HALIMAH
ANTON
ARIYANI
ALERIC DAVION
RISMA ANGGRAINI
RAFANDRA
Hai gais!
Siap-siap terhanyut dalam cerita baru yang lebih seru dan menarik! Author kembali dengan karya terbaru loh yang pasti membuat kalian penasaran!
Tidak hanya itu, Author juga menyiapkan visual menawan untuk karakter-karakternya, membuat kalian semakin terlibat dalam cerita!
Jadi, mari kita sambut karya terbaru ini dengan antusias! Dukungan kalian adalah semangat bagi Author untuk terus menulis dan berbagi cerita yang luar biasa!
Happy Reading, dan selamat menikmati petualangan baru!
Di tengah keheningan malam yang mencekam, seorang wanita duduk terpaku dengan wajah kusut dan kerutan yang mulai mengukirkan cerita kepedihannya.
Rambut panjangnya yang tak terurus tergerai liar, menambah kesan berantakan pada penampilannya. Sementara itu, baju daster kusut yang selalu menjadi pakaian andalannya, membuatnya terlihat seperti tidak peduli dengan penampilan.
Sorot matanya sayu, pandangannya kosong, dan tubuhnya yang gemuk dengan kulit kusam semakin menambahkan kesan menyedihkan wanita itu adalah Halimah Tus Sa'diyah .
Semua mata terpaku padanya, memancarkan tatapan merendahkan yang membuatnya tak sanggup menatap balik. Beberapa pasang mata memperhatikan setiap gerak-geriknya, dan ia telah dicap sebagai wanita hina.
Di ruangan yang sempit, berukuran 4x5 Meter,ruangan yang di dominasi dengan cat warna putih itu tengah berkumpul anggota keluarga Halimah.Halimah duduk di sudut ruangan yang sempit, dengan posisi yang agak terisolasi. Ia duduk di samping kakak tercintanya, dengan wajah yang tegang dan penuh kekhawatiran.
Ruangan yang dihiasi dengan kursi kayu yang sudah terlihat usang dan kusam, membuat suasana menjadi semakin tegang dan tidak nyaman. Semua orang yang hadir duduk dengan postur yang kaku, seolah-olah menunggu sesuatu yang akan terjadi.
wanita malang itu. Ia kini sedang diadili oleh keluarganya sendiri karena tuduhan sang suami yang menyakitkan - bahwa Halimah telah berkhianat dengan lelaki lain di belakangnya.
Semua ini bermula dari laporan Anton, suaminya, yang mengklaim bahwa Halimah telah berkhianat dengan lelaki lain di belakangnya.Lelaki dengan postur tubuh tinggi gagah dan brewokan itu telah menuduhnya bermain serong.
Tanpa melakukan penyelidikan lebih lanjut, Anton mengumpulkan seluruh anggota keluarga untuk menginterogasi Halimah, dan yang lebih menyakitkan adalah semua orang percaya pada tuduhan itu dan menuduh Halimah sebagai seorang pezinah.
Anton berdiri tegak di depan Halimah, matanya merah padam karena emosi yang memuncak.
"Cepat, katakan siapa lelaki yang ada di chat WhatsApp-mu itu!" tuntutnya dengan suara keras.
Halimah menatap mata Anton dengan hati-hati, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutan.
"Aku sudah mengatakannya, dia bukan siapa-siapa," ucapnya dengan nada suara yang bergetar, tak kuat menahan sakit di hatinya.
Risma, kakak ipar Halimah, menatapnya dengan tajam, matahari kemarahan terpancar di matanya. "Mana ada lelaki dan perempuan hanya berteman, Halimah?" ujarnya dengan nada sinis.
"Ingat, Halimah, kamu sudah tidak muda lagi. Kok masih sempat-sempatnya bermain gila dengan laki-laki lain?"
Sementara itu, Cahyo, suami Risma dan kakak kandung Halimah, hanya bisa menggelengkan kepala melihat pemandangan itu. Ia adalah kakak tertua di antara empat bersaudara, dan Halimah adalah satu-satunya anak perempuan.
Masa lalu Halimah dan Anton yang kini menjadi suaminya, masih teringat jelas. Anton yang saat itu masih muda, sering berkunjung ke rumah Halimah dan bahkan bekerja bersama kakak-kakak Halimah.
Persahabatan itu berlanjut hingga mereka memutuskan untuk menikah di usia yang masih terbilang muda. Kini, Halimah sudah berusia 30 tahun dan memiliki seorang putra.
Meskipun sudah menjadi istri, Halimah tetap menjadi wanita pekerja keras yang membantu perekonomian keluarganya dengan berjualan makanan masakan sendiri.
Halimah terlahir dari keluarga sederhana dan menikah dengan lelaki biasa, hidup mereka pun terasa sederhana namun hangat. Suaminya, Anton, hanya seorang sopir taksi yang setiap hari menjemput penumpang dari bandara, namun itu cukup untuk membuat mereka bahagia.
Namun, entah sejak kapan, sikap Anton mulai berubah. Mungkin itu terjadi sejak Halimah mulai kehilangan kecantikannya.
Tubuhnya yang dulunya langsing kini berubah lebih gemuk, kulitnya yang dulunya putih mulus sekarang terlihat kusam, dan wajahnya yang dulunya bersih kini bermunculan noda-noda hitam yang membuatnya terlihat tidak terawat.
Perubahan itu seolah menjadi pemicu perubahan sikap Anton yang kini membuat Halimah merasa tidak nyaman.
Sikap Anton semakin lama semakin menjauh, dan Halimah merasa semakin terisolasi. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria di media sosial yang mengaku sebagai dokter.
Awalnya, Halimah hanya ingin berkonsultasi tentang penyakit jantung yang dideritanya, namun percakapan mereka berlanjut ke WhatsApp pribadi.
Lelaki itu menunjukkan perhatian yang tulus pada Halimah, selalu mengingatkannya untuk makan tepat waktu dan menunjukkan perhatian-perhatian kecil lainnya yang membuat Halimah merasa nyaman dan dihargai.
Seiring waktu, lelaki itu menyatakan perasaannya pada Halimah, namun Halimah menolak karena ia sadar bahwa ia sudah memiliki suami. Namun, lelaki itu tidak mau menyerah dan tetap ingin mencintai Halimah, bahkan ketika ia tahu bahwa Halimah sudah menikah.
Halimah telah menolaknya beberapa kali, namun lelaki itu tetap tidak mau tau. Dan kemudian, tragedi itu terjadi - Saat Anton sedang menggunakan ponsel Halimah dan melihat isi chat Halimah dengan lelaki itu, yang membuatnya marah dan merasa dikhianati.
Ba' orang yang sedang kesurupan, Anton mengamuk dengan tidak terkendali, memecahkan semua isi dapur dengan kemarahan yang meluap-luap.
Halimah berusaha untuk menenangkannya, memberitahunya tentang kebenaran di balik chat tersebut, namun Anton tidak mau mendengarkannya, telinganya tertutup oleh kemarahan dan kekecewaan.
Tak cukup dengan amukannya, Anton memanggil semua saudara-saudaranya untuk berkumpul dan membicarakan masalah ini, membuat suasana rumah semakin tegang dan memilukan.
Suasana ruangan menjadi semakin tegang ketika Anton membanting ponselnya tepat di depan Halimah. Semua orang yang ada di sana terdiam, tidak berani bersuara atau campur tangan dalam masalah rumah tangga Halimah dan Anton.
Hanafi, adik terkecil mereka, mencoba menengahi situasi. "Sudahlah, jangan dibesar-besarkan. Mba Halimah tidak benar-benar ketahuan selingkuh, apalagi berbuat zina," ucapnya."Jadi kenapa harus sampai seheboh ini. "
Namun, Anton tidak menerima usulan Hanafi. Tatapannya tajam menatap Hanafi. "Kamu jangan terus-menerus membela Mbakmu. Dia sudah nyata-nyata salah. Jika kamu terus membela, dia akan semakin tidak tahu diri," cecar Anton.
Halimah berdiri, tubuhnya sedikit bergetar menahan rasa sesak di dadanya.
"Cukup, Mas. Sudah cukup kamu menuduhku seperti itu. Sudah berapa kali aku katakan aku tidak selingkuh, tapi kenapa kalian tidak mau percaya ucapanku?" Mata Halimah bergantian menatap kakak dan suaminya, mencari keadilan dan kepercayaan.
Halimah merasa ucapannya tidak ada gunanya, maka ia memutuskan untuk meninggalkan mereka. Dengan langkah yang berat, ia masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Isakannya memilukan, seolah-olah menyemburkan semua kesedihan dan kekecewaan yang telah lama tertahan.
Halimah tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir seperti ini. Ia telah beberapa kali memaafkan Anton dan tidak pernah mempermasalahkan perbuatannya. Bahkan ketika Anton ketahuan sering menelepon wanita lain, atau mengirim uang kepada seorang wanita lain, Halimah tetap memilih untuk tidak mempermasalahkan. Ia percaya bahwa suaminya akan berubah suatu hari nanti.
Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Anton tidak hanya tidak berubah, tapi juga tega menuduh Halimah berbuat zina. Ia berkoar-koar kepada seluruh keluarga, membuat Halimah merasa seperti seorang penjahat. Kesedihan dan kekecewaan Halimah semakin dalam, dan ia tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Halimah membulatkan tekadnya, tidak akan pernah lagi memaafkan suaminya. Sudah cukup kata maaf yang telah ia berikan selama ini. Ia tidak ingin lagi menjadi wanita lemah yang selalu ditindas. Sudah cukup pula ia menderita, ia juga telah bekerja keras untuk keluarga ini.
Dengan keyakinan yang baru, Halimah bangkit dari kesedihannya. Ia mengusap air matanya dan mencoba menguatkan dirinya sendiri. Ia tahu bahwa tanpa suaminya pun, ia sanggup menghidupi dirinya dan anaknya.
Sementara itu, di ruang keluarga, kakak Halimah dan istri mereka memutuskan untuk pulang. Namun, Risma, kakak ipar Halimah, tersenyum sinis saat meninggalkan rumah Halimah. Tidak ada yang menyadari senyum tersebut, dan mereka semua segera keluar dari rumah.
Kakak Halimah dan istri mereka menaiki motor mereka, meninggalkan rumah yang sekarang terasa sepi. Anton masuk ke dalam rumah, segera menutup pintu . Rumah terasa sepi dan kosong apalagi Rafandra, anaknya, belum pulang hingga membuat suasana rumah semakin mencekam.
Anton menatap ke arah kamar Halimah dengan pandangan tajam, pintu kayu berwarna coklat itu tertutup rapat. Dengan wajah datar, Anton berjalan mendekat ke arah pintu kamar, langkahnya pelan.
Ia mendorong pintu itu dengan perlahan, dan di dalamnya, terlihat Halimah terbaring miring, membelakangi Anton di atas kasur yang terbentang luas.
Dengan hati-hati, Anton mendekat, naik ke atas kasur, dan menyentuh pundak Halimah dengan lembut, seolah tidak ingin mengganggu.
Namun, Halimah menarik bahunya dengan kasar, menghindari sentuhan Anton. Tak terima dengan perlakuan Halimah, Anton menarik paksa pundak Halimah, membuatnya berbalik ke arahnya. Mata Halimah terlihat melotot ke arah Anton, penuh kemarahan dan ketidakpuasan.
"Mau apa lagi, kamu Mas?" Halimah melontarkan pertanyaan itu dengan nada penuh kemarahan, masih terbayang bagaimana Anton mencaci makinya di depan saudara-saudaranya.
"Belum cukup kamu mempermalukan aku?"
Halimah duduk tegak, menghadap Anton dengan mata yang menyala kemarahan. Anton, yang berdiri di hadapannya, tiba-tiba menarik tangan Halimah dan mencoba membuka paksa bajunya.
"Aku mau kamu menjalankan kewajibanmu sebagai seorang istri," Anton mengucapkan kalimat itu dengan nada yang meninggi.
Halimah terkejut, matanya memicing seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari bibir suaminya.
"Heh... Apa? Kamu meminta aku untuk melayanimu setelah kamu mempermalukan aku?" Halimah berteriak, sambil dengan cepat menutup kembali bajunya yang mulai melorot.
Suasana di dalam kamar tersebut menjadi semakin tegang dan terasa penuh dengan ketegangan yang tidak terucapkan.
"Jangan harap aku mau melayanimu, Mas," Halimah mengucapkan kalimat itu dengan nada dingin dan penuh kebencian, "Bahkan aku sudah muak melihat wajahmu!"
Dengan gerakan cepat, Halimah bangkit dari ranjang dan turun ke lantai, meninggalkan Anton yang terlihat semakin marah. Anton mengepalkan tangannya dengan erat, berusaha menahan amarah yang memuncak di hatinya.
"Aku ini suamimu, Halimah," Anton mengucapkan kalimat itu dengan nada geram , "Aku berhak meminta hakku darimu, dan aku tidak akan membiarkanmu menolaknya!"
Halimah berdiri tegak, berhadapan dengan Anton, matanya menyala dengan kemarahan dan kebencian.
"Untuk saat ini, aku tidak bisa melakukan itu," katanya dengan nada dingin.
"Aku sangat kesal melihatmu, Mas. Bagaimana bisa kamu berpikir menggauliku setelah semua yang kamu lakukan padaku? Aku tidak sudi, Mas."
Tiba-tiba,"Plak...!"
suara tamparan tangan Anton menggema di dalam kamar, membuat Halimah terkejut dan kesakitan.
Suara itu terdengar begitu keras, membuat Halimah memegang pipinya yang merah dan terasa panas.
"Kurang ajar kamu jadi istri," Anton mengucapkan kalimat itu dengan nada kesal dan marah. "Berani sekali menolak permintaan suamimu."
Dengan hati kesal dan marah, Anton keluar dari dalam kamar, membanting pintu dengan keras, meninggalkan Halimah yang kesakitan dan terluka. Hati Halimah terasa remuk, suaminya yang seharusnya melindunginya, kini berani main tangan dengannya.
Tak lama, suara mobil keluar dari garasi, membuat Halimah segera keluar dari dalam kamar. Ia berjalan menuju depan, dan melihat sekilas mobil Anton meninggalkan rumah. Hati Halimah terasa sakit, ia hanya bisa mengelus dada, merasa kehilangan dan kesepian. Air matanya keluar membasahi pipi, ia tidak bisa menahan kesedihannya.
Dengan langkah yang berat, Halimah kembali masuk ke dalam rumah, ia kemudian duduk di atas sofa usang berwarna merah maroon. Ia duduk sambil tertunduk, sesekali ia mengusap pipinya yang masih terasa perih karena tamparan Anton.
"Dia keluar lagi," gumam Halimah, "pasti dia mau jajan di luar."
Walaupun tidak tahu pasti, namun hati Halimah mengatakan bahwa suaminya sering berselingkuh di luar. Ia bisa merasakannya dari uang bulanan yang biasa Anton berikan, yang belakangan ini berkurang. Anton juga sering sekali pulang malam, bahkan tak jarang ia pulang dalam keadaan mabuk.
Itulah yang membuat Halimah harus bisa mencari uang tambahan untuk membiayai kehidupannya. Untunglah ia pandai dalam memasak dan membuat kue, sehingga ia bisa berjualan sayur dan aneka kue untuk mencari nafkah.
Tak lama, suara motor terdengar memasuki garasi, membuat Halimah segera mengusap air matanya yang masih basah. Ia tidak ingin anak lelakinya, Rafandra, mengetahui masalah yang sedang menimpanya. Dengan cepat, Halimah bangkit dan berjalan menuju pintu, membukanya untuk Rafandra yang baru saja tiba.
Rafandra berjalan menghampiri ibunya, matanya menatap Halimah dengan intens, seolah menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada ibunya. Ia masuk ke dalam rumah dan berdiri tepat di hadapan Halimah, menatapnya dengan penasaran.
"Ada apa, Mak?" tanya Rafandra, suaranya penuh kekhawatiran. "Kenapa Mak menangis?"
Halimah mengusap matanya sekali lagi, memastikan air matanya sudah tidak ada. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dan memberikan senyum palsu.
"Nggak, siapa bilang Mak nangis?" ucap Halimah, berusaha meyakinkan Rafandra bahwa semuanya baik-baik saja.
Rafandra tidak percaya pada jawaban ibunya sebelumnya, ia tahu bahwa Halimah baru saja menangis.
"Jangan bohong sama aku, Mak," kata Rafandra dengan nada yang lebih keras. "Aku tahu jika Mama habis nangis. Jujur, Mak, ada apa?"
Halimah berjalan ke arah ruang keluarga, ia duduk di springbed yang ada di depan televisi, tampak lelah dan terluka. Rafandra juga mengikuti ibunya, ia berdiri sambil menunggu jawaban dari Halimah, matanya penuh dengan kekhawatiran.
Halimah mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Rafandra.
"Bapakmu... dia menuduh Mamak selingkuh, Le," katanya dengan suara yang bergetar.
"Padahal Mamak tidak pernah sekalipun selingkuh. Kamu juga tahu, kan, kalau Mamak hanya di rumah jagain warung?"
Rafandra terkejut dengan jawaban ibunya. "Kapan Bapak menuduh Mamak? Bukannya Bapak belum pulang?" tanyanya dengan nada yang tidak percaya.
"Bapakmu tadi pulang, dia membawa Pakde dan Mbok de mu, bahkan Lek mu. Mereka menyidak Mamak tadi... bahkan Bapak menampar Mamak."
Halimah bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir, air matanya kembali mengalir.
Rafandra terlihat marah, matanya memerah seperti api yang menyala, ia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, seolah ingin memukul sesuatu. Walaupun Rafandra terlihat badung dan urakan, tapi ia sangat menyayangi ibunya. Ia adalah anak yang sangat protektif terhadap ibunya.
Kini, setelah lulus SMA, Rafandra menjadi andalan ibunya jika ada masalah. Ia memiliki paras yang tampan, kulit putih, hidung mancung, dan badan yang tinggi, membuatnya banyak di gandrungi anak gadis. Namun, di balik itu, Rafandra juga sedikit susah diatur, keras kepala, dan suka main hakim sendiri. Hal itu juga yang membuat Halimah takut untuk menceritakan semuanya pada anak lelakinya, ia takut jika Rafandra mengamuk pada bapaknya.
"Gak bisa di biarkan ini!" Rafandra mengucapkan kalimat itu dengan nada yang keras dan marah. "Berani sekali bapak nampar mamak! Awas aja kalo bapak pulang!" Ia mengancam, seolah ingin melindungi ibunya dari kejahatan bapaknya.
Halimah meraih tangan Rafandra, mencoba untuk menenangkannya.
"Jangan lakukan apapun, Le," katanya dengan suara yang lembut. "Mamak sudah gak papa. Kamu gak boleh ngelawan bapakmu." Ia mencoba untuk mengingatkan Rafandra agar tidak melakukan sesuatu yang bisa memperburuk keadaan.
"Ya nggak bisa gitu Mak, bapak sudah keterlaluan. " Rafandra dengan kesal pergi meninggalkan ibunya dan masuk ke dalam kamarnya, ia menutup pintu kamar dengan keras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!