Wajah aisyah pucat seperti bulan yang tertutup kabut, matanya redup seolah menyimpan cerita yang tak terucapkan. Jemarinya yang kurus selalu menggenggam ujung kerudungnya, seakan mencari perlindungan dari dunia yang terus menekannya. Lagi-lagi ia mendapatkan tekanan dari ibu mertuanya yang menuntut untuk, memiliki anak.
"kamu ini gak becus jadi istri, 5 tahun pernikahan kalian hanya akan sia-sia!" teriak sang ibu mertua dihadapannya.
Saat mertuanya mulai berbicara keras, aisyah menundukkan kepala, meremas ujung bajunya. Napasnya pendek, seperti menahan sesuatu yang ingin meledak dari dadanya. ini sangat sakit rasanya seperti jantung nya ditusuk ribuan pisau.
aisyah hanya bisa menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah menggantung di sudut matanya. Ia ingin menjawab, ingin berteriak bahwa ini bukan salahnya ini semua bukan salahnya. Tapi suaranya seperti terkunci di tenggorokan.
Mertuanya mendengus menatap aisyah sinis, melipat tangan di dada. "Perempuan macam apa kamu ini? atau benar tebakan ku, Jangan-jangan kau memang mandul!! tidak bisa punya anak! kasian sekali farhan anakku.."
Ucapan itu menusuk lebih tajam dari sembilu. Dadanya sesak, hatinya terhimpit antara rasa bersalah dan ketidakberdayaan.sekarang Ia ingin lari, ingin mengakhiri ini semua. tapi ia tak berdaya, hanya suaminya satu-satunya tempat yang ia miliki. Namun, suaminya pun jarang berpihak kepadanya.
"Aku minta maaf, Bu," ujar Aisyah dengan suara pelan, nyaris berbisik. Namun, getarannya tak bisa disembunyikan.
"sudahlah aku menyesal, menerima mu! " mertuanya pergi dengan perasaan dongkol, sembari menabrakkan bahunya kasar.
Dengan air mata yang berlinang deras, dan tubuh yang bergetar hebat aisyah jatuh diatas lantai.
"Mengapa selalu aku yang disalahkan atas semua ini? takdir ini bukan keputusanku? Tuhan... apa aku benar-benar tidak pantas menjadi seorang ibu? ini terasa menyesakan..."
***
Malam ini aisyah tengah berada dirumah mertuanya, duduk di sofa ruang tamu dengan kepala tertunduk, jari-jarinya saling menggenggam erat. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya gugup, tapi ia juga takut. Dari kursi kayu di sudut ruangan, suara mertuanya melesat tajam menatap dirinya sinis, menampar keberadaannya tanpa ampun.
"lihat farhan!.. Apa gunanya perempuan ini, kalau tak bisa memberi ibu keturunan!?"
Suara itu dingin, penuh kemarahan yang tak disembunyikan. Aisyah menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. ia mencoba untuk bertahan, aisyah berharap kali ini suaminya akan membela dirinya.
"Dengar!! Sudah lima tahun kalian menikah, tapi aku masih belum juga mendengar kau hamil aisyah!!... Apa kau mau anakku menunggu sampai tua?"
lagi-lagi perkataan itu, membuat dada aisyah sesak.ia Ingin menjawab, ingin membela diri, tapi suaranya tercekat. Apa yang harus ia katakan?
Aisyah pun ingin menjadi seorang ibu? setiap malam ia berdoa hingga matanya bengkak, meminta Tuhan memberinya keajaiban? Tapi bagi mertuanya, semua itu tak ada artinya. hanya ia yang di pandang bersalah atas semua ini.
"Bu, kita juga sedang berusaha.. " mendengar ucapan dari suaminya, aisyah mengangkat kepala melihat kedepan. suaminya menatap aisyah dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Dengar farhan! kamu jangan selalu membelanya. dia akan semakin bertindak seenaknya!..Kalau aisyah memang tak bisa memberimu keturunan, lebih baik kamu tinggalkan. Jangan buat ibu menanggung malu atas semua ini!"
Sebuah hembusan napas kasar terdengar. Mertuanya berdiri, menatapnya dengan sorot mata penuh kebencian.
Kata-kata itu bukan hanya sekadar bentakan, tapi juga seperti hukuman. Ia berdiri di ambang kehancuran, sementara rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar. Tuhan boleh kah ia menyerah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aisyah Humaira—nama yang seindah parasnya. Ia adalah perempuan dengan senyum lembut dan mata yang selalu tampak hangat. Sikapnya ramah, tutur katanya menenangkan, dan tangannya begitu terampil merangkai bunga. Tak heran, toko bunganya menjadi salah satu yang cukup terkenal, tempat di mana orang-orang datang untuk membeli keindahan dalam bentuk kelopak dan harum yang menenangkan.
Dulu, hidupnya terasa lebih sempurna. Ia bertemu Farhan saat masih kuliah—laki-laki yang selalu hadir dalam suka dan duka. Mereka berpacaran cukup lama, menjalin kisah yang penuh cinta dan kebersamaan, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Farhan adalah sosok yang selalu memberi rasa aman, seseorang yang selalu ada di sisinya.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan selamanya. Seperti bunga yang perlahan layu, kehidupan rumah tangga mereka pun mulai kehilangan warnanya. Satu per satu masalah datang, hingga akhirnya sesuatu yang lebih besar menghancurkan segalanya.
Bagi banyak orang, menganggap ia adalah sosok perempuan yang sempurna. Namun, tidak bagi mertuanya.Sejak awal, ibu Farhan tak pernah benar-benar menerimanya. Entah karena Aisyah bukan berasal dari keluarga kaya atau karena ia hanya seorang pemilik toko bunga.
mertuanya itu selalu memandangnya dengan tatapan dingin.
namun ia masih berfikir positif, farhan berjanji akan melindungi nya, selalu ada untuknya.
Namun, janji hanyalah janji. Kenyataan tak seindah kata-kata. Perlahan, Aisyah mulai merasakan betapa beratnya berada di tengah keluarga yang tak pernah menginginkannya.
•••
pagi hari ini, aisyah tengah menyiapkan sarapan untuk suaminya, meskipun ia dipandang buruk oleh ibu dari suaminya. aisyah tetap menghargai dan menyayangi farhan dengan sepenuh hati. mau bagaimana pun Farhan adalah segalanya bagi Aisyah.
melihat kedatangan suaminya, berusaha menyembunyikan segala beban di hatinya. aisyah tersenyum tipis menghampiri farhan dan mengajaknya menuju meja makan. ia menyiapkan segala kebutuhan farhan.
merasa pergerakan dirinya sedang diawasi, aisyah menoleh menatap suaminya, meminta penjelasan..
farhan menggenggam tangan aisyah suaranya terdengar pelan, penuh rasa bersalah.
"aisyah aku minta maaf, atas sikap ibu ke kamu"
Aisyah menatapnya, hatinya bergetar. Kata-kata itu sederhana, tapi mengandung luka yang tak bisa diabaikan. Ia tahu Farhan mencintainya, tapi sampai kapan ia harus bertahan dalam ketidakpastian ini? Sampai kapan ia harus menunggu suaminya benar-benar melindunginya, bukan sekadar meminta maaf?
Aisyah menunduk, merasakan genggaman hangat Farhan di jemarinya ia juga membalas genggaman itu. Permintaan maaf itu terdengar tulus, tapi juga hampa. Ini bukan pertama kalinya Farhan meminta maaf atas perlakuan ibunya. Dan entah mengapa, setiap kali kata-kata itu terucap, hatinya justru semakin sakit. suaminya bahkan tidak menyemangati dirinya menghadapi semua atau bersama-sama berusaha berjuang memiliki anak, farhan yang selalu menyerah. tetapi aisyah yang selalu disalahkan.
"tapi mas... sampai kapan, sampai kapan ini berakhir? Sampai kapan aku harus menunggu ibumu menerimaku?" suaranya lirih, hampir berbisik terdengar sangat menyedihkan.
farhan hanya terdiam mendengar itu, dia mencoba mencari jawaban diantara pagi yang sunyi ini. lelaki itu seperti bingung tidak ada pendirian untuk melakukan apa dari masalah ini.
"Aku sedang mencobanya aisyah. Aku ingin Ibu melihatmu seperti aku melihatmu perempuan baik yang aku cintai begitu dalam. kamu jangan khawatir ya..."
Aisyah hanya bisa tersenyum pahit. Ia ingin percaya, tapi harapan itu semakin rapuh seiring waktu. janji dari farhan terasa abu-abu sekarang.
hari minggu ini aisyah dan farhan tengah santai dirumah, aisyah tidak datang ke tokonya dan farhan yang libur bekerja. mereka ingin menghabiskan waktu bersama tanpa memikirkan masalah yang datang, terlebih dahulu.
namun waktu santai itu tidak berselang lama, saat ada kedatangan mertuanya, aisyah hanya bisa menghela nafas. apalagi yang ibu farhan itu inginkan?..
Di ruang makan, Aisyah tengah merapikan piring setelah makan siang bersama. Mertuanya duduk di kursi dengan tatapan dingin, sementara Farhan disebelah aisyah tengah sibuk dengan ponselnya.
“Aku heran, sampai sekarang rumah ini masih terasa sepi. Tidak ada tanda-tanda kau akan memberi kami cucu.”
Aisyah terdiam lagi-lagi ucapan menyakitkan yang ia dapat, tangannya sedikit gemetar. Farhan menghela napas, meletakkan ponselnya.
“Bu, tolong jangan mulai lagi. Semua butuh waktu.”
sang mertua mendelik “Waktu yang benar saja? Berapa lama lagi? Sudah lima tahun farhan! Jangan-jangan memang ada yang salah dengan istrimu ini.”
Aisyah masih berusaha sabar menahan air mata. “Saya juga ingin memiliki anak, Bu. Saya selalu berdoa untuk itu…bu...”
mertua menatapnya sinis sembari menyilangkan tangan di dada.
“Dengar!..Doa saja tidak cukup! Seharusnya kau lebih berusaha. Jangan hanya sibuk dengan toko bungamu itu. Apa gunanya perempuan kalau tidak bisa memberi keturunan?”
Ruangan menjadi hening sesaat. Aisyah menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan isakan. Farhan tampak gelisah, tapi tidak segera membela istrinya.
Aisyah berucap lirih “Saya sudah mencoba, Bu…”
“Mencoba terus? Sampai kapan? Atau jangan-jangan memang benar kau ini mandul?” balas mertua mengejeknya.
Aisyah tersentak mendengar itu. Matanya membesar, dadanya terasa sesak. Farhan menatap ibunya dengan raut tak senang.
Farhan menjawab dengan nada lebih keras.“Bu, cukup! Jangan berkata seperti itu. kita pasti akan mempunyai anak"
“Apa? Kau lebih membela istrimu daripada ibumu sendiri? Dengar, Farhan, kalau dia memang tidak bisa memberi keturunan, lebih baik kau pikirkan lagi pernikahan ini, dari pada kau menyesal nantinya. ibu tidak mau keluarga kita hancur hanya karena perempuan ini.” mertuanya menatap aisyah sinis.
Aisyah menatap Farhan, berharap suaminya akan berkata sesuatu, seperti membelanya. Tapi Farhan hanya diam, menggenggam dahinya, seolah tak tahu harus berkata apa. Saat itu juga, Aisyah merasakan sesuatu ..rasa sakit yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sendirian. tidak ada suami yang membela. hanya ketidakberdayaan Farhan.
Aisyah menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya. Tapi kata-kata mertuanya terlalu tajam, dan diamnya Farhan hanya menambah luka di hatinya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
"Bu, saya mencintai Farhan. Saya ingin membangun keluarga dengannya, bukan hanya sekadar memiliki anak. Saya juga ingin menjadi seorang ibu, tapi semuanya ada waktunya. Tolong, jangan anggap saya tidak berusaha," ucap Aisyah lirih, suaranya bergetar.
Mertuanya mendengus. "Cinta saja tidak cukup! Lihat saudara-saudaramu, Farhan! Mereka sudah punya anak, membahagiakan keluarga mereka. Apa kau tidak malu?"
Farhan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tahu ibunya keras kepala, tetapi kali ini sudah kelewatan. Ia menatap Aisyah yang kini tampak begitu rapuh, lalu beralih menatap ibunya dengan penuh ketegasan.
"Ibu, aku mencintai Aisyah, dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Anak adalah anugerah, bukan sekadar kewajiban. Aku tidak akan meninggalkan istriku hanya karena tekanan seperti ini," katanya mantap.
Mata Aisyah membesar, tidak menyangka Farhan akhirnya bersuara. Tapi mertuanya justru menggebrak meja.
"Jadi kau lebih memilih istrimu daripada keluargamu sendiri? Lihat saja nanti, Farhan! Suatu hari kau akan menyesal!" Dengan penuh kemarahan, mertuanya mengambil tasnya dan berjalan keluar rumah dengan langkah cepat.
Suasana rumah kembali sunyi. Aisyah masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Farhan mendekatinya, mengusap bahunya dengan lembut.
"Maaf, Aisyah... Aku seharusnya melindungimu sejak awal. Aku terlalu takut menyakiti perasaan Ibu, tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu. Aku janji, kita akan melewati ini bersama."
Aisyah mengangguk pelan, air matanya kembali mengalir. Kali ini bukan karena kesedihan, tapi karena sedikit rasa lega. Setidaknya, ia tahu bahwa Farhan akhirnya memilih untuk berdiri di sisinya.
Dan untuk pertama kalinya, meski masih menyakitkan, Aisyah merasa bahwa ia tidak benar-benar sendirian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!