembab karena menangis tadi.
Pikiranku masih mengambang, ini terlalu cepat. Seperti tiada ruang dan celah untukku lagi bernegosiasi dengan kedua orang tuaku. Aku mulai berpikir mengapa ayah dengan sangat mudah menerima semua ini? bahkan tadi ayah mengatakan telah 'menyelidiki'. Apa yang telah diselidiki ayah? ada apa ini? aku yakin ada sebuah rahasia yang tersirat disini, tapi rahasia apa? nanti aku akan mencari tahu.
Aku mendengar dering telpon, dengan malas aku meraih handphone ku yang ada diatas nakas. Nama abang kedua ku tertera manis dilayar, aku bersorak gembira. Aku langsung mengangkat serta menjawab handphone ku.
"Wa'alaikumsalam" dari sebrang sana aku mendengar ucapan salam, aku langsung cepat-cepat menjawab salam dari bang Arsya.
"Jadi kapan abang pulang?" aku bertanya padanya setelah dia bertanya tentang kabarku, kabar ayah dan ibu.
"Serius?horee...adek tunggu ya" kataku sambil melonjak gembira. Aku mendengar suara terkekeh disebrang sana. Bang Arsya menjelaskan padaku dia akan pulang besok. Aku sangat bahagia, bagaimana gak bahagia aku bakal punya temen dirumah. Teman belanja, teman curhat, teman kelahi.
Tidak lama kemudian bang Arsya menutup telponnya dan ku jawab dengan salam.
Setelah bang Arsya selesai menelpon aku keluar kamar menemui ibu. Ibu sedang sibuk didapur.
"Bu, besok bang Arsya pulang lho"
"oya? hati ibu senang mendengarnya, anak-anak ibu nanti semuanya akan berkumpul" kata ibu sumringah.
"Semuanya bu?" tanya ku penasaran
"Iya nak, kan sabtu ini acara lamaran kamu" Aku hanya diam mematung mendengar ucapan ibu, yang ada dalam pikiran ku adalah sebuah kalimat 'secepat itukah' berulang-ulang kali.
"Adek..jangan merenung ayo bantu ibu, ini tolong goreng ikannya"
"Iya Bu" Aku mulai memanaskan kuali dan memasukkan minyak didalamnya, hal ini sejak remaja aku sudah mahir melakukannya. Meski aku anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan ibu, tapi aku diajar untuk mandiri serta tanggungjawab oleh orangtuaku. Acara memasak untuk makan siang sudah selesai. Aku kembali ke kamar dan mengambil handphone, aku mencari nomor Putri. Aku ingin menelponnya. Beberapa kali aku menelpon Puti tapi gak di angkat, kemana tuh anak pikirku. Aku mencoba lagi tapi tetap gak diangkat, akhirnya aku me WA saja. Aku bilang ingin bertemu dengannya nanti sore di kafe depan kampus. Pesanku sudah terkirim tapi belum dibaca.
Setelah hampir satu jam Putri baru membalas pesan ku dan mengatakan "oke".
Hari menjelang siang, setelah shalat zuhur aku, ibu dan ayah makan siang bersama.
"Bu, yah nanti sore adek ketemuan sama Putri di kafe kampus"
"Jangan lama-lama ya nak, sore sering hujan" ujar ayah mengingatkan
"Iya ayah" aku mengangguk mengiyakan kalimat ayah.
Setelah makan siang dan beres-beres,aku pamit pada kedua orangtuaku. Tujuan pertamaku tentu kampus karena ada beberapa hal yang harus ku selesaikan. Setelah urusanku dikampus selesai aku menuju kafe kampus, tempat janjian ketemuanku dengan Putri.
Aku berjalan ke arah kafe kampus, setelah sampai di pintu kafe aku sudah melihat Putri sudah duduk manis disana.
"Assalamualaikum tuan putri" ucapku sambil tersenyum serta cipika-cipiki dengannya. Putri sangat senang dipanggil dengan sebutan 'tuan putri'.
Aku duduk disampingnya, setelah bertanya kabar masing -masing. Perlahan aku mulai cerita pada Putri tentang perjodohanku.
"What??? serius Re?' aku melihat ekspresi terkejutnya yang luar biasa.
"Kenapa?" tanya ku
"Terus lo terima gitu aja?"
"Ya gimana lagi Put, orang tuaku berutang budi padanya"
"terus Rangga gimana? bertahun cinta sama elo"
"Ya gimana lagi Put"
"Serius Kog aku yang jadi kecewa ya Re"
Aku menatap lurus kedepan, bicara tentang kecewa sebebarnya akulah yang paling kecewa dan terluka.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!