NovelToon NovelToon

You Make My Heart Smile

Prolog

Prolog

Hatiku selalu berdegup kencang bersamaan dengan angin yang menerpaku saat ia datang. Mataku tidak bisa fokus menatap langit biru. Langit biru menaungi kebersamaanku denganmu. Benciku tiba, ia akan berlaku dengan cepat.

Tanganku sangat ingin membelai rambut hitamnya yang lurus melebihi bahu. Hanya saja sendi-sendi di pergelangan tanganku terlalu lemah menggerakkan dirinya.

Memang aku tidak selalu seperti yang kamu inginkan, namun aku akan selalu ada untukmu.

Membicarakan cinta tidak ada habisnya. Aku tidak tahu sebuah kata itu berasal. Makna yang dalam bagi para pemikir. Adakah sebuah alasan untuk mencintai? Atau kita tinggal membalikkannya saja, Mencintai untuk sebuah alasan? Atau cinta hanya kebutuhan sesaat yang kadang-kadang membuat seseorang larut di dalamnya.

Aku kadang bingung aku mencintaimu atau menyayangimu. Kedua kata itu hanya memiliki pembatas imaji yang samar dan tipis. Aku terlalu mencintaimu hingga rasa cinta itu menjadi sayang, namun aku terlalu menyayangimu hingga rasa sayang itu menjadi cinta. Pantas para filosof membutuhkan waktu yang lama untuk mendefinisikan.

Aku berusaha mencari tahu dua kata itu. Dua kata itu adalah sebuah paket yang tidak bisa di lepaskan begitu saja. Dua kata itu tidak akan menjadi satu jika salah satu kata itu terlepas dari ikatannya.

Aku pernah mencintai orang lain, di saat aku menyayangi dirimu. semua tahu cinta itu hanyalah sesaat, namun rasa sayang itu bertahan lama pada dirimu. Aku baru sadar bahwa kedua kata itu telah lama tumbuh menjadi satu pada dirimu tatkala senyuman itu pertama kali terpancar kepadaku. Senyummu padaku saat pertama kali menjadi awal dari kasih sayang ini.

Angin yang menerpa aku dan kamu tepian ini, mengingatkaku ketika angin ini lah yang menjadi saksi kebersamaan itu. Rambutmu tergerai diterpa angin yang sempat membuyarkan pikiranku yang menebak sebuah isi hati.

Engkau tersenyum, aku tersenyum. Aku juga baru sadar, itulah senyuman hati. Hatimu telah lama tersenyum kepadaku. Hanya aku yang baru tersadar akan hal itu. Kamu telah berusaha menunjukkannya, namun aku terlalu bodoh untuk menangkap sinyal-sinyalmu.

Aku dari dulu memang terlalu kaku untuk mengatakan sepatah kata. Kata yang bisa jadi pemisah di antara kita, ataupun bisa jadi pemersatu sebuah arti cinta. Aku memang pernah menyatakan yang sebenarnya kepada seseorang selain dirimu, namun sekarang berbeda. Rasanya seperti ada perekat yang membuat mulutku tidak bisa terbuka. Aku terlalu sibuk menunggu jawaban dari waktu yang akan membongkar sebuah tanda tanya.

Engkau terus diam membisu. Aku disini menunggu untuk jawabanmu. Aliran air matamu terus saja membasahi pipi. Tanganku ini semakin ingin untuk memegangi kedua tangan lembutmu.

Pernyataanmu mengejutkan diriku. Seharusnya aku mendengarnya dari dulu, bukannya mengentahuinya di saat akhir seperti ini. Aku memang bersalah pernah mencintai orang lain selain dirimu. Namun nafsuku terlalu besar mengalahkan hati yang berusaha memlih.

Sebenarnya hatiku telah rapuh sebelum melihat gelengan kepalamu yang berusaha membuat penolakan. Seseorang yang sebelumnya telah membuat retakan yang hebat pada diriku. Retakan itu membuat lembah goresan dalam yang memanjang di lubuk hati. Namun aku hanya butuh satu. perekat yang akan merekatkan kembali pecahan hatiku yang terpisah agar hatiku akan terus tersenyum padamu. Rekatkan kembali Senyuman Hatiku.

***

HAPPY READING GUYSSS

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENTNYA :)))

Ini merupakan cerita pertama dalam karir menulis aku. Sekitar enam tahun yang lalu naskah ini terkubur di laptop. Silahkan menikmati.

1

Aku duduk terkatung mendengarkan penjelasan Bu Rina tentang rumus-rumus matematikanya. Papan tulis itu tidak lagi putih karena dipenuhi oleh coretan rumus. Bau khas kayu tercium dari meja saat aku membiarkan diri untuk terlelap di atasnya. Membiarkan semuanya berlalu melelaui semilir angin yang berasal dari kipas semakin membuatku terlelap.

Inilah aku. Pikiranku lebih banyak diluar daripada di dalam kelas ini. Rambut itu, kacamata itu, senyum itu selalu terlintas begitu saja.

Seseorang yang selalu aku tuju ketika rasa jenuh melandaku. Khususnya pada saat ini. Aku tidak tahu mengapa ia selalu menjadi penyemangatku. Pembawaannya yang manis terasa nyaman ketika aku dekat dengannya.

Semua khayalan itu tiba-tiba terlintas. Senyum-senyum kecil tumbuh di lingkaran pipi ini, semakin membuatku terbang di tengah keributan yang terngiang di telingaku. Tidak seorang pun yang dapat menghancurkan semua imajinasiku yang tengah manisnya berputar di kepalaku. 

Imaji itu seketika hilang, pudar, serta sirna saat Arya menyenggol bahuku. Seketika senggolannya menyedot semua khayalan yang sempat terlintas di pikiran kecil ini.

"Ngayal mulu sih," sahut Arya.

"Bosan gua belajar Matematika. Rumus nya gilak semua," jawabku.

Tatapan Bu Rina yang tadi fokus dengan rumus gilanya, kini beralih kepadaku. Ia sepertinya mendengar perkataanku tadi.

Tatapan tajamnya membuat lutut ini seakan ingin copot mengingat Bu Rina jika marah seperti monster yang ingin memakan jiwa.

"Ulangi lagi Rangga, apa yang kamu bilang tadi? Ibu ingin dengar sekali lagi."

"Eh, enggak ada, Bu. Cuma becanda doang," jawabku dengan terbata-bata.

"Pantes aja nilai kamu itu jelek semua Rangga." Seisi kelas tertawa mendengar perkataanya. Ia kembali sibuk menuliskan semua rumus itu.

Di saat-saat yang seperti ini, pikiranku lebih banyak keluar daripada memikirkan pelajaran yang tengah berlangsung. Aku melihat Arya tengah sibuk menggambar di buku tulisnya, yang pasti gambarnya tak jauh beda dengan gambar-gambar yang pernah ia buat sebelumnya. Gambar orang yang berpakaian SMA selalu menghiasi setiap lembaran buku tulisnya. Bukan Arya namanya jika tidak menggambar di sela-sela kesibukan proses belajar-mengajar di kelas. Aku sudah biasa dengan hobinya itu.

Kini Bu Rina berhenti menulis rumus gilanya di papan tulis. Seperti biasanya ia hanya memberikan kami tugas yang ada di buku pelajaran. Parahnya lagi tanpa ada penjelasan tentang rumus yang telah membuat kepala kami hampir meledak memikirkannya. Salah satu hal yang menjadi ketidaksukaan aku dengan pelajaran yang satu ini. Rasa bosan yang semakin menggebu-gebu, membuatku ingin keluar dari kelas ini. Memanfaatkan dari kesibukan Bu Rina mengisi nilai-nilai dari buku agendanya, aku menyelinap keluar dari kelas.

"HAAAH!"

Rasa lega menghampiri sekujur tubuhku. Jika ketahuan ntah bagaimana nasibku nanti. Sekolah yang memiliki tingkat tiga ini, membuat nafasku sesak menelusuri setiap anak tangga yang tinggi. Aku meneruskan langkahku ke tempat paling puncak di sekolah.

Ya betul, itulah tempatku menyendiri. Tempat yang menjadi teman disaat kesendirianku. Tempat itu begitu sunyi, begitu tenang. Kesunyiaan itu selalu membuat hatiku yang tadi jenuh menjadi tentram.

Tempat itu hanya dihiasi oleh sebuah kursi yang ditemani oleh sebuah meja. Iring-iringan angin yang menerpa wajahku membuat kesejukan tersendiri. Bau khas sore hari menjadi padu dengan suasana langit sore nan indah. Suara teriakan anak basket begitu riuh saat salah satu pemainnya berhasil memasukkan bolanya kedalam ring. Jalan-jalan begitu jelas terlihat dari sini. Terlihat sesak dipenuhi oleh banyak kendaraan. Maklum, ini sore hari. Semua sibuk untuk pulang, yang mungkin saja orang-orang yang disayanginya sedang menunggunya di rumah.

Aku hampir saja melupakan kejenuhan sehabis dihajar oleh rumus-rumus gila Buk Rina di kelas tadi. Aku berharap ia masih saja sibuk mengisi nilai-nilai di bukunya. Aku juga berharap ia memberiku nilai di atas kkm, mengingat nilai ku selalu jelek di mata pelajarannya.

Lagu yang aku hidupkan saat ini memberikan makna lebih dari bersantai pada sore hari ini. Terlintas di pikiranku tentang masalah yang menggerogoti pikiranku selama ini.

Ya memang, aku memang payah dengan persoalan percintaan. Aku hanyalah pecundang bodoh yang tidak berani menyatakan cinta. Aku lebih memilih memendam rasa daripada menyatakannya. Aku hanya melempar senyum kepada wanita yang aku sukai dari jauh. Bahkan di saat ini, aku hanya bisa melemparkan senyum dari jauh dan berharap ia merasakan senyuman jarak jauhku ini.

Mungkin hal ini melandaku karena berbagai penolakan yang aku terima di masa lampau. Ya benar, ini seperti semacam trauma yang aku rasakan karena aku takut menerima penolakan yang pernah aku rasakan dulu.

"Waktu berlalu begitu cepat sehingga tak aku sadari waktu pulang sudah dekat. Aku biarkan kembali diriku diterpa oleh iringan-iringan angin yang setiap detik terhempas di wajahku. Rasa sejuk oleh terpaan angin ini membuat mata ku perlahan menutup. Aku biarkan permasalahan ku terbang di bawa angin. Aku biarkan hilang terbawa oleh tarian angin yang menerpa wajahku. Setiap detik mata ini semakin berat, semakin berat, dan tak tertahankan. Imajinasi yang terbawa dari kelas menjadi bunga tidur singkat pada saat ini. Aku biarkan diriku terlelap dan berharap terbang bersama imajinasi di bunga tidur ini.

"Woii!" Seorang wanita menghempaskan pena miliknya tepat ke keningku.

"Apa itu?" Kakiku langsung menegakkan diri.

"Orang udah pulang semua loh mau tidur di sini?" balasnya.

"Eh kamu, Re. Mengejutkan aja tahu!" ujarku sambil membenarkan mataku yang masih sayup-sayup selepas tidur tadi.

"Ga ke Base Camp?" lanjutnya.

"Iya, mari kesana."

kami segera pergi ke parkiran untuk mengambil motor.

Parkiran kami berada di luar sekolah. Sekolah tidak mengizinkan kendaraan kami untuk diparkirkan di lingkungan sekolah. Kendaraan yang boleh masuk hanya pengguna yang sudah memiliki SIM. Jika nekat saja untuk ke dalam, siap-siap motornya kempes dibocorin oleh penjaga sekolah.

"kamu bawa motor, Re?" tanyaku kepada Rere.

"Tuuu," jawabnya dengan telunjuk menunjuk ke motornya.

"Bersih amat motor lo?" tanyaku kembali

"Emangnya kamu ..... Ih jorok banget kaya motor abis ke sawah," candanya kepadaku.

Ia tertawa dan memperlihatkan lesung pipitnya yang dalam. Dorongan tanganku membuat tubuhnya ikut terdorong. Ia membalas dorongan itu kembali.

Ya ... yang namanya cewek, dorongannya tidak begitu terasa oleh ku. Ia kembali tertawa dan memperbaiki letak kacamatnya. Kebiasaannya itu begitu lucu.

"Ciee ganti kaca mata yaa... Berapa puluh kaca mata sih yang kamu punya?" tanyaku dengan tertawa kecil.

"Kasih tau ga yaaa. Kepo sihh. Daaaah.... Sampai jumpa di Base Camp yaaa." Ia meng-gas motornya.

Motor ini belum juga menghidupkan dirinya. Berkali-kali mencoba, berkali-kali keringat bercucur untuk menghidupkan motor ini.

"Ayo kawan." Aku mencoba berbicara kepada motor, berharap ia mengerti kata-kataku ini.

"Huhhh," ujarku sambil menepuk jok motor. "Sekali lagi pasti bisaa."

Brrrmmmmmm ....

Motor akhirnya hidup juga. Aku bisa menyusul mereka yang mungkin sedang menungguku di Base Camp.

Ada sesuatu dibalik suatu senja pada ruang-ruang tunggu pada dirinya.

***

2

Dari kejauhan kendaraan mereka sudah terparkir di depan rumah itu. Aku bergegas menyusul untuk mengabsenkan diri. Langkahku tertuju pada pintu rumah yang selalu terbuka untuk kami. Terlihat oleh mataku mereka sudah berkumpul di sana melakukan hal yang biasa kami lakukan.

Asisten rumah tangga Rere biasanya menyiapkan minuman untuk kami semua. Papanya juga selalu membeli makanan untuk bersantai kami di Base Camp. Papanya juga telah biasa dengan kebiasaan kami untuk nongkrong dulu setelah pulang dari sekolah.

Aku meletakkan tas yang cukup menyiksa punggungku dari tadi. Mereka juga belum merasakan kedatanganku dan masih sibuk dengan hal-hal menarik yang mereka lakukan. Soft drink yang ada di meja membuat kerongkonganku tiba-tiba merasa haus.

Kreeeeekkk

Tutup soft drink itu berbunyi ketika di buka.

Suasana yang selalu aku rindukan ketika pulang sekolah. Taman halaman belakang yang bagus. Bunga matahari yang menghiasi sudut halaman, serta tata halaman karya tukang kebunnya Rere membuat rasa penat kami akibat berjam-jam terkukung di sekolah hilang sirna. Kolam renang yang cukup besar juga sering kami gunakan ketika mama dan papanya Rere tidak ada dirumah.

Aku duduk di sofa faforit ku di Base Camp sambil menikmati minuman yang baru aku buka tadi. Sesekali si Cimoy, kucing Rere mengeong dihadapanku. Mungkin ia mengira minuman ini cocok untuknya.

Kucing Rere cukup banyak, aku hanya mengingat kucing yang satu ini. Ya namanya Cimoy, yang pernah menyuri ayam goreng yang kami pesan. Pada saat itu kami sedang sibuk bermain kartu UNO. Ia memanfaatkan keteledoran kami untuk menggasak semua ayam goreng itu. Bisa jadi membagikannya kepada kucing-kucing lainnya bak seorang Robin Hood.

"Hushhhhhh" Aku mengayunkan kaki ke kucing nakal itu. Sontak ia mengeong keras yang membuat teman-temanku menyadari aku sudah ada disini.

"bro, udah datang dia tuh," teriak Dede di tempat mereka berkumpul.

Aku berlari menuju tempat mereka di pondok kayu yang sengaja di sediakan oleh Papanya Rere.

"Lama banget lo, Rangga?" tanya Zaki kepadaku.

"Maklum zak, motor lama hidupnya. Biasalah," jawabku sambil mengambil krikpik di toples.

Rere menepuk kakiku yang tidak sengaja menginjak jarinya yang kecil itu. Kacamatanya berganti lagi. Entah berapa kaca mata yang ia punya. Dede dan Zaki kembali melanjutkan duel catur yang tak pernah usai. Mereka handal dalam bermain catur. Duel-duel mereka selalu sengit.

Rere asyik menonton duel catur antara Dede dan Zaki. Sesekali Zaki memperlihatkan ekspresi kecewa karena salah melangkahkan anak caturnya. Sedangkan Vena sibuk dengan handphone di tangannya.

"Re, ganti lagi kacamata nihhh," ujarku sambil mengambil bando ungunya.

"Ini khusus dirumah. Nah kamu kapan ganti motornya?" balas Rere. Pertanyaannya menundang tawa teman-teman yang lain.

"Nah itu yang aku ga tau." Aku ikut tertawa.

Rere kembali memperlihatkan garis tawanya yang terakhir kali aku lihat di sekolah tadi. Papa Rere datang menghampiri kami. Sosok pria yang tinggi dan tegap berkumis tebal itu masih kelihatan gagah ketika berjalan. Ia sosok yang mudah tersenyum, sama seperti anaknya yang selalu tersenyum. Sepertinnya ia baru saja pulang dari tempat kerjanya.

"Oom ...," sapa kami dengan serentak.

"Yupp, seru banget main caturnya nih. Re, makanannya ambil lagi tuh dirumah," katanya sambil melihat duel catur Dede-Zaki.

Aku mengambil nafas sejenak. Sungguh bahagia memiliki teman yang seperti mereka. Selalu kompak dan mau meluangkan waktu untuk berkumpul bersama. Meluangkan waktu untuk bisa berbagi bersama.

Mulai dari Dede, dengan nama lengkap Dede Haryanto. Ia seseorang yang bijaksana, periang, yang pastinya lawan duel Zaki dalam bermain catur. Di antara laki-laki di sini, ia memang yang paling tinggi dan besar. Seseorang yang pemberani. Memiliki kesetiaan teman yang tinggi.

Di sekolah ia cukup disegani, mungkin karena ia seorang yang berani. Kalau ingin berkelahi dengannya, harus pikir dua kali dulu. Walaupun di luar ia dianggap seperti itu, di sini ia merupakan seorang yang periang dan lucu.

Ia juga sebagai mesin pengeluar candaan yang acap kali mengocok perut kami akibat lelucon bodohnya itu. Walaupun kami tidak ada memilih ketua di antara kami. Tapi aku menganggap dirinyalah pemimpin dari kelompok kami. Jiwa kepemimpinannya membuatku kagum akan sosok Dede.

Dede juga pernah membantu Zaki saat di cegat sama anak mesin SMK dekat sekolah. Beruntung saja Zaki sempat mengubungi Dede denga cepat sehingga Dede bisa cepat menuju ke TKP. Mereka kocar kacir dihajar oleh Dede. Pada saat itu aku, Vena, dan Rere masih di sekolah. Kami dengan cepat menuju ke tempat kejadian. Aku melihat Zaki membatu Dede berjalan. Aku mengehela nafas saat menyadari mereka tidak apa-apa. Dede sungguh pemberani.

Selanjutnya Zaki. Ia memiliki nama lengkap Zaki Mubarok Ramadhan. Cowok yang memiliki wajah yang cukup tampan berwajah oriental lengkap dengan kepintaran yang ia miliki. Kulitnya yang putih dan tinggi semapai membuat seluruh wanita bisa jatuh hati padanya. Tentu saja dia adalah lawan duel catur Dede.

Selain memiliki kepintaran dan ketampanan, ia juga handal dalam berolahraga. Kapten dari tim Futsal SMA kami ini selalu menorah prestasi untuk sekolah. Berbagai kejuaran futsal ia menangkan bersama tim futsalnya.

Ketampanan yang ia miliki tidak begitu ia gunakan. Berbagai surat cinta dari banyak wanita selalu berdatangan kepadanya. Berbagai ungkapan cinta yang ia dapatkan, tak satupun ia terima cintanya. Ia tetap setia dengan Ketua PMR sekolah kami, Tania Dwi Putri.

Zaki sering memberkian tips untuk mendapatkan hati wanita kepadaku. Ia juga turut prihatin dengan masalah "Kejombloan"-ku ini.

Yaaa namanya orang tak mengerti cinta, aku tidak memanfaatkan saran-saran bagusnya itu. Ia juga sering memperkenalkan beberapa wanita kepadaku. Ya tetap saja, aku tak bisa mendapati hati wanita itu.

Yang aku kagumi dengan sosok Zaki, ya tentu saja ketampanan dan skill-nya dalam berolahraga. kemampuannya mendekati wanita tidak bisa dianggap sepele. Mungkin, seluruh cewe disekolah bisa ia dekati dengan mudah.

Kepintaran yang ia memiliki juga cukup membuat saingan-saingan di kelasnya kewalahan mengalahkan nilai-nilai Zaki. Zaki menjadi pusat jawaban jika ulangan atau ujian dilaksanakan. Ia juga tak pelit membagi jawabannya ke anak-anak yang lain. Baginya nilai yang tidak menjadi kebanggaan, yang menjadi kebanggan itu ilmu yang ia dapatkan. Apa gunanya nilai tinggi tetapi ilmu yang kita dapatkan sangat sedikit.

"Majulah, tanpa menjatuhkan orang lain."

kata bijak darinya yang selalu aku pegang teguh.

Selanjutnya namanya Vena. Vena memiliki nama lengkap Alvena. Nama yang cukup singkat, bukan? Sosok tomboy yang satu ini selalu memberikan penyeimbang diantara kelompok kami. Saran-sarannya begitu bermanfaat di kala kami ada permasalahan. Otaknya yang brillian selalu jadi pemecah masalah yang sesekali datang.

Di mata siswa-siswa yang lain ia begitu misterius. Sikapnya yang dingin dan pendiam menjadi ciri khas yang selalu menjadi icon seorang Vena. Ciri khas yang lain yaitu rambut pendek yang menjadi makhota pemanis Vena. Vena cocok sekali dengan rambutnya itu. Walaupun dengan rambut yang pendek, ia tetap manis. Ada banyak lelaki di sekolah yang terpikat dengan sosok yang misterius ini. Berbagai perasaan cinta yang ia terima dari laki-laki di sekolah, ia selalu ada cara menolaknya. Tak satupun ia terima. Baginya cinta bukan prioritas utamanya.

Laptop yang selalu ia bawa menjadi sahabat baiknya dalam mengisi hari-harinya. Nilai pelajaran komputernya selalu tinggi. Ia sangat handal dalam dunia komputer. Bisa dibilang ia menjadi hacker di sekolah kami. Namun keahlian yang ia punya tidak digunakan untuk kejahatan.

Yang aku kagumi dari Vena ialah sikapnya yang tenang jika ada masalah. Mungkin ia sedang memikirkan cara untuk memecahkan masalahnya. Kami juga sering curhat padanya. Terutama aku, yang menceritakan soal kepayahanku dalam soal percintaan. Walaupun di mata orang lain dia cukup misterius dan dingin, dengan kami ia sangatlah terbuka dengan pendapat-pendapat brilliannya.

Kalau yang satu ini namanya Rere. Memiliki nama lengkap Refani Monica Sucipto. Bisa dipanggil Rere, bisa juga dipanggil Sucipto. Ia selalu marah jika ia dipanggil dengan nama akhirya, Sucipto. Anak bapak Sucipto ini yang mengumpulkan kami sehingga kami bisa berkumpul di Base Camp.

Ia yang pertama kali membuat kelompok ini. Ia juga yang memberikan nama ke kelompok ini dengan nama, "Anak Pondok Belakang" dengan singkatan APB.

Aku sering tertawa saat ia menyebutkan kepanjangan dari APB. Begitu aneh jika di dengar. Tapi jangan menilai dari sebuah nama, tetapi lihatlah dari kekompakan kami yang selalu terikat satu sama lain. Yang selalu menjadi sumber rindu di kala jenuh datang, yang selalu menjadi penghapus sedih di kala pilu.

Rere seorang gadis periang dan mudah terenyum. Kulitnya yang seputih susu itu bertambah cantik ketika garis-garis tawanya muncul dari pipinya. Senyuman yang begitu manis bersatu pada kecocokan kacamatanya yang selalu berganti seiring dengan bergantinya suasana. Entah berapa ratus kacamata yang ada di kamarnya.

Rambut hitam panjang selalu dihiasi dengan kemilau bando ungunya. Ia satu-satunya primadona "Anak Pondok Belakang".

Lesung pipit yang tertanam di kedua pipinya menjadi penambah kadar manis yang aku pikir bisa membuat diabetes setiap cowok yang melihatnya. Termasuk aku.

Rere seorang yang kreatif. Menulis salah satu keahlian yang ia punyai. Karya-karya yang ia ciptakan selalu menuai pujian dari guru-guru maupun siswa. Tidak bisa dipungkiri ia salah satu anak populer di sekolah. Kecantikan dan kreatifitas yang ia miliki selalu melekat di dalam diri Rere. Karya-karya yang ia buat selalu tertempel di mading sekolah. Hasil tulisannya juga banyak tertera di surat kabar, majalah, terutama majalah sekolah. Banyak yang menyukai dan menjadi pembaca setianya.

Tidak bisa dipungkiri lagi salah satu pembaca setianya, yaitu lagi-lagi aku.

Makhluk dengan cubitan paling menggelegar ini, sangatlah manja. Tetapi kemanjaannya itu yang membuatnya semakin imut. Waktu itu ia pernah ingin membeli buku. Membaca buku salah satu hobinya. Di saat-saat pulang sekolah yang terik panas matahari bisa mematangkan otak jika dibiarkan, ia malah menyuruhku untuk mengawaninya ke Gramedia. Rasa malas dan kantuk yang begitu menyiksa kepala ini.

Terus semakin parah saat ia berkata, "Temani aku dong ke Gramedia."

"Ga ah. Ngantuk nih. Pergi aja sendiri," sontak aku menjawab.

Grrrrrrrr ....

Cubitan monster itu melekat ke perutku yang tengah dilanda kelaparan. "Aku ga bakalan lepas sampe kamu bilang mau"

Rasa sakit yang luar biasa dihasilkan oleh cubitannya, walaupun dari jari mungil milik Rere. Sepuluh detik menahan sakit yang luar biasa itu akhirnya lepas juga.

Dengan mata yang berharap dan wajah penuh kasihan diperlihatkan Rere bak seekor kucing yang tengah meminta sepotong tulang. Ditambah lagi tangannya yang terus dan terus memukul lembut bahuku.

"Ayolah"

"Ayok"

"Aku bilangin papa loh."

"Jahat."

Berkali-kali kata-kata itu berputar-putar di telingaku tanpa henti.

Sesampainya di sana, aku yang membayar.

Parah, kan?

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!