NovelToon NovelToon

Mempelai Pengganti

mempelai pengganti

Aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'

'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.

dia menghilang beberapa saat sebelum kami resmi diikat dalam janji suci. gaun putih yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan kini hanya bayangan kelam di benakku. aku tidak tahu apakah harus marah, kecewa, atau sekadar tertawa pahit. tapi satu hal yang pasti, pernikahan ini seharusnya tetap berjalan demi kehormatan keluarga, dan demi menghindari skandal.

sampai pada akhirnya 'dia' muncul.

salah satu sahabatku sejak kecil, perempuan yang hampir selalu ada dalam hidupku, ALDA.

dengan langkah ragu, dia mendekat. matanya menatapku penuh kebingungan dan keberanian yang dipaksakan. aku tau dia sekarang gugup, tapi dia tetap ingin berdiri di dekatku.

"biarkan aku yang menggantikannya," ucapnya lirih, cukup untuk kudengar di tengah hiruk-pikuk tamu yang masih bingung.

aku menoleh, mencari kepastian di wajahnya. ini gila! harusnya sebuah pernikahan bukan sesuatu yang bisa diambil alih begitu saja. tapi di saat semua berantakan, hanya Alda yang bisa berdiri di sampingku saat ini.

"Apa kau yakin?" tanyaku nyaris berbisik dan mirisnya justru saat ini akulah yang terlihat sangat gugup.

dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "lebih baik seperti ini. aku tidak ingin melihatmu menanggung malu di kursi pelaminan ini sendirian Ram. biarkan aku menggantikan Nayla,,,"

dan sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, acara sudah dilanjutkan, dengan hitungan beberapa detik saja, dua panitia pernikahan berhasil membawa Alda kearah ruangan lain.

tak lama kemudian bagianku akhirnya datang, aku dipersilahkan duduk tepat di depan penghulu yang telah siap dengan baju kokoh berwarna putih terang dan peci hitam yang dia pakai.

suasana tiba-tiba menjadi hening, suara lantunan ayat suci yang sebelumnya terdengar pelan kini telah dihentikan, menyisakan kesunyian yang hanya diisi oleh napas tertahan dan detak jantung yang seakan ikut memperlambat waktu.

penghulu menyesuaikan posisi duduknya, lalu melirikku dengan senyum tipis yang menenangkan. di sekeliling, semua orang tampak bersiap.

aku merasakan genggaman tanganku sendiri mulai terasa lebih erat. di sebelahku, ayah masih duduk tegak dengan kedua tangan yang bertaut di atas pangkuannya. meski terlihat ada ketegangan di wajahnya, aku tau, dalam diam nya, beliau sedang berdoa untuk ku, untuk perjalanan hidup yang sebentar lagi akan berubah.

di hadapanku, ayah Alda duduk tak kalah tegang nya. meski ekspresinya tetap tenang, tapi aku bisa melihat bagaimana jemarinya mengusap perlahan kain di pangkuannya, seolah ingin memastikan dirinya tetap tenang.

tak lama dari itu, penghulu terlihat mulai menggeser mikrofon kecil di depannya, memastikan suaranya terdengar jelas di ruangan yang kini semakin hening. "apa nak Rama sudah siap?,"

akhirnya dengan sisa keberanian yang ku miliki, aku mulai menegakkan pandanganku tepat kearah pria berpeci hitam itu. "insyaallah saya siap pak"

"sebelum kita melanjutkan prosesi akad nikah, saya ingin memastikan bahwa kamu benar-benar siap untuk menikahi saudari Alda. ini adalah keputusan yang besar, dan saya harap kamu sudah memikirkannya dengan matang."

"insyaAllah, saya siap pak. saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk dia," aku mengangguk pelan. namun tanganku justru mengepal lemas di atas lutut. hatiku masih berdebar, bukan hanya karena ini adalah akad nikahku, tetapi juga karena aku masih belum tahu bagaimana kelanjutan hidupku setelah ini.

“baik, nak Rama,..” katanya dengan suara yang dalam, “saya akan memandu prosesi ini. dengarkan baik-baik, dan ketika saatnya tiba, ucapkan dengan tenang dan yakin.”

aku mengangguk, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkannya.

salah satu saksi, seorang pria paruh baya dengan peci hitam yang sama, tengah membetulkan posisi duduknya. ia melirikku sekilas sebelum kembali menatap ke arah penghulu.

penghulu kemudian beralih ke ayah Alda yang kini bersiap untuk mengucapkan ijab. ada jeda sejenak, seakan memberi ruang bagi siapa pun yang ingin menarik napas terakhir sebelum segalanya dimulai.

samar-samar aku merasakan angin berembus pelan dari arah luar, menggoyangkan tirai-tirai dekorasi yang terpasang di ruangan ini. aku bisa merasakan kesejukan udara itu, tapi di saat yang sama, ada kehangatan yang perlahan menyelimuti dadaku.

ketika ayah Alda akhirnya membuka mulut untuk mulai mengucapkan ijab, semua orang menahan napas.

dan aku tahu, ini adalah momen di mana segalanya akan berubah.

"Rama…" suaranya sedikit tertahan sebelum akhirnya melanjutkan, "saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya, Alda Syafira dengan mahar berupa uang tunai sebesar 2 juta rupiah serta emas 20 gram dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai"

sejenak, aku merasakan waktu seperti berhenti. suara-suara di sekitar menghilang, menyisakan detik-detik yang terasa sangat lambat.

lalu, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. "SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA ALDA SYAFIRA BINTI HUSEIN, DENGAN MAHAR TERSEBUT, DIBAYAR TUNAI."

Hening...

sampai aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.

"SAH!" suara saksi terdengar tegas, disusul dengan gema yang menyusul dari para tamu yang hadir.

aku mengembuskan napas, melepaskan semua ketegangan yang sejak tadi menghimpit dada. aku telah mengucapkan janji suci ini, 'aku kini telah resmi menjadi suami Alda!'

mata ayah Alda sedikit berkaca-kaca sebelum akhirnya tersenyum tipis. ayahku menepuk pundakku, memberikan kehangatan yang terasa menenangkan. dan di antara hiruk-pikuk suara tamu yang mulai mengucapkan selamat, pikiranku kembali pada satu hal—Alda.

bagaimana perasaannya sekarang?

di ruangan terpisah, dia pasti tengah meresapi perubahan besar yang terjadi begitu cepat dalam hidupnya, sama seperti ku.

namun mungkin satu hal yang sekarang aku tahu, mulai saat ini, kami bukan lagi sekadar sahabat. ikatan kami telah berubah sebagai suami dan istri.

setelah prosesi akad selesai, aku akhirnya berdiri dari tempatku, sementara tamu-tamu perlahan mulai bersiap melanjutkan rangkaian acara berikutnya. mataku masih terasa berat, seperti sedang memikul sesuatu yang tak terlihat.

"selamat, nak Rama." pak Husein menepuk pundakku pelan, tatapannya penuh harapan sekaligus kebimbangan yang tidak bisa dia sembunyikan.

aku hanya mengangguk kecil, lalu memandang ke arah pintu di mana Alda tengah dipersiapkan untuk memasuki pelaminan. suasana seolah melambat ketika dia muncul. gaun putih begitu indah yang semula disiapkan untuk Nayla, kini justru membalut tubuhnya. wajahnya tampak berusaha tegar, meski aku tahu hatinya pasti tidak kalah berkecambuk dariku.

dia melangkah mendekat dengan hati-hati, dibimbing oleh ibunya. aku bisa merasakan debar jantungku semakin kencang. setelah begitu dekat, aku semakin dapat melihat sorot matanya, sorot yang penuh keraguan namun juga keberanian.

"Ram..." Alda memanggilku pelan begitu dia tiba di hadapanku.

aku hanya mengangguk, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. beberapa saat kami saling diam dikelilingi oleh tatapan tamu yang menunggu kelanjutan acara.

"terima kasih, Da," aku akhirnya berbisik, mencoba mengatasi gumpalan emosi yang menghimpit dadaku. “aku tidak tahu harus berkata apa selain itu.”

Alda tersenyum tipis. "aku hanya tidak ingin kamu sendirian di momen seperti ini."

kata-katanya sederhana, tapi justru ini begitu bermakna. aku mengangguk, meskipun hatiku masih penuh pertanyaan, 'apakah ini benar-benar keputusan yang tepat untuk kami berdua?'

tak lama dari itu, panitia kemudian memandu kami untuk duduk di pelaminan. saat kami duduk berdampingan, suasana menjadi canggung. tamu-tamu sibuk dengan obrolan dan tawa, tapi di antara kami berdua hanya ada keheningan. aku mencuri pandang ke arah Alda yang duduk di sampingku. dia menunduk, aku bisa merasakan hawa dingin tangannya yang bergetar samar di sebelahku. wajahnya tampak tenang, dia berusaha tersenyum pada tamu-tamu yang mengucapkan selamat, tapi aku, dibalik senyuman palsu itu, dia pasti sedang menahan banyak hal di dalam hatinya.

aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku terasa kaku. sedikit berusaha aku memberanikan diri membuka suara, walau hanya pelan.

"Da…"

dia menoleh perlahan, terlihat sedikit terkejut, tapi langsung mengangguk kecil. "iya, Ram?"

aku berdehem, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "kamu... tidak papa?"

Alda diam sejenak, lalu tersenyum tipis. “aku tidak apa-apa. kamu?"

aku mengangguk pelan. "aku juga... baik."

keheningan terjadi lagi. kami kembali tenggelam dalam suasana yang kaku. tapi entah kenapa, aku merasa harus mengatakan sesuatu lagi.

"maaf ya, Da," kataku akhirnya keluar, meski suara itu hampir tidak terdengar di tengah keramaian.

dia menoleh lagi, namun kali ini dengan tatapan bingung. "maaf kenapa?"

aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal. "karena... kamu jadi terlibat dalam semua ini."

dia tersenyum kecil, tapi tidak langsung menjawab. pandangannya kembali ke depan, seolah sedang menyusun jawabannya.

"nggak apa-apa, Ram," ujarnya kemudian, suaranya pelan tapi begitu tegas. "aku… aku cuma nggak mau kamu sendirian. itu aja."

kata-katanya kembali membuatku terdiam. Aku memandangnya sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan saat matanya menangkap mataku.

"terima kasih, Da," kataku nyaris berbisik.

dia hanya mengangguk kecil, dan kami kembali diam. tapi kali ini, keheningannya terasa berbeda. lebih hangat, lebih bisa diterima. mungkin, kami memang tidak perlu bicara banyak. hanya dengan duduk di sini bersama dan menikmati apa yang sudah kita mulai.

resepsi berlangsung dengan riuh, tamu-tamu silih berganti memberikan ucapan selamat kepada kami. Alda tetap berdiri anggun di sampingku, wajahnya tenang meski aku tahu di balik itu semua dia sedang berusaha keras menyembunyikan kegugupannya.

di antara tamu-tamu yang datang, teman-teman kami mulai mendekat. ARYA, adalah yang pertama menyapaku, tangannya menjabat erat tanganku dengan senyum lebar.

"selamat, Ram," katanya sambil menepuk pundakku. "Nggak nyangka kamu bisa seberani ini. Alda, kamu luar biasa."

Alda tersenyum kecil, mengangguk sopan. "terima kasih, Arya."

GANI, LARAS, dan AYU juga menyusul, membawa kehangatan yang membuat suasana lebih ringan. Ayu dan Laras bahkan menggoda Alda dengan tawa kecil. "Alda, kamu cantik banget hari ini. Rama pasti bahagia banget."

"jadi tidak sabar menyambut Alda junior, xixi" tak kalah jailnya Laras menggoda Alda

Alda hanya tersenyum malu-malu, pipinya sedikit merona. sementara aku hanya mengangguk pelan, bingung harus merespon bagaimana.

namun, di antara semua itu, aku merasakan tatapan yang berbeda. GANI, salah satu sahabatku yang biasanya ceria, berdiri agak di belakang. dia tidak langsung mendekat, hanya memandangi kami dari kejauhan dengan ekspresi sulit ditebak.

sidang keluarga

"Gan, sini!" Arya memanggilnya, tapi Gani hanya tersenyum kecil dan berjalan perlahan ke arah kami.

ketika dia akhirnya sampai, senyumnya terlihat dipaksakan. dia menjabat tanganku, tapi tatapannya lebih banyak tertuju pada Alda.

"selamat, Ram… Alda," katanya singkat, suaranya datar.

"terima kasih, Gani," jawaban Alda sopan tapi sedikit canggung.

aku sempat berpikir itu hanya perasaan ku saja, tapi saat aku melihat sekilas ke arahnya, aku menangkap sesuatu yang berbeda di matanya, sebuah ketidak relaan yang sulit dijelaskan.

Gani berdiri di sana sebentar, lalu mundur sebelum percakapan dilanjut oleh Arya.

"Jadi, Ram, Alda... udah kepikiran belum, setelah ini kalian ingin menghabiskan waktu dimana? itu loh pasca pengantin baru, hihi" tanya Arya sambil tersenyum lebar. dia dengan santai membahas hal diluar perkiraan ku, bahkan di samping nya, Laras dan Ayu langsung ikut menyimak dengan penuh rasa ingin tahu.

aku dan Alda saling berpandangan sejenak. aku tahu ini pertanyaan yang wajar, tapi situasinya terlalu mendadak untuk dipikirkan sejauh itu. Alda tersenyum canggung, lalu menjawab pelan, "kita masih belum berpikir sampai kesana, Arya."

"ayo dong, bahas sekarang! ini momen yang harus diinget seumur hidup!" sahut Laras, matanya berbinar. "menurutku, Bali selalu jadi pilihan yang romantis. pantainya, suasananya, romantis banget....." dia sengaja memperpanjang kata terakhir sambil melirik kami berdua.

"atau, kalau mau yang lebih dingin dan tenang, coba ke Bandung. udah pasti seru!" Ayu menimpali, nada suaranya penuh semangat.

aku hanya tersenyum, mencoba menanggapi santai. tapi pandanganku tak sengaja menangkap sosok Gani, yang berdiri tak jauh dari kami. dia masih menyimak pembicaraan kami, tapi sesekali matanya melirik ke arah Alda. tatapannya... sulit dijelaskan

"eh, Gan? diem-duem baek. ayo ikut kasih saran dong, kita lagi ngebahas masalah surga duniawi mereka nih!" Arya, tanpa sadar, melanjutkan pembicaraan yang membuat suasana semakin canggung.

Gani akhirnya mengalihkan pandangannya kearah Arya, senyum tipisnya sengaja diukir, "itu masalah pribadi mereka. memangnya Rama sendiri sudah ada rencana ke tahap itu?" tanyanya, dengan nada datar.

"belum," jawabku. "kita belum sempat mikirin."

Gani hanya mengangguk kecil, tapi matanya lagi-lagi sekilas memandang Alda. "ya, yang penting kalian bahagia, kan?” katanya, dengan nada yang hampir terdengar sarkastik. “bulan madu itu cuma formalitas."

Laras dan Ayu saling bertukar pandang, bingung dengan respon Gani, tapi tidak dengan Arya yang justru tengah tertawa. "ah, formalitas gimana, Gan? kalau punya pasangan, kamu pasti bakal ngerti pentingnya momen-momen kayak gini."

aku melihat wajah Gani tetap datar tanpa ekspresi. pandangan nya tiba-tiba berbalik kearah ku, "iya, mungkin," sahut Gani akhirnya, dengan suara rendah. "tapi tidak semua orang seberuntung Rama"

kalimat itu meluncur seperti anak panah yang menancap di udara, membuat suasana mendadak sunyi. Gani melirik Alda sekali lagi sebelum akhirnya menghela napas panjang. "aku pamit dulu, masih banyak yang mau kasih selamat kan?."

aku tidak sempat mengatakan apa-apa. dia melangkah pergi, meninggalkan kami dengan keheningan yang aneh. Laras dan Ayu, yang biasanya cerewet, hanya bisa saling melirik bingung, sedangkan Arya sebatas mengangkat bahu, tampak tak terlalu memikirkan.

Alda menoleh padaku, suaranya pelan. "ada apa dengan dia? hari ini Gani kelihatan berbeda dari biasanya,"

aku hanya tersenyum kecil, mencoba mencari kata-kata sebagai jawabannya. "mungkin dia cuma kaget. semua ini mendadak."

Alda tidak berkata apa-apa lagi, hanya menunduk, kembali fokus pada tamu yang mulai mendekat. tapi dalam diam, aku tidak bisa menghilangkan pikiran bahwa Gani menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang mungkin berkaitan dengan Alda.

***

singkat cerita, acara resepsi akhirnya selesai, tapi keheningan di dalam hati kami justru semakin menggema. Alda dan aku kembali dipisahkan untuk sementara. aku dibawa masuk ke salah satu ruangan di rumah, tempat keluargaku berkumpul.

wajah abangku, RAKA, sudah terlihat gelap sejak awal acara, dan aku tahu ini bukan sekadar ketidaksetujuan biasa.

Rama, apa-apaan ini?" suara Raka langsung memecah keheningan begitu aku masuk. nadanya tajam, penuh tekanan. "kamu nggak pikir panjang? ini pernikahan, bukan keputusan main-main!"

aku menghela napas berat, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. "bang, aku tahu ini mendadak, tapi aku tidak punya pilihan. abang lihat sendiri situasinya bagaimana tadi?"

"pilihan?" Raka menatapku tajam. "kamu lebih baik membatalkan semuanya daripada menyeret Alda masuk ke dalam kekacauan ini. kamu sadar nggak, ini bukan cuma soal kamu, Ram? ini soal dia, keluarganya, dan kita juga!"

aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. sebagian dari diriku tahu Raka benar, tapi aku juga tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.

saat Raka melontarkan kata-kata tajamnya, suara ibu yang lembut tapi tegas tiba-tiba memecah ketegangan itu.

"Raka, kamu harus berhenti," suara ibu bergetar, tetapi penuh kekuatan. "jangan kamu tambah beban adikmu dengan kemarahan seperti ini."

Raka terdiam sejenak, menatap ibu dengan tatapan yang penuh perlawanan. namun, ibu melanjutkan dengan tenang, meskipun matanya menyiratkan keprihatinan.

"ada banyak cara untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang, Raka," kata ibu dengan suara yang tidak bisa dibantah. "Rama memang membuat keputusan yang cepat, dan kita semua tahu itu tidak mudah. Tapi kamu harus mengingat, dia tidak sendirian dalam hal ini. Kita keluarga, dan kita harus ada untuk dia, bukan hanya memberi kritik."

aku merasakan kehangatan dari kata-kata ibu, seolah ada kekuatan tersembunyi yang dia kirimkan untuk menenangkan keadaan. Raka, yang sebelumnya terlihat seperti akan meledak, kini mulai menurunkan tatapannya.

"pernikahan ini bukan hanya soal keputusan sendiri, tapi tentang bagaimana kita menerima dan mendukung satu sama lain," lanjut ibu, dengan tatapan lembut yang mengarah ke Raka. "Rama butuh kita, bukan hanya untuk menilai, tapi untuk mencari jalan bersama-sama."

keheningan menggantung, dan aku merasa terharu mendengar ibu berbicara dengan penuh perhatian. Raka akhirnya menarik napas panjang, meskipun dia masih tampak kecewa. aku tahu, ibu baru saja berhasil meredakan amarahnya, memberi kami sedikit ruang untuk berpikir lebih jernih.

ayah yang duduk di sudut ruangan akhirnya juga angkat bicara. suaranya lebih tenang, tapi tetap tegas. "Rama, kamu tidak bisa hidup dengan rasa sesak ini selamanya," lanjut ayah dengan suara yang penuh kebijaksanaan. "kamu harus bisa bicara dengan Alda, cari tahu apa yang dia rasakan. ini bukan hanya soal kamu, tapi soal keduanya. kita semua punya tanggung jawab."

aku mengangguk, meskipun dalam hati terasa berat untuk menghadapi Alda lagi. ada rasa cemas dan ketakutan yang terus membayangiku, takut jika apa yang sudah aku pilih ini malah semakin memperburuk segalanya. namun, apa yang bisa kulakukan selain mencoba?

"aku akan bicara dengan Alda, Ayah," jawabku pelan, berusaha meyakinkan diri sendiri lebih dari siapapun.

Raka hanya terdiam, sepertinya masih belum sepenuhnya setuju, tetapi dia tidak mengucapkan apapun lagi.

namun, sebelum aku sempat merasa lega, pintu ruangan lain terbuka, dan suara dari keluarga Alda mulai terdengar di ruangan sebelah. suara berat seorang pria tua mendominasi suasana. aku tahu pemilik suara itu adalah kakek Alda, PAK SAMIR.

"bagaimana kalian bisa membiarkan Alda menikah begitu saja tanpa persetujuan kami yang jelas kakek dan nenek kandung nya?" suaranya lantang, penuh otoritas. "ini penghinaan untuk keturunan kami! Alda bukan gadis sembarangan yang bisa kalian seret ke dalam masalah seperti ini!"

aku melangkah mendekat, meskipun tubuhku terasa berat. dari pintu ruangan, aku melihat Alda duduk di antara keluarganya. wajahnya tertunduk, tapi aku tahu dia sedang berusaha keras menahan perasaannya.

"kami tidak bermaksud seperti itu, Pak,,," Ayah Alda mencoba menjelaskan, tapi Kakek Samir mengangkat tangan, menyuruhnya berhenti.

"Alda, kamu kenapa diam saja?" tanya kakek, suaranya lebih lembut tapi penuh tekanan. "kenapa kamu melakukan hal memalukan ini? kamu itu wanita, kodratmu itu menerima, bukan mengajukan!"

Alda akhirnya mengangkat wajahnya. suaranya pelan, tapi tegas. "karena Alda tidak mau lihat Rama sendirian, Kek. Rama adalah salah satu teman terbaik Alda. aku tahu ini keputusan besar, tapi insyaAllah Alda tidak menyesal kek."

kakek terdiam, jelas tidak menyangka jawaban itu. tapi tatapan matanya masih tajam. "kamu pikir, keputusan itu nggak punya konsekuensi? pernikahan ini akan jadi beban di pundakmu. Apa kamu siap?"

Alda menunduk lagi, tapi kali ini dia menjawab lebih yakin. "aku akan coba, Kek. aku tahu ini berat, tapi aku ingin mendukung Rama."

aku merasa dadaku sesak mendengar keberanian Alda. sebelum aku sadar, aku melangkah maju, berdiri di depan keluarganya.

"pak Samir, saya tahu apa yang saya lakukan ini salah dan mendadak," kataku, mencoba terdengar tenang meski suaraku sedikit bergetar. "tapi saya janji, saya akan menjaga Alda. saya akan bertanggung jawab atas semua ini."

semua mata tertuju padaku. ada keheningan sejenak sebelum Kakek Alda berbicara lagi, kali ini lebih pelan.

"kita lihat sejauh mana tanggung jawabmu, Rama," katanya akhirnya. "tapi ingat, kalau kamu melukai cucuku sedikit saja, apalagi kau tidak sanggup memenuhi kebutuhan lahir dan batin nya, kau akan berurusan denganku."

Kakek Samir memandangku dengan tatapan tajam, seolah menimbang setiap kata yang baru saja aku ucapkan. aku tahu, ucapan saja tidak akan cukup untuk meyakinkan beliau. tepat saat suasana kembali terasa tegang, suara ibu memecah keheningan.

"Pak Samir," ujar ibu dengan nada lembut tapi tegas, "saya tahu keputusan ini tidak mudah diterima, terutama karena prosesnya sangat mendadak. tapi saya ingin Bapak tahu, kami sebagai orang tua Rama akan memastikan dia menjalankan tanggung jawabnya dengan sebaik mungkin."

Kakek Samir menoleh ke arah ibu, tapi tidak menjawab. wajahnya masih terlihat dingin, menunggu penjelasan lebih lanjut.

Ibu melanjutkan, kali ini dengan penuh ketulusan, "kami tidak akan membiarkan anak kami mengabaikan kewajibannya. Jika Rama mengambil keputusan sebesar ini, maka tugas kami adalah membimbingnya agar dia bisa menjadi suami yang baik untuk Alda. saya berjanji, kami akan mendidik dan mengawasi dia agar dia belajar menjadi laki-laki yang benar-benar bertanggung jawab."

Ayah, yang sejak tadi hanya diam, kini akhirnya ikut angkat bicara. suaranya pelan tapi penuh wibawa. "Pak Samir, kami memahami kekhawatiran Bapak. saya juga seorang ayah, dan saya tidak akan rela jika anak saya dirugikan dalam sebuah pernikahan. namun, saya yakin Rama mampu belajar, dan kami semua akan mendukung prosesnya. Alda sudah menunjukkan keberanian dan kepercayaannya kepada Rama, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kami sia-siakan. Jika Bapak membutuhkan bukti tanggung jawab kami sebagai keluarga, kami siap untuk berdiskusi lebih lanjut."

Kakek Samir menatap ayahku dalam-dalam. Ada keheningan yang panjang di ruangan itu, seolah semua sedang menahan napas menunggu keputusan. tapi kemudian, suara seorang wanita tua, yang tidak lain adalah nenek Alda, terdengar lembut namun penuh makna.

"kita semua ini orang tua," kata nenek Alda sambil menatap Pak Samir. "tugas kita bukan hanya menghakimi keputusan anak-anak kita, tapi juga membantu mereka tumbuh. kalau keluarga Rama bersungguh-sungguh ingin mendukung anak-anak ini, kenapa kita tidak memberi mereka kesempatan?"

menek Alda memegang tangan Pak Samir, lalu melanjutkan, "Samir, ingat bagaimana kita dulu memulai? kita pun harus belajar dari bawah, dan keluarga kita ada untuk membimbing kita. biarkan anak-anak ini belajar, seperti kita dulu."

Pak Samir akhirnya menghela napas panjang. matanya kembali menatapku, kali ini tidak sekeras sebelumnya. "kalau begitu,,," katanya dengan nada yang lebih pelan, "saya berharap keluarga kalian benar-benar bisa membimbing Rama. ini bukan hanya soal janji, tapi soal bagaimana dia membuktikan tanggung jawabnya setiap hari."

aku mengangguk dalam-dalam. "saya mengerti, Pak Samir. saya akan melakukan yang terbaik, dan saya tidak akan mengecewakan Alda, keluarga saya, ataupun keluarga Bapak."

Ibu dan Ayah ikut mengangguk, begitupun dengan kedua orang tua Alda yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan ini, seolah mereka memberikan dukungan dengan keputusan ini.

keheningan itu perlahan berubah menjadi suasana yang lebih damai. Aku bisa melihat Alda menatapku sekilas, senyumnya tipis tapi penuh kelegaan. Untuk pertama kalinya sejak acara tadi, aku merasa ada harapan untuk memperbaiki semuanya, bersama keluarga, bersama Alda.

awal yang canggung

Ketika sampai di rumah setelah acara resepsi selesai, keluargaku menyambut Alda dengan hangat. Ibu langsung memeluknya, berusaha membuatnya merasa diterima. Ayah dan Abangku, meskipun masih sedikit kaku, berusaha menunjukkan bahwa mereka mendukung pernikahan ini. Alda tersenyum sopan, tapi aku bisa melihat matanya menahan rasa lelah dan kecanggungan.

Ibu mengantarkan Alda ke kamar kami, kamar yang kini harus kami bagi bersama. aku mengikuti di belakang mereka dengan perasaan tak menentu. ini adalah kamar yang telah menjadi ruang pribadiku selama bertahun-tahun, tetapi kini harus kubagi dengan seorang wanita yang sebenarnya baru saja kuikat dalam ikatan suci.

"semoga kalian cepat merasa nyaman ya, nak," kata Ibu dengan nada lembut sebelum meninggalkan kami berdua di depan pintu kamar.

aku membuka pintu dan membiarkan Alda masuk lebih dulu. kamar itu sudah ditata ulang oleh Ibu, sprei baru, bunga-bunga kecil di sudut meja, bahkan ada lilin aroma terapi yang belum sempat aku nyalakan. semua tampak serba indah, tetapi suasana di antara kami justru sebaliknya.

Alda memilih duduk di tepi ranjang, mengamati sekeliling ruangan dengan gugup. sedangkan aku berdiri tak jauh darinya, berusaha mencari topik untuk mengurangi kecanggungan, tapi tak satu pun kata terlintas di pikiranku.

"kalau kamu mau ganti baju dulu, kamar mandi ada di sebelah," ucapku akhirnya, mencoba memecah keheningan.

dia hanya mengangguk kecil. "terima kasih," jawabnya pelan. dia membawa tas kecilnya dan masuk ke kamar mandi tanpa banyak bicara.

setelah dia keluar, giliranku untuk masuk ke kamar mandi. aku menatap diriku di cermin, mencoba menenangkan pikiran yang berputar-putar tanpa arah. aku tahu ini akan sulit, tetapi aku tidak pernah membayangkan seberapa canggungnya situasi ini.

ketika aku keluar, Alda sudah duduk di sisi kanan tempat tidur, membelakangiku. dia terlihat ragu-ragu, seperti sedang menunggu sesuatu.

"Alda," panggilku pelan. dia menoleh, matanya bertemu denganku sejenak sebelum dia kembali menunduk.

"kalau kamu merasa nggak nyaman, aku bisa tidur di sofa," kataku akhirnya, menunjuk sofa kecil di sudut ruangan.

dia tampak kaget, tetapi tidak langsung menolak. "kamu tidak apa-apa?" tanyanya, nada suaranya terdengar penuh kekhawatiran.

aku tersenyum kecil. "nggak apa-apa. aku tahu ini... mendadak. aku tidak mau kamu merasa tertekan."

dia menatapku dalam diam, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. akhirnya, dia mengangguk pelan. "kalau itu membuatmu lebih nyaman, aku juga setuju," katanya dengan suara hampir berbisik.

malam itu, aku mengambil bantal dan selimut tipis lalu merebahkan diri di sofa. Alda mematikan lampu utama, menyisakan lampu kecil di meja samping tempat tidur.

"selamat malam, Alda," ucapku sebelum menutup mata.

"selamat malam, Rama," jawabnya pelan.

namun, meski mata ini terpejam, pikiranku tak bisa berhenti bekerja. aku memikirkan banyak hal, tentang pernikahan ini, tentang alda, dan tentang masa depan yang kini terasa seperti teka-teki besar.

di tempat tidur, Alda sepertinya juga mengalami hal yang sama. dia memandang langit-langit kamar dengan perasaan bercampur aduk. di satu sisi, dia ingin mendukungku sebagai suami, tetapi di sisi lain, dia masih merasa sulit menerima perubahan besar dalam hidupnya.

malam pertama kami sebagai suami istri berlalu tanpa banyak kata, tanpa sentuhan, tanpa kehangatan. tetapi mungkin, di tengah kecanggungan ini, kami sedang mencoba memahami satu sama lain.

hari ini adalah awal yang canggung, tetapi aku berharap, seiring waktu, kami akan menemukan cara untuk menjalani pernikahan ini bersama-sama.

*****

pagi setelah pernikahan, matahari mulai menyelinap masuk melalui celah tirai kamar. aku terbangun dengan tubuh sedikit pegal akibat tidur di sofa kecil yang tidak dirancang untuk orang seukuranku. sekilas, aku melirik ke arah ranjang. Alda masih tertidur pulas, wajahnya terlihat damai meskipun aku tahu pikirannya semalam pasti sama beratnya denganku.

aku bangkit perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. setelah merapikan selimut di sofa, aku keluar kamar untuk mencuci muka dan bersiap menghadapi hari pertama kami sebagai pasangan suami istri meskipun rasanya masih sulit untuk menyebut diri kami seperti itu.

di meja makan, Ibu sudah sibuk menyiapkan sarapan. aroma tumis sayur dan gorengan memenuhi rumah, membuat suasana pagi terasa sedikit lebih hangat.

"bagaimana tidurmu semalam, nak?" tanya Ibu dengan nada lembut sambil menyiapkan piring.

aku hanya tersenyum kecil. "baik, Bu. terima kasih."

Ibu menatapku sebentar, seolah tahu aku tidak mengatakan yang sebenarnya. namun, dia tidak ingin mendesakku. "ajak Alda sarapan, ya. jangan biarkan dia terlalu lama di kamar," katanya sambil tersenyum.

aku mengangguk dan kembali ke kamar. saat membuka pintu, ternyata Alda sudah bangun. dia sedang duduk di tepi ranjang, memandang keluar jendela dengan wajah sedikit melamun.

"pagi," sapaku pelan.

dia menoleh, lalu tersenyum tipis. "pagi."

“kamu mau sarapan? Ibu sudah masak,” tanyaku, mencoba mencairkan suasana.

dia mengangguk pelan. "iya, aku ganti baju dulu."

setelah dia selesai bersiap, kami berjalan bersama ke ruang makan. keluargaku sudah menunggu di sana, dan mereka langsung menyambut Alda dengan ramah. Ibu bahkan menarik kursi untuknya, memperlakukan Alda seperti seorang putri.

"bagaimana tidurmu, nak?" tanya Ayah sambil menyendok nasi ke piringnya.

Alda tersenyum sopan. "baik, om... eh, Ayah," koreksinya cepat. aku tau dia masih beradaptasi dengan menyebut orang tuaku sebagai ayah dan ibu.

kami makan dalam suasana yang cukup hangat. Ibu terus berbicara dengan Alda, menanyakan hal-hal sederhana seperti apa makanan favoritnya, kebiasaan pagi, dan topik ringan lainnya. Alda menjawab dengan santai, meskipun aku tahu dia masih merasa canggung.

“kalau begitu, kamu ini seorang guru ya, Alda? mengajar di mana?” tanya Ayah sambil melanjutkan makan nya.

"iya, Ayah. saya mengajar di SMA Harapan Jaya, mengambil alih pelajaran bahasa Indonesia," jawab Alda sopan.

"wah, hebat! anak-anak pasti sangat suka dengan kamu, masih muda, sopan dan cantik" komentar Ibu dengan senyum lebar.

Alda hanya tersenyum kecil. aku bisa melihat dia berusaha menjaga sikap, meskipun jelas dia masih canggung menghadapi keluargaku.

setelah sarapan selesai, Ibu mengajak Alda berkeliling rumah, mengenalkan setiap sudutnya. sedangkan aku mengikuti nya di belakang, memperhatikan bagaimana Alda mencoba mencairkan suasana dengan menjawab setiap pertanyaan Ibu dengan ramah.

ketika Ibu selesai dan kami berdiri di titik terakhir, yaitu halaman belakang, Alda tiba-tiba berbicara dengan ragu. "Ibu, Rama,, Alda ingin minta izin sebentar. ada sesuatu yang harus saya urus di tempat saya bekerja. saya belum sempat memberitahu sekolah soal pernikahan ini, dan sepertinya Alda harus mengurus cuti juga"

Ibu tampak sedikit terkejut, tapi dia langsung mengangguk mengerti. "tentu, Nak. kalau itu penting, kamu harus segera mengurusnya. biar Rama yang menemanimu"

Alda melirikku sejenak. "Alda tidak ingin merepotkan, Ibu. Alda bisa sendiri. mungkin Rama ada baiknya istirahat saja, pasti dia juga lelah dengan acara kemarin" katanya pelan.

"tidak, aku akan temani mengurus cuti mu" jawabku cepat. aku tidak ingin Ibu menilai ku tidak bertanggung jawab dengan dia. aku pun juga harus mulai belajar melibatkan hal-hal kecil di kehidupan Alda.

"dengar kan, Nak? Rama sudah setuju. sekarang kalian bersiaplah dan lekas pergi sebelum terlalu siang" aku bisa melihat bagaimana Ibu sangat perhatian dengan Alda, tatapan tulus dari Ibu sudah seperti dia memperlakukan putra nya sendiri.

"baik Bu"

akhirnya setelah itu, aku dan Alda berjalan kembali kearah kamar, sedangkan Ibu memilih berlalu ke arah dapur.

"kamu yakin mau langsung mengurus nya hari ini? bukannya kamu juga butuh istirahat?" tanyaku.

Alda menghela napas pelan. "aku nggak mau menunda-nunda, Rama. lagipula, aku tidak ingin sekolah kebingungan kalau tiba-tiba aku nggak masuk tanpa kabar."

Aku mengangguk pelan, mengikuti langkah Alda yang tetap tenang namun penuh keyakinan. "tapi, kalau kamu kecapekan, aku bisa bantu urus apa yang bisa aku bantu, Da," ujarku, mencoba menawarkan sedikit keringanan untuknya.

Alda tersenyum tipis, menoleh sekilas padaku. "terima kasih, Rama. tapi, untuk urusan pekerjaan, aku rasa aku harus menyelesaikannya sendiri Ram. aku cuma butuh kamu mendukungku."

aku diam sejenak, memandangi wajahnya yang tampak lelah namun tetap memancarkan semangat. "aku selalu mendukungmu, Alda. apapun yang kamu butuhkan, aku ada."

dia tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar sebelum melanjutkan langkahnya ke kamar. aku tahu, ini bukan hanya soal pekerjaan baginya. ini tentang tanggung jawab dan dedikasi yang selalu jadi bagian dari dirinya, sesuatu yang membuatku semakin menghargainya.

sesampainya di kamar, Alda mulai mengambil beberapa dokumen yang diperlukan dari tasnya. ia memeriksa semuanya dengan cermat, memastikan tidak ada yang tertinggal. aku hanya berdiri di dekat pintu, memperhatikannya dengan seksama.

"jangan terlalu buru-buru, Da. pastikan saja apa yang kamu perlukan sudah lengkap" ucapku memastikan.

"sudah kok Ram, aku cuma perlu menyerahkan surat pengunduran diri sementara dan ngobrol sebentar dengan kepala sekolah," jawabnya tanpa ragu, sambil memasukkan dokumen terakhir ke dalam map.

beberapa menit kemudian, kami keluar dari kamar. aku mengambil kunci mobil di meja dekat pintu, sementara Alda merapikan kerudungnya di depan cermin.

tak lama kemudian, kami berdua sudah berada di dalam mobil sederhana yang biasa aku kendarai setiap harinya. SUV hitam yang masih terlihat kokoh meski sudah terbeli sejak 2 tahun lalu.

Alda meletakkan map dokumennya di pangkuan, jari-jarinya menyentuh permukaannya seolah memastikan segalanya siap. ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang keluar jendela sesaat, tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

aku tersenyum kecil sambil menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan menuju sekolahnya.

perjalanan berlangsung dalam keheningan yang nyaman, aku sesekali melirik Alda yang tampak sibuk memikirkan sesuatu sambil memandangi jendela. mungkin ini bukan hal yang mudah untuknya, tapi aku tahu Alda cukup kuat untuk menghadapi semuanya.

setelah beberapa waktu, kami sampai di depan gerbang sekolahnya. aku memarkir mobil dan mematikan mesin. "kalau butuh aku temenin masuk, bilang aja, ya," tawarku.

Alda menggeleng kecil sambil tersenyum. "Nggak perlu, Rama. aku hanya sebentar kok. tunggu dimobil saja, ya."

aku mengangguk, melepas sabuk pengaman dan bersandar di kursi. "hati-hati, Da. semoga semuanya lancar"

Alda membuka pintu dan turun dengan tenang, membawa map dokumen di tangannya. aku memandangnya berjalan menuju pintu sekolah dengan langkah nya yang mantap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!