Suasana di salah satu SMA swasta di Jakarta teramat bising dengan suara sorak sorai dari semua murid kelas XII yang merasa sangat bahagia dengan pengumuman yang menyatakan semua murid telah dinyatakan lulus.
Kini beberapa siswa laki-laki maupun perempuan, terlihat sibuk mencoret-coret baju teman-teman mereka dan saling sign di atas baju putih yang sudah terlihat berwarna warni tersebut, akibat terkena semprotan pylox yang sudah sengaja mereka siapkan dari rumah.
Pemandangan tersebut berbeda dengan sepasang remaja yang tak lain adalah Qisya Anastasya dan Azriel Abraham yang saat ini tengah duduk berbagi keluh kesah di atas rumput di taman belakang kelas.
"Kenapa kamu hari ini terlihat tidak bahagia dengan kelulusan kamu ini Sya? Apa yang mengganggu pikiranmu saat ini? Bukankah ini yang selama ini kamu inginkan? Kamu ingin segera lulus dari sekolah agar kamu bisa cepat bekerja dan keluar dari rumah Bibimu yang selalu bersikap kasar kepadamu?"
Qisya menatap netra pekat sosok pria yang tak lain adalah Azriel Abraham yang sudah setahun menjadi kekasihnya.
"A-aku... aku bingung Zriel! Aku memang sangat bahagia dengan hari ini, tapi aku pun merasa sangat sedih karena kita mungkin nanti akan jarang bertemu karena kamu akan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Sedangkan aku akan sibuk bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhanku sendiri."
"Kamu pasti nanti akan bertemu dengan gadis-gadis cantik di kampusmu dan akan dengan mudah melupakan aku. Mungkin kamu menganggapku terlalu berlebihan, tapi aku sangat takut kamu akan berpaling dan meninggalkan aku."
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan bila sampai kamu meninggalkanku. Selama ini hanya kamu yang selalu menghiburku, kamu selalu ada saat aku merasa sedih karena perlakuan buruk dari keluarga Bibiku." Dengan mata berkaca-kaca Qisya menatap sendu kekasihnya.
Entah apa yang akan terjadi setelah aku keluar dari rumah Bibiku yang bagai neraka itu, tapi aku hanya mempunyai satu harapan dalam hidupku. Harapanku itu adalah aku bisa menikah dengan kamu Azriel Abraham, kamu adalah sosok pria terbaik yang pernah aku kenal.
Apakah suatu saat kita akan berjodoh? Aku tidak bisa membayangkan bila hidup tanpa dirimu karena aku selalu terbiasa dengan semua perhatianmu hingga tanpa aku sadari aku selalu hidup bergantung padamu. Aku takut kamu akan meninggalkanku.
Qisya hanya bisa menumpahkan segala rasa kekhawatirannya di dalam hatinya. Dengan perasaan tidak menentu, dia mencoba menguatkan hatinya.
Azriel menggenggam punggung tangan Qisya. Netra pekatnya, menatap lembut manik mata coklat milik gadis yang sangat di cintai nya itu. "Itu tidak akan terjadi Sya," Itu adalah panggilan sayang Azriel untuk gadis yang sudah setahun mengisi relung hatinya.
"Kita akan selalu bertemu meski kamu nanti akan sibuk bekerja dan pindah rumah, aku berjanji padamu akan cepat menyelesaikan kuliah dan akan menikahimu setelah aku mendapatkan pekerjaan. Meskipun nantinya aku akan meneruskan memimpin perusahaan Papa, tapi aku pun perlu membekali diriku ilmu yang cukup agar aku tidak membuat perusahaan Papaku bangkrut !"
"Kamu tahu sendiri kan kemampuanku? Dengan otak jeniusku ini, aku akan dengan cepat menyelesaikan kuliahku. Jadi percayalah padaku, jangan pernah berpikir buruk tentangku. Karena itu akan membuat beban di pikiranmu dan juga di pikiranku."
"Seharusnya kamu menerima saranku untuk kuliah dengan program beasiswa dari Universitas! Aku yakin dengan kepandaianmu, pasti kamu bisa melanjutkan pendidikan dengan beasiswa."
Qisya menggelengkan kepalanya, andai dia adalah gadis gampangan, mungkin dia bisa menerima bantuan dari pacarnya itu yang pernah bilang akan membayarkan biaya pendaftaran untuk kuliahnya. Namun dirinya sama sekali tidak suka mendapat bantuan cuma-cuma dari orang lain meskipun itu dari seseorang yang sangat dicintainya.
Setiap hari mendapat cacian dan hinaan dari keluarga adik almarhum ayahnya, tentu saja membuat pikirannya sangat merasa tertekan. Selalu kata-kata kasar yang menyebutnya anak pembawa sial, parasit, bahkan lebih parah lagi di sebut anak tidak tahu balas budi karena hidup selalu menyusahkan orang lain.
Meski Qisya tahu bahwa dia tinggal di rumah bibinya tersebut tidak pernah diam berpangku tangan karena dia selalu membantu bibinya dengan memasak, membersihkan rumah, mencuci piring bahkan mencuci pakaian keluarga bibinya.
Hidupnya di sana tak ubahnya seperti pembantu yang mendapatkan upah dengan makanan yang dia makan dan juga biaya sekolahnya selama ini. Hal itulah yang membuatnya ingin cepat lulus sekolah agar bisa bekerja dan mencari tempat tinggal sendiri untuk dia tempati.
Rasa sabar yang selama ini dia tanamkan pada dirinya juga ada batasnya, mungkin dia harus menunggu satu bulan lagi agar bisa mengumpulkan uang setelah mendapatkan pekerjaan.
Mendengar kata-kata dari cowok tampan berkulit putih dan mempunyai badan yang sixpack meski usianya masih sangat muda, membuat Qisya merasa bahagia dan berbunga-bunga.
Namun Qisya menghela nafasnya dengan kasar, suaranya seolah tercekat di tengah tenggorokan menandakan beban berat yang di tahannya selama ini seolah membuatnya merasa tidak sanggup menjalani kehidupannya sendiri bila sampai Azriel meninggalkannya dan tidak memenuhi janjinya.
"Benarkah apa yang kamu katakan Zriel? Tapi aku tidak mau membebanimu, apa kata orang tuamu nanti bila kamu membiayai kuliahku? Aku tidak sanggup menerima penghinaan lagi, karena aku sudah kenyang dengan semua caci maki dari Bibiku yang mengatakan aku hanyalah benalu yang menyusahkan hidup mereka."
"Dan aku tidak mau orang tuamu berpikir seperti itu, karena aku ingin berjuang sendiri dan aku akan membuktikan pada semua orang termasuk saudara almarhum Ayah, bahwa aku bisa menjadi orang sukses tanpa bantuan siapapun!" Dengan penuh semangat, Qisya menunjukkan tekadnya agar Azriel mau mendukung keputusannya.
"Tentu saja Sya, aku janji padamu. Aku tahu kamu tidak akan mau menerima bantuanku, meskipun aku merayumu sampai mulutku berbuih. Jadi aku akan mendukung semua keputusanmu itu! Oh ya Sya, daripada kita diam disini, lebih baik kita jalan-jalan ke mall yuk! Hari ini aku akan mentraktirmu, pilihlah apapun yang ingin kamu beli karena aku yang akan membayarnya!"
"Anggap saja ini sebagai ucapan selamat dariku atas kelulusanmu dan hari yang paling kamu tunggu. Bagaimana, apa kamu setuju?" Azriel menanti jawaban dari gadis yang berada di depannya dengan menampilkan wajah puppy eyesnya.
Melihat wajah Azriel yang memelas, membuat senyum langsung terbit dari wajahnya yang dari tadi terlihat muram, "Apaan sih... lebay banget dech! Cowok nggak pantes tahu memasang wajah seperti itu!"
Qisya bangkit berdiri dan menepuk bagian belakang rok abu-abu yang dipakainya karena sedikit kotor. "Kenapa diam saja? Katanya mau ngajakin aku jalan-jalan, ayo!" Qisya yang sudah berdiri menjulang, menatap cowoknya yang masih tidak bergeming dari duduknya.
"Eh... aku nggak nyangka aja kamu langsung setuju aku ajakin, biasanya kan butuh banyak perjuangan untuk bisa mengajakmu jalan. Biasanya kan susah banget kamu, aku ajakin jalan dengan alasan nggak enak sama bibi kamu."
Azriel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil cengengesan karena malu dengan dirinya yang terkesan lemot alias lemah otak saat berada di samping pacarnya yang sangat cantik itu.
"Ini kan hari bahagiaku, jadi hari ini aku ingin benar-benar bersenang-senang tanpa memikirkan keluarga itu. Anggap saja jalan-jalan kita ini menebus hari-hari yang pernah aku tolak dulu. Jadi mari kita bersenang-senang hari ini!"
Dengan sedikit bersenandung, Qisya melangkahkan kakinya berjalan meninggalkan Azriel yang masih berdiri terpaku menatap kepergiannya.
"Kok kamu malah ninggalin aku sih Sya!" Azriel berlari kecil menyusul Qisya yang sudah berada jauh di depannya.
"Salah sendiri kamu dari tadi diam aja, ya aku tinggal dech!" Qisya sedikit terbahak sehingga menampilkan giginya yang sangat rapi.
Azriel yang sudah berjalan sejajar dengan Qisya, refleks menarik hidung mancung pacarnya karena saking gemasnya saat melihat senyuman manis yang keluar dari bibir perempuan yang sangat disayanginya itu, seraya bergumam di dalam hati.
Melihatmu tertawa lepas seperti ini, membuat mu semakin terlihat cantik Qisya Sayang, semoga besok adalah hari pertama kamu bisa meraih kebahagian yang selama ini kamu mimpikan.
Aku akan selalu berada di sisimu dan aku berjanji akan segera menikahimu setelah aku bisa menghasilkan uang, karena aku akan bertanggung jawab sepenuhnya padamu dan akan membuatmu bahagia, batin Azriel.
"Aauuw... sakit tahu!" Qisya mengusap hidungnya yang kini telah berubah merah.
"Eh... maaf-maaf Sayang, aku nggak sengaja. Habisnya kamu gemesin banget sih!" Azriel menaruh kedua tangannya yang sudah menyatu tepat di depan wajah Qisya untuk memohon maaf.
"Kalian berdua mau kemana? Enak ya dari tadi mojok di belakang nggak inget sama kita-kita! Eh... baju kalian masih sama-sama bersih, harusnya gue semprot kalian tadi dengan menyusul kalian di belakang, tapi saking semangatnya sampai tadi gue kelupaan!"
Adi Putra menepuk bahu Azriel, begitupun dengan Rizki Nugraha yang menyusul di sampingnya yang tak lain adalah sahabat baik Azriel.
"Awas aja kalau sampai Lo berani macam-macam ama gue dan cewek gue, bisa-bisa muka Lo pada babak belur karena gue habisin!"
Azriel berpura-pura memasang wajah sangar untuk menakuti para sahabatnya, namun yang ada ancamannya hanya di sambut dengan cengiran dari kedua sahabatnya.
"Galak amat Lo Zriel, nggak malu apa dilihatin Qisya. Bisa-bisa si Qisya ilfil lagi ama Lo! Iya nggak sya?" Rizki mengedipkan matanya pada Qisya, namun refleks Azriel menjitak kepalanya.
Qisya hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tiga cowok lebay yang ada di depan nya. "Gue sudah hafal dengan semua kelakuan Azriel, jadi nggak mungkin lah gue ilfil ama cowok gue sendiri."
"Yang ada malah makin sayang, apalagi hari ini dia mau ngajakin gue jalan-jalan dan bayarin apapun yang ingin gue beli! Udah ah, kalian jangan ganggu waktu kita kencan! Lebih baik kalian buruan cari pasangan, biar nggak jadi jomblo selamanya!"
Qisya menjulurkan lidahnya pada sahabat cowoknya. Dan di balas sumpah serapah yang sama sekali tidak didengarnya, lalu menggandeng tangan Azriel dan segera pergi ke parkiran.
"Pakai helmnya dulu Sya!"
Azriel menyerahkan helm berwarna pink yang selalu dibawanya untuk di gunakan pacarnya. Dan dia sendiripun memakai helmnya yang berwarna hitam dan mulai menstarter motornya.
Dengan hati-hati, Qisya naik ke atas motor sport milik Azriel. Karena memakai rok, tentu saja membuatnya sedikit kesusahan naik ke atas motor. Setelah berhasil mendaratkan tubuhnya di atas motor, Qisya berpegangan erat pada pinggang Azriel.
Karena Qisya tidak ingin kejadian dulu terulang kembali saat dirinya hanya sedikit berpegangan pada baju Azriel, namun cowoknya itu malah semakin melajukan kendaraannya, sehingga membuatnya hampir jatuh dan refleks berpegangan erat pada pinggang Azriel.
Senyum merekah terpancar di wajah Azriel, "Good Girl, jangan sampai kamu lepas pegangannya Sya! Karena aku nggak mau kamu jatuh nanti!"
Setelah mendapat jawaban dari Qisya, Azriel pun menjalankan motor sport miliknya keluar dari halaman sekolah.
Sedangkan di depan ruangan kelas, "Gue sumpahin kalian nanti bakalan putus dan jadi jomblo seperti kami!" Adi bersungut-sungut sambil mengerucutkan bibirnya.
"Gila lo Di, pakai nyumpahin mereka segala! Gimana kalau mereka beneran putus? Untung aja Azriel nggak denger tadi, bisa abis muka Lo kena tinjunya bila dia sampai marah."
"Alah... gue cuma bercanda, lagian nggak mungkin mereka putus. Sekarang aja keduanya udah kayak lem ama perangko gitu, maunya nempel mulu."
"Semenjak Azriel jadi pacarnya Qisya kan, dia jadi jarang banget kumpul ama kita. Tapi gue penasaran juga gimana jadinya kalau mereka sampai putus? Kira-kira siapa ya yang bakal lebih patah hati di antara mereka?" Rizki bersedekap dada sambil memikirkan perkataannya.
"Kok malah Lo yang memikirkan kemungkinan mereka putus? Tapi gue pun juga tidak bisa membayangkan bila itu terjadi, secara kan Azriel cinta mati ama Qisya, begitupun juga sebaliknya. Auu... ahh gelap. Daripada pusing mikirin mereka, lebih baik kita jalan aja ke Mall. Siapa tahu kita bisa bertemu dengan Azriel, jadi kita bisa merecoki mereka nanti."
Senyum devil terpancar jelas dari raut wajah Adi dan disambut dengan seringai yang sama dari Rizki. Keduanya pun berjalan beriringan ke parkiran mengambil motor sport Ninja ZX-25R miliknya yang sama diantara mereka bertiga hanya warnanya saja yang membedakannya.
Motor sport Milik Azriel berwarna merah sedangkan milik Adi berwarna hitam dan Rizki berwarna hijau. Ketiganya memilih membeli motor yang sama karena memiliki selera yang sama dalam hal kendaraan. Tanpa menunggu lama, keduanya melajukan motornya meninggalkan halaman sekolah dan berlalu membelah kemacetan kota Jakarta.
Bersambung ...
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, Qisya dan Azriel kini telah tiba di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Setelah memarkirkan motornya, Azriel menggandeng tangan pacarnya memasuki mal tersebut.
Kehadiran mereka berhasil membuat semua pengunjung melihat ke arah mereka. Merasa dirinya dan pacarnya menjadi pusat perhatian orang, Qisya tentu saja merasa risih dengan tatapan beberapa orang yang menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.
Kenapa semua perempuan melihat ke arah kami, kayak nggak pernah lihat cowok ganteng aja. Memang begini resiko punya cowok yang gantengnya minta ampun, aku harus banyak bersabar. Kalau aku tidak sabar mungkin aku sudah mencolok mata mereka satu persatu!
Setelah puas mengumpat di dalam hati, Qisya beralih menatap ke arah pacarnya tampannya tersebut.
"Kamu ngerasa nggak sih, kayaknya semua orang menatap kita. Apa ada yang salah dengan penampilanku atau mungkin kamu yang terlalu tampan hingga banyak perempuan yang menatapmu dengan tatapan menggoda dan menatapku dengan tatapan penuh kebencian?"
"Kamu sih... jadi cowok ganteng banget, jadi banyak mata kaum hawa yang terpesona saat melihatmu kan? Kalau kamu nggak pakai seragam sekolah kayak gini, pasti semua cewek-cewek mengira kamu adalah anak kuliahan karena postur tubuh kamu aja boros kayak gini!"
Qisya mengamati penampilan pacarnya yang mempunyai body ideal tinggi besar, idaman setiap cewek seraya menunjuk tubuh Azriel dari atas sampai ke bawah.
Azriel tersenyum menyeringai, "Boros... ?!Badan aku emang udah perfect semenjak aku lahir tau! Bisa aja kamu mujinya Yang... ! Jadi secara tidak langsung kamu sekarang mengakui kalau aku ini cakep kan?"
"Kenapa baru sekarang kamu mengakuinya, apa karena kamu merasa tersaingi dengan para perempuan yang tadi melihat ke arahku itu? Tenang saja Sya, tidak ada satu pun perempuan yang akan menarik perhatianku selain kamu. Harusnya kamu menyadari pesona dirimu sendiri."
"Kamu sangat cantik, aku beruntung banget bisa menjadi laki-laki paling berarti di hatimu. Sekarang kita cari pakaian ganti dulu, tidak mungkin kan kita menghabiskan waktu seharian di mall ini dengan memakai seragam seperti ini?"
Azriel melangkahkan kakinya dengan posisi tangannya masih menggenggam erat tangan Qisya memasuki sebuah butik langganan mamanya.
"Kalau aku jelek, nggak mungkin kamu bakal tergila-gila padaku seperti ini hahah..." Qisya tertawa riang serta mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Azriel, sambil mengamati butik mewah tersebut.
"Kamu semakin hari jadi tambah nakal ya Sya, bikin aku jadi makin cinta aja!" Azriel mengacak rambut Qisya sehingga terlihat sedikit berantakan.
"Gombal aah... tapi aku suka gombalan mu itu! Tapi jangan buat rambut aku berantakan juga kali!" Qisya bergelayut manja pada Azriel.
Kenapa dia malah mengajakku ke sini? Pasti semua baju di sini harganya mahal-mahal, kasihan juga nanti uangnya bisa habis buat bayarin baju aku. Tapi aku pun tidak memungkiri bahwa saat ini jiwa miskin ku sedang meronta-ronta, ingin sekali-sekali membeli pakaian di butik ternama seperti di sini. Arrgh...apa yang harus kulakukan?
Setelah cukup lama bertarung antara sisi putih dan sisi hitam di dalam dirinya, akhirnya Qisya memutuskan untuk mengikuti kata hatinya. Yah... sekali-sekali dia pun ingin memanjakan dirinya dengan menerima pemberian dari pacarnya itu. Akhirnya Qisya hanya menurut saat Azriel memilihkannya baju.
Qisya mendekat ke arah pacarnya, dia pun berjinjit berniat berbisik pada cowok yang tengah sibuk memilih-milih baju.
"Zriel, bukannya di sini mahal-mahal banget ya bajunya? Aku sih seneng-seneng aja kamu beliin, tapi aku nggak mau kantong kamu nanti jebol gara-gara aku!"
Azriel terbahak mendengar perkataan ambigu Qisya yang di anggap nya sangat lucu, meski tahu arti dari perkataan gadis itu namun dia dengan santai tetap melanjutkan perbuatannya.
"Kamu tenang aja Sya, kantong aku nggak bakalan jebol kok, karena jahitannya kuat banget!"
"Iih...apaan sih, pakai pura-pura nggak tahu segala lagi! Terserah kamu aja lah, kalau uang kamu habis gara-gara beliin aku baju maka aku nggak tanggung jawab ya! Kali ini aku akan menguras habis isi dompet kamu, jangan sampai kamu menyesalinya!"
Sambil memanyunkan bibirnya, Qisya masih mengomel tidak karuan di depan cowok yang sama sekali tidak memperdulikan celotehannya.
"Hari ini aku memang akan membuatmu senang Sya, kapan lagi kamu bersedia menerima pemberianku. Sebelum kamu berubah pikiran, jadi aku akan membelikan apapun yang kamu minta hari ini. Sebelum itu, kamu ganti seragam kamu dulu giih...!"
"Nih... pakai baju ini, kelihatannya kamu akan cantik bila memakai gaun ini. Aku pun juga akan mengganti bajuku di ruang ganti." Setelah menyerahkan gaun di tangan Qisya, Azriel berjalan ke ruang ganti.
Sedangkan Qisya membulatkan matanya saat melihat gaun berwarna pink yang panjangnya selutut dengan aksen bunga tulip dan terdapat pita di bagian pinggang sebelah kanannya. Warna pink adalah warna yang paling tidak di sukai nya, karena menurutnya itu adalah warna kekanakan yang juga di anggapnya sangat norak.
Astaga...kenapa Azriel memilihkan ku gaun berwarna pink sih! Seharusnya dia kan tahu, aku selama ini tidak pernah memakai baju berwarna pink karena warna itu kan norak banget. Tapi tidak mungkin juga aku mengecewakannya, dia pasti akan sangat kecewa bila aku menolak memakai baju ini. Apa boleh buat, mau tidak mau aku harus memakainya karena aku tidak ingin membuatnya kecewa.
Setelah menimbang-nimbang keputusannya, Qisya berjalan ke ruang ganti dan memakai gaun yang sangat tidak di sukainya itu. Tak butuh waktu lama baginya, kini Qisya keluar dari ruang ganti dan berjalan dengan kikuk karena merasa tidak nyaman memakai gaun.
Mungkin karena selama ini dirinya selalu memakai celana jeans dengan kaos casual, karena dirinya pun memang tidak menyukai memakai gaun, selain itu ia tidak mungkin mampu membeli sebuah gaun karena tidak mempunyai uang karena bibinya tidak pernah memberinya uang saku.
"Wah... cantik banget kamu memakai gaun ini!" Azriel tampak terpukau karena begitu terpesona saat pertama kali melihat penampilan Qisya yang memakai gaun pilihannya. Karena selama ini dirinya selalu melihat pacarnya itu hanya memakai celana jeans dan kaos casual saat pergi dengannya.
"Tapi ada satu yang kurang kayaknya" Azriel yang memegang dagunya saat mengamati penampilan gadis di depannya itu, lantas berjalan mendekati Qisya yang masih diam di posisinya.
Kini posisinya hanya berjarak beberapa centi dari gadis itu, perlahan dia pun memajukan wajahnya sehingga dagunya menyentuh pundak Qisya, lalu tangannya melepas tali yang mengikat rambut panjang Qisya.
Apaan sih Azriel, bikin jantungku deg-degan saja. Kirain dia mau nyium aku di tempat umum seperti ini. Arrrh... dasar mesum ! Bisa-bisanya aku berpikir dia mau mencium ku tadi, bikin malu saja. Untung tadi aku diam saja, kalau aku mengomel bilang tidak mau dicium, yang ada aku jadi nggak punya muka lagi di depannya.
Setelah sibuk ber-agumen di dalam hati, Qisya menatap Azriel yang masih berada di depannya memperhatikan sepatu yang saat ini di pakainya.
"Kenapa kamu terus memandang sepatu aku, jelas aja sepatuku nggak cocok dengan gaun ini. Makanya, lebih baik aku cari baju lain aja ya Zriel!" Dengan mata penuh permohonan, Qisya menatap Azriel berharap cowoknya itu mau berubah pikiran.
Azriel menatap Qisya lalu menggelengkan kepalanya, "No...no, lebih baik aku belikan kamu sepatu yang sesuai dengan gaun ini. Hari ini kamu nurut aja sama aku, oke! Aku bayar dulu ke kasir, kamu tunggu aja di depan!"
Merasa percuma berdebat dengan kekasihnya yang tidak membuahkan hasil, akhirnya Qisya hanya menurut saja. Setelah membayar di kasir, Azriel langsung menghampiri gadis yang sudah menunggunya itu lalu mengajaknya pergi membeli sepatu yang cocok dengan gaun Qisya.
Hari ini keduanya menghabiskan waktu bersama dengan bersenang-senang. Setelah membeli sepatu untuk Qisya, Azriel mengajak gadisnya makan di food court. Lalu membelikan es krim yang sempat di minta oleh pacarnya tersebut dan berkeliling ke stand-stand yang ada di mall dengan sesekali di selingi gurauan dan candaan dari keduanya.
"Terima kasih untuk semuanya hari ini pacar, aku sangat bahagia. Bahkan hari ini aku sudah menguras isi dompetmu!" Qisya tersenyum lebar dengan mata berbinar saat menatap beberapa paper bag yang saat ini di pegang Azriel.
"Tapi aku harus pulang sekarang, ini sudah jam 4 sore. Bibi pasti akan marah-marah lagi karena aku pulang terlambat hari ini, api aku sudah siap lahir batin kok dengan omelannya hari ini."
"Biar nanti aku yang bilang pada bibimu itu! Kalau perlu, aku nanti akan meminta maaf padanya karena membuatmu pulang terlambat ! Ayo, aku akan mengantarkan mu pulang!"
Azriel menggandeng tangan Qisya keluar dari Mall menuju basemen dimana motor sportnya berada, lalu melajukan kendaraan roda duanya itu membelah kemacetan sore hari ibu kota.
Tak butuh waktu lama, kini keduanya sudah tiba di depan gerbang rumah sederhana berwarna biru tua yang terletak di sebuah gang sempit. Azriel mematikan mesin motornya dan turun dari motor setelah Qisya duluan turun seraya melepas helm yang di pakai gadis itu.
"Kamu pulang aja Zriel, aku nggak mau kamu kena omelan dan cacian dari bibiku. Kalau aku kan udah biasa menerima penghinaan dari bibi tapi kamu nanti akan merasa ilfil padaku setelah melihat sifat asli keluargaku. Aku nggak mau bila itu sampai terjadi, aku mohon kamu balik aja ya!"
Qisya mengatupkan kedua tangannya di depan wajah Azriel sambil memasang wajah puppy eyesnya. Biasanya cara ini selalu berhasil untuk merayu cowoknya itu, dan dia pun berharap kali ini Azriel mau menuruti permintaannya.
"Kamu selalu saja membuatku tidak berdaya dengan wajahmu itu Sya, sebenarnya aku ingin membelamu di depan bibimu tapi kamu selalu saja seperti ini. Selalu menolak saat aku ingin berbicara dengannya, kali ini aku turuti kemauanmu. Tapi lain kali, aku nggak akan lagi mau menurutimu ! Baiklah... kalau begitu aku balik dulu, kamu jaga diri kamu baik-baik ya!"
"Kalau bibi mu berbuat kasar kepadamu, kamu langsung hubungi saja aku. Aku akan mencarikanmu tempat kos bila dia berbuat jahat padamu! Aku pun harus buru-buru pergi karena ada janji sama Adi dan Rizki, sebenarnya tadi mereka menghubungiku katanya ingin menyusul kita. Namun aku melarang mereka mengganggu kencan kita, tapi mereka minta aku menemui mereka di tempat biasa."
"Iya, udah buruan sana balik, jangan buat mereka kelamaan nunggu. Aku juga mau masuk!" Qisya mengibaskan tangannya, seolah ingin cepat mengusir Azriel.
"Oke sayang, aku jalan dulu ya!" Azriel lalu menghidupkan mesin dan melajukan motor sport miliknya meninggalkan Qisya yang masih diam menatap kepergiannya.
Raut wajah yang tadinya ceria kini berubah muram.
"Haah... saatnya kembali ke dunia nyata!"
Qisya menghela nafas kasar, lalu beralih berjalan memasuki rumah. Tangannya dengan ragu membuka kenop pintu, lalu beranjak masuk ke dalam rumah dan melihat bibinya sedang menatap tajam dengan sinis ke arahnya.
Kenapa mak lampir ini ada di situ? Tidak biasanya dia duduk santai di sana? Apa dia sengaja menungguku pulang? Tapi kenapa? Biasanya dia tidak pernah perduli aku pulang jam berapa, asalkan aku tidak pulang malam. Tumben juga rumah ini sepi, biasanya ada suara Alya yang selalu berisik. Dimana gadis cerewet itu?
"Tante, maafin Qisya pulang telat, karena hari ini Azriel ngajakin aku jalan untuk merayakan kelulusan kami."
Qisya masih berdiri di sebelah wanita berbadan gemuk dengan wajah yang masih terlihat cantik meski sudah berumur 45 tahunan yang tak lain adalah Martha Arifin adik dari ayah kandungnya Prastio Arifin.
Martha mengamati beberapa paper bag yang saat ini tengah di bawa keponakannya.
*Dasar keganjenan, dia pasti tadi merayu pacarnya itu agar mau membelikannya barang-barang yang dia inginkan! Atau dia sudah memberikan tubuhnya pada Azriel, hingga laki-laki itu memberikan apapun yang dia mau.
Tidak salah bila aku menjualnya untuk biaya pengobatan putriku, anggap saja itu sebagai ganti aku menampungnya di sini setelah kakak meninggal. Tapi dia tidak boleh tau yang sebenarnya jadi aku harus berbohong padanya*!
Setelah asyik dengan lamunannya, Martha berbicara pada Qisya.
"Duduklah, Tante mau bicara sesuatu padamu!" Dengan tatapan yang tajam dan sinis, Martha menatap Qisya yang berdiri di sebelahnya. Lalu mengarahkan dagunya ke arah kursi memberi perintah pada keponakannya yang masih tak bergeming di tempatnya.
Qisya lalu duduk di kursi berhadapan dengan Martha.
Kenapa perasaanku merasa tidak enak begini? Tidak biasanya bibi mengajakku bicara serius seperti ini. Males banget sebenarnya memanggilnya dengan sebutan tante.
Orang miskin seperti kami, tidak pantas sekali menyebut panggilan bibi dengan sebutan tante. Tapi daripada aku harus mendengar omelan nya karena dia selalu marah bila aku memanggilnya dengan sebutan bibi yang di nilainya tidak cocok untuknya karena itu lebih terdengar seperti memanggil seorang pembantu di keluarga-keluarga kaya raya seperti sinetron yang sering dia tonton.
Qisya bertanya-tanya di dalam hatinya, namun tidak menemukan jawabannya. Lalu ia memutuskan untuk menanyakannya langsung pada tantenya tersebut.
"Sebenarnya apa yang tante ingin bicarakan padaku, apa itu adalah sesuatu yang penting?"
Qisya menatap Martha di depannya yang hanya terhalang sebuah meja kayu usang yang menghiasi ruang tamu kecil berukuran 2 meter itu. Pandangan matanya beralih menatap sebuah koper yang sangat di kenalnya ada di depan ruangan kamarnya yang tak jauh dari ruang tamu.
"I-itu... bukankah itu koper aku Tan? Jadi Tante mau mengusirku saat aku baru lulus dari sekolah hari ini? Apa masih belum cukup Tante menghinaku selama ini, harusnya Tante sedikit lebih bersabar menunggu sampai aku berhasil menemukan pekerjaan. Setelah aku bekerja dan bisa menghasilkan uang sendiri, aku akan langsung meninggalkan rumah ini. Aku tidak akan lagi menyusahkan kalian, tapi tidak sekarang. Tunggu sekitar satu bulan lagi, dan Tante boleh mengusirku."
Qisya berbicara dengan nada sedikit emosi dengan deru nafas yang memburu seolah sikap hormatnya kepada seseorang yang lebih tua darinya sama sekali hilang dari akal sehatnya, lalu dengan kasar dia pun menghembuskan nafasnya.
"Dasar gadis tidak tahu sopan santun! Dimana sopan santun mu berbicara kepada orang yang lebih tua hah...! Apa begini cara Kakakku mendidik mu? Pantas saja ibu kandungmu meninggalkanmu, kau memang tak jauh bedanya dengan wanita murahan itu. Setelah menggoda kakakku yang polos, ibumu meninggalkannya, juga anaknya sendiri karena tidak mau hidup susah bersama kami."
"Bahkan dia tidak mau membawa anaknya sendiri karena takut akan menyusahkan nya, mungkin saat ini ibumu itu sudah menjadi seorang pelacur hingga tidak pernah menampakkan batang hidungnya disini. Bahkan mungkin dia sudah tidak ingat pernah melahirkan mu!"
"Dan sekarang kamu ingin menyusul jejak ibumu bukan? Karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, kamu pasti sudah menjual tubuhmu itu pada pacarmu yang kaya itu kan? Bahkan hari ini kamu pulang dengan membawa banyak barang, dan pakaian yang saat ini kau pakai itu. Pasti dia yang membelikannya setelah menikmati tubuhmu itu!"
"Harusnya kamu berterima kasih kepadaku karena mulai hari ini aku mencarikan mu pekerjaan dan kamu akan mendapatkan banyak uang, jadi bisa hidup senang di luaran sana. Sebentar lagi ada orang yang akan menjemputmu, jadi lebih baik kamu pergi mandi dan bersiap-siap!"
"Aku sudah muak melihat keberadaanmu disini, sudah cukup aku berbaik hati dengan menampungmu di sini selama ini. Jadi sekarang lebih baik kamu menuruti perintahku dan jangan membantah ataupun banyak bertanya, kamu akan senang di tempat barumu itu!"
Setelah berbicara dengan penuh emosi, Martha memelankan nada suaranya saat menyuruh Qisya agar mau menuruti perintahnya.
Saat fikirannya masih sangat syok dengan kenyataan yang sebenarnya tentang ibu kandungnya yang telah tega meninggalkannya, Qisya masih harus menerima kenyataan di usir dari rumah keluarga satu-satunya dan di tuduh telah menjual kehormatannya.
Kenapa Ayah tidak pernah menceritakan yang sebenarnya kepadaku tentang Ibu, jadi ini rahasia besar yang di tutupi Ayah dariku?
Bahwa Ibu meninggalkan kami karena tidak bisa hidup susah bersama Ayah, hingga tega meninggalkan putri kandungnya sendiri! Apa kata-kata Tante Martha bisa di percaya? Ataukah dia hanya membohongiku hanya untuk menyakiti perasaanku?
Tapi tidak mungkin dia mengada-ngada karena selama ini dia tidak pernah mengungkit perihal Ibu. Tapi karena sedang emosi, jadi dia keceplosan membuka rahasia yang selama ini di simpan Ayah dariku. Mungkin Ayah tidak ingin membuatku sedih, bila aku mengetahui kenyataan yang sebenarnya dan Ayah memang benar.
Setelah aku mendengar cerita yang sesungguhnya tentang Ibu, membuatku seperti kehilangan arah. Bagaimana aku bisa hidup dengan tenang dan bahagia saat mengetahui kenyataan bahwa Ibu kandungku sendiri pun tidak menginginkan kehadiranku.
Bagaimana mungkin aku berharap tante Martha akan senang hati menerimaku, sedangkan Ibuku sendiri membuangku. Cerita yang selalu ingin aku dengar dari Ayah, kini malah membuatku merasa menyesal telah mendengarnya.
Qisya masih terdiam dengan pikiran yang saat ini tengah berkecamuk di dalam otaknya. Belum selesai dia menelaah semua perkataan Martha, namun suara wanita itu membuyarkan lamunannya.
"Kamu tidak perlu terlalu banyak memikirkan tentang ibu kandungmu, buat apa kamu memikirkan wanita itu. Lebih baik sekarang kamu menuruti perkataanku, cepatlah bersiap-siap karena orang yang menjemputmu akan tiba setengah jam lagi." Martha meletakkan ponsel jadulnya ke saku rok panjangnya setelah melihat satu pesan yang masuk.
"Asal Tante tahu, aku tidak akan pernah menjual kehormatanku meski aku harus menahan lapar. Aku lebih memilih mati daripada harus menjual diri! Sebenarnya siapa orang yang yang akan menjemputku Tante? Dan memangnya aku mau di bawa kemana dan bekerja sebagai apa?"
"Aku berhak tau karena ini juga menyangkut hidupku Tan! Aku tidak bisa menerima sembarang pekerjaan, karena aku bisa mencari pekerjaan sendiri. Aku akan keluar dari rumah ini. Jadi tante tidak usah khawatir, setelah aku bekerja dan mendapatkan gaji pertamaku, maka aku akan segera mencari tempat kos untuk aku tinggali."
Martha seketika terbahak mendengar penjelasan dari Qisya, senyum mengejek dia tunjukkan kepada keponakannya itu.
"Kamu pikir semudah itu mencari pekerjaan? Kamu hanya lulusan SMA dan ijazahmu saja juga belum keluar, memangnya siapa yang mau menerimamu bekerja? Hidup di kota besar tidak semudah membalik telapak tangan, disini semuanya membutuhkan uang dan juga koneksi."
"Sedangkan kau cuma anak ingusan yang tidak mempunyai keduanya, lalu berusaha untuk menggurui Tantemu yang sudah banyak makan asam garam kehidupan."
"Setelah kamu banyak belajar mengenai kehidupan, maka kamu akan mengerti bagaimana susahnya mencari uang. Dan kamu sok-sok'an ingin hidup mandiri saat tidak memiliki pengalaman apapun! Hah... lucu sekali!"
Masih dengan tatapan mengejek, Martha memandang Qisya yang masih menatapnya dengan tatapan rasa ingin tahu.
"Tapi Tante, aku harus tahu sebelum aku mengikuti orang yang sama sekali tidak aku kenal sebelumnya!" Qisya berusaha mencari tahu pekerjaan apa yang sebenarnya akan dia lakukan.
"Kamu akan bekerja di sebuah Bar terkenal dengan gaji yang sangat besar, semua biaya hidup dan tempat tinggalmu akan di tanggung oleh mereka. Jadi kamu tidak perlu memusingkan biaya hidupmu lagi, kamu hanya perlu bekerja dan menuruti semua perintah atasanmu. Mudah bukan?"
Tubuh Qisya mendadak lemah lunglai, bagai di sambar petir mendengar perkataan yang dengan mudahnya keluar dari mulut tantenya itu. Merasa tidak percaya bagaimana mungkin saudara dari ayah kandungnya dengan teganya menyuruhnya bekerja di tempat terkutuk yang sama sekali tidak pernah ada di pikirannya.
"A-apa Tan, bekerja di bar?! Apa Tante sadar bar itu tempat apa?! Banyak orang yang menjual diri di sana dengan berkedok hanya sebagai pelayan di bar dan Tante menyuruhku bekerja di sana? Bukankah Tante juga mempunyai anak perempuan?! Bagaimana bila Alya mengalami hal yang sama seperti diriku?"
"Apa Tante bisa menerima Alya bekerja di sebuah bar? Bahkan umur kami hanya selisih satu tahun saja. Kami berdua tidak ada bedanya, bukankah Tante bisa menganggapku seperti anak Tante sendiri?"
"Bagaimana bisa, dengan mudahnya Tante menyuruhku bekerja di sana! Tidak Tan, aku tidak mau! Lebih baik aku pergi dari sini dan tidak akan lagi menyusahkan kalian semua!"
Qisya buru-buru beranjak dari kursi dan melangkah mengambil koper yang berada di depan kamarnya. Namun lagi-lagi perkataan Tantenya, kembali membuatnya menghentikan langkahnya yang sudah sampai di dekat pintu.
"Justru aku melakukan ini semua demi putriku, jika kamu menganggap kami keluargamu dan jika kamu benar-benar menyayangi Alya maka tolonglah kami."
"Hanya kamu satu-satunya orang yang bisa menolong Alya dari penyakit Leukimia yang di dideritanya, dia akan meninggal bila kami tidak bisa membayar biaya operasinya."
"Dia di vonis dengan penyakit Leukimia dan harus segera mendapatkan Transplantasi sel punca atau cangkok sumsum tulang yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Belum lagi untuk biaya Kemoterapi dan biaya obat-obatan yang harus selalu di konsumsi Alya."
"Anggap saja ini sebagai balas budimu atas kebaikan kami merawatmu selama satu tahun ini setelah ayahmu meninggal. Berkorbanlah sedikit untuk keluarga ayahmu Sya, bukankah saatnya kamu membalas kebaikan kami?"
"Apa kamu tidak menyayangi Alya? Bukankah kamu bilang menyayanginya seperti saudara kandungmu sendiri?!"
Suara Martha berubah memelas berharap keponakannya itu mau menolongnya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!