“Aku pulang,” ucap Allea begitu menutup pintu masuk. Tidak. Ia seharusnya tidak melakukan itu lagi. Allea terdiam sejenak sebelum bergegas menaiki tangga menuju kamarnya.
Tidak ada seorang pun yang menyambut kepulangannya—tak ada seorang pun disana. Rumah besar bertingkat dua itu serasa dingin dan kosong. Allea harus menyesuaikan dirinya, ia harus melupakan kebiasaan hangat keluarga cemaranya— yang kini sudah hancur. Tak ada tawa dan senyuman hangat. Hanya sunyi dan serasa menyesakkan.
Brak!
Allea menutup pintu kamarnya dengan keras. Lagipula tak akan ada lagi yang akan memarahinya karena membanting pintu. Dulu—ibunya sering mengomelinya karena kebiasaannya yang sering merajuk dan mengurung diri dikamar. Dia anak manja. Allea adalah anak satu-satunya di keluarga kecilnya itu. Tapi itu dulu—.
Hari itu, 1 tahun yang lalu. Allea akan duduk di kelas 2 SMA. Dia berumur 16 tahun saat itu, umur yang sangat membutuhkan perhatian kedua orang tuanya. Tapi jangan kan untuk perhatian, untuk berkomunikasi saja tidak. Ayah ibunya sering ribut hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Perceraian itu lah yang menjadi awal dunia nya hancur, dalam sekejap.
Allea, orang-orang memanggil nya Lea. Sebuah sebutan kecil yang meninggalkan kesan hangat di dalam hatinya. Allea tinggal dengan ayahnya, ibunya memutuskan hal demikian. Namun sayangnya, ayahnya jarang dirumah. Allea hanya ditemani oleh Bi Len, pembantu rumah tangga dirumahnya.
Hingga akhirnya 3 bulan setelah perceraian itu, ayahnya menikah. Pria itu menikahi seorang wanita muda dan menghabiskan waktu dirumah baru mereka. Dan Allea akhirnya juga kehilangan sosok ayah.
Tepat setelah ayahnya menikah, Allea berencana untuk tinggal bersama ibunya. Tapi tidak ada yang menyangka, ibunya juga sudah memiliki keluarga. Keluarga yang tampak bahagia, Allea bisa tahu itu dari senyum ibunya. Semuanya hancur, tidak ada yang tersisa untuknya. Tidak ada yang memilihnya, semuanya pergi. Hanya dia—sendiri. Apa takdir begitu kejam padanya..
Ting!
Sebuah pesan masuk, dari ayahnya.
[Maaf sayang, ayah ada bisnis ke luar kota besok. Bibi Gea akan menggantikan ayah, ya.]
Ya. Sudah hampir satu tahun berlalu, Allea sudah akan kelas tiga SMA. Dia sudah 17 tahun, tapi apa? Tak ada yang berubah, semuanya masih sama dengan tahun lalu. Allea hanya menghela nafas membaca pesan yang muncul dilayar ponselnya. Bibi Gea, adalah ibu tirinya. Allea tidak membencinya, tapi juga tidak menyukainya.
Tak ada waktu baginya untuk menangis, tak ada yang bisa dia tangisi. Semua sama saja, bahkan teman? Dia tak punya satupun. Orang-orang menjauhinya karena sifatnya yang tiba-tiba cuek dan dingin. Dia pernah punya satu—dulu, itu saat dia di kelas satu. Dan orang itu sudah pindah karena ikut dengan orang tuanya, tepat saat Allea kehilangan keluarganya. Dia juga kehilangan teman satu-satunya.
Kau tau?! kudengar orang tuanya bercerai
Ya. Ayahnya selingkuh dengan wanita muda
Oh benarkah?! Katanya ibunya juga hamil dengan pria lain
Waw, kacau. Itu pasti menurun, atau mungkin lebih parah.
Lihat dia, selalu memasang ekspresi datar. Seolah-olah tak ada yang terjadi
Kasihan sekali, kuharap itu tidak menular. Kenapa kita harus sekelas lagi dengannya.
Bisikan-bisikan dari teman sekelasnya mulai menjadi pidato singkat yang selalu dia dengar sejak perceraian itu, orang-orang menjauhinya. Dan itu berlangsung hampir satu minggu penuh, hingga kemudian terhenti dengan sendirinya.
Semuanya berjalan biasa saja, tak ada yang mengganggunya. Hingga saat-saat setelah ujian akhir seminggu yang lalu, dia menerima banyak pesan masuk. Pesan masuk yang membuatnya jijik.
jadilah pacarku, aku akan membuatmu puas
berapa harganya? apa kau punya waktu malam ini?
katanya orang bisa tidur denganmu kalau membayar, aku akan membayar berapapun
Allea memblokir semua nomor tak dikenal yang masuk ke ponselnya. Awalnya dia tak tahu kenapa semua itu terjadi secara mendadak. Dia sungguh tak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga tiga hari lalu. Allea sedang buang air kecil di toilet. Dia tak sengaja mendengar siswi-siswi yang sedang bergosip di depan cermin kamar mandi.
“Kau tahu, ada yang bilang Allea tidur dengan om-om.”
“Hei, kau tidak boleh menyebar gosip tak berdasar begitu. Dia kaya, untuk apa dia tidur dengan om-om,” balas siswi lainnya.
“Tidak ada yang tahu, semuanya tahu orang tuanya bercerai dan menikah lagi. Orang bilang dia haus kasih sayang. Di tambah lagi, kau tidak lihat badannya? Bukankah dada dan pantatnya terlalu besar untuk seorang siswi SMA? Dia baru 17 tahun, tapi lihat. Dia sudah seperti tante saja,” lanjut siswi lainnya.
“Hemmm. Iya sih,.. tapi kan—“
Brak.
Semuanya terdiam. Tiga siswi yang bergosip tadi langsung hening begitu melihat Allea keluar dari toilet. Mereka bertiga saling menatap dan tak meneruskan untuk berbicara lagi, hingga Allea selesai cuci tangan dan keluar.
Di atap. Asap tampak mengepul di udara, seseorang merokok. Bukan laki-laki, ia memakai rok. Itu Allea, Allea Abra Zein. Allea duduk dengan santai sambil menikmati langit cerah yang dihiasi awan putih.
"Heh!? Dada dan pantat besar? Haha. Apa yang salah dengan itu, aku bahkan tidak pernah berciuman dengan pria manapun. Om-om?!," Allea mencibir kesal.
Sudah berjalan empat bulan, Allea menjadikan merokok sebagai pelarian pertamanya untuk mencoba mengurangi rasa sakit yang dia punya. Awalnya dia tak mengira kalau rokok bisa membantunya, meski hanya sebentar. Dia bukan siswi yang terlalu pintar, juga bukan siswi bodoh dengan peringkat bawah. Tapi ia selalu masuk sepuluh besar.
Hari itu tiba, hari penerimaan raport tahunan. Bibi Gea benar-benar datang sebagai walinya. Semua orang kembali bergosip, wanita itu memang tampak sangat muda. Dengan make up cream yang tampak elegan dengan blouse putih dan celana biru tak bisa menutupi tubuhnya ramping, jelas sekali ia masih berumur 20-an.
Hei, hei. Lihat itu, wanita itu istri muda ayahnya.
Cantik ya,..
Cantik sih, tapi sudah jadi seorang ibu siswi SMA, haha
Allea tak tahan, dia sudah cukup muak mendengar orang-orang menjadikannya buah bibir. Dia bergegas keluar kelas dan langsung pergi meninggalkan sekolah itu, dia menyandang tas kulit kecilnya dan berjalan menyusuri trotoar, berkeliaran tanpa arah tujuan.
----------------
Tuk.. Tuk.. Tuk..
Langkah kaki yang perlahan, Allea mengayunkan kakinya berirama rendah. Siapapun akan berfikir dia tak punya semangat, ia memang tampak lesu.
"Kenapa dia harus datang!?" gerutu Allea.
Allea butuh berlabuh, ia butuh tempat untuk merenung. Tapi dimana..—Allea terus berjalan, membiarkan langkah kaki membawanya ke tempat yang tak di rencanakan.
Ciiitttt.... Suara decitan mobil di ikuti klakson beruntun mengejutkan Allea. Ternyata tanpa sadar, dia melangkah ke tengah jalan tanpa memperhatikan lampu lalu lintas yang masih menyala hijau untuk kendaraan.
Mobil di depannya mengerem mendadak, menyebabkan mobil-mobil di belakangnya ikut berhenti secara tiba-tiba. Allea terpaku di tempat, napasnya tercekat saat menyadari bahwa dia hampir saja menjadi penyebab kecelakaan beruntun. Atau mungkin—itu adalah tempat terakhirnya di dunia ini.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria keluar dengan langkah cepat. Dia tampak sudah berumur 30-an, tapi kacamata dan badannya yang tegap membuatnya tampak berusia masih 20-an tahun.
"Kau baik-baik saja?"
Pria itu langsung menghampiri Allea, wajahnya tampak tegang dan matanya tajam menatapnya. Dia tak marah—pria itu cemas. Allea berusaha menatap matanya tapi kakinya tiba-tiba lemas. Allea hampir terjatuh, untungnya dengan sigap pria itu menangkapnya.
“Kau gila?! Kalau mau mati jangan di siang bolong!” suara pengemudi yang lewat terdengar berat dan tegas, membuat Allea tersentak meski berada dalam dekapan pria tadi. Tapi ia tak bisa menjawab, ini pertama kalinya dia berada dalam situasi yang hampir merenggut nyawanya. Tanpa dia sadari, pria tadi menggantikannya untuk menunduk ramah dan meminta maaf.
Allea hanya bisa diam, ia masih terguncang dengan apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya seketika tak bertenaga. Pria itu menghela napas panjang, lalu menatap Allea dengan ekspresi yang lebih lembut, seolah baru menyadari sesuatu.
Dia seorang siswi SMA? gumam pria itu, dia melirik pada label SMA Geneva yang di kenakan Allea.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya lagi, nada suaranya sedikit lebih lembut kali ini.
Allea mengangguk pelan, masih sulit baginya untuk berbicara. Orang-orang mulai mengerumuni mereka, bertanya-tanya apakah ada kecelakaan. Pria itu menoleh ke arah mobilnya, lalu kembali menatap Allea. Aku tak mungkin meninggalkannya disini, batinnya.
“Kita pergi ke tempat lain,” katanya, lalu dengan lembut membawa Allea yang masih bersandar padanya untuk segera masuk ke mobilnya. Dia yakin gadis itu butuh tempat untuk menenangkan diri.
Rasanya aneh, tapi Allea hanya menurut. Perasaannya mulai menjadi lebih tenang begitu pria itu melajukan mobilnya meninggalkan kerumunan. Wangi yang menenangkan, dia tidak tahu ada pengharum mobil yang berbau lembut dan enak dicium. Atau mungkin—itu adalah aroma pria itu.
Allea melirik singkat pada pria tak dikenal itu, ini pertama kalinya dia berinteraksi dengan pria selain ayahnya. Bahkan ia sudah lupa bagaimana ia dan ayahnya saat itu, sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Allea ingin berkata, Maaf dan —terimakasih. Namun rasanya seperti ada sesuatu tersangkut di tenggorokan nya, ia sulit untuk bersuara.
"Aku Davendra," ucap pria itu tiba-tiba membuyarkan niat nya. Allea sedikit terkejut saat pria itu memperkenalkan dirinya, dia kira pria itu hanya simpati sementara dan tak ingin berbicara lebih dengannya.
"A—a—aku Lea, Allea," balas Allea gugup.
Allea menjadi berani menatap pria itu lebih lama kali ini—pria dewasa, berpenampilan rapi, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit Allea pahami. Pria itu masih fokus menyetir, sepertinya dia tidak akan menurunkan Allea. Tak ada pergerakannya pria itu akan menepi.
“Kau selalu sembarangan menyeberang jalan seperti itu?” Davendra bertanya dengan nada sedikit bercanda, meskipun masih ada kekhawatiran di wajahnya. Tapi ia mencoba untuk mencairkan suasana. Dalam pikirannya, seorang siswi SMA yang tiba-tiba melompat ke tengah jalan bukanlah perkara sederhana.
Entah mengapa kehadiran pria ini sedikit membuatnya merasa lebih tenang. Allea tersenyum tipis, "maaf, aku tidak bermaksud begitu. Hanya—sedikit melamun." Ekspresi dingin dan cuek yang selama ini dia jadikan topeng, langsung terbuka dalam sekejap di depan pria asing yang baru berkenalan nama olehnya.
Davendra melihat jam tangannya, sudah hampir waktunya makan siang. Dia menatap gadis SMA itu dan menawarkan makan bersama. “Mau makan sesuatu? Aku tahu tempat yang bagus di dekat sini.” Davendra melajukan mobilnya agak pelan, ia ingin mendengar suara gadis itu lebih jelas dan tak ingin ada unsur paksaan.
Tawaran itu langsung mendapat jawaban, untuk sejenak Allea masih ragu, tapi bagaimanapun dalam pikirannya pria itu adalah orang baik. Tak ada terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Allea sempat bergumam sebelum mengangguk.
"Okey, aku yakin makanannya akan cocok dengan seleramu," ucap Davendra senang sebelum ia kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Mobil Pajero Sport Facelift hitam terparkir di pekarangan sebuah restoran Italia. Pekarangan yang penuh dengan kerikil dan beberapa vas dengan bunga mekar tumbuh di dalamnya. Restoran yang tampak elegan dengan kilauan lampu yang berwarna kekuningan tampak dari luar.
Pohon besar yang ada di samping restoran itu menjadikannya seperti tempat yang tidak terlalu formal, tempat yang menenangkan.
"Wah, aku baru tahu ada restoran ini disini, kapan-kapan aku harus ajak—tidak. Apa yang kupikirkan," batin Allea setelah terkejut kagum dengan pemandangan menyejukkan mata yang baru saja dilihatnya. Ditambah lagi dia kesana dengan seorang pria, pria asing dan tempat mewah. Dia tak pernah memikirkannya.
"Kuharap kau suka," ujar Davendra, langsung membangunkan Allea yang hampir tenggelam dalam lamunannya. Ia membukakan pintu mobil untuk gadis itu. Ia kembali tersenyum ramah, dia pria yang baik. Seberapa keras pun Allea berfikir tentang pria itu. Dia akan selalu menyimpulkan dia adalah pria yang baik.
"Terimakasih," balas Allea begitu pintu mobil kembali menutup. Siang ini lebih sejuk dari biasanya, mungkin karena dia berada di bawah pohon yang rindang. Allea menutup matanya menikmati angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut rambutnya yang panjang terurai.
Hangat. Sesuatu yang hangat menyentuh telinganya, Allea langsung membuka matanya, ingin melihat apa yang ada di samping pipinya. Tangan Davendra.
"Ah, maaf. Kupikir itu akan mengenai matamu.," dengan cepat Davendra menarik tangannya kembali. "Ayo masuk."
Davendra mulai melangkah pergi meninggalkan Allea yang tanpa dia sadari mukanya sudah memerah, tapi ia tak ingin berlama disana. Allea segera menyusul pria itu dan masuk ke dalam restoran bersama. Aroma keju bercampur bumbu-bumbu an menyambut mereka begitu masuk. Mereka memilih duduk di meja paling pojok.
Tak lama, seorang pelayan dengan celemek cream datang menghampiri mereka, "Selamat datang, silahkan ini menunya," ucapnya dengan ramah. Namun keramahan itu hanya berlaku sepersekian detik, ia menatap Allea dan Davendra bergantian dengan tatapan yang jelas merendahkan.
Allea langsung mengalihkan pandangannya keluar jendela, ia menyadarinya. Dia tak akan pernah benar, dimana pun ia berada. Bahkan hanya duduk diam pun orang lain masih berpikir buruk padanya. Kenapa dunia ini begitu tak adil padanya. Tuhan—sebenarnya apa rencana-Mu untuknya.
"Allea, kamu pesan apa?" tanya Davendra setelah memutuskan pesanannya, tapi Allea tak menjawab, ia bahkan tak membuka menu di hadapannya. Dia hanya menatap keluar dengan tatapan kosong, seakan dia tak peduli dengan sekitarnya.
"Dua porsi Carbonara, dua gelas teh hangat, satu Gelato dan satu Tiramisu," ucap Davendra pada pelayan yang masih berdiri di sudut meja mereka dengan tatapan tak suka. Sepertinya Davendra tahu apa yang terjadi, jika dilihat dari sudut pandang orang lain. Mereka memang tampak mencurigakan.
"Kau tau anak-anak suka makanan manis," lanjutnya tak ingin disalahpahami, dengan sengaja menunjukkan cincin di jari manisnya saat mengembalikan menu pada pelayan itu. Benar. Davendra sudah menikah.
Pelayan itu pun menunduk dan segera pergi, meninggalkan Davendra yang bingung harus bagaimana menghadapi Allea yang tampak sedang dalam situasi yang tidak baik-baik saja. Ia belum pernah berurusan dengan seorang anak sebelumnya, dia memang sudah menikah 8 tahun tapi ia tak punya anak.
Davendra adalah pria yang sudah menikah, dan ia berumur 37 tahun. Butuh Dua puluh tahun lagi bagi Allea untuk menyamai nya, bahkan umur Allea masih 17 tahun. Meskipun umurnya sudah hampir berkepala empat, wajah dan postur badannya masih tampak bugar seperti pria berumur 20-an. Mungkin pelayan tadi memang mengira dirinya berselingkuh.
Apa mungkin orang-orang mengira selingkuh hanya di umur 20-an? Mereka bahkan belum menikah tapi sudah memutuskan hal-hal diluar kendali mereka. Orang-orang mengira umur 30-an dan di atasnya adalah orang dewasa dan tak akan menyalahi aturan?
Hei. Ayolah. Orang bodoh mana yang akan berfikir demikian, mereka hanya ingin membela diri. Bukankah begitu? Meskipun tak semua orang akan berkhianat, namun bagi beberapa orang ada rasa aneh yang menanggal di hati mereka hingga membuat mereka terjerumus pada hal yang seharusnya tak mereka lakukan
"Allea?" Davendra mencoba berbicara dengan Allea. Dia memanggilnya beberapa kali namun tak ada jawaban, gadis itu sungguh sudah tenggelam dalam lamunannya. Hingga akhirnya satu sentuhan dari ujung jari Davendra menyadarkannya.
"Ya?" respon Allea lemah, suaranya hampir terdengar seperti berbisik.
"Oh, aku sudah memesan makanan untukmu. Kau suka Carbonara?" Davendra mencoba untuk mendekatkan diri, mungkin dia melakukan suatu hal yang bisa menghibur gadis itu.
"Suka," balasnya singkat. Dia dibesarkan di keluarga kaya, dia tidak mungkin tidak pernah memakannya. Lagipula Carbonara masih berada dalam rentangan yang umum di semua kalangan. Tapi ekspresi nya, sepertinya ia tak bisa mengendalikannya kali ini. Sifat dinginnya kembali lagi. Kehangatan dirinya hanya kembali untuk muncul sebentar.
"Baguslah," Davendra tampak terdiam sejenak sebelum kembali berkata, dia harus mengajukan sesuatu yang tidak membosankan. "Eee—sepertinya makanannya akan sedikit lama, jadi—Allea.. apa kau lulus tahun ini?"
Allea mengernyit tak suka, tapi ia sebisa mungkin untuk menjawab, "Aku baru kelas 2," jawabnya berat. Pikirannya kembali bergejolak, "Aku ingin ke toilet." Ia pergi. Allea langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Davendra, pria itu tampak kebingungan.
"Apa itu tadi, apa dia pikir aku sudah sepantasnya lulus tahun ini," gerutu Allea begitu masuk kamar mandi, mengejutkan seorang wanita yang hendak keluar.
"Dada sialan," lanjutnya begitu ia berdiri di depan cermin yang memantulkan tubuhnya, jika dilihat dari sudut manapun dadanya memang lebih menyembul keluar dari siswi lainnya, serasa ingin merobek seragamnya. Sepertinya dia butuh seragam baru.
Tapi tetap saja, Allea tak menerimanya. Allea langsung masuk ke dalam toilet dan merogoh sekotak rokok dalam saku rok abu nya, ia ingin meredakan amarahnya sejenak. Ia tak bisa mentolerir apa yang pria itu katakan, berarti pria itu sedang melihat tubuhnya. Bukankah begitu, bukankah ini pelecahan?! Belum sempat ia menyalakan pemantiknya, ia langsung bergegas keluar.
Brak.
Allea tiba-tiba memukul meja, mengangetkan Davendra yang tengah menyeruput teh hangat yang baru saja tiba. Bukan hanya pria itu, tapi hampir semua pelanggan yang makan siang disana terkejut dengan tamparan keras di meja pojok. Hingga kegiatan di kasir pun terhenti, sebab ingin melihat apa yang terjadi disudut restoran.
"Kau—apa kau melihat dadaku?" ucap Allea lantang. Sontak langsung membuat Davendra menyemburkan kembali teh hangat yang masih ada di mulutnya. Sifat pemalu dan manis Allea yang dilihat oleh Davendra beberapa saat lalu sungguh lenyap sepenuhnya.
Ucapan Allea yang keras langsung menggegerkan seisi restoran, orang-orang mulai berbisik-bisik dan tertawa sinis menatap ke arah Davendra.
"Ap—apa?!" Davendra langsung berdiri, dia berhadapan dengan Allea yang setinggi bahunya itu. "Apa yang kau bicarakan?" lanjutnya setengah berbisik pada Allea.
Allea tak menjawab, dia menatap Davendra dengan tatapan tajam dan menantang. Bagi seorang pria seperti Davendra, seorang pengusaha yang tak pernah mengenal kalah dan tak pernah di jadikan bahan cemoohan, ia sangat tak terima dengan apa yang baru saja Allea lakukan padanya.
Gadis itu sudah membangunkan singa yang tengah tidur, Davendra merogoh dompetnya dan meninggalkan tiga lembar uang cash di atas meja. Jika dihitung, uangnya berlebih. Tapi itu tak akan jadi masalah baginya. Tak sebanding dengan harga diri yang baru saja dirusak oleh seorang gadis SMA yang baru saja dikenalnya itu.
"Ikut aku," dengan kasar Davendra menarik Allea keluar dari restoran. Dia melangkah cepat, membuat Allea hampir terjatuh saat mereka tiba di parkiran depan dengan ribuan kerikil di tanah. Tenaga mereka tak imbang, sangat berbeda jauh.
"Ahh," Allea mendesis begitu Davendra mendorongnya untuk masuk ke mobil, di bangku penumpang. Pria itu dengan segera masuk mobil dari sisi lain begitu menutup pintu. Tanpa pikir panjang, Davendra melajukan mobilnya keluar dari pekarangan restoran dan melaju kencang di jalan raya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!